Sandy duduk termenung di ruang kerjanya.Sudah 2 bulan, ia tidak mendapatkan kabar dari Eliza. Nomor handphone Eliza juga tidak bisa dihubungi."Eliza, kamu di mana sayang?" Sandy memandang deret nomor ponsel dikontak telpon. Selama 2 bulan ini ia sudah seperti orang gila yang ditinggalkan istri. Makan tidak berselera, pikiran tidak tenang, tidur juga tidak nyenyak. Awalnya ia beranggapan bahwa Eliza memblokir nomor handphonenya karena marah. Namun ternyata tidak. Setelah mencoba menghubungi dengan nomor baru, tetap saja tidak aktif.Sandy membuka setiap pesan yang pernah di kirimkan Eliza. Air matanya tiba-tiba saja menetes ketika membaca pesan terakhir Eliza. [Talak saja Liza, mas. Dengan seperti ini mas terbebas dari tanggung jawab sebagai suami. Liza juga ingin melihat mas bahagia dengan mbak Mirna. Masalah hutang, Liza akan bayar semuanya. Jika tidak bisa mendapatkan uang dari hasil kerja, Liza akan jual organ dalam. Jadi mas tidak perlu cemas.]"Eliza, maafkan mas yang tidak b
Mirna memandang Sandy dengan penuh kemarahan. Selama 2 bulan ini dia selalu bersabar menghadapi perubahan sikap Sandy yang begitu sangat drastis. Namun tidak untuk saat ini. Emosinya memuncak kesabaran habis dan dada terasa panas ketika mendengar Sandy mengungkit masalah istri pertamanya. "Aku menyesal," jawab Sandy dengan suara bergetar. Penyesalan terbesarnya sudah menyia-nyiakan Eliza. Sandy tahu bahwa Eliza tidak memiliki orang tua serta keluarga. Seharusnya ia yang menjadi pelindung untuk Eliza. Namun nyatanya, dia yang sudah menghancurkan hati serta menyakiti wanita tersebut.Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandy."Kau bilang menyesal?" Mirna kembali melayangkan tangannya di wajah Sandy.Namun pria itu tidak memberikan respon apapun. Dia hanya diam seperti orang mati rasa. "Setelah Apa yang kuberikan kepadamu kau mengatakan menyesal?" Mirna naik darah dan mengamuk. Dia menarik rambut Sandy dengan keras. Sejak Eliza pergi, penampilannya tidak serapi yang dulu. Bahk
Eliza masuk ke dalam kamarnya. Betapa terkejut Eliza ketika melihat laptop beserta printer yang tadi dibeli Nathan sudah ada di atas meja belajarnya. Sedangkan barang yang lainnya sudah disusun rapi oleh asisten rumah tangga."Bibi Eli pasti salah letak nih. Bisa jadi masalah besar kalau seperti ini," batin Eliza.Sebelum terjadinya kesalahpahaman maka ia harus meminta bibi Eli untuk memindahkan barang tersebut. Eliza membatalkan niatnya untuk mandi. Dengan cepat dia bergegas keluar dari kamar dan mencari keberadaan Bibi Eli. Namun sayangnya Eliza tidak melihat keberadaan kepala pelayan tersebut. Tatapan mata Eliza tertuju ke arah wanita yang mengenakan blazer hitam. Wanita itu sedang mengelap Vas dengan tinggi sekitar 16 inci dan dihiasi dengan gambar ikan. Dari tempat Eliza berdiri, ia bisa melihat bagaimana wanita itu sangat berhati-hati ketika mengerjakan tugasnya."Mbak Lina, apa ada lihat Bibi Eli?" Akhirnya Eliza bertanya kepada wanita yang sedang membersihkan vas tersebut.
