Begitu bel tanda pelajaran wirausaha usai berbunyi, Viera bergegas membereskan bukunya. Hatinya riang membayangkan makan siang bersama Felix. Sepanjang koridor menuju kantin, beberapa teman menyapanya dengan hangat.
"Viera! Makasih ya udah bantuin aku bikin proposal," seru Dinda dari kelas sebelah.
"Viera, makasih ya kemarin udah ngajarin cheerleader," tambah Lisa sambil tersenyum.
Viera membalas sapaan mereka dengan ramah. Ia memang dikenal sebagai siswi yang ceria dan selalu siap membantu. Banyak yang menyukainya karena sifatnya yang mudah bergaul dan tidak pelit berbagi ilmu, terutama soal cheerleader - hobinya sejak kecil.
Sesampainya di kantin, matanya langsung menangkap sosok Felix yang sudah duduk di salah satu meja. Hari ini menu makan siang tampak istimewa - ada
Viera kembali ke kelas dengan langkah gontai. Wajahnya merah padam, napasnya masih tak beraturan. Renna dan Fanny yang sedang mengobrol langsung menghampirinya dengan wajah khawatir."Ra, loe sakit?" tanya Renna, menyentuh kening Viera. "Muka loe merah banget.""Iya nih, kenapa? Habis lari-lari ya?" tambah Fanny.Viera hanya menggeleng lemah dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Kejadian di UKS masih terbayang jelas - kehangatan tubuh Ian, aroma mintnya, detak jantung mereka yang seolah berlomba...Renna dan Fanny saling pandang dengan cemas. Mereka segera memanggil Felix yang baru kembali ke kelas."Lix, Viera kenapa? Tadi kalian kan makan bareng?" tanya Renna.Felix menggel
Kamis sore, Viera tiba di rumah Ian dengan jantung berdebar. Mobil Alvhard putih yang dikendarai Pak Mamad sudah meninggalkannya di depan teras rumah Ian yang megah."Saya balik kerumah dulu ya, Non," kata Pak Mamad dengan senyum ramah. "Semoga lesnya berjalan lancar."Viera tersenyum canggung. "Terima kasih, Pak."Rumah Ian benar-benar di luar bayangan Viera. Bangunan bergaya klasik Eropa dengan arsitektur megah seolah-olah baru saja keluar dari majalah desain interior kelas atas. Pilar-pilar putih yang menjulang, halaman depan yang luas dengan taman terkelola rapi, dan cat rumah berwarna gading membuat Viera terpana.Ian membukakan pintu dengan wajah dinginnya yang biasa. "Kamu masih mau berdiri di luar sampai kapan?""Oh,
Ketika Viera bersiap turun ke lantai satu, Ian tiba-tiba berkata, "Jangan pulang dulu."Viera menoleh bingung. "Kenapa?""Aku akan masak makan malam untukmu. Kamu pasti lapar. " jawab Ian santai, seolah-olah mengungkapkan hal yang paling biasa di dunia."Emang kamu bisa masak?" Viera membulatkan mata tak percaya. Nada suaranya campuran antara skeptis dan terkejut.Ian mendengus, seulas senyum tipis menghiasi wajahnya. "Memangnya kira-kira aku cuma bisa ngajarin matematika dan marah-marah di kelas?"Sebelum Viera sempat menjawab, Ian sudah melanjutkan, "Kamu mandi dulu saja di kamar mandi dalam kamarku. Aku juga sudah siapkan handuk dan baju ganti."
“Kita ke supermarket dulu, ya. Aku perlu belanja beberapa bahan untuk di rumah.” Ajak Ian, namun matanya tak lepas dari jalanan Kota yang cukup ramai.Viera tak menjawab. Hanya mengangguk.Sesampainya di supermarket, Ian langsung mengambil troli belanjaan. Saat Ian memilih belanjaan di supermarket, gerakannya begitu teliti dan terukur. Jemarinya dengan cermat memilih sayuran hijau, memastikan tidak ada satu pun daun yang layu atau busuk. Ia mengecek tanggal kadaluarsa setiap produk dengan ketelitian seorang ilmuwan.“Di balik sikap killermu, ternyata ada sosok yang berbeda seperti saat ini, ya.” Gumam Viera saat mengamati betapa jelinya Ian memilih produk-produk yang akan dibelinyaDi bagian daging, Ian memilih potongan daging sapi yang sempurna. Ia mengamati warna, tekstur, dan lemak dengan pandangan menyelidik. Setiap gerakan terlihat sangat profesional, seolah-olah memilih bahan makanan adalah sebuah seni tersendiri.Saat Ian sedang fokus memilih buah apel merah, tiba-tiba sebuah s
"Kamu yakin warna biru tua ini cocok?" tanya Viera ragu-ragu, memandang pantulan dirinya di cermin.Ian tersenyum tipis. "Bagus… Cocok."Gaun Viera memang luar biasa. Bahan sutra halus berwarna biru tua yang menjuntai ke belakang membuat tubuhnya terlihat anggun. Potongan gaun yang menekan bagian pinggang membuat siluet tubuhnya tampak sempurna. Di sisi lain ruangan, Ian terlihat tidak kalah tampan dengan setelan jas biru tua yang membalut tubuhnya dengan pas.Mama Viera dan mama Ian berdiri berdampingan, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan mereka."Astaga, kalian pasangan terindah!" seru mama Viera, bertepuk tangan penuh emosi.Mama Ian mengangguk setuju. "Cocok sekali. Seperti pasangan di majalah."
