Setelah meninggalkan rumah sakit, Ilona dan Egar kembali ke rumah mereka dengan hati yang masih dipenuhi tanda tanya. Sepanjang perjalanan, Ilona terus memikirkan keadaan Mila. Sesuatu terasa janggal, seolah ada potongan puzzle yang belum mereka temukan.
Saat mereka duduk di ruang tamu, Egar membuka suara. "Ada yang aneh?"
Ilona menghela napas, mengangguk pelan. "Iya. Saat Bu Sari meninggal, saudara-saudaranya tidak ada yang datang, kan? Mereka bilang sibuk, tapi tahu-tahu sekarang mereka merebut semua surat berharga dan emas milik Bu Sari. Sampai membuat Mila kehilangan akal sehat."
Egar mengernyitkan dahi. "Tapi, sebenarnya sulit membuktikan kalau Mila benar-benar mendapatkan wasiat dari Bu Sari. Tidak ada yang pernah melihatnya. Siapa tahu semua ini hanya akal-akalan Mila? Bisa saja, sebenarnya Bu Sari tidak meni
Langit sore yang cerah menemani keluarga kecil itu menikmati hari pertama di rumah baru mereka. Ilona dan Egar duduk santai di ruang keluarga, mengawasi Yumi dan Gana yang sedang asyik bermain, pintu samping terbuka. Aroma rumput segar bercampur dengan hembusan angin yang sejuk membuat suasana terasa begitu nyaman.Namun, ketenangan itu buyar dalam sekejap."Ada kolam renang!" suara kecil Yumi menggema di halaman, penuh antusiasme. Matanya yang berbinar menatap takjub ke arah kolam renang biru yang tampak menggoda di bawah sinar matahari sore.Seketika, kaki mungilnya berlari menuju kolam tanpa sedikitpun rasa takut."Iya, jadi Yumi bisa berenang di rumah sampai puas," jawab Egar sambil tersenyum, tak menyangka bahwa anaknya akan bereaksi seantusias itu.
“Biar aku yang lihat siapa yang datang,” ujar Egar.“Iya.” Ilona menjawab sambil tersenyum, meskipun perasaannya sedikit tidak tenang, karena dia seperti begitu familiar dengan suara itu. Itu terdengar seperti suara sang mertua.“Kamu masih disini?” tanya Egar.“Gak, aku juga akan bawa anak-anak masuk. Bentar lagi mau gelap, ngapain masih disini. Takut Yumi kembali meloncat ke kolam. Lihatlah matanya begitu berbinar melihat air,” kekeh Ilona.“Oke.”Sore itu, langit mulai berubah warna, cahaya keemasan perlahan meredup di balik cakrawala. Ilona menggandeng tangan Yumi dan Gana masuk ke dalam rumah, membiarkan Egar mengecek sesuatu di halaman depan.
“Kau mau kemana?” tanya Nyonya Bira kesal melihat Ilona yang melangkah berjalan menjauh.“Kamar, Ma.” Ilona menjawab pelan.“Dasar orang miskin gak tau adab! Orang tua ada disini dan kau malah mau ke kamar. Tapi, wajar sih kalau seperti ini. Kau tidak memiliki orang orang tua, jadi tidak ada yang mengajarkanmu sopan santun!” ketusnya.“Aku memiliki ibu,” jawab Ilona yang tidak terima ibu yang telah merawatnya sejak kecil dihina seperti itu. Ibunya, meskipun bukan ibu kandung tapi selalu mengajarkannya bagaimana cara bersikap dan berperilaku.“Hanya ibu angkat! Sedangkan ibu kandung? Kau bahkan tidak tahu siapa mereka. Kau pasti anak haram yang dibuang.”Ruangan itu d
Ilona mengelus dadanya, berusaha menenangkan perasaan yang masih sesak. Hatinya perih melihat bagaimana ibu mertuanya memperlakukannya. Entah sampai kapan hubungan mereka akan membaik.Sejak menikah dengan Egar, ia sudah berusaha sebaik mungkin menjadi menantu yang baik, tetapi di mata Nyonya Bira, ia tetaplah orang luar—wanita miskin yang hanya mengincar harta anaknya.Pintu yang baru saja dibanting dengan keras membuat suasana rumah terasa begitu hampa."Suara apa itu?"Suara kecil Yumi terdengar dari lorong. Gadis kecil itu muncul dari kamarnya dengan mata mengantuk, rambutnya sedikit berantakan. Sepertinya dia ketiduran saat bermain."Gak apa-apa, Sayang," kata Ilona cepat, mencoba menenangkan putrinya.
