"Sebenarnya apa yang coba kau buat dengan tangan kecilmu itu?" Kayasaka bertanya setelah Naya kembali sibuk dengan bahan-bahan di depannya. "Kue." Jawab Naya tanpa perlu berpikir. "Tak bisakah meminta Bibi Marry membuatkannya saja?" Naya menoleh, tapi tidak punya waktu untuk berdebat dengan Kayasaka sekarang ini. "Tidak bisa. Aku harus membuatnya sendiri. Ini untuk Zavier. Dia marah padaku karena meninggalkannya di hotel kemarin, apa kau lupa?" Naya sibuk mengatur bahan yang dia perlukan lalu kini mengambil stroberi dari dalam kulkas. "Beli saja apa bedanya?" Naya menghembuskan napas kasar, menatap Kayasaka galak. "Kau ini benar-benar tak punya empati atau tidak mengerti ketulusan sih? Mana ada orang minta maaf dengan tidak niat begitu?" Naya balik marah-marah. Setelah bermanis-manis keduanya kembali berdebat, ya begitulah kehidupan rumah tangga yang mereka jalani. "Kalau begitu biarkan aku saja yang membuatnya, kau? Duduk saja." Naya mengerutkan alis heran, memangnya lel
Zavier menutup laptopnya dengan cepat. Menyusul Emily keluar dari kediaman milik Geraldine Fernandes itu. Jamuannya terlihat kacau, tapi orang-orang di sana masih saja mencoba tersenyum palsu. Mereka bersikap seolah keributan ibu dan anak di keluarga mereka tidak pernah terjadi sebelumnya. Gila! Zavier benar-benar tak habis pikir dengan keluarga konglomerat ini. "Kemana perginya ice princess itu?" Zavier bergumam sendiri setelah keluar dari gerbang. Untungnya tak ada yang mencurigainya karena semua orang sedang sibuk setelah ketegangan tadi. Tak lama mata Zavier menangkap sebuah bayangan yang berlari ke danau di ujung perumahan itu. Danau yang sempat Zavier lewati dan terletak di samping bangunan tua yang menjadi tempatnya menyimpan mobilnya sendiri karena di sana cukup sepi. Dengan langkah yakin, Zavier mendatangi area danau itu. Zavier melihat Emily yang sedang duduk sendirian di tepi danau, belum menyadari kehadirannya. Tak lama m
"Kau mau ke mana?" Tanya Naya heran, melihat Kayasaka yang kembali mengenakan jas biru tua miliknya. Melewati dirinya yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Ke kantor. Tidur saja, jangan menungguku." Jawab Kayasaka terburu-buru. "Tunggu!" Naya menghentikan langkah Kayasaka. Membuat pria berahang tegas itu menoleh heran. "Ada apa?""Bawa ini bersamamu. Kau bisa memakannya nanti." Naya menyelipkan satu lolipop besar di saku jas Kayasaka yang dia ambil dari atas nakas. Tadi Naya memang ingin memakannya namun belum sempat. Dia ingat, kalau Kayasaka sepertinya belum makan apapun dari siang tadi. Setidaknya lolipop ini bisa menjaga gula darahnya. "Permen?" Kayasaka mengangkat alisnya sebelah. Naya mengangguk dua kali, meyakinkan lelaki di hadapannya kalau dia tidak salah lihat. Melihat respons Naya yang lucu, Kayasaka tersenyum. "Terima kasih." Ujarnya tulus, dia tersenyum sembari mengacak rambut Naya pelan. Membuat sang empunya kaget dengan degup jantungnya yang kembali berantakan.
