"Daddy!" Panggil Eliza.Nathan yang sedang duduk di sofa menoleh ke arah Eliza yang sedang menggendong Noah. Ia memandang Eliza dan Noah secara bergantian. Tampilan ibu dan anak itu sangat kompak. Bayi tampan Noah memakai jas Romeo Tuxedo berwarna biru pekat lengkap dengan dasi kupu-kupu. Sedangkan Eliza tampak anggun dengan stylish midi dress berwarna biru pekat. Dress panjang selutut dengan pita di bawah dada. Dipadukan sneakers berwarna putih, membuat penampilannya terlihat seperti gadis usia 17 tahun."Daddy, kami sudah siap," kata Eliza dengan gaya khas cerianya. "Kita tunggu Grandma dan Grandpa." Nathan menjawab perkataan Eliza, namun matanya tetap tidak berkedip sama sekali. Malam ini Eliza sungguh sangat cantik. "Oh mami dan papi belum turun ya." Eliza memandang ke sekitarnya. Ternyata bener, Mawar dan Hermawan belum turun ke bawah.Eliza memandang Nathan dengan berpenampilan simpel. Pria itu memakai baju kaos berkerah berwarna putih. Meskipun tampilan Nathan terkesan simpel
Eliza menghubungi nomor ponsel Wati. Dalam hitungan detik panggilan telepon langsung di jawab. "Halo, dimana kau?" Wati langsung menanyakan keberadaan Eliza saat ini. Wanita paruh baya itu kesal terhadap Putranya yang sudah seperti orang gila hanya mencari keberadaan Eliza.Setelah 7 bulan Eliza kembali mendengar suara wanita yang merupakan penyumbang terbesar untuk seluruh luka di hatinya. Wanita yang sudah membuat hatinya babak belur."Aku sudah di jakarta, ma." Eliza masih berbicara dengan sopan seperti biasanya."Tidak usah panggil mama, kau bukan menantuku. Menantu ku hanya Mirna, bahkan sekarang cucuku akan segera lahir. Oh ternyata kau sudah di Jakarta ya? Sejak kapan kau pulang ke jakarta?" Tanya Wati dengan nada sinis.Eliza menarik napas panjang dan kemudian mengeluarkan secara perlahan-lahan. Berbicara dengan Wati, membutuhkan kesabaran ekstra. Untuk sekarang Eliza akan mengalah. Agar masalahnya cepat selesai. "Aku ingin ketemu sama ibu, apa kau ada waktu?" Tanya Eliza.
Sesuai janji Eliza sudah datang ke cafe yang ditentukan oleh Wati. Kafe ini bisa dikatakan cukup sepi. Karena hanya ada dua orang pria yang sedang menikmati kopi. Mungkin saja karena sekarang masih jam kerja. Eliza datang dengan memakai baju lusuh ketika menjadi istri Sandy. Bersyukur baju-baju jelek itu belum dibuang bibi Eli. Tidak ada barang mewah yang melekat di tubuhnya. Penampilannya sama seperti ketika masih menjadi menantu Wati. Jam 11 lewat 15 menit, sosok yang dinantikan pun datang. Wanita bertubuh gendut itu datang bersama dengan kedua anak perempuannya. Wati tersenyum sinis memandang Eliza. Selama beberapa bulan tidak bertemu, ia melihat perubahan menantunya tersebut. Eliza tampak jauh lebih cantik dibandingkan dulu. Wajah putih bersih, kulit terawat, begitu juga dengan rambutnya. Tubuh Eliza juga tidak kerempeng."Dasar wanita murahan. "Wati langsung menampar Eliza dengan keras. Eliza terkejut ketika mendapatkan satu tamparan dari Wati. Namun tetap dia tidak membal
