"Kamu yakin warna biru tua ini cocok?" tanya Viera ragu-ragu, memandang pantulan dirinya di cermin.Ian tersenyum tipis. "Bagus… Cocok."Gaun Viera memang luar biasa. Bahan sutra halus berwarna biru tua yang menjuntai ke belakang membuat tubuhnya terlihat anggun. Potongan gaun yang menekan bagian pinggang membuat siluet tubuhnya tampak sempurna. Di sisi lain ruangan, Ian terlihat tidak kalah tampan dengan setelan jas biru tua yang membalut tubuhnya dengan pas.Mama Viera dan mama Ian berdiri berdampingan, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan mereka."Astaga, kalian pasangan terindah!" seru mama Viera, bertepuk tangan penuh emosi.Mama Ian mengangguk setuju. "Cocok sekali. Seperti pasangan di majalah."
Viera keluar dari toko buku dengan perasaan campur aduk. Matanya menelusuri seisi mall, mencari sosok Ian.Ponsel segera ia keluarkan. Pertama kali menelepon, tidak diangkat."Kenapa tidak diangkat sih?" gumamnya kesal.Telepon kedua pun sama. Hening.Di telepon ketiga, Ian akhirnya mengangkat."Kamu ada di mana?" bentak Viera. "Kenapa tiba-tiba menghilang sih?""Bukankah kamu yang mengusirku ketika Felix datang?" balas Ian dingin.Viera terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya. "Bukankah kita sudah sepakat dengan keluarga untuk menyembunyikan hubungan kita sampai aku lulus nanti? Aku tidak ingin Felix dan teman-temanku tahu tentan
"Hai," sapa Felix saat Viera baru saja duduk di bangkunya. Felix tiba-tiba mendekati dan duduk di bangku depannya."Hai," balas Viera singkat.Felix tersenyum. "Kamu kemarin dari mall pulang jam berapa?"“Sekitar jam enam sore, sih. Setelah dari toko buku aku langsung bergabung dengan orang tuaku.” jawab Viera."Ooh…," lanjut Felix. "Aku juga melihat Pak Ian di mall yang sama. Tapi, dia sendirian."Viera berusaha terlihat santai. "Oh ya? Mungkin Pak Ian juga sedang jalan-jalan.""Kebetulan sekali, ya," kata Felix, nadanya terdengar menyelidik.Mata Felix menatap Viera tajam. Seolah-olah mencoba membaca setiap ekspres
Aroma sedap menguar dari hidangan Chinese food di dalam restoran. Ian dan Viera duduk berhadapan di sudut restoran yang agak sepi."Satu matcha latte dingin," pesan Viera pada pelayan."Coffee latte," tambah Ian.Tak lama kemudian, hidangan mereka datang. Ikan fillet dengan saus inggris mengkilat menggoda, udang salted egg yang menguarkan aroma gurih, dan dua porsi nasi putih hangat.Mereka makan dalam diam. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar, sesekali diselingi suara seruputan minuman.Tiba-tiba, gerakan Ian terhenti. Matanya fokus pada wajah Viera."Ada nasi," katanya singkat.Sebelum Viera sempat bereaksi, jari Ian suda
Desember datang dengan angin sejuk yang menyapu Jakarta. Di sebuah gedung mewah di kawasan tengah kota, Viera berdiri di depan cermin besar, mengamati gaun biru tua yang membalut tubuhnya."Viera, sudah siap sayang?" Mama Viera melangkah masuk dengan mata berkaca-kaca."Ma..." Viera berbalik, jemarinya masih memainkan kalung berlian pemberian Ian. "Aku gugup.""Wajar sayang," Mama mendekat, membenahi anak rambut Viera yang sedikit mencuat. "Kamu cantik sekali. Seperti putri dalam dongeng.""Tapi Ma," Viera merendahkan suaranya, "Bagaimana kalau Ian...""Sssh," Mama menggenggam kedua tangan Viera. "Mama melihat ketulusan di mata Ian. Kamu tidak lihat bagaimana dia menatapmu akhir-akhir ini?"
