"Noona, sebenarnya ada apa?" Zavier bertanya di balik kemudi. Di sampingnya Naya dengan gelisah mencoba menelepon nomor Kayasaka, tapi tidak aktif. Setelah Zavier mengatakan kalau Kayasaka akan mengadakan perjalanan bisnis ke Milan. Entah kenapa Naya panik. Dia teringat kecelakaan pesawat yang menimpa Emilio dalam novel, dan membuatnya lupa ingatan. Naya tak ingin itu semua terjadi pada Kayasaka. Tidak boleh, Naya mohon. "Kenapa dia tidak menjawab!" Naya berteriak frustrasi, Zavier semakin dibuat bingung oleh Noonanya ini. Ada apa? Memangnya kenapa kalau Hyungnya melakukan perjalanan bisnis? "Berapa lama lagi Zaza? Apa bandaranya masih jauh?" "Sebentar lagi. Tapi aku tidak yakin Hyung masih ada di sana." Naya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Masih mencoba menghubungi nomor Kayasaka. Naya rasanya bisa gila kalau terus begini. "Noona kau belum menjawab pertanyaanku. Sebenarnya ada apa?" Naya menoleh pada Zavier yang m
Gumpalan awan kini meluruh menjadi hujan. Seorang wanita dengan susu coklat di tangannya menatap bebas keluar jendela. Naya, wanita yang tadi ke bandara dengan piama pinknya. Kini termenung sendirian di ruang keluarga, menatap taman yang terhalang oleh dinding kaca. "Nyonya, apa anda ingin saya buatkan makan siang?" Bibi Marry bertanya, Naya mengangguk pelan tanpa menoleh. Sedari tadi Naya memang terlihat sendu dan gelisah, berkali-kali mengecek notifikasi di handphone miliknya. Pelayan itu menatap Nyonya rumahnya sebentar. Kemudian memutuskan pergi setelah Zavier yang datang membawa camilan ke ruang keluarga. "Apa Noona masih kesal karena Hyung tetap pergi?" Zavier bertanya, sedari tadi Noonanya itu memang terlihat sedikit murung dan tidak bersemangat. Tepatnya setelah Kayasaka--Hyungnya menyuruhnya untuk mengantarkan Noonanya ini pulang. Karena nyatanya, Hyungnya itu memutuskan untuk tetap pergi ke Milan, karena masalah perusahaan yang mendesak.
Yaya Galak|kau marah?ReadNaya mendelik membaca pesan itu. Marah? Tentu saja, kenapa Kayasaka masih menanyakannya. |Arranaya?ReadAPA!? Naya masih emosi, dia tak akan membalasnya. Lihat saja. |Naya?ReadKayasaka ini benar-benar. Rasakan! Dia baru melihat Naya yang marah kan. Siapa suruh pergi dengan menyebalkan begitu! |Nyonya ElakhsiReadCih! Apa Naya bisa dirayu dengan panggilan itu. Nyonya Elakhsi sudah tak mempan padanya. |Sayang? kau benar-benar |tak akan membalas|pesanku?ReadTunggu, mata Naya membulat sempurna membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya itu, dia tidak salah lihat kan? Naya tidak berhalusinasi kan? Kenapa jantungnya tiba-tiba ... berdebar. Prang!"Noona!? Ada apa?" Naya terkejut, saat Zavier berlari masuk ke kamarnya setelah dia menjatuhkan ponselnya sendiri tanpa sadar.