"Kau mendapatkan uang hanya dari jual diri, jadi apa sulit yang mencari uang 200 juta." Wati marah dan kembali memukuli Eliza. "Dasar pelacur, kalau nggak menjual diri dari bagaimana mungkin bisa dapat uang 90 juta dalam waktu 7 bulan." Tina menampar Eliza lebih keras lagi.Eliza tidak terima tuduhan Wati, Ia ingin melawan namun kedua tangannya dipegang oleh Tia. "Kalian sudah melakukan pemerasan. Aku melunasi hutang karena aku ingin bercerai dengan anakmu. Aku sudah tidak ingin lagi menjadi bagian dari keluarga kalian. "Eliza berkata dengan lantang, kemudian dia menangis sejadi-jadinya. Apa yang terjadi terhadap Eliza tentunya menarik simpatik orang-orang. Apalagi saat ini Eliza adalah tim teraniaya. Orang yang ada di sana dengan cepat menarik Wati, Tina dan juga Tina. Hingga Eliza terlepas dari ketiga setan tersebut. "Mbak kamu nggak apa-apa." Eliza tersenyum kecil ketika melihat salah seorang merekam adegan peristiwa tersebut. "Orang ini mama mertua serta kakak-kakak ipar sa
Keributan yang terjadi antara Eliza, mertua beserta kedua kakak iparnya menjadi tontonan. Bukan hanya pengunjung yang masuk ke cafe saja yang menonton adegan perkelahian ini namun juga beberapa orang yang melintas dan melihat ke dalam. "Ternyata perempuan gendut dan jelek itu mertua yang kejam pada," komentar seorang pengunjung sambil menunjuk ke arah Wati. "Iya, itu kakak-kakak ipar yang jahat. Persis ya seperti di sinetron. Kirain yang di sinetron itu cuma rekayasa sutradara aja supaya orang tertarik menonton sinetronnya, eh ternyata kisah yang kayak gini beneran ada di dunia nyata," saut pengunjung yang lain."Saya bukan mertua yang kejam." Wati berkata dengan penuh kemarahan. Ditonton oleh banyak orang, pastinya tidak terima. "Dia bukan adik ipar saya, Saya tidak punya adik ipar seperti dia. Dia berpendidikan rendah dan juga kampungan." Tina mengeluarkan hinaannya. "Benar-benar kakak ipar yang jahat. Dengar aja ngomongnya." Dengan sengaja orang-orang yang datang merekam wajah
Namun tetap saja mereka tidak perduli dengan perkataan Tina dan juga Tia. Mereka terus saja memukul wanita tua itu."Kedua wanita ini selalu memukuli saya menghina saya. "Eliza menangis sambil menunjuk ke arah Tina dan Tia. Kalian boleh lihat." Eliza menaikan dengan bajunya hingga ke atas. Ia menunjukkan bekas luka yang dulu dibuat oleh Tina. "Bahu saya sampai bolong karena dia menendang saya pakai sepatu high heels dengan tinggi 5 cm. Tumit sepatunya menancap di sini. Begitu dia mengangkat kaki, darah segar bercucuran dari luka saya. Mereka tidak kasihan melihat saya yang sudah bersimbah darah. Bahkan mereka tidak mau membawa saya ke dokter agar luka saya di jahit. Mereka hanya menyuruh suami saya menempelkan plester luka. Saya mengeluarkan banyak darah hingga pingsan." Eliza menangis sejadi-jadinya menceritakan bekas luka bolong di bahunya.Wajah Tina pucat mendengar cerita Eliza. Dia benar-benar panik dan tidak menyangka Eliza akan membongkar semuanya di depan umum."Ini luka di k
Wati benar-benar marah dan ingin mengamuk ketika dipaksa naik ke atas mobil pickup. Namun tetap saja wanita bertubuh gendut itu tidak bisa melawan karena kedua tangannya sudah diborgol. Suara sherine yang begitu besar membuat ia menjadi pusat perhatian pengemudi di sepanjang jalan.Wati menyembunyikan wajahnya begitu juga dengan Tia dan juga Tina. Dia tidak ingin ada yang melihatnya.Begitu sampai di kantor polisi ketiga wanita itu menjalani proses interogasi. Di sini tidak ada yang bisa dibantah oleh Wati karena Eliza sudah menunjukkan bukti hasil rekaman di tempat peristiwa. Selain itu bukti bahwa dia telah melakukan pemerasan dengan dalil bunga hutang. "Mama tidak mau jadi narapidana." Wati menangis histeris seakan lupa usia. Wajah wanita tua yang selalu berdandan menor itu sudah babak belur. Maskara nya luntur hingga dibawah matanya menghitam.Begitu juga dengan kedua anak perempuannya. Wajah mereka terlihat menyedihkan. Dengan rambut acak-acakan, dan wajah yang babak belur."Jik
