Sebuah SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil berhalaman asri milik Rania. Mesin mobil dimatikan, dan seorang pria keluar dari kendaraan itu. Bastian menghela napas panjang, tangannya sedikit gemetar saat mengetuk pintu kayu bercat putih itu dengan lembut.“Assalamualaikum,” ucap Bastian, suaranya terdengar tenang meskipun dadanya terasa berdegup kencang.Tak lama, pintu terbuka, dan Cucu muncul di ambang pintu. Wajah wanita itu tampak berbeda dari biasanya—lelah, dengan kantung mata yang jelas terlihat, seolah tak pernah tidur nyenyak selama beberapa malam. Bastian sedikit terkejut melihat perubahan itu.“Waalaikumsalam, Nak Bastian...” jawab Cucu dengan suara serak. Ia mencoba tersenyum, tetapi tidak mampu menyembunyikan kesedihan di matanya. “Masuklah.”Bastian mengangguk, melangkah masuk dengan rasa penasaran yang mengganggu. Rumah itu terasa sunyi, hanya terdengar suara televisi yang samar dari ruang keluarga. Di atas kasur santai yang terletak di sudut ruang, Bintang b
Rania masih terus berusaha. Keyakinan yang kuat dan rasa rindu yang mendalam pada Bintang memaksanya untuk kuat dan bertahan.“Aku harus... aku harus bangkit,” gumamnya lirih, hampir seperti doa.Matanya mencari sesuatu di sekelilingnya. Samar, ia melihat sebatang kayu tak jauh dari tempatnya terbaring. Dengan sisa tenaga, ia merangkak perlahan, tanah dingin melumuri lengannya. Tangannya akhirnya meraih kayu itu, menggenggamnya erat meskipun jemarinya terasa kaku.Rania menancapkan kayu ke tanah, menjadikannya sebagai penopang. Dengan usaha luar biasa, ia mendorong tubuhnya untuk bangkit. Lututnya gemetar, seolah menolak untuk berdiri, tapi Rania memaksa dirinya tetap tegak. Ia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya.“Aku harus keluar dari sini,” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar.Dengan langkah tertatih, Rania mulai berjalan. Setiap langkah seperti menempuh ribuan kilometer. Kakinya yang lemah nyaris tidak bisa menopang tubuhnya, tetapi pikiranny
Setibanya di rumah sakit terdekat, mobil SUV itu berhenti di depan pintu Instalasi Gawat Darurat (IGD). Petugas rumah sakit yang berjaga segera menghampiri dengan tandu. Tanpa membuang waktu, tubuh lemah Rania dibaringkan di atas tandu, dan petugas medis langsung membawanya masuk ke dalam ruang IGD.Wanita anggun bernama Rita berjalan cepat mengikuti para petugas medis. Wajahnya penuh kecemasan, dan ia terus memastikan bahwa Rania mendapatkan perhatian yang layak. Sesampainya di ruang IGD, Rita berbicara dengan dokter jaga yang menyambut mereka.“Dokter, tolong segera tangani dia. Lakukan apa pun yang diperlukan. Saya tidak peduli berapa biayanya, pastikan dia mendapat perawatan terbaik,” ucap Rita dengan nada tegas namun tetap sopan.Dokter mengangguk. “Baik, Bu. Kami akan segera memeriksa kondisinya.”Rita berdiri di luar ruang IGD, memandang ke dalam melalui kaca kecil di pintu. Ia melihat tim medis sibuk memeriksa kondisi Rania. Beberapa selang dipasang untuk memastikan wanita itu
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Rita mulai merasa tubuhnya sedikit gerah. Dari pagi, ia belum sempat mengganti pakaiannya, dan rasa tidak nyaman itu mulai mengganggu. Ia memanggil pengawalnya, Deri, yang setia menunggu di luar ruangan.“Deri, tolong ambil koper saya di mobil,” pinta Rita dengan tenang.“Baik, Bu,” jawab Deri singkat, segera bergegas melaksanakan perintahnya.Setelah koper itu sampai, Rita meminta salah seorang suster untuk menjaga Rania selama ia pergi membersihkan diri. Rita masuk ke kamar mandi khusus yang ada di ruangan itu. Usai mandi, ia mengenakan pakaian santai namun tetap elegan—sebuah gaun selutut berwarna krem dengan balutan syal tipis di lehernya. Rambutnya yang sebelumnya diikat rapi kini ia biarkan tergerai, memberikan kesan lebih sederhana namun tetap anggun.Selesai bersiap, Rita kembali duduk di sofa tunggu, memperhatikan ruangan itu yang memang jauh lebih nyaman daripada ruangan rumah sa