Pagi itu, Viera berdiri di depan cermin, memutar-mutar dua cincin di jarinya. Yang satu adalah cincin pertunangan dari Ian - berkilau dengan berlian yang elegan. Yang lainnya adalah cincin biasa yang ia beli kemarin, sengaja dipilih untuk mengecoh teman-temannya."Sempurna," gumamnya, memastikan kedua cincin itu tampak natural di jarinya.Di sekolah, suasana masih sama seperti biasa. Ian tetap menjadi guru matematika yang ditakuti, dengan tatapan dingin dan sikap tegas yang membuat siswa-siswa bergidik. Tidak ada yang berubah, seolah malam pertunangan itu hanya mimpi belaka."Eh, Ra," Fanny menyenggol bahunya saat mereka duduk di kantin. "Tumben loe pakai cincin? Dua lagi."Viera mengangkat tangannya dengan santai, berusaha menjaga detak jantungnya tetap normal. "Oh, ini
Langit Jakarta tampak cerah siang itu, terlalu cerah untuk mata Viera yang masih mengantuk setelah pelajaran matematika. Bunyi peluit dari Pak Dani, guru olahraga mereka, menggema di lapangan, memaksa seluruh siswa untuk berbaris."Hari ini kita praktek voli," kata Pak Dani lantang. "Bagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing 15 orang."Viera merasakan perutnya mulas. Dari sekian banyak olahraga, kenapa harus voli? Ia masih ingat jelas bagaimana dulu bola voli selalu berhasil menghindari tangannya, atau lebih parah, mendarat tepat di wajahnya."Ra, satu tim sama aku ya!" ajak Fanny bersemangat."Iya, gue juga!" Renna menimpali.Viera tersenyum lemah. "Kalian yakin mau satu tim sama gue? Kalian kan tahu gue payah main voli.
Siang itu, Viera hanya bisa berbaring di UKS, menatap langit-langit putih yang membosankan. Bu Nina sudah memberinya izin untuk tidak mengikuti pelajaran hari ini, termasuk bimbel sepulang sekolah. Pipinya masih terasa nyeri, tapi setidaknya bengkaknya sudah mulai berkurang."Istirahat saja ya," kata Bu Nina sambil membereskan kotak obat. "Kalau ada apa-apa, tekan bel di samping tempat tidur. Ibu ada di ruang guru sebentar."Viera mengangguk lemah. Setelah Bu Nina pergi, ia menghela napas panjang. Tangannya tanpa sadar menyentuh pipinya yang masih berdenyut."Permisi," sebuah suara familiar terdengar dari pintu.Viera menoleh, mendapati Felix berdiri dengan senyum hangatnya yang khas. Di tangannya ada kantong plastik berisi susu dan roti.
Di kedai es krim, Viera menyendok es krim vanilanya perlahan, sesekali mencuri pandang ke arah Ian yang duduk di hadapannya."Ada yang mengganggumu?" tanya Ian, menangkap kegelisahan di mata Viera."Tadi..." Viera meletakkan sendoknya, "saat di kantin, Fanny sepertinya sudah mulai curiga. Dia... dia selalu bisa membaca situasi dengan baik."Ian mengangguk pelan. "Dia memang sangat perhatian padamu.""Aku merasa bersalah," Viera berbisik, matanya mulai berkaca-kaca. "Mereka selalu ada untukku. Bahkan saat aku kehilangan ingatan, mereka yang menceritakan ulang setiap detail hidupku. Tapi sekarang... aku malah menyembunyikan sesuatu sebesar ini dari mereka.""Hey," Ian mengulurkan tangannya, nyaris menyentuh tangan Viera sebelum teringat mereka masih di tempat umum. "Kamu tidak perlu merasa bersalah. Ini... ini bukan sesuatu yang mudah untuk dibagi.""Tapi sampai kapan?" Viera menatap es krimnya yang mulai mencair. "Sampai kapan kita harus bersembunyi seperti ini?"Ian terdiam sejenak, m