Sore ini hujan turun dengan derasnya. Bagi pengemudi mobi, melintasi jalan yang diturunin hujan deras adalah hal yang menyenangkan. Karena kemacetan lalu lintas sangat berkurang. Jika kondisi jalan seperti ini, hanya sedikit pengemudi motor yang tetap melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan. Namun berbeda dengan Sandy. Ia lebih memilih pulang dengan memakai taksi online. Sedangkan mobil miliknya dibawah pulang oleh Mirna. Sudah 2 Minggu ini hubungannya dengan Mirna semakin memburuk. Mereka begitu sangat jarang berkomunikasi. Jika berangkat dan pulang kerja bersama, tidak ada percakapan sama sekali. Terkadang Mirna memancing nya untuk berbicara, namun Sandy hanya menjawab seperlunya. Sandy tidak berniat pulang ke rumahnya. Pria itu justru datang ke rumah orangtuanya. Dalam beberapa bulan ini ia sangat sibuk sehingga tidak bisa melihat kondisi sang papa. Jika bertanya dengan Wati, wanita itu akan mengatakan baik-baik saja.Sandy masuk ke dalam rumah setelah ART membukakannya pi
"Hus kuda, hus kuda." Eliza berkata sambil menarik baju Nathan. Sedangkan Noah yang berada di atas punggung Daddy, tertawa ngakak. Tangan kecilnya melingkar di leher sang Daddy."Daddy sudah capek nak," kata Nathan sambil merangkak. Pria yang merupakan Presdir di sebuah perusahaan besar di asia tenggara, mau menjadi kuda poni untuk putra kesayangannya. Nathan memakai costum kuda poni berwarna ungu. Sedangkan Noah, terlihat sangat lucu dengan baju Koboy nya. Sejak tadi pria berwajah tampan itu harus bersedia menjadi kuda. Jika Noah di turunkan dari punggungnya, maka bayi tampan itu akan menangis."Noah belum mau turun Daddy," kata Eliza sambil memegang tubuh bayi tersebut agar tidak terjatuh. "Habis satu putaran sudah ya," kata Nathan yang kembali merangkak.Hari ini hari libur, Eliza sengaja menghabiskan waktunya untuk bermain sepuasnya dengan Noah. Begitu juga Nathan, pria itu memanfaatkan hari libur untuk bermain dengan putra kesayangannya.Eliza tertawa setiap kali melihat ekspre
Dengan langkah pelan Sandy masuk ke kamar sang papa. Sebelum Marwan sakit, kamar ini biasa ditempati tamu. Namun sejak Ridwan sakit, Wati memindahkan kamarnya di sini. Kamar yang tidak begitu besar, namun tetap nyaman. Kamar ini juga tertata rapi dan bersih.Begitu masuk ke dalam kamar ia melihat sang papah yang duduk di kursi roda. rambut pria itu belum terlalu banyak ditumbuhi uban, meskipun usianya sudah 55 tahun. "Papa," panggil Sandy.Pria yang sedang duduk termenung sambil memandang ke luar jendela itu tampak terkejut ketika melihat putra bungsunya."Kamu datang ke sini?" Tanya Marwan."Iya pa, beberapa bulan ini aku sangat sibuk dengan proyek pembangunan hotel, jadi tidak sempat melihat papa," kata Sandy sambil menarik kursi plastik dan duduk di sebelah Marwan.Marwan sedikit tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Tidak apa, papa sudah terbiasa sendiri."Hatinya sedih ketika mendengar jawaban dari sang papa. Namun ada sesuatu hal yang membuat Sandy terkejut ketika melihat
Pria yang saat ini datang, seorang pengacara yang dipakai oleh Marwan untuk mengurus perceraiannya bersama dengan Wati. "Papa, apa papa ingin bercerai dengan Mama?" Sandy benar-benar terkejut ketika mendengar percakapan antara Marwan dan juga pengacara. Niatnya datang menemui sang papa untuk curhat, namun mengapa jadi seperti ini. Apa lagi Marwan sudah memutuskan menceraikan mamanya."Mamamu bukanlah wanita yang baik. Semakin lama aku bersamanya maka dosaku akan semakin banyak. Sebagai seorang suami aku harus menanggung dosa yang dilakukan oleh istriku. Karena suami adalah imam. Dan aku tidak mau lagi menanggung dosa yang telah diperbuat oleh wanita itu. Aku tidak ingin menanggung dosa yang dilakukannya hingga sampai akhir usiaku." Marwan berkata sambil mengusap pundak putranya.32 tahun membina rumah tangga, bukanlah waktu yang singkat. Mau seperti apapun sifat buruk istrinya, masih terus di terimanya. Namun mengapa Marwan harus menceraikan Wati disaat ia dalam keadaan lumpuh seper