"Kakak-kakak, abang-abang, terima kasih sudah mau membantu." Eliza mengusap air matanya. Dia juga membersihkan bibirnya yang berdarah karena ditampar oleh Wati, Tina dan juga Tia. "Kami senang membantu, Kamu memang harus lepas dari keluarga itu," kata Aksa yang merupakan teman Eliza di kampus.Yang datang ke kafe ini, semaunya teman-teman kuliah Eliza. Karena itu mereka hanya merekam wajah Tia, Tina dan juga Wati. Sesuai permintaan dari Eliza yang tidak ingin wajahnya terekspos. Masalah memukul Wati, Tina dan Tia hingga bapak belur, itu murni karena mereka kesal dan juga marah. Melihat sikap arogan ketiga wanita tersebut. "Terima kasih sekali, Liza benar-benar ucapkan terima kasih. Kalau tidak ada dukungan dari kalian, Liza tidak tahu seperti apa hidup Liza. Mereka pasti akan selalu kekang Liza." Eliza berkata dengan mata berkaca-kaca. Ia sudah menceritakan kisah hidupnya. Teman-teman dikampus juga sudah tahu seperti apa masa lalu Eliza. Karena itu mereka langsung bersedia membant
Setelah tertidur cukup lama, Mirna tersadar dari pingsannya. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah kesunyian. Persalinan yang lebih cepat dari perencanaan, membuat orang tua berserta keluarganya dari kampung belum datang. Sedangkan Sandy, mungkin saja sudah pergi mencari istri pertamanya. Apakah pria itu sama sekali tidak peduli terhadapnya?Lalu bagaimana dengan mama mertua dan juga kedua kakak ipar? Apakah mama mertua yang dulu katanya sangat menyayangi Mirna sekarang sudah tidak peduli?Mirna baru saja bertarung nyawa melahirkan buah cinta mereka, namun mengapa Sandy pergi tanpa menunggu ia terbangun. Apakah Eliza begitu berharga, sedangkan ia tidak? Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar dibenak kepalanya. Namun tidak ada satupun pertanyaan yang mampu dijawabnya.. Pria itu dingin dan tidak peduli terhadap dirinya. Mirna merasakan kakinya yang seperti kesemutan. Bahkan digerakkan pun sulit. Tenggorokannya kering dan sangat haus. Ia ingin minum namun tidak bisa untuk berger
"Bagus, jangan bertahan sama orang yang tidak berhati. Biarkan saja mereka bahagia dengan kehidupannya sendiri. Kita juga bisa bahagia dengan kehidupan kita sendiri." Perkataan Marwan menjadi isyarat bahwa pria itu mendukung semua yang ingin dilakukan oleh Eliza. "Gimana nak lukanya, apa ada yang mengkhawatirkan?" Marwan bertanya sambil memandang luka-luka di wajah Eliza. "Nggak ada yang serius pa, ini hanya luka ringan saja. Sudah nggak sakit juga. "Eliza tersenyum mengusap pipinya. "Seperti ini lukanya kamu bilang nggak apa-apa?" Nathan langsung memotong perkataan Eliza. Eliza yang dipukul, namun dia merasa kesakitan. Apalagi ketika melihat banyak memar serta luka di kening Eliza yang harus mendapatkan jahitan. Eliza terdiam mendengar perkataan dari Nathan. "Papa harap ini yang terakhir kalinya Eliza diperlakukan seperti ini nak." Marwan berkata dengan raut sedih. Sebagai seorang ayah, dia tidak tega melihat kedua anak perempuannya mendekam di penjara. Perbuatan Tia dan juga