Langit sudah mulai memerah saat Viera mengendap-endap ke parkiran belakang sekolah. Koridor-koridor sudah sepi, hanya tersisa beberapa siswa yang masih mengikuti kegiatan klub. Ian sudah menunggu di mobilnya, seperti yang mereka sepakati sebelumnya. "Maaf lama," Viera berbisik saat masuk ke mobil. "Tadi harus mastiin dulu Renna udah pulang." Ian tersenyum, menyalakan mesin mobil. "Tidak apa-apa. Kamu yakin tidak ada yang lihat?" Viera mengangguk, meski ada keraguan samar yang menggelayut di dadanya. Dia tidak menyadari sosok Fanny yang berdiri di balik pilar, mengamati dengan mata melebar saat mobil Ian mulai bergerak meninggalkan area parkir. Sementara itu di dalam mobil Fanny. "Pak Man, Bisa ikuti mobil itu? Yang Innovasi Hitam itu." Sopir paruh baya itu mengernyit heran. "Nona Fanny yakin? Bukannya itu mobil guru matematika..." "Please," Fanny memotong dengan nada mendesak. "Ini penting." Di mobil Ian, Viera mulai merasa rileks. Dia menyandarkan kepalanya ke jok, merasakan ke
Bel istirahat berbunyi seperti penyelamat bagi Viera. Dia menghembuskan napas yang tanpa sadar ditahannya selama dua jam pelajaran matematika itu. "Oke, sampai di sini dulu," Ian mengumumkan, membereskan bukunya. "Jangan lupa kerjakan latihan halaman 45." Saat Ian melangkah keluar kelas, Viera bisa merasakan tatapannya yang sekilas tertuju padanya. Tatapan yang membuat jantungnya melompat, meski hanya sepersekian detik. "Ra," Fanny mendadak sudah berdiri di samping mejanya, "ke kantin, yuk?" Ada sesuatu dalam nada suara Fanny yang membuat Viera gelisah. "Ah... gue..." dia melirik tasnya, mencari-cari alasan. "Ayolah!" Renna menarik tangannya dengan antusias. "Gue laper banget nih setelah dipaksa mikir limit tadi." Viera tidak punya pilihan selain mengikuti kedua sahabatnya. Mereka berjalan menyusuri koridor yang ramai, dengan Renna yang terus mengoceh tentang betapa sulitnya pelajaran hari ini. "Tapi aneh ya," Renna tiba-tiba menoleh pada Viera, "tumben banget loeu nggak
"Viera!" Suara familiar Renna membuatnya tersentak dari lamunannya. Sahabatnya itu berlari kecil menghampirinya, dengan Fanny yang mengikuti dengan langkah lebih tenang di belakang. "Tumben agak siang?" Renna mengaitkan lengannya dengan lengan Viera, gestur yang sudah menjadi kebiasaan mereka. "Biasanya loe sudah nunggu di depan gerbang." Viera merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Memori tentang sore kemarin masih begitu segar di benaknya. "Ah... iya, tadi bangun agak telat." Fanny, dengan kepekaannya yang biasa, menatap Viera dengan seksama. "Loe... kelihatan berbeda hari ini." "Berbeda?" Viera mencoba tertawa, meski suaranya terdengar sedikit bergetar. "Berbeda gimana?" "Entahlah," Fanny mengangkat bahu, tapi matanya masih menatap penuh selidik. "Kayak... ada sesuatu yang berbeda." Renna mengangguk antusias. "Iya! Gue juga ngerasa gitu. Loe... kayak lagi happy banget?" Viera menggigit bibirnya, merasakan rona hangat mulai merambat di pipinya. Tepat saat itu, sosok Ian
Viera mengeratkan genggamannya pada pembatas buku di tangannya, mendadak teringat pada dua sosok yang selama ini selalu ada di sampingnya. Renna dan Fanny - sahabatnya sejak SMA yang selalu mendukungnya tanpa syarat, bahkan saat dia kehilangan ingatannya."Ian..." Viera mendongak, menatap pria yang kini menjadi guru matematikanya itu. "Bagaimana dengan Renna dan Fanny?"Ada jeda sejenak sebelum Ian menjawab, seolah dia juga baru tersadar akan kompleksitas situasi mereka. Memang, hubungan guru dan murid ini bukanlah sesuatu yang sederhana untuk dijelaskan, bahkan pada sahabat terdekat sekalipun."Mereka... pasti akan mengerti," Ian akhirnya berkata, meski ada keraguan tipis dalam suaranya. "Mereka sahabatmu yang paling dekat, kan?"Viera menggigit bibirnya, mengingat baga
