Di ruang pribadi kantor Maya yang dihiasi dengan perabot mewah bernuansa modern, Maya duduk di kursi kulit hitamnya. Tangannya sibuk mengetuk layar ponsel, mencoba menghubungi seseorang. Namun, setiap kali ia mencoba, suara monoton dari operator selalu terdengar: Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.Maya mengernyitkan dahi, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. “Kemana mereka? Kenapa tidak bisa dihubungi?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Ia mencoba lagi, tetapi hasilnya sama. Frustrasi mulai menjalari pikirannya. Sudah dua minggu berlalu sejak ia memerintahkan penyekapan itu. Saking sibuknya dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya, ia hampir lupa. Namun, kini bayangan Rania kembali menghantui benaknya.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan terlebih dahulu. Suara langkah tegas diikuti dengan suara familiar yang menghentikan kegelisahannya.“Ada apa?” tanya Bastian sambil melangkah masuk, alisnya sedikit teran
Lembang, kediaman Rania.Rania berdiri di ambang pintu, menatap mobil city car mungil yang sudah dua hari terparkir rapi di garasi rumahnya. Warnanya yang putih bersih tampak kontras dengan dinding garasi yang mulai memudar. Meski mobil itu tampak baru dan layak digunakan, Rania tidak pernah sekalipun mendekatinya sejak ia memindahkannya dari halaman depan.Pikirannya penuh keraguan. Ia bingung harus bagaimana dengan mobil itu. Rasanya tidak mungkin ia mengembalikannya, tapi menerimanya begitu saja juga terasa salah. Sejak kehadiran mobil itu, setiap kali ia memandangnya, perasaan campur aduk selalu muncul—antara rasa terima kasih dan keengganan untuk menerima sesuatu dari Bastian.Cucu, yang sedang duduk di ruang tengah sambil merajut, memperhatikan putrinya dari kejauhan. Ia tahu apa yang ada di pikiran Rania. Sebagai seorang ibu, ia bisa membaca keresahan itu dari gerak-gerik putrinya yang selalu melamun setiap kali melihat mobil tersebut.&ldquo
Pagi yang cerah di Cimahi seakan menjadi saksi dari momen penting dalam hidup Rita dan Boby. Mereka duduk berdua di hadapan dokter Rini, perasaan campur aduk memenuhi hati mereka. Ketegangan, harapan, dan ketakutan bercampur menjadi satu. Ketika dokter menyerahkan amplop itu, jantung Rita seakan berhenti berdetak sejenak. Tangannya gemetar saat meraih amplop putih yang terasa begitu berat, seolah berisi seluruh jawaban dari pencariannya selama bertahun-tahun.“Silakan dibuka, Bu Rita,” ujar dokter Rini dengan senyum hangat yang berusaha menenangkan.Rita menoleh ke arah Boby yang duduk di sampingnya. Tatapan pria itu penuh dukungan, meski matanya juga tidak mampu menyembunyikan kecemasannya. Dengan napas yang ditahan, Rita membuka amplop itu perlahan, menarik keluar selembar kertas dengan tulisan formal yang memenuhi halaman.Matanya langsung bergerak cepat membaca isi surat itu. Hanya butuh beberapa detik hingga kata-kata "99,99% kecocokan biologis" tertangkap oleh pandangannya. Tang
Setibanya di kota Bandung, Rita meminta sang sopir untuk mampir di salah satu mall besar di sana. Rita memandang megahnya bangunan dengan perasaan penuh semangat. Ia menggenggam tangan Boby erat, lalu melangkah masuk ke dalam mall bersama sang sopir pribadi yang setia mengikuti mereka dari belakang.Tanpa membuang waktu, Rita mengarahkan langkah menuju toko mainan terbesar di mall tersebut. “Mas, lihat boneka itu! Lucu sekali untuk Bintang, ya?” ujarnya sambil menunjuk sebuah boneka beruang besar dengan mata berbinar. Boby hanya tersenyum dan mengangguk, menikmati antusiasme istrinya.Tak hanya boneka, Rita membeli aneka mainan lainnya. Mobil-mobilan, puzzle edukasi, dan balok kayu berwarna-warni. “Bintang pasti suka ini,” kata Rita sambil memeluk satu set mainan dokter-dokteran.Setelah puas di toko mainan, mereka melanjutkan perjalanan ke toko pakaian. Rita memilihkan pakaian-pakaian lucu untuk Bintang, lalu mengambil beberapa setel pakaian hangat dan kasual untuk Rania dan Cucu. “M