Eliza terkejut memandang pria bertubuh tinggi yang berdiri di ambang pintu. "Papa." Pria itu tersenyum hangat memandang Eliza. Rona bahagia terlihat jelas diwajahnya yang tampan."Papa!" Teriak Eliza sambil berlari dan langsung memeluk Marwan. "Iya nak, bagaimana kondisi Eliza?" Marwan tersenyum sambil mengusap kepala Eliza. Di keluarga Sandy hanya pria inilah yang begitu sangat menyayangi Eliza dan juga Ibnu. Suatu hal yang tidak akan pernah dilupakan oleh Eliza. "Liza baik Pak, maafin Liza yang nggak bisa jagain papa sewaktu sedang sakit," sesal Eliza. "Tidak apa-apa nak, papa ngerti kok seperti apa Kondisi Eliza. Bahkan papa selalu berdoa agar Eliza tidak datang ke rumah. Keputusan Eliza untuk pergi sudah sangat tepat." Marwan berkata dengan raut wajah sedih.Marwan tahu Wati akan menjadikan Eliza babu seumur hidup. Karena itu dia tidak mau Eliza menghabiskan masa muda dan masa depannya bersama dengan suami seperti Sandy. Laki-laki yang tidak memiliki prinsip. "Papa sudah seh
"Eliza kenapa tidak cerita sama mami kalau masalahnya seperti ini?" Mawar langsung bertanya setelah perawatan Kiara pergi."Maaf mi," jawab Eliza sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa nggak cerita sama mami?" Mawar memandang Eliza dengan kecewa.Padahal Ia sudah menganggap Eliza sebagai anaknya sendiri. Namun mengapa Eliza tidak mau memberitahukan permasalahan ini kepadanya. Jika seandainya tahu masalah yang dihadapi Eliza, ia akan diselesaikan semuanya. Eliza tidak perlu terluka seperti sekarang. "Maaf mi, niatnya mau selesaikan masalah ini sendiri. Liza ingin menyelesaikan semuanya secara baik-baik. Liza udah nabung uang gaji, agar bisa bayar hutang. Kata ibu Wati, kalau hutang sudah lunas, Liza baru boleh cerai dari Mas Sandy. Liza gak menyangka masalahnya akan jadi seperti ini." Eliza menjelaskan secara singkat. Bagi Mawar, Eliza sangatlah menderita karena mendapat pemukulan hingga seperti ini. Namun bagi Eliza, ini hanya luka kecil. Ibarat kata orang, jika ingin menangkap ika
"Eliza, kamu tidak apa-apa kan?" Mawar tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajahnya. Wanita berwajah cantik itu langsung mengusap wajah Eliza dengan lembut. Jika seandainya Wati beserta kedua anaknya tidak ditahan oleh pihak kepolisian, ketiga wanita itu pasti akan merasakan kekejaman yang dilakukan Mawar. Wanita asal Inggris itu memang tidak pernah melakukan hal yang keji, namun bukan berarti dia tidak pandai membalas perbuatan orang lain hingga 10 kali lipat lebih buruk. "Liza nggak apa-apa Pi, mi." Eliza tersenyum memandang Hermawan dan Mawar."Seperti ini kondisi kamu, masih bilang gak apa-apa?" Nathan berkata dengan marah.Eliza tidak berani memandang Nathan. Sejak tadi pria itu selalu saja mengomelinya hingga telinga Eliza terasa panas. Apa lagi cari Nathan menatapnya, seakan menelannya hidup-hidup."Apa ada luka serius dengan Eliza, Riz?" Mawar bertanya dengan Rizki. Sejak tadi Rizki berdiri di samping dokter yang memeriksa Eliza. Secara tidak langsung ia mengawasi dokt
"Sebentar sus," kata Mawar sambil menghentikan kedua perawat tersebut. "Ada apa Bu?" tanya salah seorang perawat. Mawar mengeluarkan uang 5 juta dari dalam tas nya. "Ini saya ada rezeki untuk kalian berdua." Kedua perawat itu terkejut melihat uang yang diberikan mawar. "Ibu ini uang apa?" Tanya kedua perawat itu secara bersamaan. "Kebetulan ada rezeki, kalian bagi dua," jawab Mawar dengan tersenyum."Tapi sebaiknya tidak usah." Perawat cantik itu menolak uang yang diberikan Mawar. "Tidak boleh menolak rezeki, ini rezeki kalian." Mawar menyodorkan uang ke tangan salah seorang perawat. "Tapi Bu." "Saya tahu kalian itu kerjaannya berat tapi gajinya sedikit. Ini sengaja saya kasih untuk kalian, agar kalian bisa makan enak di akhir bulan." Mawar tersenyum ramah."Ibu baik sekali, terima kasih ya Bu," kata kedua perawat itu dengan sangat bahagia. "Kalau boleh tahu bayi yang lahir cacat itu siapa ya?" Tanya Mawar yang pemasaran."Oh itu Bu, Mas yang duduk di ruang operasi itu. Anak
