Viera kembali ke kelas dengan langkah gontai. Wajahnya merah padam, napasnya masih tak beraturan. Renna dan Fanny yang sedang mengobrol langsung menghampirinya dengan wajah khawatir.
"Ra, loe sakit?" tanya Renna, menyentuh kening Viera. "Muka loe merah banget."
"Iya nih, kenapa? Habis lari-lari ya?" tambah Fanny.
Viera hanya menggeleng lemah dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Kejadian di UKS masih terbayang jelas - kehangatan tubuh Ian, aroma mintnya, detak jantung mereka yang seolah berlomba...
Renna dan Fanny saling pandang dengan cemas. Mereka segera memanggil Felix yang baru kembali ke kelas.
"Lix, Viera kenapa? Tadi kalian kan makan bareng?" tanya Renna.
Felix menggel
Kamis sore, Viera tiba di rumah Ian dengan jantung berdebar. Mobil Alvhard putih yang dikendarai Pak Mamad sudah meninggalkannya di depan teras rumah Ian yang megah."Saya balik kerumah dulu ya, Non," kata Pak Mamad dengan senyum ramah. "Semoga lesnya berjalan lancar."Viera tersenyum canggung. "Terima kasih, Pak."Rumah Ian benar-benar di luar bayangan Viera. Bangunan bergaya klasik Eropa dengan arsitektur megah seolah-olah baru saja keluar dari majalah desain interior kelas atas. Pilar-pilar putih yang menjulang, halaman depan yang luas dengan taman terkelola rapi, dan cat rumah berwarna gading membuat Viera terpana.Ian membukakan pintu dengan wajah dinginnya yang biasa. "Kamu masih mau berdiri di luar sampai kapan?""Oh,
Ketika Viera bersiap turun ke lantai satu, Ian tiba-tiba berkata, "Jangan pulang dulu."Viera menoleh bingung. "Kenapa?""Aku akan masak makan malam untukmu. Kamu pasti lapar. " jawab Ian santai, seolah-olah mengungkapkan hal yang paling biasa di dunia."Emang kamu bisa masak?" Viera membulatkan mata tak percaya. Nada suaranya campuran antara skeptis dan terkejut.Ian mendengus, seulas senyum tipis menghiasi wajahnya. "Memangnya kira-kira aku cuma bisa ngajarin matematika dan marah-marah di kelas?"Sebelum Viera sempat menjawab, Ian sudah melanjutkan, "Kamu mandi dulu saja di kamar mandi dalam kamarku. Aku juga sudah siapkan handuk dan baju ganti."
“Kita ke supermarket dulu, ya. Aku perlu belanja beberapa bahan untuk di rumah.” Ajak Ian, namun matanya tak lepas dari jalanan Kota yang cukup ramai.Viera tak menjawab. Hanya mengangguk.Sesampainya di supermarket, Ian langsung mengambil troli belanjaan. Saat Ian memilih belanjaan di supermarket, gerakannya begitu teliti dan terukur. Jemarinya dengan cermat memilih sayuran hijau, memastikan tidak ada satu pun daun yang layu atau busuk. Ia mengecek tanggal kadaluarsa setiap produk dengan ketelitian seorang ilmuwan.“Di balik sikap killermu, ternyata ada sosok yang berbeda seperti saat ini, ya.” Gumam Viera saat mengamati betapa jelinya Ian memilih produk-produk yang akan dibelinyaDi bagian daging, Ian memilih potongan daging sapi yang sempurna. Ia mengamati warna, tekstur, dan lemak dengan pandangan menyelidik. Setiap gerakan terlihat sangat profesional, seolah-olah memilih bahan makanan adalah sebuah seni tersendiri.Saat Ian sedang fokus memilih buah apel merah, tiba-tiba sebuah s
"Kamu yakin warna biru tua ini cocok?" tanya Viera ragu-ragu, memandang pantulan dirinya di cermin.Ian tersenyum tipis. "Bagus… Cocok."Gaun Viera memang luar biasa. Bahan sutra halus berwarna biru tua yang menjuntai ke belakang membuat tubuhnya terlihat anggun. Potongan gaun yang menekan bagian pinggang membuat siluet tubuhnya tampak sempurna. Di sisi lain ruangan, Ian terlihat tidak kalah tampan dengan setelan jas biru tua yang membalut tubuhnya dengan pas.Mama Viera dan mama Ian berdiri berdampingan, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan mereka."Astaga, kalian pasangan terindah!" seru mama Viera, bertepuk tangan penuh emosi.Mama Ian mengangguk setuju. "Cocok sekali. Seperti pasangan di majalah."