Sore itu di Lembang, suasana terasa hangat meski angin sejuk khas pegunungan tetap berhembus lembut. Matahari memancarkan sinar terang, menciptakan kilauan di atas dedaunan yang basah oleh embun pagi. Di depan sebuah rumah sederhana, mobil SUV putih berhenti perlahan. Warna catnya yang masih berkilauan mencerminkan betapa kendaraan itu sangat terawat.Cucu, yang sedang menyapu halaman dengan sapu lidi, menghentikan gerakannya. Matanya sedikit menyipit menatap ke arah mobil yang baru saja berhenti. Ia memperhatikan seorang wanita anggun keluar dari kursi penumpang diikuti oleh seorang pria tegap yang menyusul dari sisi pengemudi.“Bu Rita?” sapa Cucu dengan nada ragu, namun ramah.Rita tersenyum lebar, melangkah mendekati Cucu dengan penuh kehangatan. “Ibu Cucu, apa kabar? Kami datang untuk berkunjung. Maaf mengganggu waktunya.”Cucu tersenyum tulus, sedikit tertegun melihat keduanya datang secara mendadak. “Tidak mengganggu,
Rania masih terpaku, ia membeku. Keningnya mengernyit, sementara Cucu mulai membuang muka. Ia terlihat sangat gelisah.“Apa maksud Ibu?” Rania akhirnya bersuara, suaranya pelan dan terdengar tidak yakin. “Saya tidak mengerti...”Boby, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Rania, atau lebih tepatnya, Clarissa... kami sudah melakukan tes DNA. Hasilnya menunjukkan 99,99% kecocokan. Kamu adalah anak biologis kami.”Cucu menggenggam tangan Rania dengan erat, mencoba menenangkan wanita itu yang kini terlihat gemetar. “Rania... apa yang mereka katakan ini...”Rania berdiri tiba-tiba, wajahnya penuh kebingungan dan emosi. “Ini tidak mungkin... Saya... saya tidak tahu apa yang kalian bicarakan...”“Sayang, kami tahu ini sulit diterima,” ujar Rita, berdiri dan mencoba mendekati Rania. “Tapi kami punya bukti. Semua ini benar. Kamu adalah Clarissa, putri kami yang hilang sejak kecil.”Rania melangkah mundur, air matanya mulai mengalir. “Tidak... ini tidak mungkin... Saya hanya Rania, buk
Di ruang tamu yang sederhana itu, suasana hening kembali menyelimuti setelah momen haru yang baru saja terjadi. Cucu masih duduk menemani Rita dan Boby, sementara Rania memilih masuk ke kamarnya sejenak untuk menenangkan diri.Boby menghela napas panjang, lalu dengan nada rendah penuh rasa hormat, ia membuka percakapan. “Bu Cucu, kami benar-benar berterima kasih atas semua yang Ibu lakukan untuk Clarissa, untuk putri kami. Kalau bukan karena Ibu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Kami sangat bersyukur.”Cucu mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menunduk, lalu dengan suara lirih berkata, “Saya senang Rania akhirnya menemukan kembali keluarga kandungnya. Tapi...” Ia terdiam sejenak, menahan isak yang mulai menyeruak, “saya takut kehilangan dia dan Bintang.”Kata-kata itu membuat hati Rita dan Boby tersentuh. Rita segera menggenggam tangan Cucu, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Bu Cucu, tolong jangan berpikir seperti
Malam yang cerah itu menghadirkan suasana hangat di restoran mewah yang berhiaskan lampu-lampu temaram. Meskipun udara Lembang tetap dingin menusuk, kehangatan keluarga yang kini berkumpul membuat malam itu terasa berbeda.Di meja bundar besar, Rania duduk di samping Cucu, sementara Boby dan Rita duduk berseberangan dengan mereka. Di samping Rania, Bintang tampak asyik dengan mainannya, duduk di kursi khusus bayi yang sengaja disiapkan oleh pihak restoran. Meja mereka dipenuhi berbagai hidangan mewah—dari steak daging sapi premium hingga makanan khas Indonesia yang diolah dengan sentuhan elegan.Rita tersenyum hangat sambil memandang Rania, lalu ia membuka percakapan. “Rania, malam ini kami hanya ingin merayakan momen indah ini. Momen di mana keluarga kita akhirnya bisa berkumpul kembali setelah sekian lama terpisah. Rasanya seperti mimpi.”Rania mengangguk pelan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini. “Terima kasih, Bu... untuk semuanya,” ujarnya dengan nada pela
Malam itu, ruang makan di rumah mewah milik Boby dan Rita dipenuhi suasana hangat. Meja panjang yang dihiasi vas bunga mawar putih di tengahnya terlihat penuh dengan hidangan lezat. Keluarga kecil yang baru saja merasakan kebahagiaan sejati selama beberapa bulan terakhir duduk bersama, menikmati waktu makan malam yang istimewa.Di ujung meja, Bintang, bocah kecil berusia hampir dua tahun, duduk di kursi tinggi miliknya. Wajah mungilnya tampak berseri-seri, matanya berbinar penuh antusias saat menunjuk ke arah sepiring kue cokelat yang baru saja dihidangkan oleh pelayan rumah.“Mau kue itu, Ma!” serunya, suaranya nyaring dan penuh semangat.Rania, yang duduk di sampingnya, tersenyum lembut namun tetap tegas. “Bintang, kita makan nasi dulu, ya. Kalau sudah habis, baru boleh makan kue.”Bintang mengerucutkan bibirnya, tanda ia tidak setuju. “Enggak mau! Kue dulu!”Rita, yang duduk di sisi lain meja, langsung merespons dengan nada penuh kasih. “Biarkan saja, Rania. Oma ambilkan kuenya, ya
