Pagi yang tenang dan Rania terus memacu mobil kecilnya melewati jalanan yang mulai sepi seiring dengan jarak yang kian jauh dari keramaian kota. Ia menikmati perjalanan, ditemani musik lembut yang mengalun dari radio mobil. Tidak ada firasat buruk, tidak ada bayangan bahwa sesuatu akan merusak pagi yang damai itu.
Namun, semuanya berubah ketika ia mendekati tikungan tajam di jalan pedesaan. Dari kejauhan, Rania melihat sesuatu yang membuat hatinya tercekat. Di tengah jalan, seorang wanita terduduk dengan sepeda motor tergeletak di aspal. Di pelukannya, seorang bayi yang tampak berlumuran darah menangis keras.
Naluri kemanusiaan Rania langsung tersentuh. Ia segera menepikan mobilnya, mematikan mesin, dan keluar dengan langkah cepat. “Ibu, Anda baik-baik saja?” tanyanya, setengah berteriak sambil mendekat.
Wanita itu mengangkat wajahnya, mata basah oleh air mata, namun tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya memeluk bayi itu erat-erat, seola
Di dalam kamar mewahnya, Maya sedang duduk santai di sofa dengan segelas anggur di tangannya. Televisi menyala tanpa suara, hanya menjadi latar yang tidak ia pedulikan. Di meja samping, laptop terbuka menampilkan laporan bisnis yang baru saja dikirimkan sekretarisnya. Namun, perhatian Maya tidak ada pada layar itu. Ia sedang menunggu sesuatu, sesuatu yang lebih penting daripada urusan pekerjaan.Sembari menunggu kabar penting itu, Maya memainkan jarinya di atas layar ponselnya. Ia berselancar di dunia maya walau pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Bahkan video lucu yang lewat saja, tidak mampu membuat Maya tersenyum dan bergeming. Wajahnya masih datar sebab pikirannya memang tidak ada di sana saat ini.Ponselnya bergetar. Nama yang sudah ia tunggu-tunggu muncul di layar. Senyum tipis menghiasi wajahnya sebelum ia menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan itu. “Halo?” sapanya dengan nada tenang, tapi penuh dominasi.Suara seorang pria dari ujung telepon terdengar. “Bu Maya, se
Waktu di dinding ruang tamu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Suara detaknya terdengar lebih pelan dari biasanya, seperti memperburuk suasana yang sudah mencekam. Cucu duduk di sofa dengan wajah penuh kekhawatiran, sementara Bintang, yang biasanya ceria, kini tertidur lelap di kamar setelah puas bermain seharian.Namun, hati Cucu sama sekali tidak tenang. Sesekali ia bangkit dari sofa, berjalan ke teras, lalu mengintip ke jalan dengan harapan melihat lampu mobil Rania muncul dari kejauhan. Tetapi, seperti sebelumnya, jalanan tetap lengang.“Rania, kamu di mana sih?” gumam Cucu sambil menghela napas berat. Ia memutuskan untuk mencoba menelepon lagi, tetapi hasilnya tetap sama.Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Kalimat otomatis itu semakin membuat dadanya sesak.Dengan tangan sedikit gemetar, Cucu menekan nomor telepon Rania sekali lagi. Harapan tipis masih ada, tetapi jawaban yang ia dapatkan tetap sama. Ponsel Rania mati.Di sela keheningan malam, suara langkah kaki ter
Empat hari sudah Rania terkurung di dalam ruangan tua itu. Dingin dan pengapnya udara memenuhi setiap sudut, membuat napas Rania terasa berat. Tubuhnya terkulai lemas di atas lantai beralas tikar lusuh yang baunya menyengat. Rambut panjangnya kusut tak terurus, wajahnya pucat dan penuh gurat lelah. Pakaian yang ia kenakan sejak pertama kali diculik kini kotor, kusam, dan berbau.Rania memejamkan matanya, mencoba melupakan kondisi yang menyiksanya. Namun, setiap kali ia menghirup napas, kenyataan pahit itu kembali menyergapnya. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena rasa putus asa yang semakin menggerogoti semangatnya.Di luar ruangan itu, tiga orang penyekap berkumpul di ruang tengah yang sama lusuhnya. Wanita berusia akhir tiga puluhan dengan rambut diikat tinggi—yang dikenal sebagai ketua kelompok—berdiri sambil mondar-mandir. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Dua pria lain duduk di kursi kayu yang sudah reyot, saling bertukar pa