Sandy duduk termenung sambil memandang sang papa. Ia tidak menduga bahwa permasalahan rumah tangga kedua orangtuanya sudah separah ini. Bahkan rumah tangga yang sudah dibina selama 32 tahun harus berakhir dengan perceraian. "Bagaimana dengan Eliza, apa sudah kembali?" Tanya Marwan dengan senyum mengejek. Sandy menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa meminta Eliza untuk pulang ke Jakarta pa." Sandy menundukkan kepalanya. "Kenapa? Bukankah bonusmu sudah keluar? Kau sudah mengirimkan Eliza uang kan untuk dia bisa pulang lagi ke sini?'Sandy diam sejenak. Dihirupnya udara panjang kemudian menghembuskan secara perlahan-lahan. Dadanya sakit dan juga sesak setiap kali mengingat Mirna yang sudah mengambil uangnya tanpa izin. Karena uang itu Eliza tidak bisa kembali. Lalu bagaimana kondisi Eliza di sana? Sedangkan dia tidak bisa menghubungi Eliza. Kepalanya berdenyut nyeri setiap kali mengingat permasalahan rumah tangganya yang begitu sangat rumit."Ada apa? Apa Eliza tidak mau kembali?"
Wajah Mirna pucat pasih mendengar ancaman dari Eliza. "Kau ingin memeras aku?" Eliza tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Aku gak punya niat mengancam atau memeras, hanya saja aku ingin menyelamatkan mbak Mirna."Anggap saja ini cara Eliza mengambil hak nafkah yang seharusnya di berikan Sandy untuknya, justru di rampas Mirna yang seorang pelakor."Jika aku memberikan uang itu kepadamu, kau akan benar-benar menghapus pesan itu?" Mirna mengeratkan giginya. "Tentu, minum dulu mbak." Eliza kembali menyodorkan Mirna Air mineral. "Mbak Mirna lagi emosi, sebaiknya minum dulu biar ada tenaga untuk marah." Eliza kembali berbicara dengan lembut.Mirna sudah tidak mampu menahan rasa haus. Pada akhirnya ia meminum air yang diberikan Eliza. Setelah Mirna meminum seperempat gelas, Eliza kembali meletakkan gelas ke atas meja. "Aku masih haus." Mirna memprotes."Mbak Mirna baru selesai operasi, jadi belum boleh minum banyak. Nanti setelah kentut baru boleh minum dan makan." Eliza berkata
"Kembalikan anakku." Mirna memandang bayi yang saat ini digendong oleh Eliza."Mbak Mirna, aku itu nggak sejahat kamu. Disaat aku menghubungi mas Sandy, kamu tahu namun sengak tidak memberi tahu dia. Setiap pesan yang aku kirim, kamu selalu baca, kamu tahu seperti apa kondisi anakku, tapi kamu sengaja tidak memberi tahu mas Sandy. Namun, Aku tidak akan tega menyakiti anak bayi seperti ini. Dia anak yang tidak bersalah, dia terlahir tanpa dosa. Apapun yang terjadi di antara kita, aku nggak mau membawa dia ke dalam permasalahan kita." Eliza berkata dengan tenang sambil memandang wajah bayi yang sedang tertidur lelap.Eliza sudah melihat seperti apa Kondisi bayi Mirna. Tidak bisa dibayangkannya seperti apa nanti reaksi Mirna ketika melihat kondisi anak yang begitu sangat dia harapkan.Mirna terdiam tanpa bisa membantah perkataan Eliza. Eliza sengaja mengeluarkan handphone jadul dari dalam saku celana. Ia mulai membaca pesan masuk dari Mirna."[Eliza, aku tahu kamu menghubungi handphone