Pagi itu, suasana kediaman keluarga Boby terasa berbeda. Sinar matahari menyelinap lembut di antara tirai jendela besar, menyinari seorang wanita muda yang berdiri di depan cermin panjang. Rania tampak luar biasa anggun dalam setelan blazer putih bersih yang dipadukan dengan rok pensil senada. Rambutnya disanggul rapi, memberikan kesan profesional namun tetap bersahaja. Sebuah bros kecil berbentuk bunga tersemat di kerah blazer, menambah sentuhan manis pada penampilannya.“Kamu sudah siap, Sayang?” suara berat namun lembut Boby terdengar dari balik pintu. Pria paruh baya itu melangkah masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya tampak semakin berwibawa. Matanya penuh kebanggaan saat memandang putri semata wayangnya.“Sudah, Pa. Tapi… masih sedikit gugup,” jawab Rania sembari tersenyum tipis. Tangannya sibuk merapikan bros di blazer, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menyeruak.Boby mendekat, menepuk pundak Rania dengan lembut. “Tidak perlu gugup. Kamu pasti bisa. Papa
Hari masih pagi ketika Boby, Rita, dan Rania tiba di Surabaya. Perjalanan ini bukan perjalanan biasa, ada misi besar yang ingin mereka selesaikan. Bersama mereka, hadir seorang pengacara andal yang dipercaya Boby untuk menangani kasus ini dengan cermat.Berkat koneksi Boby, mereka dengan mudah mendapatkan akses untuk berbicara dengan salah satu tahanan—wanita yang menjadi otak di balik penyekapan Rania. Suasana di ruangan khusus tempat pertemuan berlangsung terasa dingin dan penuh ketegangan. Wanita itu duduk di seberang mereka, dengan raut wajah keras yang menggambarkan pengalaman hidup penuh lika-liku.“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” tanya wanita itu, memecah keheningan dengan nada menantang.Boby duduk dengan tenang, memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. “Kami ingin tahu kebenaran. Siapa yang menyuruhmu mencelakai putriku?”Wanita itu mendengus, mengalihkan pandangannya. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Rita menghela napas, mencoba pendekatan yang lebih
Suasana malam itu masih hening. Boby dan Rita masih saling pandang seraya memerhatikan putri mereka yang terlihat banyak menyimpan luka.Rita kemudian meraih tangan Rania, menggenggamnya dengan lembut. “Kami tidak ingin memaksa, sayang. Apa pun keputusanmu, kami akan mendukungmu. Tapi jika suatu saat kamu merasa siap untuk menghadapi Bastian, kami akan ada di sisimu.”Rania menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Ma. Aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan semuanya.”Boby berdiri, berjalan mendekati putrinya. Ia menepuk pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Yang penting kamu bahagia, Rania. Itu yang paling utama.”Malam itu, Rania mencoba merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa menghindari Bastian selamanya bukanlah solusi. Namun, hatinya masih terlalu terluka untuk kembali membuka pintu bagi pria itu. Kini, yang ia butuhkan adalah waktu—waktu untuk menemukan kembali kekuatannya, waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan waktu untuk menentukan langkah berikutnya dalam hidu
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band
Setelah hari-hari penuh pertimbangan dan renungan, Rania akhirnya mantap dengan keputusannya. Pagi ini, ia, Bintang, dan Cucu bersiap meninggalkan rumah kecil mereka di Lembang untuk memulai babak baru di Bandung. Udara pagi Lembang terasa sejuk seperti biasa, namun ada rasa haru yang mengiringi kepergian mereka.Mobil SUV putih yang dikemudikan sopir pribadi Rita sudah menunggu di depan rumah. Tidak banyak barang yang mereka bawa, hanya koper kecil berisi pakaian dan beberapa barang penting. Rita sudah menyiapkan segalanya di rumah baru mereka, memastikan Rania dan Bintang tidak perlu repot membawa banyak hal.Mobil pick up milik Rania pun ikut menanti mereka. Mobil itu sudah penuh dengan barang-barang milik Bintang. Mainan baru yang sangat banyak. Tidak hanya dari nenek dan kakeknya, tapi juga dari Bastian. Awalnya Rita meminta agar barang-barang itu ditinggalkan saja, Rita akan belikan yang baru di Bandung. Namun Rania menolak, ia sudah terbiasa hidup sederhana. Jadi Rania tidak ma