Sore itu, Noah melangkah cepat di lorong rumah sakit dengan wajah muram. Sejak kejadian tadi, emosinya tertahan, menahan kemarahan yang membara.Penolakan Jasmine masih terngiang di telinga Noah, menyesakkan dadanya. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa wanita itu akan menolaknya.Setelah meninggalkan rumah sakit, ia langsung ke kantor, berharap kesibukan bisa meredam emosinya. Namun, rasa kesal tetap membara. ’Apa yang kurang darinya hingga Jasmine menolaknya begitu saja?’Begitu masuk ruang kerja, ia melepas jaket hitamnya dan melemparkannya ke kursi. Tatapannya tajam, berusaha fokus pada pekerjaan, tapi pikirannya tetap terpaku pada, Jasmine.“Tuan, Noah?” Maya, sekretarisnya, menghampiri dengan langkah cepat. “Ada yang bisa saya bantu?”Noah menatap Maya dengan tatapan tajam. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menekan amarah yang masih menggelora di dalam dirinya.“Maya, tolong kumpulkan semua berkas dan jadwalku untuk seminggu ke depan,” perintahnya dengan suara yang datar,
Malam kembali menyelimuti langit kota, dan Noah melangkah masuk ke rumah sakit dengan langkah mantap.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia memilih untuk kembali, memastikan Jasmine tidak sendirian di tempat ini. Ruangan itu masih sunyi seperti sebelumnya, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi pelan.Jasmine berbaring di tempat tidurnya, tubuhnya tampak lemah, namun matanya tetap terbuka, menatap kosong ke arah jendela.Zora sudah pulang, meninggalkan Noah seorang diri untuk menemani Jasmine. Tanpa banyak bicara, Noah mengambil tempat di sisi ranjang, lalu membuka kantong plastik berisi anggur hijau yang baru saja dibelinya dari luar.Dia membawanya ke wastafel kecil di sudut ruangan, mencuci setiap butirnya dengan hati-hati. Namun, saat kembali ke sisi ranjang, Jasmine tetap tidak menatapnya. Noah tidak tersinggung, dia tahu Jasmine masih belum ingin berbicara dengannya."Aku sudah mencucinya," ucap Noah pelan, meletakkan piring kecil berisi anggur di atas meja di sa
Pagi itu, cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai rumah sakit, membangunkan Jasmine yang masih terbaring di ranjang.Matanya yang masih berat perlahan terbuka, dan saat kesadarannya pulih sepenuhnya, dia merasakan sesuatu yang hangat melingkari pinggangnya.Jasmine tersentak pelan. “Hm?” Gumamannya nyaris tak terdengar saat dia menoleh dan mendapati tangan Noah masih melingkar di tubuhnya. Detak jantungnya seketika berdetak lebih cepat.Wajah Noah terlihat tenang dalam tidurnya, tetapi ada garis-garis lelah yang jelas tergambar di sana.Jasmine menggigit bibir bawahnya, menahan dorongan untuk mengusap wajah pria itu. ’Kenapa dia ada di sini? Sejak kapan dia tidur di sebelahku?’Sejenak, Jasmine hanya memperhatikannya. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya, campuran antara kehangatan dan rasa bersalah. Meski begitu, bibirnya tanpa sadar membentuk senyuman kecil.’Noah terlihat begitu lelah... tapi tetap saja, dia masih menjagaku seperti ini,’ batin Jasmine.Namun, sa
