Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Rita mulai merasa tubuhnya sedikit gerah. Dari pagi, ia belum sempat mengganti pakaiannya, dan rasa tidak nyaman itu mulai mengganggu. Ia memanggil pengawalnya, Deri, yang setia menunggu di luar ruangan.“Deri, tolong ambil koper saya di mobil,” pinta Rita dengan tenang.“Baik, Bu,” jawab Deri singkat, segera bergegas melaksanakan perintahnya.Setelah koper itu sampai, Rita meminta salah seorang suster untuk menjaga Rania selama ia pergi membersihkan diri. Rita masuk ke kamar mandi khusus yang ada di ruangan itu. Usai mandi, ia mengenakan pakaian santai namun tetap elegan—sebuah gaun selutut berwarna krem dengan balutan syal tipis di lehernya. Rambutnya yang sebelumnya diikat rapi kini ia biarkan tergerai, memberikan kesan lebih sederhana namun tetap anggun.Selesai bersiap, Rita kembali duduk di sofa tunggu, memperhatikan ruangan itu yang memang jauh lebih nyaman daripada ruangan rumah sa
Setelah dokter pergi, Rita mendekati Rania yang masih terbaring di ranjang. Senyuman lembut terlukis di wajah Rita, menunjukkan ketulusan yang membuat Rania merasa sedikit lebih nyaman. Ia menarik kursi di sisi ranjang dan duduk, memperhatikan wanita muda itu dengan penuh perhatian.“Bagaimana kabarmu sekarang, sayang?” tanya Rita dengan suara lembut, seperti seorang ibu yang penuh kasih.Rania mengangguk pelan, tersenyum tipis. “Sudah jauh lebih baik, Bu. Terima kasih atas bantuan dan perhatian Ibu. Saya… saya ingin pulang.”“Syukurlah,” jawab Rita. Ia diam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Tapi, apa tidak terlalu cepat kalau kamu ingin pulang? Tubuhmu masih terlihat lemah.”Rania tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. “Saya rindu, Bu. Ibu saya pasti khawatir, dan… anak saya juga menunggu di rumah.”Rita tertegun mendengar itu. Matanya membulat sedikit, mencerminkan ket
Ketika makan malam untuk Rania tiba, Rita menyambut suster yang membawanya dengan senyuman hangat. “Terima kasih banyak, ya,” ujar Rita sambil mengambil nampan berisi makanan bergizi itu. Ia mendekat ke sisi ranjang Rania dengan hati-hati, meletakkan nampan di meja kecil.“Rania, sudah waktunya makan. Kamu butuh tenaga untuk cepat pulih,” kata Rita lembut.Rania menggeleng pelan. “Terima kasih, Bu, tapi saya bisa makan sendiri.”Rita tersenyum, menunjukkan tekadnya. “Oh, tidak. Kamu masih lemah. Biar saya yang membantu.”Awalnya, Rania tetap menolak, namun setelah Rita terus memaksa dengan kelembutan yang sulit ditolak, ia pun menyerah. Dengan canggung, Rania membiarkan wanita itu menyuapinya seperti seorang ibu kepada anaknya.“Saya jadi teringat saat dulu menyuapi anak saya,” ujar Rita, membuka percakapan. “Rasanya seperti ini. Memberi makan dengan penuh kasih sayang.”
Malam semakin larut, namun Rita tidak bisa memejamkan mata. Ia duduk di sofa panjang di sudut kamar, menatap Rania yang mulai terlelap. Pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa sebenarnya Rania dan kenapa ia merasa begitu dekat dengannya.Di luar kamar, pengawal Rita menghampirinya, membawa secangkir teh hangat. “Bu Rita, mungkin Anda perlu istirahat. Sudah terlalu larut,” ujarnya dengan sopan.Rita menggeleng pelan. “Aku tidak bisa tidur. Ada terlalu banyak hal yang harus kupikirkan.”Pengawalnya hanya menunduk hormat, lalu meninggalkan ruangan.Ketika waktu menunjukkan pukul dua dini hari, ponsel Rita bergetar pelan di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Boby, suaminya.Rita, bagaimana kabar di sana? Aku dengar kamu belum pulang. Apa semuanya baik-baik saja?Rita menghela napas, lalu mengetik balasan.Aku menemukan sesuatu yang mungkin akan mengubah hidup kita, Mas. Aku akan jelaska
