Mila duduk di sudut ruangan yang gelap, lututnya ditarik hingga menyentuh dadanya. Tatapannya kosong, bibirnya terus bergetar seolah menggumam sesuatu yang tak bisa dipahami siapa pun. Ilona menatapnya dengan perasaan campur aduk—sedih, kasihan, dan juga heran.
"Sayang, kita bawa ke rumah sakit aja," ujar Egar pelan, suaranya penuh keprihatinan.
Ilona menoleh ke arah suaminya, kemudian kembali memandang Mila. Meski kondisinya sudah separah ini, Mila tetap saja membencinya. Ia bahkan langsung mengusir Ilona begitu mengenalinya. Padahal, tidak ada lagi orang yang peduli padanya selain Ilona sendiri.
Semua tetangga sudah kewalahan menghadapinya, menurut tetangga, Mila bukan hanya berdiam diri di dalam rumah. Dia mengganggu tetangga, berteriak-teriak di halaman.
"Sehar
Setelah meninggalkan rumah sakit, Ilona dan Egar kembali ke rumah mereka dengan hati yang masih dipenuhi tanda tanya. Sepanjang perjalanan, Ilona terus memikirkan keadaan Mila. Sesuatu terasa janggal, seolah ada potongan puzzle yang belum mereka temukan.Saat mereka duduk di ruang tamu, Egar membuka suara. "Ada yang aneh?"Ilona menghela napas, mengangguk pelan. "Iya. Saat Bu Sari meninggal, saudara-saudaranya tidak ada yang datang, kan? Mereka bilang sibuk, tapi tahu-tahu sekarang mereka merebut semua surat berharga dan emas milik Bu Sari. Sampai membuat Mila kehilangan akal sehat."Egar mengernyitkan dahi. "Tapi, sebenarnya sulit membuktikan kalau Mila benar-benar mendapatkan wasiat dari Bu Sari. Tidak ada yang pernah melihatnya. Siapa tahu semua ini hanya akal-akalan Mila? Bisa saja, sebenarnya Bu Sari tidak meni
Langit sore yang cerah menemani keluarga kecil itu menikmati hari pertama di rumah baru mereka. Ilona dan Egar duduk santai di ruang keluarga, mengawasi Yumi dan Gana yang sedang asyik bermain, pintu samping terbuka. Aroma rumput segar bercampur dengan hembusan angin yang sejuk membuat suasana terasa begitu nyaman.Namun, ketenangan itu buyar dalam sekejap."Ada kolam renang!" suara kecil Yumi menggema di halaman, penuh antusiasme. Matanya yang berbinar menatap takjub ke arah kolam renang biru yang tampak menggoda di bawah sinar matahari sore.Seketika, kaki mungilnya berlari menuju kolam tanpa sedikitpun rasa takut."Iya, jadi Yumi bisa berenang di rumah sampai puas," jawab Egar sambil tersenyum, tak menyangka bahwa anaknya akan bereaksi seantusias itu.
“Biar aku yang lihat siapa yang datang,” ujar Egar.“Iya.” Ilona menjawab sambil tersenyum, meskipun perasaannya sedikit tidak tenang, karena dia seperti begitu familiar dengan suara itu. Itu terdengar seperti suara sang mertua.“Kamu masih disini?” tanya Egar.“Gak, aku juga akan bawa anak-anak masuk. Bentar lagi mau gelap, ngapain masih disini. Takut Yumi kembali meloncat ke kolam. Lihatlah matanya begitu berbinar melihat air,” kekeh Ilona.“Oke.”Sore itu, langit mulai berubah warna, cahaya keemasan perlahan meredup di balik cakrawala. Ilona menggandeng tangan Yumi dan Gana masuk ke dalam rumah, membiarkan Egar mengecek sesuatu di halaman depan.
“Kau mau kemana?” tanya Nyonya Bira kesal melihat Ilona yang melangkah berjalan menjauh.“Kamar, Ma.” Ilona menjawab pelan.“Dasar orang miskin gak tau adab! Orang tua ada disini dan kau malah mau ke kamar. Tapi, wajar sih kalau seperti ini. Kau tidak memiliki orang orang tua, jadi tidak ada yang mengajarkanmu sopan santun!” ketusnya.“Aku memiliki ibu,” jawab Ilona yang tidak terima ibu yang telah merawatnya sejak kecil dihina seperti itu. Ibunya, meskipun bukan ibu kandung tapi selalu mengajarkannya bagaimana cara bersikap dan berperilaku.“Hanya ibu angkat! Sedangkan ibu kandung? Kau bahkan tidak tahu siapa mereka. Kau pasti anak haram yang dibuang.”Ruangan itu d
Ilona mengelus dadanya, berusaha menenangkan perasaan yang masih sesak. Hatinya perih melihat bagaimana ibu mertuanya memperlakukannya. Entah sampai kapan hubungan mereka akan membaik.Sejak menikah dengan Egar, ia sudah berusaha sebaik mungkin menjadi menantu yang baik, tetapi di mata Nyonya Bira, ia tetaplah orang luar—wanita miskin yang hanya mengincar harta anaknya.Pintu yang baru saja dibanting dengan keras membuat suasana rumah terasa begitu hampa."Suara apa itu?"Suara kecil Yumi terdengar dari lorong. Gadis kecil itu muncul dari kamarnya dengan mata mengantuk, rambutnya sedikit berantakan. Sepertinya dia ketiduran saat bermain."Gak apa-apa, Sayang," kata Ilona cepat, mencoba menenangkan putrinya.