Tubuhnya lemas seketika. Bahkan kakinya tidak mampu menopang berat badannya sendiri. Pria itu terduduk di lantai dengan wajah yang pucat. "Pak Sandy, Apa Anda baik-baik saja?" tanya Dokter pria tersebut. Sandy diam sambil menggelengkan kepalanya. Jika anaknya sudah dibawa ke ruang bayi terlebih dahulu dan barulah melihatnya, dia pasti akan menuduh pihak rumah sakit telah mengganti anaknya. Namun nyatanya tidak, ia langsung melihat kondisi anaknya yang baru terlahir. Bahkan tubuhnya masih banyak lendir dan juga darah. Ini artinya bayi perempuan yang sedang menangis itu memang benar anaknya. "Pak Sandy, apa anda baik-baik saja?" Dokter itu kembali bertanya karena melihat Sandy yang hanya diam seperti patung. Cukup lama pria itu terdiam dan pada akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibirnya. "Apa anak saya cacat?""Iya Pak," dokter itu menjawab sesuai dengan kondisi sang bayi. Sandy berusaha berdiri, dibantu oleh seorang perawat. Dilihatnya wajah bayi perempuannya yang sangat cantik.
Hermawan yang sedang memimpin rapat menghentikan ucapannya ketika asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan tersebut. Biasanya asisten pribadinya akan melakukan hal tersebut jika ada sesuatu hal yang dianggap darurat. "Maaf Pak, Ibu Mawar ada di ruangan bapak. Beliau mengatakan ada hal buruk yang terjadi terhadap nona Eliza. Ibu Mawar meminta agar anda segera ke ruangan." Pria bertubuh tinggi itu sedikit membungkuk dan berbisik di dekat telinga Hermawan. Jantung Hermawan seakan berhenti berdetak ketika mendengar apa yang dikatakan oleh asisten pribadinya. Setelah diam beberapa detik barulah Hermawan menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya. "Untuk saat ini rapat saya ditunda," Hermawan beranjak dari duduknya dan langsung keluar dari ruangan. Dengan langkah cepat ia langsung berjalan menuju ke ruangannya. Begitu sampai di ruangannya, Hermawan langsung masuk dan melihat Mawar yang sedang menangis. "Mami, ada apa ini?" Hermawan bertanya dengan wajah cemas. "Papi, Eliza."
"Mereka tidak mungkin di penjara, Eliza tidak akan menuntut mama, dan kakak-kakak, aku. Aku sangat tahu seperti apa sifat Eliza." Sandy berkata dengan yakin."Ya kita lihat saja nanti seperti apa perkembangan kasusnya. Oh iya papa lupa memberitahumu kalau papa akan melakukan akad nikah minggu depan di hotel berlian," kata Marwan."Papa tidak sedang bercanda?" Tanya Sandy dengan nada tidak suka. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda."Papa tidak bercanda, kamu silakan datang. Acara akad dimulai jam 09.00 pagi dan dilanjut dengan acara resepsi hingga jam 04.00 sore. Namun jika kamu tidak bisa, ya tidak apa-apa.""Papa, aku lagi pusing jadi jangan bercanda seperti ini." Sandy berulang kali menghirup napas panjang dan kemudian menghembuskan secara berlahan-lahan."Papa tidak bercanda, Kamu boleh datang jika tidak percaya." Marwan berkata dengan serius."Mama sedang mengalami musibah pa, begitu juga dengan kedua anak papa. Apa papa tidak punya hati sedikitpun?" Sandy berkata de