Viera menatap pembatas buku di tangannya, jemarinya menelusuri permukaan bunga yang telah diawetkan itu dengan hati-hati. Ada sesuatu yang menggelitik dalam dadanya - perasaan hangat yang familiar sekaligus asing, seperti menemukan potongan puzzle yang telah lama hilang."Masih ingat waktu kita pertama kali menemukan bunga-bunga ini?" tanya Ian, suaranya lembut seperti angin sore yang membelai dedaunan di atas mereka.Viera mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada pembatas buku itu. Memori-memori yang sempat terkubur perlahan mengapung ke permukaan - musim panas yang panjang, tawa yang riang, dan janji-janji kecil yang terucap di bawah pohon mangga ini."Waktu itu kamu bilang bunganya seperti bintang yang jatuh ke bumi," Viera tersenyum kecil, mengingat kata-kata polos mereka di masa kecil. "Dan aku percaya begi
Viera terdiam, matanya berkaca-kaca menatap tulisan di halaman terakhir buku itu. Tangannya sedikit bergetar saat menyentuh kertas yang menguning, merasakan tekstur dari janji masa kecil mereka."Kamu..." suara Viera tercekat, "kamu benar-benar menyebalkan, Ian."Ian mengerjap bingung, "Eh?""Menciumku di bawah meja guru, membuatku cemburu pada adikmu sendiri, dan sekarang..." Viera mengangkat wajahnya, ada air mata yang mulai jatuh di pipinya, "sekarang kamu mengungkapkan perasaanmu dengan cara yang begitu... begitu sempurna."Ian tersenyum lembut, tangannya bergerak mengusap air mata di pipi Viera. "Maaf membuatmu menunggu lama.""Bodoh," Viera memukul dada Ian pelan. "Kamu yang menunggu lebih lama. Bahkan saat aku lupa, ka
"IAAANN!" Viera berteriak tertahan, tapi yang tersisa hanya gema langkah kaki Ian yang semakin menjauh dan aroma mint samar yang masih tertinggal di udara. Dia menyentuh bibirnya lagi, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."Dasar menyebalkan," gumamnya, tapi ada senyum kecil yang tak bisa dia tahan. Dia bersandar pada meja guru, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih tidak beraturan.Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang terjatuh dari buku Ian - selembar kertas yang terlipat rapi. Tangannya bergerak mengambil kertas itu. Seharusnya dia tidak membukanya, tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan hal itu.Di dalamnya, ada tulisan tangan yang rapi: "Untuk adikku tersayang, Terima kasih sudah membantu kakak selama ini. Kamu benar - aku harus lebih berani mengungkapkan perasaanku pad
Tanpa pikir panjang, Viera beranjak dari kursinya. Kakinya melangkah cepat menyusuri koridor, mencari sosok Ian yang baru saja menghilang di balik pintu perpustakaan. Ada sesuatu yang mendorongnya - entah keberanian yang tiba-tiba muncul atau rasa frustasi yang sudah mencapai batasnya.Ruang guru. Tentu saja - Ian selalu ke sana setelah jam pelajaran usai. Viera mempercepat langkahnya, jantungnya berdegup kencang bukan hanya karena berlari kecil, tapi juga karena kata-kata yang sudah menumpuk di ujung lidahnya.Ruangan itu sepi ketika dia masuk. Hanya ada Ian yang sedang membereskan berkas-berkasnya. "Ian," panggilnya, suaranya sedikit terengah. "Tentang yang tadi-"Suara langkah kaki di koridor membuat kata-katanya terputus. Tanpa berpikir, tubuhnya bergerak secara naluriah - bersembunyi di bawah meja Ian. Posisi y