Nyonya Bira masih merasa dadanya sesak saat masuk ke dalam mobilnya. Tangannya mencengkeram kemudi erat, kemarahan masih menggelegak di dadanya. Rasa kesal kepada Egar belumlah hilang."Apa sih hebatnya wanita itu? Hanya karena dia mau menyusui Yumi?" gerutunya kesal.Ia tak habis pikir bagaimana Egar bisa begitu mempertahankan Ilona. Wanita itu bukan siapa-siapa. Ia tak berasal dari keluarga terpandang, tak punya gelar, tak punya harta. Dan sekarang, ia bahkan telah melahirkan anak untuk Egar."Dia mau menyusui Yumi karena dibayar. Kalau gratis, dia pasti tidak akan mau. Wanita itu sangat matre, begitu mendengar ada perjanjian akan dibayar, dia langsung setuju!" tambahnya sinis.“Sulit sekali kalau sudah jatuh cinta dengan orang miskin. Dia tidak membawa keuntunga
Egar duduk di atas pasir lembut dengan Gana dalam gendongannya, sementara pandangannya tertuju pada Ilona dan Yumi yang tertawa bersama di pinggir pantai. Wajah Ilona tampak begitu cerah, diterpa cahaya matahari yang mulai condong ke barat. Yumi berlari-lari kecil, sesekali menengok ke arah Ilona sambil tertawa renyah.Dan jika diperhatikan, wajah Ilona itu hampir mirip dengan Gia, istri pertamanya. Apalagi matanya, jadi tidak heran kalau sekilas melihat Yumi dan Ilona itu mirip, meskipun bukan ibu dan anak kandung.Angin pantai berhembus lembut, membawa aroma laut yang khas. Ombak berkejaran dengan lembut di tepian, menyapu jejak-jejak kaki kecil Yumi yang berlarian di atas pasir.Egar menarik napas panjang, menikmati momen ini. "Gia, lihatlah anak kita. Dia telah bertemu dengan ibu yang baik," bisiknya, matanya me
Angin pantai berhembus lembut, membawa aroma laut yang khas ke dalam paru-paru mereka. Ilona dan Egar duduk berdampingan di atas pasir, menikmati waktu yang seolah berhenti. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan pantulan keemasan di permukaan laut yang seakan membentang tanpa ujung.Ilona menatap suaminya penuh rasa kagum. "Kamu hebat," ucapnya tulus.Dia tahu, perjuangan Egar sampai sejauh ini tidaklah mudah. Dia melepaskan sendok emas dan berjuang mulai dari nol. Berjuang sendiri, tanpa dukungan dari pihak manapun. Namanya masuk daftar hitam saat mau melamar pekerjaan di perusahaan lain. Tapi, dia bisa bangkit.Egar menggeleng, senyum hangat tersungging di bibirnya. "Bukan aku yang hebat, tapi kamu yang kuat. Kamu bertahan dalam keadaan apapun, selalu ada untukku dan anak-anak kita. Kalian yang hebat, karen
Angin pantai berhembus lembut, membawa aroma laut yang khas. Langit mulai berwarna jingga keemasan, menandakan sore yang semakin menua. Ilona masih duduk berdampingan dengan Egar, tangan mereka saling menggenggam, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan.Namun, ketenangan itu terusik oleh suara yang tiba-tiba menyebut namanya."Ilona?"Ilona terkejut. Ia menoleh cepat, matanya membesar saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya."Bu Hikmah?" tanyanya tak percaya.Wanita paruh baya itu tersenyum hangat, matanya berbinar melihat Ilona. Bu Hikmah adalah satu-satunya tetangga yang selalu baik padanya saat ia masih tinggal di rumah ibunya. Ia tidak seperti tetangga lain yang suka membicarakannya, apalagi mempermasalahk
Tangis Anita masih belum sepenuhnya reda. Pelukan Ilona, panggilan “Mama” yang begitu lama ia nantikan, kini benar-benar ia dengar dengan telinganya sendiri. Bukan dalam mimpi, bukan hanya bayangan kosong penuh harap di malam-malam panjang yang sepi. Hari ini, keajaiban itu nyata.“Terima kasih, Nak,” ucap Anita sambil menghapus air matanya, mencoba tersenyum di tengah guncangan emosinya.Ilona tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang ia berikan, namun di balik senyuman itu ada seribu luka yang perlahan mulai terobati. Di belakang mereka, Egar berdiri memperhatikan. Wajahnya penuh rasa lega, dan matanya pun tak mampu menahan bulir air bening yang akhirnya jatuh perlahan di pipinya.Hubungan yang awalnya penuh keraguan, kini mulai merekat, sedikit demi sedikit.Namun suasana penuh haru itu seketika diusik.“Ya ampun, seperti di sinetron saja,” sindir suara yang sangat dikenali. “Padahal hanya kembali ke ibu kota dan bisa balik lagi ke sini, tapi pelukannya seperti orang yang tidak bak