Waktu terus berlalu. Jam pada ponsel Reni menunjukkan pukul dua dini hari. Suasana di rumah tua itu semakin sunyi, hanya diiringi suara jangkrik yang bersahutan di luar jendela. Dua anak buahnya terlelap di ruang tengah, sementara Reni masih terjaga. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—entah firasat buruk atau sekadar keresahan yang tak jelas ujungnya.“Ah, lihat dulu si tawanan,” gumamnya lirih sambil mengusap wajahnya yang kusut. Reni bangkit dari duduknya dengan langkah malas, menyambar senter kecil, lalu berjalan menuju ruangan tempat Rania disekap.Reni membuka pintu perlahan, suara engsel berderit membuat bulu kuduk merinding. Sinar lampu redup menerangi sudut ruangan, dan di sana Rania terkulai di lantai dengan tubuh yang tampak lebih lemah dari sebelumnya. Awalnya, Reni hanya memandang dengan mata menyipit, memastikan bahwa tawanan itu masih bernapas. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika ia menyadari sesuatu—hening yang mematikan.Wajah Rania terlihat pucat pasi. Napas
Malam terus saja larut, namun dibalik kegelisahan Bastian, wajah Rania tiba-tiba muncul di benaknya. Entah mengapa, ia teringat senyum lembut wanita itu. Rania yang sering tampak kuat di luar, namun sebenarnya memiliki hati yang rapuh. Ia menggelengkan kepala, berusaha menepis bayangan itu, tetapi semakin ia menolak, semakin nyata gambaran itu terasa.“Rania...” bisiknya tanpa sadar.Bastian menatap langit malam, seolah mencari jawaban di sana. Ia tahu dirinya tidak seharusnya terlalu memikirkan wanita itu. Ia sudah berusaha menjaga jarak, membatasi segala interaksi demi menghindari komplikasi lebih lanjut. Tetapi malam ini, perasaannya tak bisa dibendung.Ada sesuatu yang salah.Tangannya mengepal di atas lutut. Ia meneguk lagi kopinya hingga nyaris habis, tetapi kehangatan minuman itu pun tidak mampu meredakan hatinya. Pikirannya melayang ke Lembang, ke rumah kecil tempat Rania tinggal bersama ibunya dan putranya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Bastian pada dirinya sendiri.Angin m
Sebuah SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil berhalaman asri milik Rania. Mesin mobil dimatikan, dan seorang pria keluar dari kendaraan itu. Bastian menghela napas panjang, tangannya sedikit gemetar saat mengetuk pintu kayu bercat putih itu dengan lembut.“Assalamualaikum,” ucap Bastian, suaranya terdengar tenang meskipun dadanya terasa berdegup kencang.Tak lama, pintu terbuka, dan Cucu muncul di ambang pintu. Wajah wanita itu tampak berbeda dari biasanya—lelah, dengan kantung mata yang jelas terlihat, seolah tak pernah tidur nyenyak selama beberapa malam. Bastian sedikit terkejut melihat perubahan itu.“Waalaikumsalam, Nak Bastian...” jawab Cucu dengan suara serak. Ia mencoba tersenyum, tetapi tidak mampu menyembunyikan kesedihan di matanya. “Masuklah.”Bastian mengangguk, melangkah masuk dengan rasa penasaran yang mengganggu. Rumah itu terasa sunyi, hanya terdengar suara televisi yang samar dari ruang keluarga. Di atas kasur santai yang terletak di sudut ruang, Bintang b