Viera keluar dari toko buku dengan perasaan campur aduk. Matanya menelusuri seisi mall, mencari sosok Ian.Ponsel segera ia keluarkan. Pertama kali menelepon, tidak diangkat."Kenapa tidak diangkat sih?" gumamnya kesal.Telepon kedua pun sama. Hening.Di telepon ketiga, Ian akhirnya mengangkat."Kamu ada di mana?" bentak Viera. "Kenapa tiba-tiba menghilang sih?""Bukankah kamu yang mengusirku ketika Felix datang?" balas Ian dingin.Viera terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya. "Bukankah kita sudah sepakat dengan keluarga untuk menyembunyikan hubungan kita sampai aku lulus nanti? Aku tidak ingin Felix dan teman-temanku tahu tentan
"Hai," sapa Felix saat Viera baru saja duduk di bangkunya. Felix tiba-tiba mendekati dan duduk di bangku depannya."Hai," balas Viera singkat.Felix tersenyum. "Kamu kemarin dari mall pulang jam berapa?"“Sekitar jam enam sore, sih. Setelah dari toko buku aku langsung bergabung dengan orang tuaku.” jawab Viera."Ooh…," lanjut Felix. "Aku juga melihat Pak Ian di mall yang sama. Tapi, dia sendirian."Viera berusaha terlihat santai. "Oh ya? Mungkin Pak Ian juga sedang jalan-jalan.""Kebetulan sekali, ya," kata Felix, nadanya terdengar menyelidik.Mata Felix menatap Viera tajam. Seolah-olah mencoba membaca setiap ekspres
Aroma sedap menguar dari hidangan Chinese food di dalam restoran. Ian dan Viera duduk berhadapan di sudut restoran yang agak sepi."Satu matcha latte dingin," pesan Viera pada pelayan."Coffee latte," tambah Ian.Tak lama kemudian, hidangan mereka datang. Ikan fillet dengan saus inggris mengkilat menggoda, udang salted egg yang menguarkan aroma gurih, dan dua porsi nasi putih hangat.Mereka makan dalam diam. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar, sesekali diselingi suara seruputan minuman.Tiba-tiba, gerakan Ian terhenti. Matanya fokus pada wajah Viera."Ada nasi," katanya singkat.Sebelum Viera sempat bereaksi, jari Ian suda
Viera memeriksa kembali semua jawabannya, memastikan tidak ada yang terlewat. Setelah yakin, dia menekan tombol "Kirim" dan menunggu sistem memproses jawabannya. Layar berkedip sejenak, kemudian muncul pesan konfirmasi bahwa ujiannya telah berhasil disimpan dan terkirim.Viera menghela napas lega, melepas headset, dan bersandar di kursinya. Satu ujian telah selesai, masih ada beberapa lagi yang menunggu. Tapi setidaknya, yang pertama telah dilewati dengan baik.Setelah waktu ujian habis, para siswa diizinkan meninggalkan ruangan. Viera bertemu dengan Renna dan Fanny di koridor."Gimana?" tanya Fanny, wajahnya terlihat lelah tapi puas."Tidak buruk," jawab Viera. "Bagaimana dengan kalian?""Soal nomor 35 hampir bikin gue menangis," keluh Renna. "Tapi sisanya oke."Mereka berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang sebelum kembali untuk ujian Bahasa Indonesia di sesi siang. Di tengah jalan, Viera merasakan ponselnya bergetar. Pesan dari Ian."Semoga ujian pertamamu lancar. Percaya
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah satu minggu istirahat dan persiapan intensif, ujian akhir resmi di SMA Internasional Nusantara dimulai. Berbeda dengan sekolah konvensional, sekolah mereka menggunakan sistem ujian berbasis komputer—salah satu keunggulan dari sekolah internasional yang sering dibanggakan oleh kepala sekolah di setiap kesempatan. Pagi itu, Viera tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Koridor-koridor masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang tampak sama gugupnya dengan dirinya, membawa buku dan catatan untuk dibaca sekali lagi sebelum ujian dimulai. "Pagi, Ra!" sapa Renna yang berlari kecil mendekatinya. "Siap untuk hari ini?" Viera tersenyum tipis. "Sebisa mungkin. Bagaimana denganmu?" "Rasanya seperti otak mau meledak," keluh Renna sambil memegang kepalanya secara dramatis. "Terlalu banyak yang harus diingat." "Kalian berdua terlalu tegang," Fanny muncul dari belakang, menepuk bahu kedua temannya. "Ini cuma ujian, bukan akhir dunia." "Kata seseo