"Noona, sebenarnya ada apa?" Zavier bertanya di balik kemudi. Di sampingnya Naya dengan gelisah mencoba menelepon nomor Kayasaka, tapi tidak aktif. Setelah Zavier mengatakan kalau Kayasaka akan mengadakan perjalanan bisnis ke Milan. Entah kenapa Naya panik. Dia teringat kecelakaan pesawat yang menimpa Emilio dalam novel, dan membuatnya lupa ingatan. Naya tak ingin itu semua terjadi pada Kayasaka. Tidak boleh, Naya mohon. "Kenapa dia tidak menjawab!" Naya berteriak frustrasi, Zavier semakin dibuat bingung oleh Noonanya ini. Ada apa? Memangnya kenapa kalau Hyungnya melakukan perjalanan bisnis? "Berapa lama lagi Zaza? Apa bandaranya masih jauh?" "Sebentar lagi. Tapi aku tidak yakin Hyung masih ada di sana." Naya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Masih mencoba menghubungi nomor Kayasaka. Naya rasanya bisa gila kalau terus begini. "Noona kau belum menjawab pertanyaanku. Sebenarnya ada apa?" Naya menoleh pada Zavier yang m
Gumpalan awan kini meluruh menjadi hujan. Seorang wanita dengan susu coklat di tangannya menatap bebas keluar jendela. Naya, wanita yang tadi ke bandara dengan piama pinknya. Kini termenung sendirian di ruang keluarga, menatap taman yang terhalang oleh dinding kaca. "Nyonya, apa anda ingin saya buatkan makan siang?" Bibi Marry bertanya, Naya mengangguk pelan tanpa menoleh. Sedari tadi Naya memang terlihat sendu dan gelisah, berkali-kali mengecek notifikasi di handphone miliknya. Pelayan itu menatap Nyonya rumahnya sebentar. Kemudian memutuskan pergi setelah Zavier yang datang membawa camilan ke ruang keluarga. "Apa Noona masih kesal karena Hyung tetap pergi?" Zavier bertanya, sedari tadi Noonanya itu memang terlihat sedikit murung dan tidak bersemangat. Tepatnya setelah Kayasaka--Hyungnya menyuruhnya untuk mengantarkan Noonanya ini pulang. Karena nyatanya, Hyungnya itu memutuskan untuk tetap pergi ke Milan, karena masalah perusahaan yang mendesak.
Yaya Galak|kau marah?ReadNaya mendelik membaca pesan itu. Marah? Tentu saja, kenapa Kayasaka masih menanyakannya. |Arranaya?ReadAPA!? Naya masih emosi, dia tak akan membalasnya. Lihat saja. |Naya?ReadKayasaka ini benar-benar. Rasakan! Dia baru melihat Naya yang marah kan. Siapa suruh pergi dengan menyebalkan begitu! |Nyonya ElakhsiReadCih! Apa Naya bisa dirayu dengan panggilan itu. Nyonya Elakhsi sudah tak mempan padanya. |Sayang? kau benar-benar |tak akan membalas|pesanku?ReadTunggu, mata Naya membulat sempurna membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya itu, dia tidak salah lihat kan? Naya tidak berhalusinasi kan? Kenapa jantungnya tiba-tiba ... berdebar. Prang!"Noona!? Ada apa?" Naya terkejut, saat Zavier berlari masuk ke kamarnya setelah dia menjatuhkan ponselnya sendiri tanpa sadar.