Setelah tertidur cukup lama, Mirna tersadar dari pingsannya. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah kesunyian. Persalinan yang lebih cepat dari perencanaan, membuat orang tua berserta keluarganya dari kampung belum datang. Sedangkan Sandy, mungkin saja sudah pergi mencari istri pertamanya. Apakah pria itu sama sekali tidak peduli terhadapnya?Lalu bagaimana dengan mama mertua dan juga kedua kakak ipar? Apakah mama mertua yang dulu katanya sangat menyayangi Mirna sekarang sudah tidak peduli?Mirna baru saja bertarung nyawa melahirkan buah cinta mereka, namun mengapa Sandy pergi tanpa menunggu ia terbangun. Apakah Eliza begitu berharga, sedangkan ia tidak? Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar dibenak kepalanya. Namun tidak ada satupun pertanyaan yang mampu dijawabnya.. Pria itu dingin dan tidak peduli terhadap dirinya. Mirna merasakan kakinya yang seperti kesemutan. Bahkan digerakkan pun sulit. Tenggorokannya kering dan sangat haus. Ia ingin minum namun tidak bisa untuk berger
"Bagus, jangan bertahan sama orang yang tidak berhati. Biarkan saja mereka bahagia dengan kehidupannya sendiri. Kita juga bisa bahagia dengan kehidupan kita sendiri." Perkataan Marwan menjadi isyarat bahwa pria itu mendukung semua yang ingin dilakukan oleh Eliza. "Gimana nak lukanya, apa ada yang mengkhawatirkan?" Marwan bertanya sambil memandang luka-luka di wajah Eliza. "Nggak ada yang serius pa, ini hanya luka ringan saja. Sudah nggak sakit juga. "Eliza tersenyum mengusap pipinya. "Seperti ini lukanya kamu bilang nggak apa-apa?" Nathan langsung memotong perkataan Eliza. Eliza yang dipukul, namun dia merasa kesakitan. Apalagi ketika melihat banyak memar serta luka di kening Eliza yang harus mendapatkan jahitan. Eliza terdiam mendengar perkataan dari Nathan. "Papa harap ini yang terakhir kalinya Eliza diperlakukan seperti ini nak." Marwan berkata dengan raut sedih. Sebagai seorang ayah, dia tidak tega melihat kedua anak perempuannya mendekam di penjara. Perbuatan Tia dan juga
Eliza terkejut memandang pria bertubuh tinggi yang berdiri di ambang pintu. "Papa." Pria itu tersenyum hangat memandang Eliza. Rona bahagia terlihat jelas diwajahnya yang tampan."Papa!" Teriak Eliza sambil berlari dan langsung memeluk Marwan. "Iya nak, bagaimana kondisi Eliza?" Marwan tersenyum sambil mengusap kepala Eliza. Di keluarga Sandy hanya pria inilah yang begitu sangat menyayangi Eliza dan juga Ibnu. Suatu hal yang tidak akan pernah dilupakan oleh Eliza. "Liza baik Pak, maafin Liza yang nggak bisa jagain papa sewaktu sedang sakit," sesal Eliza. "Tidak apa-apa nak, papa ngerti kok seperti apa Kondisi Eliza. Bahkan papa selalu berdoa agar Eliza tidak datang ke rumah. Keputusan Eliza untuk pergi sudah sangat tepat." Marwan berkata dengan raut wajah sedih.Marwan tahu Wati akan menjadikan Eliza babu seumur hidup. Karena itu dia tidak mau Eliza menghabiskan masa muda dan masa depannya bersama dengan suami seperti Sandy. Laki-laki yang tidak memiliki prinsip. "Papa sudah seh
"Eliza kenapa tidak cerita sama mami kalau masalahnya seperti ini?" Mawar langsung bertanya setelah perawatan Kiara pergi."Maaf mi," jawab Eliza sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa nggak cerita sama mami?" Mawar memandang Eliza dengan kecewa.Padahal Ia sudah menganggap Eliza sebagai anaknya sendiri. Namun mengapa Eliza tidak mau memberitahukan permasalahan ini kepadanya. Jika seandainya tahu masalah yang dihadapi Eliza, ia akan diselesaikan semuanya. Eliza tidak perlu terluka seperti sekarang. "Maaf mi, niatnya mau selesaikan masalah ini sendiri. Liza ingin menyelesaikan semuanya secara baik-baik. Liza udah nabung uang gaji, agar bisa bayar hutang. Kata ibu Wati, kalau hutang sudah lunas, Liza baru boleh cerai dari Mas Sandy. Liza gak menyangka masalahnya akan jadi seperti ini." Eliza menjelaskan secara singkat. Bagi Mawar, Eliza sangatlah menderita karena mendapat pemukulan hingga seperti ini. Namun bagi Eliza, ini hanya luka kecil. Ibarat kata orang, jika ingin menangkap ika