Setelah dokter pergi, Rita mendekati Rania yang masih terbaring di ranjang. Senyuman lembut terlukis di wajah Rita, menunjukkan ketulusan yang membuat Rania merasa sedikit lebih nyaman. Ia menarik kursi di sisi ranjang dan duduk, memperhatikan wanita muda itu dengan penuh perhatian.“Bagaimana kabarmu sekarang, sayang?” tanya Rita dengan suara lembut, seperti seorang ibu yang penuh kasih.Rania mengangguk pelan, tersenyum tipis. “Sudah jauh lebih baik, Bu. Terima kasih atas bantuan dan perhatian Ibu. Saya… saya ingin pulang.”“Syukurlah,” jawab Rita. Ia diam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Tapi, apa tidak terlalu cepat kalau kamu ingin pulang? Tubuhmu masih terlihat lemah.”Rania tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. “Saya rindu, Bu. Ibu saya pasti khawatir, dan… anak saya juga menunggu di rumah.”Rita tertegun mendengar itu. Matanya membulat sedikit, mencerminkan ket
Ketika makan malam untuk Rania tiba, Rita menyambut suster yang membawanya dengan senyuman hangat. “Terima kasih banyak, ya,” ujar Rita sambil mengambil nampan berisi makanan bergizi itu. Ia mendekat ke sisi ranjang Rania dengan hati-hati, meletakkan nampan di meja kecil.“Rania, sudah waktunya makan. Kamu butuh tenaga untuk cepat pulih,” kata Rita lembut.Rania menggeleng pelan. “Terima kasih, Bu, tapi saya bisa makan sendiri.”Rita tersenyum, menunjukkan tekadnya. “Oh, tidak. Kamu masih lemah. Biar saya yang membantu.”Awalnya, Rania tetap menolak, namun setelah Rita terus memaksa dengan kelembutan yang sulit ditolak, ia pun menyerah. Dengan canggung, Rania membiarkan wanita itu menyuapinya seperti seorang ibu kepada anaknya.“Saya jadi teringat saat dulu menyuapi anak saya,” ujar Rita, membuka percakapan. “Rasanya seperti ini. Memberi makan dengan penuh kasih sayang.”
Malam semakin larut, namun Rita tidak bisa memejamkan mata. Ia duduk di sofa panjang di sudut kamar, menatap Rania yang mulai terlelap. Pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa sebenarnya Rania dan kenapa ia merasa begitu dekat dengannya.Di luar kamar, pengawal Rita menghampirinya, membawa secangkir teh hangat. “Bu Rita, mungkin Anda perlu istirahat. Sudah terlalu larut,” ujarnya dengan sopan.Rita menggeleng pelan. “Aku tidak bisa tidur. Ada terlalu banyak hal yang harus kupikirkan.”Pengawalnya hanya menunduk hormat, lalu meninggalkan ruangan.Ketika waktu menunjukkan pukul dua dini hari, ponsel Rita bergetar pelan di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Boby, suaminya.Rita, bagaimana kabar di sana? Aku dengar kamu belum pulang. Apa semuanya baik-baik saja?Rita menghela napas, lalu mengetik balasan.Aku menemukan sesuatu yang mungkin akan mengubah hidup kita, Mas. Aku akan jelaska
Mobil SUV putih itu melaju tenang, menyusuri jalanan menuju Lembang. Di dalam kabin yang nyaman, tawa kecil sesekali terdengar dari Rania dan Rita yang bercengkrama sepanjang perjalanan. Suasana hangat itu hampir membuat Rania lupa sejenak tentang penderitaan yang baru saja ia lalui.Ketika mobil akhirnya berhenti di depan halaman rumah sederhana Rania, seketika hatinya membuncah. Ia menatap rumah itu dengan mata berkaca-kaca. Sudah lebih dari seminggu ia terpisah dari tempat itu, dari ibunya, dan dari Bintang.“Saya pulang, Bu Rita,” ucap Rania dengan suara pelan, namun penuh keharuan.Rita tersenyum lembut. “Ayo, Rania. Kita turun. Aku juga ingin sekali bertemu keluargamu.”Rania mengangguk, lalu membuka pintu mobil dengan hati yang penuh harap. Begitu kakinya menyentuh tanah, matanya tidak lepas menatap rumah itu, seperti ingin memastikan kalau semua ini nyata.Dari dalam rumah, terdengar suara langkah tergesa. Pintu depan terbuka lebar, dan sosok Cucu muncul di ambang pintu. Wajah
Hari itu, Rania dan keluarganya sedang bertandang ke Jakarta. Selain rumah mewah di Bandung, Boby memiliki rumah lain di ibu kota. Rumah megah dengan desain modern minimalis itu terletak di kawasan elit Jakarta Selatan. Tak hanya itu, Boby juga memiliki kantor cabang di pusat kota yang menjadi salah satu aset penting dalam jaringan bisnisnya.Pagi itu, keluarga mereka tiba di rumah tersebut. Rita tampak antusias mengenalkan setiap sudut rumah kepada Rania. “Lihat, ini ruang tamu utama. Desainnya memang lebih modern dibandingkan rumah di Bandung. Tapi aku tetap merasa nyaman di sini,” ucapnya sambil tersenyum.Boby menimpali dengan nada bercanda. “Nyaman, karena dekorasinya sesuai selera Mama, kan? Padahal dulu Papa ingin nuansa klasik.”Rania tersenyum mendengar celotehan kedua orang tuanya. Di sela-sela tur kecil itu, ia melihat Bintang berlari-lari kecil mengikuti langkah nenek dan kakeknya. Bocah itu tampak senang dengan lingkungan baru yang penuh kejutan.Setelah makan siang, mere