Mereka menghabiskan sisa waktu mereka berbicara tentang hal-hal yang lebih ringan—bagaimana ujian simulasi berjalan, buku baru yang Ian baca, film yang ingin ditonton Viera. Mencoba untuk tidak tenggelam dalam kekhawatiran tentang masa depan, mencoba untuk hidup dalam momen ini.Ketika waktu berpisah tiba, Ian tidak menawarkan untuk mengantar Viera pulang seperti biasanya. Mereka berdua tahu bahwa untuk saat ini, mereka harus lebih berhati-hati."Jaga dirimu," kata Ian saat mereka berdiri di depan kafe. "Fokus pada ujianmu. Setelah itu...""Setelah itu, kita akan mencari jalan," Viera melanjutkan kalimat Ian.Ian tersenyum, matanya memancarkan kelembutan dan janji. "Ya. Kita akan mencari jalan."Mereka berpisah tanpa sentuhan, tanpa bisikan, hanya dengan tatapan yang menyimpan ribuan kata tak terucap. Viera berjalan pulang sendiri, hatinya berat tapi tekadnya kuat.Dia tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah. Sudah sejak awal dia menyadarinya. Tapi dia juga tahu bahwa bebe
Balasan Ian datang beberapa detik kemudian. "Tidak ada masalah. Hanya ingin berbicara. Kafe biasa, jam 4?" "Oke. Sampai bertemu nanti." Viera memasukkan ponselnya ke saku, perasaan was-was aneh menyelimuti hatinya. Meskipun Ian bilang tidak ada masalah, ada sesuatu dalam perkataannya yang terasa... berbeda. Atau mungkin itu hanya kekhawatirannya saja? *** Kafe Masa Lalu terlihat lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena hari Jumat, atau mungkin karena banyak siswa yang merayakan berakhirnya ujian simulasi. Viera duduk di sudut yang sedikit terpisah, tempat favorit mereka, segelas matcha latte di hadapannya. Ian terlambat sepuluh menit, hal yang sangat tidak biasa untuk seseorang yang selalu tepat waktu seperti dirinya. Ketika akhirnya dia muncul, wajahnya terlihat sedikit pucat dan ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya. "Maaf membuatmu menunggu," katanya, duduk di hadapan Viera. "Rapat guru berlangsung lebih lama dari yang kukira." "Tidak apa-apa," Viera tersenyum ke
Hari-hari berlalu dengan cepat dalam rutinitas ujian simulasi yang melelahkan. Setiap pagi, Viera bangun dengan kecemasan yang sama—apakah dia cukup belajar, apakah dia siap, apakah dia akan mengecewakan dirinya sendiri, orang tuanya, atau Ian. Setiap malam, dia tertidur dengan kelelahan yang sama—otaknya penuh dengan rumus, teori, dan fakta-fakta yang harus diingat.Tapi hari ini berbeda. Hari ini adalah hari terakhir ujian simulasi, dan atmosfer di sekolah terasa lebih ringan. Meski masih ada ketegangan, ada juga harapan—ujian simulasi akan berakhir, dan mereka akan punya waktu singkat untuk bernapas sebelum ujian sesungguhnya dimulai."Loe kelihatan lebih segar," komentar Renna saat mereka berjalan bersama di koridor sekolah menuju kelas terakhir—Bahasa Inggris.Viera tersenyum kecil. "Gue rasa karena ini hari terakhir. Dan Bahasa Inggris selalu menjadi pelajaran favorit gue.""Bukan karena semalam loe dapat telepon dari Pak guru matematika?" goda Fanny yang berjalan di sisi lain V