Rania masih terus berusaha. Keyakinan yang kuat dan rasa rindu yang mendalam pada Bintang memaksanya untuk kuat dan bertahan.“Aku harus... aku harus bangkit,” gumamnya lirih, hampir seperti doa.Matanya mencari sesuatu di sekelilingnya. Samar, ia melihat sebatang kayu tak jauh dari tempatnya terbaring. Dengan sisa tenaga, ia merangkak perlahan, tanah dingin melumuri lengannya. Tangannya akhirnya meraih kayu itu, menggenggamnya erat meskipun jemarinya terasa kaku.Rania menancapkan kayu ke tanah, menjadikannya sebagai penopang. Dengan usaha luar biasa, ia mendorong tubuhnya untuk bangkit. Lututnya gemetar, seolah menolak untuk berdiri, tapi Rania memaksa dirinya tetap tegak. Ia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya.“Aku harus keluar dari sini,” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar.Dengan langkah tertatih, Rania mulai berjalan. Setiap langkah seperti menempuh ribuan kilometer. Kakinya yang lemah nyaris tidak bisa menopang tubuhnya, tetapi pikiranny
Setibanya di rumah sakit terdekat, mobil SUV itu berhenti di depan pintu Instalasi Gawat Darurat (IGD). Petugas rumah sakit yang berjaga segera menghampiri dengan tandu. Tanpa membuang waktu, tubuh lemah Rania dibaringkan di atas tandu, dan petugas medis langsung membawanya masuk ke dalam ruang IGD.Wanita anggun bernama Rita berjalan cepat mengikuti para petugas medis. Wajahnya penuh kecemasan, dan ia terus memastikan bahwa Rania mendapatkan perhatian yang layak. Sesampainya di ruang IGD, Rita berbicara dengan dokter jaga yang menyambut mereka.“Dokter, tolong segera tangani dia. Lakukan apa pun yang diperlukan. Saya tidak peduli berapa biayanya, pastikan dia mendapat perawatan terbaik,” ucap Rita dengan nada tegas namun tetap sopan.Dokter mengangguk. “Baik, Bu. Kami akan segera memeriksa kondisinya.”Rita berdiri di luar ruang IGD, memandang ke dalam melalui kaca kecil di pintu. Ia melihat tim medis sibuk memeriksa kondisi Rania. Beberapa selang dipasang untuk memastikan wanita itu
Di lorong rumah sakit yang terasa begitu dingin, Nora dan Prakas berjalan mendekati Rita dan Boby. Ekspresi wajah mereka menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Sebagai orang tua Bastian, mereka memang harus menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok. Namun, saat ini, hati mereka benar-benar tak tenang melihat kondisi Bintang yang terbaring lemah di ruang IGD.“Rita... Boby...” suara Nora bergetar saat berbicara, matanya yang mulai berkaca-kaca menatap penuh simpati. “Kami sangat prihatin dengan kondisi Bintang. Apa yang sebenarnya terjadi?”Boby menarik napas panjang, seolah berusaha menahan emosinya yang sudah meluap-luap sejak tadi. Sementara itu, Rita hanya mampu mengusap air matanya yang terus mengalir. “Kami masih menunggu hasil lab,” ucapnya dengan suara lirih. “Dokter masih melakukan berbagai pemeriksaan untuk memastikan penyebabnya.”Prakas menatap Rita dan Boby dengan penuh empati. Ia ingin sekali mengatakan bahwa Bintang bukan hanya cucu mereka, tetapi juga cucu kandungnya s
Langit biru cerah menghiasi pagi yang penuh sukacita di rumah Rania. Halaman yang luas telah disulap menjadi arena pesta bertema karakter Tayo, kesukaan Bintang. Balon berwarna biru, kuning, dan merah bergantungan di setiap sudut, sementara panggung kecil dihiasi dengan ilustrasi bus-bus kecil yang tersenyum ceria. Lagu tema Tayo diputar, menciptakan suasana riang di antara anak-anak yang berlarian dengan penuh kegembiraan.“Selamat ulang tahun, Bintang!” teriak para tamu kecil sambil bertepuk tangan. Bintang, dengan baju kaos bergambar Tayo dan celana jeans kecilnya, tertawa senang saat Rania, ibunya, menggendongnya ke atas panggung.Rania menatap putranya dengan penuh kebahagiaan. Setiap detik pertumbuhan Bintang adalah keajaiban baginya. Anak kecil yang ia perjuangkan seorang diri tanpa seorang suami, kini sudah tumbuh besar dan sehat.“Terima kasih sudah datang, semuanya! Hari ini kita merayakan ulang tahun Bintang yang ke-3. Doakan dia tumbuh menjadi anak yang kuat dan bahagia, y