Malam itu, ruang makan di rumah mewah milik Boby dan Rita dipenuhi suasana hangat. Meja panjang yang dihiasi vas bunga mawar putih di tengahnya terlihat penuh dengan hidangan lezat. Keluarga kecil yang baru saja merasakan kebahagiaan sejati selama beberapa bulan terakhir duduk bersama, menikmati waktu makan malam yang istimewa.Di ujung meja, Bintang, bocah kecil berusia hampir dua tahun, duduk di kursi tinggi miliknya. Wajah mungilnya tampak berseri-seri, matanya berbinar penuh antusias saat menunjuk ke arah sepiring kue cokelat yang baru saja dihidangkan oleh pelayan rumah.“Mau kue itu, Ma!” serunya, suaranya nyaring dan penuh semangat.Rania, yang duduk di sampingnya, tersenyum lembut namun tetap tegas. “Bintang, kita makan nasi dulu, ya. Kalau sudah habis, baru boleh makan kue.”Bintang mengerucutkan bibirnya, tanda ia tidak setuju. “Enggak mau! Kue dulu!”Rita, yang duduk di sisi lain meja, langsung merespons dengan nada penuh kasih. “Biarkan saja, Rania. Oma ambilkan kuenya, ya
Pagi itu, suasana kediaman keluarga Boby terasa berbeda. Sinar matahari menyelinap lembut di antara tirai jendela besar, menyinari seorang wanita muda yang berdiri di depan cermin panjang. Rania tampak luar biasa anggun dalam setelan blazer putih bersih yang dipadukan dengan rok pensil senada. Rambutnya disanggul rapi, memberikan kesan profesional namun tetap bersahaja. Sebuah bros kecil berbentuk bunga tersemat di kerah blazer, menambah sentuhan manis pada penampilannya.“Kamu sudah siap, Sayang?” suara berat namun lembut Boby terdengar dari balik pintu. Pria paruh baya itu melangkah masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya tampak semakin berwibawa. Matanya penuh kebanggaan saat memandang putri semata wayangnya.“Sudah, Pa. Tapi… masih sedikit gugup,” jawab Rania sembari tersenyum tipis. Tangannya sibuk merapikan bros di blazer, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menyeruak.Boby mendekat, menepuk pundak Rania dengan lembut. “Tidak perlu gugup. Kamu pasti bisa. Papa
Hari masih pagi ketika Boby, Rita, dan Rania tiba di Surabaya. Perjalanan ini bukan perjalanan biasa, ada misi besar yang ingin mereka selesaikan. Bersama mereka, hadir seorang pengacara andal yang dipercaya Boby untuk menangani kasus ini dengan cermat.Berkat koneksi Boby, mereka dengan mudah mendapatkan akses untuk berbicara dengan salah satu tahanan—wanita yang menjadi otak di balik penyekapan Rania. Suasana di ruangan khusus tempat pertemuan berlangsung terasa dingin dan penuh ketegangan. Wanita itu duduk di seberang mereka, dengan raut wajah keras yang menggambarkan pengalaman hidup penuh lika-liku.“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” tanya wanita itu, memecah keheningan dengan nada menantang.Boby duduk dengan tenang, memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. “Kami ingin tahu kebenaran. Siapa yang menyuruhmu mencelakai putriku?”Wanita itu mendengus, mengalihkan pandangannya. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Rita menghela napas, mencoba pendekatan yang lebih
Suasana malam itu masih hening. Boby dan Rita masih saling pandang seraya memerhatikan putri mereka yang terlihat banyak menyimpan luka.Rita kemudian meraih tangan Rania, menggenggamnya dengan lembut. “Kami tidak ingin memaksa, sayang. Apa pun keputusanmu, kami akan mendukungmu. Tapi jika suatu saat kamu merasa siap untuk menghadapi Bastian, kami akan ada di sisimu.”Rania menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Ma. Aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan semuanya.”Boby berdiri, berjalan mendekati putrinya. Ia menepuk pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Yang penting kamu bahagia, Rania. Itu yang paling utama.”Malam itu, Rania mencoba merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa menghindari Bastian selamanya bukanlah solusi. Namun, hatinya masih terlalu terluka untuk kembali membuka pintu bagi pria itu. Kini, yang ia butuhkan adalah waktu—waktu untuk menemukan kembali kekuatannya, waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan waktu untuk menentukan langkah berikutnya dalam hidu
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band