Akhirnya, Noah melancarkan aksinya secara perlahan, dia melakukannya dari belakang, dengan sangat hati-hati. Tanpa waktu lama, kegiatan intim itu selesai.Kali ini, Jasmine merasa biasa saja. Dia juga merasa bahwa ini adalah balas budi karena Noah telah menjaganya saat demam. Setelah itu, Noah kembali menikmati bibir Jasmine sampai benar-benar puas.Noah merasakan bahwa Jasmine, saat hamil, sangat menggoda dan berbeda. “Maaf, aku sudah melewati batas. Kalau kamu mau marah setelah ini, silakan. Jangan salahkan aku, semua ini bukan kehendakku. Semua ini pasti akan terjadi,” ujar Noah, seolah menjelaskan.Jasmine, yang masih merasakan kehadiran Noah di dalam tubuhnya, tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa mengeliat dan mempertahankan perutnya yang sedikit terasa sensitif.“Noah, bisa cepat selesaikan? Sepertinya bayimu tidak betah dan kesempitan,” pinta Jasmine.Noah tersenyum, sedikit puas karena Jasmine tidak melawan. “Kenapa kamu tidak marah dan menolak?” tanya Noah, masih bergerak ma
Juan menatap Jasmine dengan tatapan yang penuh arti. Dia tahu bahwa Jasmine sedang menghindari pembicaraan tentang masa lalu mereka, dan dia menghormati itu untuk saat ini. Juan tidak ingin memaksakan Jasmine untuk mengingat hal-hal yang mungkin terlalu berat untuknya saat ini.“Kamu bisa pulang setelah semuanya stabil dan aku yakin kamu bisa menghadapinya. Tapi, kita akan tetap memantau kondisi bayimu. Kesehatanmu adalah yang terpenting,” jawab Juan, sambil menulis sesuatu di catatan medisnya.Jasmine hanya mengangguk, merasa sedikit lega karena topik yang tak ingin dibahas sudah berlalu.Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit terganggu dengan kata-kata Juan tentang janji yang tidak pernah ia tepati. Jasmine tidak tahu kapan dia akan siap untuk berbicara tentang masa lalu itu.Namun, untuk saat ini, Jasmine hanya ingin fokus pada bayinya, pada kesehatannya, dan mencoba untuk menjalani hidup tanpa terus-menerus dihantui oleh kenangan itu.Jasmine terbaring dengan nyaman di ranjang ru
Oma Dursila terlihat semakin penasaran. “Soalnya tadi di kamar mandi ada bekas air di lantai. Kok bisa ya? Jangan-jangan kamu mandi diam-diam?” tanya Oma dengan nada menggoda, tapi matanya tetap serius.Jasmine merasa panik. “Ah, Oma... Mungkin... mungkin tadi kak Zora yang meminta Noah menemaniku malam ini, jadi aku... aku nggak sempat mandi,” jawabnya dengan gugup, berusaha memberi penjelasan.Zora yang mendengar hal itu langsung tersenyum sinis dan segera bergerak untuk mengalihkan perhatian Oma Dursila.“Oma, jangan curigai Jasmine. Mungkin dia cuma keburu-buru dan lupa mandi. Lagian, kamu kan tahu, dia ini kadang suka nggak perhatian sama diri sendiri,” Zora menjelaskan sambil melirik ke arah Jasmine yang tampak tertekan.Oma Dursila terlihat sedikit ragu, namun Zora dengan cepat melanjutkan. “Jangan khawatir, Oma. Jangan terlalu serius deh. Lagian, soal Jasmine itu urusan kita. Nanti juga dia sembuh dan kembali ke rutinitas seperti biasa.”Zora lalu beralih topik pembicaraan. “N
Zora dan Oma Dursila akhirnya berpamitan untuk pulang setelah seharian menemani Jasmine di rumah sakit. Sebelum keluar, Zora menoleh kembali dan berkata, “Nanti malam Noah yang akan menemanimu, ya.”Jasmine tersenyum lembut mendengar itu. Meski ia tidak berkata apa-apa, ada sedikit rasa nyaman yang menghangatkan hatinya.“Ada yang mau aku bawakan?” tanya Zora sambil merapikan tasnya.Jasmine berpikir sejenak, lalu menjawab, “Aku hanya ingin makan manisan.”Oma Dursila yang sedang mengenakan syalnya langsung menoleh ke arah Zora dan bertanya dengan nada menggoda, “Kamu tidak ingin manisan juga, Zora? Mengingat usia kandungan kalian hampir sama.”Zora tertawa pelan. “Oma, tidak semua ibu hamil mengidam yang sama,” jawabnya santai.“Tapi aku benar-benar penasaran,” lanjut Oma Dursila, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Anak kalian nanti cewek atau cowok, ya?”Jasmine tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. “Oma, perut kami saja masih belum terlalu besar, ini baru mau masuk trimeste