Mobil SUV putih itu melaju tenang, menyusuri jalanan menuju Lembang. Di dalam kabin yang nyaman, tawa kecil sesekali terdengar dari Rania dan Rita yang bercengkrama sepanjang perjalanan. Suasana hangat itu hampir membuat Rania lupa sejenak tentang penderitaan yang baru saja ia lalui.Ketika mobil akhirnya berhenti di depan halaman rumah sederhana Rania, seketika hatinya membuncah. Ia menatap rumah itu dengan mata berkaca-kaca. Sudah lebih dari seminggu ia terpisah dari tempat itu, dari ibunya, dan dari Bintang.“Saya pulang, Bu Rita,” ucap Rania dengan suara pelan, namun penuh keharuan.Rita tersenyum lembut. “Ayo, Rania. Kita turun. Aku juga ingin sekali bertemu keluargamu.”Rania mengangguk, lalu membuka pintu mobil dengan hati yang penuh harap. Begitu kakinya menyentuh tanah, matanya tidak lepas menatap rumah itu, seperti ingin memastikan kalau semua ini nyata.Dari dalam rumah, terdengar suara langkah tergesa. Pintu depan terbuka lebar, dan sosok Cucu muncul di ambang pintu. Wajah
Setelah Rita berpamitan pulang, Rania membawa dirinya ke kamar. Aroma khas yang menyambutnya begitu menenangkan, seperti pelukan hangat yang sudah lama dirindukannya. Kamar itu sederhana, tapi setiap sudutnya memancarkan cinta dan kenyamanan. Ia berjalan perlahan, lalu duduk di kursi dekat jendela. Pandangannya menembus kaca, melihat bintang-bintang yang berkerlap-kerlip di langit. Di atas ranjang, Bintang sudah terlelap, napas kecilnya terdengar ritmis dan damai.“Terima kasih, ya Allah,” bisik Rania pelan. Hatinya penuh dengan rasa syukur.Tak lama, Cucu masuk ke kamar dengan secangkir wedang jahe hangat di tangannya. Aroma jahe itu segera mengisi ruangan, menciptakan suasana yang semakin nyaman.“Minumlah ini, Nak. Wedang jahe kesukaanmu. Biar tubuhmu hangat,” ujar Cucu lembut sambil menyerahkan cangkir itu kepada Rania.Rania tersenyum kecil, menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Bu.”Cuc
Pagi itu, suasana rumah Rania tampak lebih hidup. Beberapa tetangga terdekat berdatangan membawa buah tangan—berupa makanan, buah, bahkan beberapa perlengkapan kecil untuk membantu Rania selama masa pemulihannya. Aroma teh hangat dan kudapan yang disuguhkan oleh Cucu memenuhi ruang tamu sederhana itu.Citra dan Icha, yang selama ini membantu menjaga Bintang dan menemani Cucu, juga datang dengan senyum cerah. Citra bahkan membawa sup ayam yang baru saja dimasaknya di rumah.“Mbak Rania harus makan ini. Supnya masih hangat,” ujar Citra sambil menyerahkan mangkuk sup kepada Rania.“Terima kasih, Citra,” ucap Rania dengan senyum lembut. “Aku nggak tahu harus bilang apa. Kalian semua terlalu baik.”“Sudahlah, Mbak,” Icha menimpali. “Mbak itu sudah seperti keluarga kami. Tentu kami peduli.”Rania tersenyum haru, menatap satu per satu wajah yang ada di depannya. Ia tidak menyangka bahwa selama ini ia dikelilingi orang-orang yang begitu perhatian.Salah seorang tetangga, Bu Wati, duduk mendek
Pagi itu, suara mesin mobil berhenti di depan halaman rumah Rania. Dari dalam mobil mungil berwarna putih, Bastian keluar dengan senyum percaya diri. Ia melangkah mendekati pintu rumah, di mana Cucu sudah menyambutnya.“Selamat pagi, Bu Cucu,” sapanya sambil membawa kunci mobil di tangannya.“Pagi, Nak Bastian. Wah, mobil siapa itu? Baru, ya?” tanya Cucu penasaran.Bastian hanya tersenyum. “Iya, Bu. Saya mau kasih kejutan kecil buat Rania.”Cucu tersenyum ramah, meski ia tidak sepenuhnya yakin bagaimana Rania akan menerima “kejutan kecil” itu. Ia mempersilakan Bastian masuk, sementara Rania keluar dari kamarnya setelah mendengar suara tamu.“Selamat pagi, Rania,” sapa Bastian, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Pagi, Bastian. Ada apa pagi-pagi begini?” tanya Rania, alisnya sedikit terangkat karena penasaran.Bastian mengeluarkan kunci mobil dari saku dan menyerahkannya kepada Rania. “Ini untukmu. Aku tahu kamu kehilangan mobilmu, jadi aku belikan mobil ini sebagai pengganti.”Rania
Malam menjelang, suasana di kamar Rania terasa begitu hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar di sela-sela lamunannya. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sambil menatap kosong ke arah jendela yang sedikit terbuka. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, mengusap lembut wajahnya yang terlihat sendu.Kehadiran Bastian tadi siang benar-benar mengusik pikirannya. Entah kenapa, ada perasaan yang sulit ia jelaskan setiap kali berhadapan dengan pria itu. Apalagi, saat melihat bagaimana Bastian memandang Bintang—anak yang selama ini ia besarkan sendiri tanpa kehadiran seorang ayah.Satria juga ada di sana. Pria itu seolah tidak pernah menyerah untuk mendekatinya dan berusaha mengambil peran dalam hidupnya dan Bintang. Rania menghela napas berat. Kepalanya semakin penuh dengan berbagai pikiran yang berputar tanpa henti.Tiba-tiba, suara nada dering ponselnya membuyarkan lamunannya. Dengan ragu, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja nakas. Nama Bastian terpampang jel