Ruang tamu yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terasa jauh lebih sunyi. Setelah semua percakapan meledak dan terbongkar, yang tersisa hanyalah perasaan-perasaan yang belum terucap. Perasaan tak percaya, penyesalan, dan kegundahan menggantung di udara.Jojo, sopir sekaligus asisten pribadi Anita, kembali memasuki ruangan setelah sibuk berbicara di telepon. Dengan nada sopan dan tenang, ia melapor,"Nyonya, penerbangan jam dua siang ini sudah dikonfirmasi."Anita mengangguk pelan. "Oke. Tapi, kamu disini menjaga Ilona."“Tapi, Nyonya—““Kalau begitu, carikan seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Ilona dan Egar disini,” potong Anita secepatnya.Dia tidak bisa meninggalkan Ilona tanpa penjagaan, dia ingin melindungi anaknya. Apalagi, dia tidak bisa mempercayai mertua Ilona.“Baik, Nyonya,” jawab Jojo patuh dan kembali sibuk dengan ponselnya, mencari seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga majikan baru mereka, Ilona, Egar dan anak-anak mereka. Karena, Jojo harus selalu menda
Ruangan itu hening, tapi ketegangannya terasa seperti bara api yang perlahan membakar udara. Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Bira masih berdiri dengan dada terangkat tinggi, senyuman sinis menghiasi wajahnya.Pandangannya tajam tertuju pada wanita berpenampilan sederhana yang berdiri tak jauh dari Ilona. Wanita itu mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, wajahnya pucat namun menyimpan ketenangan yang misterius."Nyonya? Jadi ini mamanya atau majikannya?" tanya Nyonya Bira dengan nada menyindir, matanya melirik ke arah Ilona yang masih belum berkata apa-apa.“Katanya ibu kandungnya, tapi dipanggil Nyonya.”Senyum liciknya mengembang seiring ia melihat ekspresi kikuk Ilona. Dalam hatinya, Nyonya Bira sudah menyimpulkan semuanya—bahwa kehadiran wanita bernama Anita ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Ilona. Ia percaya bahwa Anita hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang memalukan, seseorang yang tak seharusnya berdiri di rumah keluarga Bira yang terhormat."Ma, tolong...
Udara pagi masih terasa dingin ketika ketegangan di ruang tengah rumah Egar belum juga mereda. Semua orang seakan berjalan di atas pecahan kaca, takut bergerak, takut bicara. Hanya Ilona yang duduk mematung, memeluk Gana dengan tubuh gemetar, seolah berusaha menyerap kekuatan dari anak kecil itu.Kehadiran Anita, ibunya yang telah lama hilang, terasa seperti sebuah keajaiban—tapi juga sebuah pertanyaan besar. Mengapa sekarang? Di saat semua tuduhan, fitnah, dan aib menyelimuti dirinya, mengapa wanita itu datang seakan siap menghadapi badai bersamanya?Namun jawaban Anita atas hinaan Nyonya Bira justru menggetarkan hati.“Mungkin saja.”Itu saja yang ia katakan, pelan, nyaris berbisik. Tapi tidak ada sedikitpun getar ketakutan dalam suaranya. Ia tak menghiraukan cercaan atau tawa sinis dari Nyonya Bira. Fokusnya hanya satu: Ilona. Anak yang telah ia lahirkan, yang kini duduk di hadapannya.“Egar…” panggil Anita lembut, matanya menatap menantunya dengan tegas tapi penuh harap.Egar meng
Matahari belum sepenuhnya meninggi, namun rumah Egar sudah dipenuhi ketegangan. Tangis Ilona masih terdengar lirih, tertahan di balik pelukan anaknya, Gana. Wajahnya sembab, nafasnya tak teratur. Tubuhnya lemas seolah tak punya daya untuk membela diri dari semua tuduhan yang dilontarkan mertuanya, Nyonya Bira.Di sudut ruangan, Yumi memeluk lututnya, bingung dengan keributan yang terjadi. Sementara itu, Egar berdiri kaku, mencoba menahan emosi yang memuncak.“Karena dia nama Mama jadi tercoreng!” bentak Nyonya Bira. “Mama kini diburu wartawan, mereka menunggu di luar rumah, mau konfirmasi apa benar pembunuh ini adalah menantu Mama! Sekarang, apa yang harus Mama jawab, Egar? Haruskah Mama mengakuinya?”Ilona menggigil. Kata "pembunuh" itu seperti pukulan berulang di dadanya. Padahal, ia sendiri baru mengetahui bahwa Romy, mantan suaminya, telah meninggal. Dan sekarang ia yang dituduh sebagai pelakunya.“Mama, Ilona bukan pembunuh! Itu semua fitnah!” Egar akhirnya bersuara lantang.Namu