"Eliza, kamu tidak apa-apa kan?" Mawar tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajahnya. Wanita berwajah cantik itu langsung mengusap wajah Eliza dengan lembut. Jika seandainya Wati beserta kedua anaknya tidak ditahan oleh pihak kepolisian, ketiga wanita itu pasti akan merasakan kekejaman yang dilakukan Mawar. Wanita asal Inggris itu memang tidak pernah melakukan hal yang keji, namun bukan berarti dia tidak pandai membalas perbuatan orang lain hingga 10 kali lipat lebih buruk. "Liza nggak apa-apa Pi, mi." Eliza tersenyum memandang Hermawan dan Mawar."Seperti ini kondisi kamu, masih bilang gak apa-apa?" Nathan berkata dengan marah.Eliza tidak berani memandang Nathan. Sejak tadi pria itu selalu saja mengomelinya hingga telinga Eliza terasa panas. Apa lagi cari Nathan menatapnya, seakan menelannya hidup-hidup."Apa ada luka serius dengan Eliza, Riz?" Mawar bertanya dengan Rizki. Sejak tadi Rizki berdiri di samping dokter yang memeriksa Eliza. Secara tidak langsung ia mengawasi dokt
"Sebentar sus," kata Mawar sambil menghentikan kedua perawat tersebut. "Ada apa Bu?" tanya salah seorang perawat. Mawar mengeluarkan uang 5 juta dari dalam tas nya. "Ini saya ada rezeki untuk kalian berdua." Kedua perawat itu terkejut melihat uang yang diberikan mawar. "Ibu ini uang apa?" Tanya kedua perawat itu secara bersamaan. "Kebetulan ada rezeki, kalian bagi dua," jawab Mawar dengan tersenyum."Tapi sebaiknya tidak usah." Perawat cantik itu menolak uang yang diberikan Mawar. "Tidak boleh menolak rezeki, ini rezeki kalian." Mawar menyodorkan uang ke tangan salah seorang perawat. "Tapi Bu." "Saya tahu kalian itu kerjaannya berat tapi gajinya sedikit. Ini sengaja saya kasih untuk kalian, agar kalian bisa makan enak di akhir bulan." Mawar tersenyum ramah."Ibu baik sekali, terima kasih ya Bu," kata kedua perawat itu dengan sangat bahagia. "Kalau boleh tahu bayi yang lahir cacat itu siapa ya?" Tanya Mawar yang pemasaran."Oh itu Bu, Mas yang duduk di ruang operasi itu. Anak
Tubuhnya lemas seketika. Bahkan kakinya tidak mampu menopang berat badannya sendiri. Pria itu terduduk di lantai dengan wajah yang pucat. "Pak Sandy, Apa Anda baik-baik saja?" tanya Dokter pria tersebut. Sandy diam sambil menggelengkan kepalanya. Jika anaknya sudah dibawa ke ruang bayi terlebih dahulu dan barulah melihatnya, dia pasti akan menuduh pihak rumah sakit telah mengganti anaknya. Namun nyatanya tidak, ia langsung melihat kondisi anaknya yang baru terlahir. Bahkan tubuhnya masih banyak lendir dan juga darah. Ini artinya bayi perempuan yang sedang menangis itu memang benar anaknya. "Pak Sandy, apa anda baik-baik saja?" Dokter itu kembali bertanya karena melihat Sandy yang hanya diam seperti patung. Cukup lama pria itu terdiam dan pada akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibirnya. "Apa anak saya cacat?""Iya Pak," dokter itu menjawab sesuai dengan kondisi sang bayi. Sandy berusaha berdiri, dibantu oleh seorang perawat. Dilihatnya wajah bayi perempuannya yang sangat cantik.