Viera keluar dari toko buku dengan perasaan campur aduk. Matanya menelusuri seisi mall, mencari sosok Ian.Ponsel segera ia keluarkan. Pertama kali menelepon, tidak diangkat."Kenapa tidak diangkat sih?" gumamnya kesal.Telepon kedua pun sama. Hening.Di telepon ketiga, Ian akhirnya mengangkat."Kamu ada di mana?" bentak Viera. "Kenapa tiba-tiba menghilang sih?""Bukankah kamu yang mengusirku ketika Felix datang?" balas Ian dingin.Viera terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya. "Bukankah kita sudah sepakat dengan keluarga untuk menyembunyikan hubungan kita sampai aku lulus nanti? Aku tidak ingin Felix dan teman-temanku tahu tentan
"Hai," sapa Felix saat Viera baru saja duduk di bangkunya. Felix tiba-tiba mendekati dan duduk di bangku depannya."Hai," balas Viera singkat.Felix tersenyum. "Kamu kemarin dari mall pulang jam berapa?"“Sekitar jam enam sore, sih. Setelah dari toko buku aku langsung bergabung dengan orang tuaku.” jawab Viera."Ooh…," lanjut Felix. "Aku juga melihat Pak Ian di mall yang sama. Tapi, dia sendirian."Viera berusaha terlihat santai. "Oh ya? Mungkin Pak Ian juga sedang jalan-jalan.""Kebetulan sekali, ya," kata Felix, nadanya terdengar menyelidik.Mata Felix menatap Viera tajam. Seolah-olah mencoba membaca setiap ekspres
Aroma sedap menguar dari hidangan Chinese food di dalam restoran. Ian dan Viera duduk berhadapan di sudut restoran yang agak sepi."Satu matcha latte dingin," pesan Viera pada pelayan."Coffee latte," tambah Ian.Tak lama kemudian, hidangan mereka datang. Ikan fillet dengan saus inggris mengkilat menggoda, udang salted egg yang menguarkan aroma gurih, dan dua porsi nasi putih hangat.Mereka makan dalam diam. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar, sesekali diselingi suara seruputan minuman.Tiba-tiba, gerakan Ian terhenti. Matanya fokus pada wajah Viera."Ada nasi," katanya singkat.Sebelum Viera sempat bereaksi, jari Ian suda
Desember datang dengan angin sejuk yang menyapu Jakarta. Di sebuah gedung mewah di kawasan tengah kota, Viera berdiri di depan cermin besar, mengamati gaun biru tua yang membalut tubuhnya."Viera, sudah siap sayang?" Mama Viera melangkah masuk dengan mata berkaca-kaca."Ma..." Viera berbalik, jemarinya masih memainkan kalung berlian pemberian Ian. "Aku gugup.""Wajar sayang," Mama mendekat, membenahi anak rambut Viera yang sedikit mencuat. "Kamu cantik sekali. Seperti putri dalam dongeng.""Tapi Ma," Viera merendahkan suaranya, "Bagaimana kalau Ian...""Sssh," Mama menggenggam kedua tangan Viera. "Mama melihat ketulusan di mata Ian. Kamu tidak lihat bagaimana dia menatapmu akhir-akhir ini?"