“Aku bahkan tidak tahu Romy meninggal. Kini, aku yang menjadi sasaran,” gumam Ilona lemah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Egar langsung menghampiri dan memeluknya erat. Ia tahu ini akan menghantam Ilona sangat keras, tapi ia juga tahu mereka bisa melewati ini bersama. Hatinya penuh amarah, tapi juga kesedihan. Ia tahu betul siapa istrinya. Ilona bukan pembunuh. Ia yakin itu.Bulir-bulir bening mengalir di wajah Ilona, menggambarkan betapa luka ini datang terlalu mendadak. Ia tidak pernah menyangka bahwa bayang-bayang masa lalu akan kembali menghantuinya dengan cara seburuk ini.“Romy, juga pasti tidak pernah menuduh kamu melakukan itu. Dia juga pasti sedih dengan semua ini. Dan aku yakin, mengapa hal ini baru sekarang mereka angkat, itu karena Romy telah tiada,” ucap Egar lembut, menghapus jejak airmata yang mengalir di wajah sang istri.“Romy begitu lemah untuk melawan ibunya, dan ibunya selalu memanfaatkan itu.”“Dia bukan lemah, itu karena dia sangat menyayangi ka
“Papa, mau makan lagi,” ujar Yumi membuyarkan lamunan Egar.Egar tersentak dari lamunannya, dia sadar ternyata mereka belum selesai makan. Ketika menatap ke atas meja makan, makanan masih terbuka. Dan belum setengahnya tersentuh.“Oke, Sayang. ayo, papa temani Yumi makan.”Keesokan harinya…Pagi itu rumah Egar kembali dipenuhi kehangatan yang lama terasa hilang. Aroma tumisan buncis dan telur dadar keju memenuhi udara, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Ilona sibuk di dapur, menyusun sarapan di meja makan dengan penuh cinta.Di kursi tinggi mereka, Yumi yang hampir empat tahun sudah duduk manis sambil menggoyang-goyangkan kakinya, Gana juga tampak duduk dengan tenang menunggu makanannya tiba.Egar keluar dari kamar dalam balutan kemeja biru dan celana panjang abu-abu, wajahnya tampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan kembali ke gudang pengelolaan ikan miliknya setelah beberapa hari sibuk mengurus banyak hal.Dia tersenyum melihat Ilona sedang menuangkan te
Ruangan itu hening, hanya terdengar suara detakan jarum jam yang menggantung di dinding dan nafas lirih dari tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang.Egar duduk di tepi tempat tidur dengan wajah penuh kecemasan, memegangi tangan istrinya yang dingin dan tak bergerak. Di sampingnya, dua sosok kecil, Yumi yang hampir empat tahun dan Gana yang masih bayi, merangkak gelisah, ikut merasakan kekhawatiran dari ayah mereka.Ilona masih belum sadar.Egar menatap wajah pucat istrinya. Nafasnya teratur, tapi ringan, seolah tubuh itu kehilangan daya hidupnya untuk sejenak. Hatinya remuk melihat Ilona seperti ini. Ia hampir saja membawanya ke rumah sakit, jika lima menit lagi tak ada tanda-tanda kesadaran. Khawatir terjadi sesuatu kepada Ilona.“Bangunlah, Ilona…” bisiknya lirih, nyaris putus harapan.Seolah mendengar suara itu dari dalam tidur yang dalam, kelopak mata Ilona perlahan terbuka. Dia mengerjap pelan, bingung, sebelum tangan kirinya naik ke kening, meraba rasa sakit yang menghantam
“Ilona...” panggil Egar lembut sambil menepuk pipi istrinya yang masih terpejam, pucat dan tak bergerak.Namun, tidak ada jawaban. Ilona tetap diam, napasnya pelan dan wajahnya dingin. Wajah Egar menegang, panik mulai merayapi dadanya.Ia segera mengangkat tubuh Ilona, membawanya ke kamar dengan hati-hati. Di belakangnya, Yumi yang memegangi bonekanya berlari kecil mengikuti langkah ayahnya, disusul oleh Gana merangkak karena tidak ada yang menggendongnya, dan terakhir, Nyonya Bira yang masih membawa bara amarah di wajahnya.Egar membaringkan tubuh Ilona di pembaringan. Ia duduk di sisi ranjang, mengusap dahi istrinya yang dingin, penuh keringat. Yumi berdiri di sisi lain sambil menggenggam tangan Ilona yang lemas.“Mama…” panggil Yumi lemb