Hari itu, udara Bandung terasa sejuk dengan semilir angin yang menyusup di sela-sela pepohonan. Di rumah keluarga Rania, suasana terasa hangat. Di ruang makan, meja panjang telah dipenuhi hidangan, tanda mereka bersiap untuk makan siang bersama. Rania duduk bersama kedua orang tuanya, Rita dan Boby, serta ibu angkatnya, Cucu. Satria juga ada di sana, duduk di samping Bintang, sambil bercanda dengan bocah kecil itu.Tawa Bintang mengisi ruangan. Anak itu begitu riang ketika Satria menunjukkan cara membuat origami sederhana dari tisu."Om Satria bisa bikin ini lagi?" tanya Bintang sambil memegang hasil origami berbentuk burung kecil."Tentu, Bintang. Om bisa buat yang lebih bagus lagi kalau kamu mau," jawab Satria sambil tersenyum hangat.Namun, suasana ceria itu tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara bel dari pintu depan. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara."Siapa, ya?" gumam Rita sambil melirik Rania."Aku buka pintu, Ma," ujar Rania sambil beranjak.Saat pintu terbuka, Rani
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela ruang keluarga rumah Rania. Di atas meja, beberapa cangkir teh hangat tersusun rapi, sementara di ruang tamu terdengar tawa renyah Bintang yang sedang bermain di atas karpet bersama mobil-mobilan kecilnya.“Ma, lihat ini!” teriak Bintang sambil menunjukkan mainan barunya yang kemarin ia beli bersama Rania.Sebelum Rania sempat menjawab, suara bel rumah berbunyi.“Sebentar, Bintang,” kata Rania sambil melangkah ke pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pria dengan setelan kasual—kaus putih dan celana jeans—tersenyum hangat. Satria, pria yang belakangan ini sering mampir ke rumah Rania, berdiri dengan sebuah kantong kertas besar di tangannya.“Pagi, Rania. Ini untuk Bintang,” ujarnya sambil menyerahkan kantong itu.Rania melirik kantong tersebut, lalu ke arah Satria dengan ekspresi sedikit bingung. “Kamu nggak perlu repot-repot setiap kali datang, Mas.”Satria hanya tertawa kecil. “Aku nggak merasa repot, kok. Aku senang bisa membawakan sesua
Kepulan asap pesawat terbang tampak membumbung tinggi di udara Bandara Soekarno-Hatta. Maya berdiri di tepi jendela kaca besar di ruang tunggu, memandang ke arah landasan pacu. Matanya kosong, wajahnya lelah, tetapi bibirnya tetap membentuk garis tegas seolah ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Di tangannya, paspor dan tiket penerbangan ke Frankfurt, Jerman, tergenggam erat.Hari ini, segalanya berubah. Perceraian yang baru saja disahkan beberapa minggu lalu telah menghapus statusnya sebagai istri dari Bastian, seorang pengusaha ternama di Jakarta.“Bu Maya, sudah waktunya boarding,” suara sopir pribadinya memecah keheningan.Maya menoleh sekilas. “Kamu pulang saja. Terima kasih sudah mengantarkan,” jawabnya singkat.Pria itu mengangguk hormat sebelum pergi, meninggalkan Maya sendirian.Maya menarik napas panjang dan berjalan menuju gerbang keberangkatan. Sepanjang langkahnya, ingatan tentang rumah megah yang pernah ia tinggali bersama Bastian menghantui pikirannya. Di sana, ia pern
Pagi ini, aroma embun bercampur harum bunga dari taman rumah Rania membuat suasana terasa sejuk. Udara segar Bandung menjadi pelengkap sempurna untuk perjalanan menuju Lembang. Sebuah mobil SUV hitam mewah sudah terparkir rapi di depan rumah, menunggu penumpangnya.Seorang sopir pribadi berdiri di sisi mobil, mengenakan seragam rapi, sementara seorang bodyguard berjaga tidak jauh darinya. Tugas mereka hari ini adalah memastikan perjalanan keluarga Rania berjalan lancar dan aman.Rania muncul dari dalam rumah, mengenakan pakaian kasual tetapi tetap elegan. Rambutnya yang tergerai membuat wajahnya terlihat segar meski kesibukan akhir-akhir ini menguras energinya. Di sampingnya, Bintang berlari kecil dengan semangat khas anak kecil, menggenggam tangan boneka superhero kesayangannya.“Mama, nanti di Lembang kita bisa lihat bunga banyak, kan?” tanya Bintang dengan mata berbinar.“Tentu saja, Sayang,” jawab Rania sambil mengusap kepala p