Usai acara ulang tahun, Rania berdiri di sudut ruangan, berbincang santai dengan dua rekannya. Sorot matanya lelah, namun senyumnya tetap terjaga untuk menghormati tamu yang hadir. Tiba-tiba, Nora menghampirinya.“Permisi, Rania,” sapa Nora dengan suara pelan namun penuh ketegasan. “Bisa bicara sebentar?”Rania menoleh, sedikit terkejut melihat Nora berdiri di hadapannya. Ia mengangguk pelan. “Tentu, Bu.”Mereka berjalan ke sudut ruangan yang lebih sepi, menjauh dari keramaian. Lampu redup menciptakan bayangan lembut di dinding, menambah kesan intim pada percakapan mereka.“Ada apa?” tanya Rania, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan.Nora menarik napas panjang sebelum berbicara. “Rania, aku hanya ingin meminta maaf. Aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi aku tak ingin menunda lebih lama. Aku minta maaf jika dulu aku atau keluarga kami pernah menyakitimu.”Rania terdiam
Lampu-lampu kristal berkilauan memantulkan cahaya lembut di seluruh ruangan mewah hotel bintang lima di pusat kota Bandung. Aroma bunga mawar dan lili memenuhi udara, menciptakan suasana elegan yang memanjakan indera. Para tamu berpakaian formal berdatangan, berjalan di atas karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke aula utama. Suara musik orkestra mengalun lembut, menambah kemewahan pesta ulang tahun Rania yang ke-29.Rania berdiri di tengah aula, mengenakan gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Senyumnya memancarkan kehangatan, meski hatinya berdebar karena momen yang penuh makna ini. Di sampingnya, Bintang, putranya yang berusia dua tahun, tampak menggemaskan dalam setelan kecil berwarna putih dengan dasi kupu-kupu hitam. Matanya yang jernih menyorotkan keceriaan polos seorang anak kecil.Boby dan Rita—orang tua kandung Rania—berdiri dengan penuh kebanggaan di sisi mereka. Boby mengenakan setelan jas hitam klasik, sementara Rita tampil angg
Malam itu begitu sunyi di taman belakang rumah megah milik Prakas dan Nora. Lampu-lampu taman yang redup memancarkan cahaya hangat di antara dedaunan yang bergerak pelan tertiup angin malam. Bastian duduk di bangku kayu tua, menatap kosong ke arah kolam kecil yang tenang. Wajahnya tampak lelah, matanya dipenuhi bayang-bayang masa lalu yang sulit dihapus.Tak lama kemudian, Nora datang menghampiri, membawa secangkir kopi panas di tangannya. Ia duduk di samping putranya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya meletakkan kopi di meja kecil di depan mereka. Keheningan menyelimuti sejenak sebelum Nora akhirnya membuka suara dengan lembut.“Kopi hangat selalu bisa menenangkan pikiran yang kacau,” katanya, mencoba mencairkan suasana.Bastian menghela napas, menundukkan kepala. “Terima kasih, Mami,” jawabnya pelan tanpa menyentuh kopi itu.Nora menatap putranya dengan penuh kasih. “Bastian, sudah berapa lama kamu duduk di sini, merenung tanpa arah? Apa kamu pikir dengan begitu semua masalah
