Jasmine berjalan pelan keluar dari ruang rapat, tangannya refleks memijat tengkuknya yang terasa kaku. Tubuhnya semakin lelah, seakan tenaga yang tersisa terkuras habis."Hanya satu laporan lagi... Aku pasti bisa menyelesaikannya," batinnya, meski kepalanya mulai berdenyut hebat.Minggu-minggu terakhir ini, proyek Hanaka menyita seluruh waktunya. Ia terus bekerja keras, menekan dirinya hingga batas. Ditambah cuaca yang tak menentu, tubuhnya mulai memberontak. Rasa mual menyerang lebih sering, pusing tak kunjung reda, tapi ia tetap memaksakan diri.Ia menyentuh perutnya yang semakin membesar. Kehamilan ini menambah beban fisiknya, membuatnya lebih cepat lelah. Punggungnya sering terasa nyeri, tapi Jasmine menolak menunjukkan kelemahan di hadapan Noah atau rekan-rekannya."Aku tidak boleh terlihat lemah. Aku harus tetap kuat,” gumam Jasmine.Namun, malam itu, tubuhnya akhirnya menyerah. Duduk di depan laptop, matanya yang lelah menelusuri laporan pemasaran.Huruf-huruf di layar mulai te
Noah berdiri di depan ruang rapat, menatap sekeliling dengan tatapan penuh tekad. Di hadapannya, semua staf pemasaran, termasuk Pak Raka, Tania, dan Pram, sudah berkumpul.Semua orang tahu betapa pentingnya proyek ini, dan meskipun Jasmine sedang dirawat di rumah sakit, tugas mereka untuk melanjutkan pekerjaan harus tetap berjalan.Noah menghela napas dan mulai berbicara, suaranya lebih tenang daripada yang ia rasakan. “Kondisi Jasmine saat ini membutuhkan perhatian penuh. Kami harus melanjutkan proyek ini, dan saya tahu semua sudah bekerja keras. Tapi sekarang, kita harus melangkah maju. Apa yang sudah dia rencanakan, kita lanjutkan.”Pak Raka mengangguk, sementara Tania terlihat serius, mencatat dengan seksama.Pram, yang duduk di pojok ruangan, terlihat tak tenang. Ia merutuki dirinya sendiri, menyalahkan diri atas keadaan Jasmine yang kini terbaring di rumah sakit."Aku seharusnya lebih memperhatikan dia," gumam Pram pada diri sendiri.Noah melanjutkan, “Jasmine telah bekerja kera
Suasana di dalam kamar VIP Anggrek Hitam terasa begitu sesak meskipun ruangannya luas dan nyaman. Udara di dalamnya terasa lebih berat dari biasanya, seakan dipenuhi oleh ketegangan yang tak terlihat.Jasmine duduk bersandar di tempat tidurnya, tubuhnya masih lemah, namun pikirannya penuh dengan kecemasan.Di sekelilingnya, beberapa pria yang pernah hadir dalam hidupnya kini berkumpul di satu ruangan—Noah, Ryan, Francis, dan dokter Juan.Tatapan mereka saling mengamati satu sama lain, seolah masing-masing ingin menegaskan keberadaannya di sana. Pram yang berdiri agak jauh di dekat jendela hanya bisa menghela napas dalam diam, merasa canggung di tengah suasana yang semakin tidak nyaman.Noah masih duduk di sofa dengan postur angkuh dan tatapan tajam, menilai satu per satu orang yang hadir di ruangan itu. Ia tidak menyukai keberadaan dokter Juan, terlebih lagi Ryan dan Francis yang tampaknya terlalu peduli pada Jasmine.Meskipun Noah sadar bahwa mereka semua memiliki perannya masing-mas
Noah masih duduk di kursi samping tempat tidur Jasmine, wajahnya mengeras. Kedua tangannya mengepal di atas pahanya, seolah menahan sesuatu yang mendidih di dalam dadanya.’Apa yang dipikirkan Noah, kenapa wajahnya masih kesal,’ batin Jasmine.Ruangan itu sunyi setelah semua tamu pergi, namun ketegangan masih menggantung di udara."Kenapa kau diam?" suara Jasmine pelan, namun penuh kehati-hatian.Noah menoleh cepat, matanya yang tajam berkilat. "Kau menikmatinya, kan? Dikelilingi pria-pria yang begitu peduli padamu?"Kalimat itu membuat Jasmine kesal. Dia selalu mendapatkan kritikan buruk dari Noah, apalagi jika ada pria-pria di dekatnya.Jasmine menghela napas, menyandarkan tubuhnya pada bantal. "Noah, kau tahu itu tidak benar.""Apa yang tidak benar? Fakta bahwa mereka semua ingin merebutmu?" Noah bangkit berdiri, mendekat ke tempat tidur. "Atau fakta bahwa aku tidak suka melihatnya?"Jasmine mengernyit. "Noah, kau cemburu?"Noah terkekeh rendah, tetapi tidak ada humor dalam suarany