Naya terdiam di balkon kamarnya sepagi ini. Dia memutar-mutar ponselnya yang rusak dan mati. Sekarang dia jadi benar-benar tak bisa menghubungi Kayasaka. Apalagi, kata Louis waktu itu Kayasaka mungkin akan ada di Milan selama tiga hari. Akhirnya misi ngambeknya benar-benar terlaksana begini. Entah Naya harus senang atau sedih sekarang. "Nyonya?" Naya menoleh saat Bibi Marry memanggilnya. "Ya? Ada apa?" "Ada telepon untuk anda melalui telepon rumah." "Dari siapa? Tidak mungkin dari Kayasaka kan?" Tanyanya kini berdiri. Bibi Marry menggeleng, "yang saya tau itu dari Nona Faniya, mantan sekretaris Tuan."Naya membuka mulut, bergumam tanpa suara. Lalu berterima kasih pada Bibi Marry dan berjalan ke arah interphone di ujung kamar. "Halo, Faniya?" Sapa Naya antusias. "Halo, Arranaya apa saya mengganggu?""Tidak-tidak. Memangnya ada apa? Tumben sekali kau meneleponku. Apa sekarang aku sudah jadi temanmu?" Goda Naya, dia me
"Nyonya! Kenapa basah kuyup begini!?" Wanita paruh baya yang selalu memakai apron coklatnya itu kaget begitu membuka pintu, mendapati Nyonya rumahnya datang dengan penampilan basah kuyup dan menenteng sesuatu di tangannya. "Aku lari dari halte Bibi. Tadi tidak ada taksi jadi aku naik bus untuk pulang." Jawab Naya dengan ringisan pelan, tak merasa bersalah sama sekali. "Kenapa terburu-buru begitu? Nyonya bisa menunggu hujan reda kan? Ayo masuk, saya bantu keringkan."Naya hanya tersenyum melihat Bibi Marry yang heboh karena dirinya. Tadi setelah membeli cup cake dan kue bersama Emilio, Naya memilih pulang dengan bus karena dia tak mau menunggu lebih lama. Dia bahkan menolak tawaran Emilio untuk pulang bersama. Dia tak ingin menyakiti Kayasaka, karena Naya tau seberapa tidak sukanya suaminya itu pada Emilio. Naya juga tak ingin saat Kayasaka pulang nanti, dia tak ada di rumah. Lagi pula, Naya ingin menyiapkan kejutan untuk lelaki itu. "Nyony
"Noona benar-benar akan pulang?" Tanya Zavier masih tak mengerti. Setelah dia dan Emily saling mengejar di koridor keduanya kembali dengan Naya yang sudah sibuk berkemas. "Hm, iya." Jawab Naya tanpa ragu, dia melirik Kayasaka yang tadi marah karena tak rela ditinggal pergi olehnya. Semua bujuk rayu lelaki itu bahkan tak mempan pada Naya yang tetap ingin pulang. Naya sendiri bersikukuh pulang dan tak bisa tinggal lebih lama di sini, karena bagaimanapun dia tidak mau menghilang tepat di depan orang-orang yang dia sayangi. "Padahal Kakak juga pulang besok 'kan? Kenapa kak Naya tidak menginap saja?" Itu Emily, ikut memerotes keputusan Naya. "Aku harus pulang karena harus menyiapkan sesuatu Lily. Aku ingin menyiapkan untuk menyambut kepulangan kakakmu." Jawab Naya dengan kerlingan jahilnya. Bohong. Naya bahkan tak tau masih bisa melihat Kayasaka hingga besok pagi atau tidak. "Biarkan saja. Kakak iparmu memang keras kepala. Toh besok aku tak akan pulang." Kayasaka berkomentar k