Pagi itu, Viera dan Mamanya berjalan beriringan memasuki gedung sekolah. Langkah mereka mantap menuju ruang guru, meskipun jantung Viera berdegup kencang.Di sepanjang koridor, beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Viera bisa mendengar samar-samar nama Reggina dan Ian disebut-sebut. Ia menundukkan kepala, mencoba mengabaikan tatapan menghakimi dari teman-temannya. Mama yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangannya erat, memberinya kekuatan."Kamu tidak sendirian," bisik Mama sambil tersenyum meyakinkan.Viera membalas genggaman tangan Mamanya. Dalam hati, ia bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungnya. Bahkan di saat-saat terberatnya seperti ini."Selamat pagi, Bu," sapa Pak Darto begitu mereka memasuki ruangannya. "Silakan duduk."
Di dalam mobil, Viera memandang kosong ke luar jendela. Matanya masih terasa panas setelah dimarahi Pak Darto. Getaran ponsel di sakunya membuat ia tersentak - nama Ian muncul di layar."Halo," Viera menjawab dengan suara pelan."Aku dengar kamu mencontek saat try out Kimia," suara Ian terdengar dingin, lebih dingin dari biasanya."Ian, aku tidak—""Kenapa?" potong Ian. "Kenapa kau melakukan hal yang paling aku benci, Viera?""Aku tidak mencontek!" Viera berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Pak Mamad. "Aku yakin ini perbuatan Reggina. Dia—""Jangan menuduh orang lain, Viera," Ian mendengus. "Contekan itu ada di mejamu. Dan kamu tahu prosedurnya - sebelum
Minggu ini, seluruh siswa kelas 12 disibukkan dengan try out untuk persiapan ujian kelulusan. Pagi itu, suasana kelas terasa tegang saat try out Kimia berlangsung. Viera duduk di bangkunya dengan tenang, sesekali mengetuk-ngetuk pensil ke meja sambil berpikir. Soal-soal di hadapannya tidak terlalu sulit berkat persiapannya yang matang selama seminggu terakhir.Pak Darto, guru yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ketat, berjalan mengawasi dengan langkah berat. Kacamatanya yang tebal menambah kesan serius pada wajahnya yang kaku. Suara sepatunya yang berketuk di lantai membuat beberapa siswa merasa was-was."Ingat, waktu tinggal 30 menit lagi," suara berat Pak Darto memecah keheningan.Viera tetap fokus pada pekerjaannya, tidak menyadari Pak Darto yang kini berhenti di samping mejanya. Guru senior itu mengerutkan
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya sesi bimbel sore itu. Viera membereskan bukunya dengan tenang, sementara Renna dan Fanny masih menggerutu tentang kejadian pagi tadi."Gila ya si cabe gatal itu," Renna mendengus kesal sambil memasukkan buku ke dalam tasnya. "Sok banget sih dia. Mentang-mentang rambutnya di-blow tiap hari.""Iya! Udah gitu pake acara bawa-bawa nama Pak Ian segala," Fanny menimpali. "Padahal dia sendiri yang ganjen sama Pak Ian."Viera hanya tersenyum mendengar ocehan kedua sahabatnya. "Udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri."Belum sempat mereka melangkah keluar kelas, sosok Reggina muncul di ambang pintu, diapit oleh Daisy dan Ingrid - duo tak terpisahkan yang selalu mengekorinya kemanapun. Daisy dengan rambut pirang platin
Keesokan harinya, Viera melangkah memasuki kelas dengan langkah berat. Meski kepalanya sudah tidak sakit, namun hatinya masih was-was menghadapi bisik-bisik yang tak kunjung reda. Ia duduk di bangkunya seperti biasa, mengeluarkan buku pelajaran sambil sesekali melirik sekeliling."Wah, wah... si anak rajin sudah datang rupanya," suara sinis itu membuat Viera mendongak. Reggina, gadis populer itu berdiri di depan mejanya dengan tangan terlipat di dada. Rambut panjangnya yang dicat coklat keemasan terlihat berkilau, hasil blow di salon mahal langganannya.Riasan wajahnya lebih tebal dari siswi lain - dengan eye shadow kecoklatan dan lipstik merah muda yang mencolok. Jam tangan Cartier berkilau di pergelangan tangannya, senada dengan kalung berlian yang selalu ia pamerkan. Tak heran banyak yang menyebutnya 'Princess' sekolah, mengingat ayahnya adalah salah satu pe