Jasmine duduk perlahan di tempat tidur, mencoba menghilangkan rasa lelah yang masih tersisa. Setelah Noah pergi, suasana kamar kembali sunyi, namun kehadiran Zora di ambang pintu membawa atmosfer yang sedikit lebih ringan. Meski ketegangan masih terasa, Jasmine berusaha tetap tenang.Zora melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Dengan gerakan lembut, ia duduk di sisi tempat tidur, menatap Jasmine dengan penuh perhatian."Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanyanya, berusaha terdengar casual meski jelas ada sesuatu yang ingin ia pastikan. Zora mengupas buah apel untuk Jasmine, sambil memberikan potongan apel yang sudah terkupas pada Jasmine.Jasmine mengangguk kecil. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Bayi ini membuatku cepat kehabisan tenaga." Rasa buah apel itu sangat enak, Zora memperhatikan Jasmine mengunyahnya perlahan, hingga senyuman terlukis di wajah Zora.Zora menatap perut Jasmine yang mulai membuncit, lalu tanpa ragu, ia meletakkan tangannya di sana. "Apa dia ak
Sore itu, Noah melangkah cepat di lorong rumah sakit dengan wajah muram. Sejak kejadian tadi, emosinya tertahan, menahan kemarahan yang membara.Penolakan Jasmine masih terngiang di telinga Noah, menyesakkan dadanya. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa wanita itu akan menolaknya.Setelah meninggalkan rumah sakit, ia langsung ke kantor, berharap kesibukan bisa meredam emosinya. Namun, rasa kesal tetap membara. ’Apa yang kurang darinya hingga Jasmine menolaknya begitu saja?’Begitu masuk ruang kerja, ia melepas jaket hitamnya dan melemparkannya ke kursi. Tatapannya tajam, berusaha fokus pada pekerjaan, tapi pikirannya tetap terpaku pada, Jasmine.“Tuan, Noah?” Maya, sekretarisnya, menghampiri dengan langkah cepat. “Ada yang bisa saya bantu?”Noah menatap Maya dengan tatapan tajam. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menekan amarah yang masih menggelora di dalam dirinya.“Maya, tolong kumpulkan semua berkas dan jadwalku untuk seminggu ke depan,” perintahnya dengan suara yang datar,
Malam kembali menyelimuti langit kota, dan Noah melangkah masuk ke rumah sakit dengan langkah mantap.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia memilih untuk kembali, memastikan Jasmine tidak sendirian di tempat ini. Ruangan itu masih sunyi seperti sebelumnya, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi pelan.Jasmine berbaring di tempat tidurnya, tubuhnya tampak lemah, namun matanya tetap terbuka, menatap kosong ke arah jendela.Zora sudah pulang, meninggalkan Noah seorang diri untuk menemani Jasmine. Tanpa banyak bicara, Noah mengambil tempat di sisi ranjang, lalu membuka kantong plastik berisi anggur hijau yang baru saja dibelinya dari luar.Dia membawanya ke wastafel kecil di sudut ruangan, mencuci setiap butirnya dengan hati-hati. Namun, saat kembali ke sisi ranjang, Jasmine tetap tidak menatapnya. Noah tidak tersinggung, dia tahu Jasmine masih belum ingin berbicara dengannya."Aku sudah mencucinya," ucap Noah pelan, meletakkan piring kecil berisi anggur di atas meja di sa
Pagi itu, cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai rumah sakit, membangunkan Jasmine yang masih terbaring di ranjang.Matanya yang masih berat perlahan terbuka, dan saat kesadarannya pulih sepenuhnya, dia merasakan sesuatu yang hangat melingkari pinggangnya.Jasmine tersentak pelan. “Hm?” Gumamannya nyaris tak terdengar saat dia menoleh dan mendapati tangan Noah masih melingkar di tubuhnya. Detak jantungnya seketika berdetak lebih cepat.Wajah Noah terlihat tenang dalam tidurnya, tetapi ada garis-garis lelah yang jelas tergambar di sana.Jasmine menggigit bibir bawahnya, menahan dorongan untuk mengusap wajah pria itu. ’Kenapa dia ada di sini? Sejak kapan dia tidur di sebelahku?’Sejenak, Jasmine hanya memperhatikannya. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya, campuran antara kehangatan dan rasa bersalah. Meski begitu, bibirnya tanpa sadar membentuk senyuman kecil.’Noah terlihat begitu lelah... tapi tetap saja, dia masih menjagaku seperti ini,’ batin Jasmine.Namun, sa