"Jadi apa yang kau inginkan Naya? Misimu sudah berhasil dan Novelnya sudah selesai." Naya yang masih tak percaya ditarik ke dimensi aneh ini hanya diam. Wanita itu belum menjawab apa pun, dia hanya tertunduk sembari mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Di mana dia menghadiri pemakaman Zavier. Iya, Zavier. Tumbal novel ini ternyata bukan Kayasaka tapi Zavier. Malam itu, saat Kayasaka kecelakaan, Naya langsung menghubungi Emily karena Kayasaka membutuhkan donor darah secepatnya. Emily yang sedang bersama Zavier langsung bergegas menuju rumah sakit. Tapi di jalan mereka berdua dijegat oleh orang-orang suruhan Amretha. Orang yang sama yang merusak mobil Kayasaka dan membuatnya kecelakaan. Di tengah kekalutan itu, Zavier tertembak dan motornya kecelakaan tapi Emily selamat. Naya yang was-was karena Emily tak kunjung datang untungnya mendapat bantuan dari Emilio dan Alares yang ternyata mau mendonorkan darahnya untuk Kayasaka. Setelahnya, Emily datang ke rumah sakit dengan ber
Pagi harinya, Naya, Kayasaka, Zavier dan Emily sudah sarapan bersama di meja makan. Setelah pertemuan mengharukan kedua adik kakak itu, semalamam Emily dan Kayasaka bercerita, entah untuk meluruskan kesalahpahaman atau mengenang kebersamaan mereka. Akhirnya, Zavier dan Emily memilih menginap malam itu. Sehingga pagi ini mereka bisa sarapan bersama. Sarapan sederhana yang Naya buat dengan senang hati. "Bagaimana Hyung? Kau bisa cuti satu hari ini 'kan?" Tanya Zavier sebelum menyendokkan penuh sereal coklat ke dalam mulutnya. Pemuda itu sekali lagi membahas rencananya untuk mengajak ketiga orang di sekitarnya ini untuk ke taman hiburan bersama. Katanya, untuk merayakan keutuhan keluarga ini. "Aku bisa, tapi tanya dulu pada Noonamu, apa kondisinya memungkinkan untuk pergi ke taman hiburan. Dia pasti kelelahan karena kegiatan kami malam tadi." Na
Zavier menarik topinya lebih dalam. Masuk ke area kafe yang lumayan ramai siang itu. Setelah suasana hatinya sedikit membaik, pemuda itu memutuskan untuk pergi ke kafe mencari makanan karena di apartemennya tak ada apa-apa selain air dingin.Biasanya, Zavier akan pergi ke mansion Kayasaka dan memakan masakan bibi Marry atau mencoba pasta dan kue buatan Naya. Tapi saat ini dia ingin menikmati kesendiriannya. Zavier sudah tak membenci Kayasaka tapi dia juga masih canggung jika harus langsung bertemu lelaki itu. "Apa yang ingin anda pesan?" Tanya pelayan yang menghampiri Zavier di mejanya. Zavier melihat menu di tangannya, ada deretan makanan yang terlihat enak di sana. Tapi tatapannya terpaku pada pasta yang mengingatkannya pada sosok Emily. Ingatannya menerawang jauh saat dia dan gadis itu tinggal bersama untuk beberapa hari. Zavier ingat pernah mencuri pasta yang dimasak gadis itu, juga mencuri rasa manis dari bibir ra
"Kayasaka," panggil Naya pelan, wanita itu berdiri ketika suaminya baru saja membuka pintu setelah dari ruangan rapat. Naya memang sudah menunggu Kayasaka sedari tadi. Setelah menjamu Emilio dan Alares sebentar, Naya langsung ke sini menemui Kayasaka yang sekali lagi terlihat berantakan. Bagaimana tidak, luka terbesarnya kembali. Siapa yang bisa baik-baik saja? "Aku tidak memintamu ke sini. Kau seharusnya beristirahat saja di rumah." Kayasaka berkata dingin, Naya tersenyum maklum.Dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya, wanita itu menghampiri Kayasaka di kursi kerjanya. Naya berdiri di belakang suaminya itu, memeluk leher Kayasaka dari belakang, lalu mengelus pundak suaminya pelan, sembari menenggelamkan kepalanya di sana. "Yaya kalau marah memang selalu berubah jadi kulkas ya?" Tanya Naya jenaka berusaha mencairkan suasana. Melihat suaminya masih tak merespons membuat Naya semakin ingin berusaha.