Nyonya Bira masih merasa dadanya sesak saat masuk ke dalam mobilnya. Tangannya mencengkeram kemudi erat, kemarahan masih menggelegak di dadanya. Rasa kesal kepada Egar belumlah hilang."Apa sih hebatnya wanita itu? Hanya karena dia mau menyusui Yumi?" gerutunya kesal.Ia tak habis pikir bagaimana Egar bisa begitu mempertahankan Ilona. Wanita itu bukan siapa-siapa. Ia tak berasal dari keluarga terpandang, tak punya gelar, tak punya harta. Dan sekarang, ia bahkan telah melahirkan anak untuk Egar."Dia mau menyusui Yumi karena dibayar. Kalau gratis, dia pasti tidak akan mau. Wanita itu sangat matre, begitu mendengar ada perjanjian akan dibayar, dia langsung setuju!" tambahnya sinis.“Sulit sekali kalau sudah jatuh cinta dengan orang miskin. Dia tidak membawa keuntunga
Egar duduk di atas pasir lembut dengan Gana dalam gendongannya, sementara pandangannya tertuju pada Ilona dan Yumi yang tertawa bersama di pinggir pantai. Wajah Ilona tampak begitu cerah, diterpa cahaya matahari yang mulai condong ke barat. Yumi berlari-lari kecil, sesekali menengok ke arah Ilona sambil tertawa renyah.Dan jika diperhatikan, wajah Ilona itu hampir mirip dengan Gia, istri pertamanya. Apalagi matanya, jadi tidak heran kalau sekilas melihat Yumi dan Ilona itu mirip, meskipun bukan ibu dan anak kandung.Angin pantai berhembus lembut, membawa aroma laut yang khas. Ombak berkejaran dengan lembut di tepian, menyapu jejak-jejak kaki kecil Yumi yang berlarian di atas pasir.Egar menarik napas panjang, menikmati momen ini. "Gia, lihatlah anak kita. Dia telah bertemu dengan ibu yang baik," bisiknya, matanya me
Angin pantai berhembus lembut, membawa aroma laut yang khas ke dalam paru-paru mereka. Ilona dan Egar duduk berdampingan di atas pasir, menikmati waktu yang seolah berhenti. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan pantulan keemasan di permukaan laut yang seakan membentang tanpa ujung.Ilona menatap suaminya penuh rasa kagum. "Kamu hebat," ucapnya tulus.Dia tahu, perjuangan Egar sampai sejauh ini tidaklah mudah. Dia melepaskan sendok emas dan berjuang mulai dari nol. Berjuang sendiri, tanpa dukungan dari pihak manapun. Namanya masuk daftar hitam saat mau melamar pekerjaan di perusahaan lain. Tapi, dia bisa bangkit.Egar menggeleng, senyum hangat tersungging di bibirnya. "Bukan aku yang hebat, tapi kamu yang kuat. Kamu bertahan dalam keadaan apapun, selalu ada untukku dan anak-anak kita. Kalian yang hebat, karen
Suasana hangat perlahan mengisi ruang tamu. Xello duduk di lantai, bersila, dikelilingi oleh Yumi dan Gana yang tak henti tertawa mendengarkan dongeng yang ia bacakan. Tangan Xello bergerak dramatis, suaranya naik turun menirukan suara naga, ratu jahat, dan pahlawan kecil.Anita duduk di sofa, matanya berbinar melihat kebahagiaan terpancar dari wajah anaknya. Dalam hati, ia bangga melihat Xello yang sangat menyayangi Yumi dan Gana, meskipun mereka baru bertemu.“Selama di kota ini, Mami tinggal di hotel,” jawab Anita tiba-tiba, memecah keheningan antara mereka berdua. Menjawab pertanyaan Xello tadi.Xello menoleh, memutar badan menatap ibunya. Matanya membulat. “Serius? Selama ini Mami gak pernah nginap di rumah Kak Ilona?”Anita mengangguk. &ldqu
Kezio baru saja pergi. Suara mobil yang membawanya masih terdengar samar dari halaman depan, meninggalkan keheningan yang cukup menusuk di dalam rumah Ilona.Anita berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini lengang. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tidak menangis. Tak mau terlihat rapuh di depan anak bungsunya, Xello.“Sudahlah, Mi. Jangan pikirkan, dia sudah besar,” ujar Xello pelan, berdiri di samping ibunya. Suaranya tenang, tapi mengandung simpati yang dalam.Anita hanya mengangguk perlahan. Hatinya remuk melihat Kezio pergi dalam amarah, tapi juga hangat karena Xello tetap tinggal.“Terima kasih, Xello,” ucap Anita lirih, matanya menatap anak lelakinya dengan penuh rasa syukur. Tak pernah ia duga, Xello yang