Malam menjelang, suasana di kamar Rania terasa begitu hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar di sela-sela lamunannya. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sambil menatap kosong ke arah jendela yang sedikit terbuka. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, mengusap lembut wajahnya yang terlihat sendu.Kehadiran Bastian tadi siang benar-benar mengusik pikirannya. Entah kenapa, ada perasaan yang sulit ia jelaskan setiap kali berhadapan dengan pria itu. Apalagi, saat melihat bagaimana Bastian memandang Bintang—anak yang selama ini ia besarkan sendiri tanpa kehadiran seorang ayah.Satria juga ada di sana. Pria itu seolah tidak pernah menyerah untuk mendekatinya dan berusaha mengambil peran dalam hidupnya dan Bintang. Rania menghela napas berat. Kepalanya semakin penuh dengan berbagai pikiran yang berputar tanpa henti.Tiba-tiba, suara nada dering ponselnya membuyarkan lamunannya. Dengan ragu, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja nakas. Nama Bastian terpampang jel
Hari itu, udara Bandung terasa sejuk dengan semilir angin yang menyusup di sela-sela pepohonan. Di rumah keluarga Rania, suasana terasa hangat. Di ruang makan, meja panjang telah dipenuhi hidangan, tanda mereka bersiap untuk makan siang bersama. Rania duduk bersama kedua orang tuanya, Rita dan Boby, serta ibu angkatnya, Cucu. Satria juga ada di sana, duduk di samping Bintang, sambil bercanda dengan bocah kecil itu.Tawa Bintang mengisi ruangan. Anak itu begitu riang ketika Satria menunjukkan cara membuat origami sederhana dari tisu."Om Satria bisa bikin ini lagi?" tanya Bintang sambil memegang hasil origami berbentuk burung kecil."Tentu, Bintang. Om bisa buat yang lebih bagus lagi kalau kamu mau," jawab Satria sambil tersenyum hangat.Namun, suasana ceria itu tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara bel dari pintu depan. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara."Siapa, ya?" gumam Rita sambil melirik Rania."Aku buka pintu, Ma," ujar Rania sambil beranjak.Saat pintu terbuka, Rani
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela ruang keluarga rumah Rania. Di atas meja, beberapa cangkir teh hangat tersusun rapi, sementara di ruang tamu terdengar tawa renyah Bintang yang sedang bermain di atas karpet bersama mobil-mobilan kecilnya.“Ma, lihat ini!” teriak Bintang sambil menunjukkan mainan barunya yang kemarin ia beli bersama Rania.Sebelum Rania sempat menjawab, suara bel rumah berbunyi.“Sebentar, Bintang,” kata Rania sambil melangkah ke pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pria dengan setelan kasual—kaus putih dan celana jeans—tersenyum hangat. Satria, pria yang belakangan ini sering mampir ke rumah Rania, berdiri dengan sebuah kantong kertas besar di tangannya.“Pagi, Rania. Ini untuk Bintang,” ujarnya sambil menyerahkan kantong itu.Rania melirik kantong tersebut, lalu ke arah Satria dengan ekspresi sedikit bingung. “Kamu nggak perlu repot-repot setiap kali datang, Mas.”Satria hanya tertawa kecil. “Aku nggak merasa repot, kok. Aku senang bisa membawakan sesua
Kepulan asap pesawat terbang tampak membumbung tinggi di udara Bandara Soekarno-Hatta. Maya berdiri di tepi jendela kaca besar di ruang tunggu, memandang ke arah landasan pacu. Matanya kosong, wajahnya lelah, tetapi bibirnya tetap membentuk garis tegas seolah ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Di tangannya, paspor dan tiket penerbangan ke Frankfurt, Jerman, tergenggam erat.Hari ini, segalanya berubah. Perceraian yang baru saja disahkan beberapa minggu lalu telah menghapus statusnya sebagai istri dari Bastian, seorang pengusaha ternama di Jakarta.“Bu Maya, sudah waktunya boarding,” suara sopir pribadinya memecah keheningan.Maya menoleh sekilas. “Kamu pulang saja. Terima kasih sudah mengantarkan,” jawabnya singkat.Pria itu mengangguk hormat sebelum pergi, meninggalkan Maya sendirian.Maya menarik napas panjang dan berjalan menuju gerbang keberangkatan. Sepanjang langkahnya, ingatan tentang rumah megah yang pernah ia tinggali bersama Bastian menghantui pikirannya. Di sana, ia pern