Noah berdiri di ambang pintu kamar hotel, memandang ke arah Jasmine yang duduk diam di sudut tempat tidur. Posisi tubuh Jasmine sedikit membungkuk, matanya tertunduk, seperti sedang memikirkan sesuatu yang dalam. Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya keheningan yang mengisi ruangan.Langkah kaki Noah terasa berat ketika ia mendekati tempat tidur, perasaan ragu menggelayuti setiap gerakannya. Begitu dekat, ia perlahan berlutut di depan Jasmine, memegang kedua tangan Jasmine dengan hati-hati, seolah takut jika ia terlalu keras, semuanya akan hancur."Jasmine," suara Noah terdengar lebih lembut dari biasanya, penuh penyesalan. "Aku minta maaf. Aku sangat egois. Aku tidak pernah berniat menyakitimu, tapi aku... Aku hanya takut."Jasmine tetap terdiam, tidak mengangkat wajahnya. Tidak ada reaksi dari dirinya. Hanya hening yang terasa semakin tebal di antara mereka. Noah merasa cemas, namun dia terus memegang tangan Jasmine dengan penuh harap, berharap wanita itu akan menatapnya, memberi ke
Suasan itu akhirnya mencair ketika Juan membuka suara.Juan menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Sepertinya aku harus berterima kasih padamu karena sudah menjemput Jasmine. Aku hampir berpikir harus mengantarnya pulang sendiri."Nada suaranya terdengar santai, tapi Noah bisa merasakan sindiran halus di dalamnya.Noah tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak benar-benar hangat. "Terima kasih karena sudah menemani istriku, Juan. Tapi sekarang, dia akan pulang denganku."Jasmine bisa merasakan ketegangan di antara kedua pria itu. Ia tahu Noah sedang menahan diri.Jasmine pun buru-buru melangkah ke arah mobil dan membuka pintu. "Ayo pergi, Noah."Noah tidak langsung masuk. Ia masih menatap Juan sejenak sebelum akhirnya berkata,"Jangan mengganggunya lagi, Juan."Juan tersenyum tipis. "Aku tidak pernah mengganggunya. Aku hanya member
Jasmine mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Angin malam berhembus pelan, membuat lampu-lampu jalan berpendar lembut di kejauhan."Aku baik-baik saja," jawabnya akhirnya."Benarkah?" Juan menyipitkan matanya, seolah mencoba menembus kebohongan yang mungkin tersembunyi di balik kata-kata Jasmine. "Kalau kau baik-baik saja, kenapa aku merasa ada kesedihan di matamu?"Jasmine terkesiap. Kata-kata Juan begitu menusuk, seolah menggali sisi hatinya yang selamaini ia coba tutupi.Jasmine menghela napas dan menatap Juan dalam-dalam. "Aku hanya menjalani hidupku sesuai dengan keadaan yang ada. Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, Juan."Juan tersenyum miris. "Jadi kau benar-benar akan terus bersama Suamimu?"Jasmine menggigit bibirnya. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan pasti.Juan mengejutkan di kalima
Jasmine kembali ke hotel sendirian. Langkahnya terasa ringan di luar, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Entah kenapa, mendengar Noah akan menemui Zora membuatnya sedikit tidak nyaman.Ia duduk di tepi ranjang, memandangi bayangannya di cermin. Tangannya mengusap perutnya yang mulai membesar. "Aku tidak boleh memikirkan ini terlalu jauh. Seperti yang Noah bilang, kita hanya terikat dalam kontrak."Tapi... benarkah hanya kontrak?Sementara itu, di tempat lain, Noah tiba di apartemen Zora. Wanita itu sudah menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi serius. Sebotol wine terbuka di meja, tapi gelas di depannya masih penuh. Sepertinya, ini bukan pertemuan biasa."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Noah langsung.Zora menatapnya dengan mata tajam. "Kau mulai berubah, Noah."Noah menyandarkan punggungnya, ekspresinya tetap datar. "Aku tidak mengerti maksu