"Tapi kamu menyukai guru matematika itu," balas Ian, dan Viera bisa membayangkan senyuman kecil di wajahnya saat mengetik pesan itu."Ya," Viera mengetik, tersenyum pada dirinya sendiri. "Sangat.""Tidurlah, Viera. Besok akan jadi hari yang panjang.""Oke. Selamat malam.""Selamat malam. Mimpi indah."Viera meletakkan ponselnya, mematikan lampu tidur, dan menarik selimut hingga menutupi dagunya. Di luar, angin malam berbisik di antara dedaunan, menciptakan melodi tidur yang lembut dan menenangkan.Besok adalah ujian simulasi. Lalu ujian sebenarnya. Lalu kelulusan. Lalu...Dalam kegelapan kamarnya, di bawah bintang-bintang plastik yang memudar, Viera memejamkan mata. Untuk saat ini, dia akan mengikuti saran Ian. Tidak berpikir terlalu jauh.Besok adalah besok. Hari ini, setidaknya, dunianya sedikit lebih utuh dari kemarin.***Kelas terasa hening meski dipenuhi oleh puluhan siswa. Hanya suara goresan pensil di atas kertas dan sesekali desahan frustrasi yang terdengar. Ujian simulasi ma
Viera mengangguk, mengeratkan genggamannya pada tangan Ian. "Langkah demi langkah."Mereka berdiam dalam keheningan yang nyaman untuk beberapa saat, menikmati kedekatan yang jarang bisa mereka rasakan di tempat umum."Kamu harus masuk," akhirnya Ian berkata. "Sudah malam."Viera menghela napas, tidak ingin momen itu berakhir, tapi tahu bahwa Ian benar. "Ya, aku tahu."Sebelum keluar dari mobil, Viera berbalik dan menatap Ian. "Terima kasih untuk hari ini. Untuk... membuat duniaku sedikit lebih utuh."Ian tersenyum, matanya berkilau di bawah cahaya temaram. "Terima kasih kembali. Untuk membiarkanku masuk ke dalamnya."Dengan satu anggukan terakhir, Viera keluar dari mobil dan berjalan pulang. Langkahnya terasa ringan, seolah beban yang selama ini dia pikul sedikit terangkat. Di belakangnya, mobil Ian menunggu sampai dia berbelok menuju rumahnya sebelum perlahan melaju pergi, membawa serta bayangan-bayangan yang kini terasa lebih jelas, lebih nyata, dalam kehidupan Viera.Sesampainya di
Dengan itu, suasana canggung mulai mencair. Ian ternyata tidak hanya ahli matematika, tapi juga memiliki pemahaman yang baik tentang ekonomi. Dia menjelaskan konsep-konsep sulit dengan cara yang mudah dipahami, menggunakan contoh-contoh dari kehidupan nyata. "Jadi, rumusnya bisa dikerjakan seperti ini seperti ini," Ian menulis rumus sederhana di kertas. Viera memperhatikan dengan kagum bagaimana teman-temannya perlahan-lahan mulai nyaman dibimbing oleh Ian. Fanny bahkan sudah berani bercanda, sementara Renna menunjukkan ketertarikannya dengan rumus yang mudah dihafal. Sesi belajar itu berlangsung sampai malam. Ketika akhirnya mereka memutuskan untuk pulang, Viera merasakan campuran emosi yang aneh—bangga melihat Ian berinteraksi baik dengan teman-temannya, tapi juga sedikit cemas. Seolah dua dunianya yang terpisah kini mulai bertabrakan. "Terima kasih untuk bantuannya, Pak Ian," Fanny berkata saat mereka berpisah di depan kafe. "Kamu—maksudku Anda—guru yang hebat." Ian tersenyum
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, ujian akhir hampir tiba. Viera dan teman-temannya tenggelam dalam buku-buku pelajaran dan kertas-kertas latihan. Kafe-kafe di sekitar sekolah penuh dengan siswa kelas dua belas yang belajar kelompok, menyesap kopi berlebihan, dan saling bertukar rumus dan catatan."Aku tidak bisa mengingat semua rumus ini," keluh Fanny, menutup buku fisikanya dengan frustasi. "Terlalu banyak.""Buat diagram dulu," saran Renna, yang dengan tenang membuat kartu-kartu kecil berisi poin-poin penting. "Lebih mudah mengingat secara visual."Viera mengangguk, tapi matanya terasa berat. Dia sudah belajar sejak pagi, dan hari sudah menjelang sore. Cangkir kopi ketiganya nyaris kosong."Kalian tahu," Viera berkata sambil meregangkan tubuhnya, "Ian sebenarnya punya metode bagus untuk mengingat rumus-rumus."Ada keheningan canggung sejenak sebelum Fanny tertawa kecil. "Viera, loe gak mau tanya gitu metode tunanganmu buat mengingat rumus?"Viera memutar matanya, tapi tidak