Seorang pemuda masih meringkuk dalam selimut. Mengabaikan dering ponselnya. Zavier, pemuda itu bahkan enggan membuka gorden, dia hanya membiarkan dirinya meringkuk dalam gelap. Dia tak ingin menemui siapa pun. Dia tak ingin mendengar apapun. Kepalanya masih berdenyut sakit akibat pengakuan Kayasaka semalam. Fakta gila yang menyangkut orang tuanya juga masih tak bisa dia percaya. Kamarnya ini menjadi saksi betapa kacau dan hancurnya Zavier. Remuk, Zavier benar-benar tak berdaya. Matanya melirik botol wine yang kosong di ujung karpet, setelahnya netranya berpendar menyusuri figura foto yang sudah menjadi kepingan di lantai kamarnya. Semestanya benar-benar sedang berantakan. Begitu juga dengan seisi kamarnya. Drrrrttt ... drrrtttt ....Ponsel Zavier bergetar lagi. Kali ini pemuda itu bergerak melihatnya, dia yakin itu pesan dari Noonanya karena wanita itu memang tak henti-henti meneleponnya d
Naya membuka matanya, tersenyum mendapati Kayasaka masih terlelap sembari memeluknya. Lelaki itu terlihat sangat tampan bahkan saat memejamkan mata. Bulu matanya lentik untuk ukuran seorang pria. Sedangkan itu rahangnya tegas dengan hidung mancung dan alis yang lebat. Naya mencintai pria ini, sangat. Terlepas dari seberapa tampan ia atau sekelam apa masa lalunya. "Misimu ..." "Misimu ... " "Misimu Naya ... " Naya memejamkan matanya. Kepalanya mendadak sakit dan pusing, ditambah suara-suara aneh yang mulai berdengung di telinganya, semacam panggilan peringatan. "Ke sini ... " "Ke sini ... " "Akh!" Naya meringis ketika suara itu seolah menekan kepalanya. Membuat rasa sakit di sana semakin membuatnya merintih. Kayasaka terbangun karena pergerakan tak nyaman dari Naya. Melihat istrinya merintih kesa
"Jadi bagaimana semuanya dimulai?" Tanya Naya penasaran. "Apa kau tau ini tanggal berapa?" tanya Kayasaka balik, membuat Naya meraih ponsel di meja kecil yang ada di depan mereka. Tubuhnya syok kecil, saat ponselnya menunjukkan tanggal 14. "Jadi selama ini ... setiap tanggal 14 kau menyembunyikan ke datangan Amretha Fernandes ke rumah ini dari semua orang?" Kayasaka senang istrinya cepat tanggap, tapi bukan begitu awal mulanya. "Bukan dia. Lebih tepatnya, kedatangan lelaki brengsek yang jadi suaminya. Ayahku." Kening Naya berkedut tak mengerti, Kayasaka melanjutkan, "setiap tanggal 14 ayahku itu selalu datang ke rumah ini untuk memberikan uang supaya aku bisa bertahan hidup. Tapi dari setahun yang lalu dia tak pernah datang dan malah Amretha Fernandes yang selalu datang ke sini mencarinya. Kesimpulan yang bisa aku tarik, lelaki itu menghilang. Walaupun sedikit rumit berhadapan dengan Amretha Fenandes tapi aku bersyukur, aku tak perlu menemui lelaki brengsek itu lagi." Kata
Kayasaka menatap Naya yang tertidur dalam pelukannya. Setelah makan malam, wanita itu terlelap begitu saja sembari terus memeluknya. Kayasaka menarik tangannya perlahan. Turun dari kasur dan menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya. Naya mengulet sebentar sebelum tertidur lagi dengan mencari posisi nyaman yang baru. Kayasaka sendiri memerhatikan itu dan mulai beranjak pergi ke ruang kerjanya sendiri yang ada di sebelah kamar tidur luasnya. Kayasaka merogoh kunci, membuka nakas di bawah meja kerjanya. Lelaki itu mulai mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah dokumen. Dokumen-dokumen yang selama ini dia simpan dengan sangat rapat. Kedatangan Amretha Fernandes memaksanya untuk kembali teringat dokumen-dokumen lama itu. Dokumen yang menjadikan Kayasaka lelaki brengsek yang tak pantas mendapatkan sebuah pengampunan atau kata maaf. Kehidupan normalnya bersama Naya, sering kali membuatnya lupa kalau dia adalah monster penghancur. Monster yang bersedia melakukan apa pun agar am