“Mami mengkhianati Papi!”Kalimat itu seperti belati, menancap tajam ke dada Anita. Anaknya masih bersikeras.Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Kezio, anak sulungnya, dengan sorot lembut namun penuh luka.“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Anita dengan suara serak, nyaris berbisik. “Tapi… bolehkah Mami bahagia sebentar saja… sebelum Mami meninggal, Nak?”Seisi ruangan seketika menjadi senyap. Keheningan merambat pelan seperti kabut, menyelimuti semua yang ada di sana. Kata-kata itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga memukul kesadaran semua orang. Bahkan Xello yang biasanya cerewet, kali ini hanya mampu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.Kezio terpaku. Nafasnya tertahan. Urat di lehernya masih menegang, tapi kata-kata Anita baru saja mengguncang dinding-dinding egonya. Dia seolah tersadar kalau ibu mereka memang menderita sakit sejak lama, dan kapanpun bisa meninggal.“Mi…” gumamnya lirih, namun ke
Ruangan makan sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena emosi yang menegang di antara keluarga yang sedang bergolak.“Kenapa aku mesti diam? Aku bertanya, berikan aku jawaban,” suara Xello terdengar lantang, memecah keheningan yang membatu.Semua mata tertuju padanya. Xello berdiri, tubuhnya tegak, suaranya mantap meski sorot matanya mengandung kekecewaan.Kezio memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tidak suka ditantang—apalagi oleh adik sendiri. “Kau masih kecil. Kau tidak mengerti apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya meremehkan.Xello tertawa kecil, sinis, lalu melangkah maju dan berdiri tepat di depan Kezio. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, kini Xello sudah hampir menyamai tinggi tubuh sang kakak.“Aku sudah hampir delapan belas tahun,” katanya dengan tenang namun tegas. “Aku sudah besar. Dan aku cukup mengerti dengan semua kepentingan kalian. Please, Kezio, support Mami…”Anita yang duduk di ujung meja langsung berdiri.
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Di ruang keluarga yang sederhana namun nyaman itu, Ilona duduk di sisi Anita dengan pikiran yang sedikit tidak tenang.Aroma melati dari teh memenuhi ruangan, namun tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Ilona dari berita yang baru saja disampaikan ibunya.“Ini adalah hal yang Mama tunggu. Tapi, sekaligus yang Mama takutkan,” ucap Anita lirih.Ilona mengernyit, memandang ibunya dengan penuh tanda tanya. Ada kekhawatiran yang tergurat jelas di wajah Anita, seperti seseorang yang ingin memberi kabar bahagia tapi takut akan badai yang bisa menyusul kemudian.“Adik-adikmu sudah datang. Hari ini… mereka sedang dalam perjalanan ke kota ini. Mereka datang lebih cepat dari yang Mama kira,” sambung Anita.Kalimat itu membuat hati Ilona bergetar. Ia memang telah tahu dirinya bukan anak tunggal dari Anita, ada dua orang lainnya yang lahir dari rahim yang sama. Hanya saja, mereka berbeda nasib. Kehidupan adik-adiknya berbandi
Hari itu, langit tampak kelabu. Awan menggantung berat seakan menyimpan beban yang tak kasat mata. Di ruang keluarga yang hangat dan tertata rapi, Ilona duduk bersandar di sofa. Cangkir teh di tangannya sudah mendingin sejak tadi, tak sempat ia hirup karena pikirannya terlalu sibuk menebak arah pembicaraan ibunya—Anita—yang baru saja datang membawa kabar yang belum sepenuhnya dijelaskan.Anita duduk di seberangnya. Perempuan paruh baya itu tampak lebih tenang hari ini. Meski garis wajahnya menunjukkan ketegasan, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Ilona menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara pelan namun menembus tajam, “Apa yang mereka inginkan?”Anita menoleh, tersentak dari lamunannya. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "mereka" — keluarga besar Ilma, keluarga tempat ia berasal dan tempat yang selama ini Ilona bahkan tidak pernah tahu menjadi bagian dari dirinya.“Hanya ingin kenalan,” jawab Anita berusaha tenang, meskipun nada bicaranya terdengar menggan