Siang itu, matahari menyinari gedung perkantoran megah yang menjadi pusat kesibukan Bastian sehari-hari. Di lantai paling atas, ruangan kantor Bastian tampak luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Suasana ruangan beraroma kopi dan kayu cedar, mencerminkan kepribadian Bastian yang tegas dan profesional.Seorang asisten mengetuk pintu sebelum membukanya. “Pak Bastian, ada Bu Ami dan Pak Gery yang ingin bertemu.”Bastian, yang tengah duduk di belakang meja kerjanya, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menatap asistennya dengan ekspresi tenang. “Persilakan mereka masuk.”Beberapa saat kemudian, Ami dan Gery memasuki ruangan. Ami mengenakan gaun pastel elegan, sementara Gery terlihat rapi dalam setelan formal. Mereka memasang senyum ramah, meskipun ketegangan terlihat di mata mereka.“Selamat siang, Mami, Papi,” sapa Bastian sambil berdiri dan menjabat tangan mereka. “Silakan duduk.”“Terima kasih, Nak,” jawab Ami dengan nada lembut, berusaha me
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menerobos masuk melalui jendela besar di ruang makan. Aroma roti panggang yang baru keluar dari oven bercampur dengan wangi kopi hitam yang pekat memenuhi udara, menciptakan suasana nyaman di rumah keluarga Rania.Di meja makan besar, keluarga kecil itu berkumpul. Boby dan Rita duduk di sisi kepala meja, sementara Cucu, ibu angkat Rania, duduk bersebelahan dengan Bintang yang sibuk menyendokkan bubur ke mulut kecilnya. Rania, mengenakan gaun rumah sederhana berwarna pastel, duduk di sisi lain meja, tampak menikmati secangkir teh hangat.“Mama, tolong minta rotinya,” pinta Bintang dengan suaranya yang riang.Rania tersenyum, mengambil sepotong roti panggang dan menyerahkannya ke tangan kecil putranya. “Pelan-pelan makannya, Sayang. Jangan sampai tumpah lagi, ya.”“Iya, Ma,” jawab Bintang dengan pipi yang sudah menggembung karena bubur.Suasana pagi itu begitu hangat, dipenuhi c
Hujan deras mengguyur Bandung sejak semalam, menciptakan suasana dingin dan temaram yang terasa menusuk hingga ke tulang. Di dalam kamar bernuansa krem yang hangat, Rania duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya dengan wajah terkejut. Portal berita yang terpampang di layar menampilkan sebuah judul yang membuat dadanya berdebar."Pebisnis Ternama Bastian Pramudista Akan Ceraikan Istrinya, Maya Kartika!"Rania membaca ulang judul itu, seolah ingin memastikan bahwa matanya tidak salah menangkap kata-kata yang terpampang di sana. Ia menelusuri artikel tersebut, membacanya perlahan dengan alis berkerut.Keputusan itu tak disangka. Bastian, pria yang dulu pernah mengisi ruang hatinya, kini menjadi pusat perhatian publik karena rencana perceraian ini. Nama Maya disebut-sebut terlibat dalam skandal yang mencoreng reputasi keluarga mereka.“Bastian...” bisik Rania lirih, hampir tidak percaya.Ia meletakkan ponselnya di samping, menarik napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Rintik h
Sore ini, Bastian duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi wajah yang gelap. Di atas mejanya, berkas-berkas yang menjadi bukti nyata perselingkuhan Maya dan penyelewengan dana yang dilakukan bersama Ronal terhampar dengan jelas. Semua bukti telah ia kumpulkan, dari laporan transaksi mencurigakan hingga foto-foto dan pesan-pesan pribadi yang tidak dapat disangkal lagi.Bastian mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan amarah yang bergejolak dalam dadanya. Namun, semakin ia melihat bukti-bukti itu, semakin sulit baginya untuk menahan diri. Pernikahan yang ia jaga dengan segala usahanya ternyata dihancurkan begitu saja oleh orang yang seharusnya menjadi pasangannya.“Cukup sudah,” gumamnya, suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan.Ia mengambil tumpukan dokumen itu, lalu melangkah cepat menuju kamar utama. Pintu kamar didorongnya dengan keras, membuat Maya yang sedang duduk di depan cermin berdandan terkejut.“Bastian?” Maya berbalik, menatap suaminya dengan bingung.Bastian tidak