Naya terdiam di balkon kamarnya sepagi ini. Dia memutar-mutar ponselnya yang rusak dan mati. Sekarang dia jadi benar-benar tak bisa menghubungi Kayasaka. Apalagi, kata Louis waktu itu Kayasaka mungkin akan ada di Milan selama tiga hari. Akhirnya misi ngambeknya benar-benar terlaksana begini. Entah Naya harus senang atau sedih sekarang. "Nyonya?" Naya menoleh saat Bibi Marry memanggilnya. "Ya? Ada apa?" "Ada telepon untuk anda melalui telepon rumah." "Dari siapa? Tidak mungkin dari Kayasaka kan?" Tanyanya kini berdiri. Bibi Marry menggeleng, "yang saya tau itu dari Nona Faniya, mantan sekretaris Tuan."Naya membuka mulut, bergumam tanpa suara. Lalu berterima kasih pada Bibi Marry dan berjalan ke arah interphone di ujung kamar. "Halo, Faniya?" Sapa Naya antusias. "Halo, Arranaya apa saya mengganggu?""Tidak-tidak. Memangnya ada apa? Tumben sekali kau meneleponku. Apa sekarang aku sudah jadi temanmu?" Goda Naya, dia me
"Nyonya! Kenapa basah kuyup begini!?" Wanita paruh baya yang selalu memakai apron coklatnya itu kaget begitu membuka pintu, mendapati Nyonya rumahnya datang dengan penampilan basah kuyup dan menenteng sesuatu di tangannya. "Aku lari dari halte Bibi. Tadi tidak ada taksi jadi aku naik bus untuk pulang." Jawab Naya dengan ringisan pelan, tak merasa bersalah sama sekali. "Kenapa terburu-buru begitu? Nyonya bisa menunggu hujan reda kan? Ayo masuk, saya bantu keringkan."Naya hanya tersenyum melihat Bibi Marry yang heboh karena dirinya. Tadi setelah membeli cup cake dan kue bersama Emilio, Naya memilih pulang dengan bus karena dia tak mau menunggu lebih lama. Dia bahkan menolak tawaran Emilio untuk pulang bersama. Dia tak ingin menyakiti Kayasaka, karena Naya tau seberapa tidak sukanya suaminya itu pada Emilio. Naya juga tak ingin saat Kayasaka pulang nanti, dia tak ada di rumah. Lagi pula, Naya ingin menyiapkan kejutan untuk lelaki itu. "Nyony
Hujan masih setia turun dari langit, bahkan ketika malam dan kegelapannya datang. Wanita yang terbaring di ranjangnya itu mulai membuka mata. Buram. Tapi tak lama pandangannya kembali fokus. Naya tak ingat apapun selain pertengkarannya dengan Kayasaka sore tadi. Tapi sebelum pingsan dan jatuh karena pusing, dia melihat lelaki itu kembali membuka pintu kamarnya. Sekarang dia bisa melihat lengannya yang tertusuk jarum infus. Apa dia demam? Tapi ke mana Kayasaka sekarang? Apa lelaki itu benar-benar pergi? Naya harus mencarinya. Dengan susah payah, Naya mencabut infusannya sendiri. Mencoba turun dari ranjang abu-abu itu. Tapi baru dua langkah, dia hampir jatuh. Untungnya sebuah tangan kekar menahan tubuhnya. Naya mendongak, mendapati Kayasaka di sana, menangkapnya tepat sebelum dia terjatuh ke lantai. "Kau mau ke mana?" Kayasaka bertanya khawatir. Tapi Naya hanya terdiam. Apa lelaki itu sudah tidak marah padanya? Tunggu! Ini benar-
"Serius dia ke sini?" Zavier bertanya pada dirinya sendiri, melihat begitu banyak kerumunan orang yang memenuhi area jalanan luas pada malam hari. Banyak obor dinyalakan untuk penerangan selain lampu-lampu yang ada. Zavier kenal area ini karena dulu ini adalah tempatnya untuk mencari kesenangan dan tempat pelarian pribadinya. Tapi kenapa Emily harus ke sini?"Za!" Zavier menoleh begitu pundaknya ditepuk pelan oleh seseorang dari belakang. "Ke mana aja?" Lanjut orang itu. Zavier merutuk, mengetahui siapa yang menepuk pundaknya. Itu Joendra, cowok berambut pirang terang dengan mata biru. Orang yang sebenarnya cukup dia hindari. "Jadi lo nerima tantangan Gavin?"Gavin? Zavier lelah mendengar nama itu. Dia menundukkan kepalanya. Sudah menduga Joe akan membahas Gavin pada akhirnya. Sudah lama dia mengabaikan pesan yang Gavin--mantan temannya--itu kirimkan. Ajakan untuk balapan itu terang-terangan Zavier abaikan, dan seca
"Queen lo kenal mantan King kita?" Emily terkejut saat salah satu temannya menyenggol lengannya dengan sengaja. Karena dia menatap Zavier di ujung sana dengan intens. Pemuda berdarah korea itu juga terlihat sedang menatapnya, dan sepasang bola mata itu jelas sama-sama terkejut. "Dia King yang selalu disebut Kak Altair itu?" Tanya Emily retoris. Teman-temannya mengangguk tanpa ragu. Ya siapa lagi kalau bukan Zavier? Cuma dia lelaki yang disebut-sebut legenda selanjutnya oleh Kak Altair sebelum pemuda berdarah korea itu memilih mundur dan pergi. "Dia ke sini Queen." Bisik salah satu teman Emily. Gadis itu sudah bersiap mengenai segala kemungkinan soal Zavier yang akan menghampirinya. "Lo kenal Queen, Za?" Emily bisa mendengar teman-teman Zavier bertanya begitu pemuda itu menghampirinya. Sebagian besar dari mereka bahkan ikut mendengar, atau bahkan mungkin semua orang di arena ini ingin mencuri-curi dengar. Karena terlalu penasaran soal interaksi