”Bagaimana Noah kenapa kau diam? Apakah aku juga orang asing bagimu?” ulang Jasmine, menatap Noah tajam.Noah menoleh padanya, menatapnya dengan intens. Lalu, senyum kesal tersungging di bibirnya. Jasmine tahu dia sengaja mengumpan Noah untuk bertindak, dan pria itu akhirnya menanggapinya."Awalnya, aku tidak suka keberadaanmu," aku Noah, dengan jujur. "Tapi ternyata kamu berbeda."Tanpa peringatan, Noah mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir Jasmine singkat, membuatnya terkejut.August yang melihat itu langsung tertawa. "Wow, wow. Apa aku harus pergi agar kalian bisa menikmati waktu berdua?" godanya.Jasmine hanya bisa menunduk, sementara Noah kembali menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi santai, seolah tidak terjadi apa-apa.Tapi dalam hatinya, Jasmine tahu... ada sesuatu yang mulai berubah di antara mereka. Sesuatu
August mengeluarkan sebotol wine terbaiknya dari rak kayu di sudut ruangan. Ia tersenyum sambil menunjukkan botol itu ke arah Jasmine."Sebagai tamu kehormatan, kau harus mencoba ini, Jasmine. Ini koleksi spesialku, hanya aku sajikan untuk orang-orang yang berarti bagiku," katanya dengan bangga.Jasmine tersenyum sopan, tapi sebelum ia sempat menolak, Noah dengan cepat mengangkat tangan, menghentikan August."Dia tidak bisa minum, August," suara Noah terdengar tegas. "Jasmine sedang hamil. Saat ini sudah di bulan ke 5."August mengerutkan kening, lalu tatapannya bergeser pada Jasmine sebelum kembali menatap Noah dengan ekspresi penuh pemahaman."Begitu rupanya," gumam August sambil mengembalikan wine itu ke tempatnya. "Baiklah, aku akan membuatkan sesuatu yang lebih cocok untuk ibu hamil. Jus segar dan beberapa makanan ringan. Aku tahu wanita hamil sering merasa lapar, apalagi ji
Jasmine menatap takjub ke arah meja yang dipenuhi berbagai hidangan laut. Aroma gurihnya begitu menggoda, dan tampilan setiap hidangan tampak begitu menggugah selera.Matanya berbinar saat ia menoleh ke arah August. "Ini semua terlihat luar biasa. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Bisa kau jelaskan satu per satu?" tanyanya antusias.August tertawa kecil sebelum mulai menunjuk ke beberapa hidangan di hadapannya. "Ini adalah grilled lobster dengan saus lemon butter, yang di sebelahnya itu paella seafood khas Mediterranean. Lalu, ada king crab dengan saus pedas, dan ini hidangan spesialku, scallop dengan saus krim truffle."Jasmine mengangguk penuh kagum. "Semuanya terlihat lezat," gumamnya.Noah yang duduk di sampingnya tersenyum tipis. "Daripada hanya mengagumi, lebih baik kau langsung mencicipinya."Tanpa ragu, Jasmine mulai mencicipi satu per satu. Setiap gigitan terasa begi
Jasmine menatap Noah dengan serius, suaranya tegas, tidak menyisakan ruang untuk perdebatan."Ingat, Noah Dirgantara. Aku tidak ingin mengambil posisi Zora. Aku hanya ingin kita menikmati kebersamaan ini selama kita masih terikat dalam kontrak. Jika kau melakukan hal yang tidak kusukai terhadap Zora, jangan salahkan aku jika aku akan meninggalkanmu selamanya."Noah menatapnya dalam diam, ekspresinya sulit ditebak. Matanya yang tajam seperti meneliti setiap sudut wajah Jasmine, seolah mencari celah untuk membantah. Namun, akhirnya, ia menghela napas panjang dan mengangguk."Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu. Sampai bayi kita lahir, kita akan kembali ke kehidupan semula, sesuai perjanjian. Soal takdir setelahnya, itu urusan nanti."Jasmine tersenyum kecil, merasa lega dengan jawaban itu. Ia tahu Noah bukan tipe pria yang mudah menurut, tetapi setidaknya kali ini, ia berhasil m
Mata Noah menajam. Ia tahu ada sesuatu di balik ucapan Jasmine. “Jasmine… apa yang Zora katakan padamu?”Jasmine tidak menjawab. Sebaliknya, ia menarik selimut dan membenamkan wajahnya di dalamnya. “Tidak ada.”Namun, Noah tidak akan membiarkan itu berlalu begitu saja. Ia menarik tubuh Jasmine ke dalam pelukannya, memaksanya menatap matanya. “Zora mengancammu?”Jasmine masih terdiam, tetapi Noah tahu bahwa jawabannya adalah ‘iya.’Pria itu mengepalkan tangan. Rasa marah mulai membakar dadanya. Jika Zora berani menyentuh Jasmine atau bayinya, ia tidak akan tinggal diam.Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Jasmine lebih dulu berbisik, “Noah… jangan lakukan sesuatu yang bodoh…”Noah menatapnya dalam, lalu menghela napas. Ia tahu bahwa Jasmine takut.Deng