Pagi itu, Viera memandang keluar jendela mobil Pak Mamad yang melaju pelan memasuki gerbang sekolah. Perasaannya campur aduk - antara lega bisa kembali ke sekolah dan gelisah menghadapi gosip yang mungkin beredar. Kepalanya sudah tidak pusing lagi, tapi memori tentang perhatian Ian kemarin masih terasa hangat di benaknya."Sudah merasa baikan, Non?" tanya Pak Mamad sambil menghentikan mobil di depan gedung sekolah."Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih," jawab Viera sambil tersenyum, lalu turun dari mobil dengan hati-hati.Belum sempat Viera melangkah jauh, suara familiar menyambutnya dengan penuh semangat. "Vieraaaa!" Renna dan Fanny berlari kecil menghampirinya, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran sekaligus kelegaan."Ya Ampun, loe benar-benar sudah sembuh?" tanya F
Bel pulang berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah, menandakan berakhirnya kegiatan belajar mengajar hari itu. Murid-murid kelas 10 dan 11 berhamburan keluar kelas dengan semangat, membawa tas dan perlengkapan sekolah mereka.Di tengah hiruk pikuk tersebut, Viera merasakan getaran di ponselnya. Sebuah pesan masuk dari Ian. "Aku akan mengantarmu pulang. Kamu bisa jalan sendiri ke parkiran mobil guru kan? Aku tidak ingin ada yang melihat," begitu isi pesan Ian. Viera membaca pesan itu dengan senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia paham betul mengapa Ian bersikap begitu hati-hati."Bu Nina, saya pamit pulang ya," ucap Viera sopan."Oh, Pak Mamad sudah jemput? Ibu antar ke depan ya?" tawar Bu Nina."Tidak usah repot-repot, Bu. Saya bisa sendiri kok," tolak Viera halus.Sebelum beranjak, Viera mengirim pesan ke grup chatnya dengan Renna dan Fanny. "Guys, aku pulang duluan ya. Gak ikut bimbel hari ini.""Lho kenapa? Kepalamu masih sakit?" balas Renna cepat."Iya nih, mending istiraha
Siang itu, Viera hanya bisa berbaring di UKS, menatap langit-langit putih yang membosankan. Bu Nina sudah memberinya izin untuk tidak mengikuti pelajaran hari ini, termasuk bimbel sepulang sekolah. Pipinya masih terasa nyeri, tapi setidaknya bengkaknya sudah mulai berkurang."Istirahat saja ya," kata Bu Nina sambil membereskan kotak obat. "Kalau ada apa-apa, tekan bel di samping tempat tidur. Ibu ada di ruang guru sebentar."Viera mengangguk lemah. Setelah Bu Nina pergi, ia menghela napas panjang. Tangannya tanpa sadar menyentuh pipinya yang masih berdenyut."Permisi," sebuah suara familiar terdengar dari pintu.Viera menoleh, mendapati Felix berdiri dengan senyum hangatnya yang khas. Di tangannya ada kantong plastik berisi susu dan roti.
Langit Jakarta tampak cerah siang itu, terlalu cerah untuk mata Viera yang masih mengantuk setelah pelajaran matematika. Bunyi peluit dari Pak Dani, guru olahraga mereka, menggema di lapangan, memaksa seluruh siswa untuk berbaris."Hari ini kita praktek voli," kata Pak Dani lantang. "Bagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing 15 orang."Viera merasakan perutnya mulas. Dari sekian banyak olahraga, kenapa harus voli? Ia masih ingat jelas bagaimana dulu bola voli selalu berhasil menghindari tangannya, atau lebih parah, mendarat tepat di wajahnya."Ra, satu tim sama aku ya!" ajak Fanny bersemangat."Iya, gue juga!" Renna menimpali.Viera tersenyum lemah. "Kalian yakin mau satu tim sama gue? Kalian kan tahu gue payah main voli.