Jasmine menatapnya dalam diam. Kehangatan yang selalu Noah berikan membuatnya merasa nyaman. Meski pria itu sering bersikap dingin, tapi perhatian kecil seperti ini selalu berhasil membuat hatinya bergetar.Noah meraih tas kecil yang dibawanya dan mengeluarkan sesuatu. “Aku sempat mampir ke toko oleh-oleh sebelum ke sini. Kamu bilang ingin manisan, kan?”Mata Jasmine berbinar melihat beberapa bungkus manisan kesukaannya di tangan Noah. “Kamu ingat?”“Tentu saja. Aku bukan tipe orang yang lupa dengan keinginan istriku,” jawab Noah santai.Jasmine mengambil satu bungkusan dan membukanya dengan semangat. Begitu mencicipinya, senyum puas langsung menghiasi wajahnya.”Jangan membuatku larut, Noah,” ujar Jasmine setelah mendengar kata Istriku.Noah menatapnya dengan ekspresi lembut. “Jadi, kapan kamu bisa pulang dari sini?”Bukannya menghiraukan ucapan Jasmine, Noah malah bertanya hal lain. Jasmine langsung mendengkus kesal.“Tiga hari lagi,” jawab Jasmine sambil mengunyah. “Aku ingin cepat
Malam itu di hotel, Jasmine dan timnya menelaah data dengan tegang.Nama-nama besar bermunculan: politisi, CEO, pejabat tinggi. Beberapa nama mengejutkan mereka."Ini tidak mungkin..." bisik Kiara, matanya membelalak.Di antara daftar itu, muncul nama seorang mentor lama keluarga Jorse, seseorang yang selama ini mereka kira sekutu setia."Dia...?" Evan bergumam, suara tercekat.Jasmine mengepalkan tinjunya. Dunia yang ia kenal mulai runtuh, pengkhianatan terasa lebih pahit dari yang pernah ia bayangkan.Namun satu hal pasti: Arenia bukan hanya menjadi tempat pertemuan masa lalu dan masa depan.Arenia akan menjadi medan pertarungan terakhir.Di luar jendela, Château De Lune bersinar megah di tengah kegelapan, seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjang mereka.Dan di dalam hatinya, Jasmine tahu, apa pun yang terjadi... ia tidak akan mundur.Karena kali ini, bukan hanya masa depan yang ia pertaruhkan.Tapi seluruh kebenaran tentang siapa dirinya sebenarnya.Pagi di Arenia datang perlah
Dalam waktu kurang dari 24 jam, tim kecil dibentuk. Jasmine, Noah, Kiara, dan dua penyelidik andalan Project Axis bersiap menuju Morvenia. Di dalam koper mereka bukan hanya dokumen dan peralatan, tapi juga kekuatan moral dari seluruh dunia yang menanti jawaban.Sebelum keberangkatan, Jasmine berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Avenhurst. Cahaya lampu malam tampak seperti bintang-bintang yang mendekat ke bumi.Noah menghampirinya, memeluknya dari belakang.“Kalau ini benar-benar jebakan, apakah kamu siap?”Jasmine menoleh. “Kalau ini membawaku ke kebenaran yang Ayah dan Ibu pertaruhkan nyawa mereka untuk... maka aku akan datang, walau hanya satu langkah dari jurang.”Dan mereka berangkat. Ke negeri tanpa nama, tempat di mana hukum telah lama dijual, dan kebenaran harus dicuri kembali dari balik kegelapan."Senja perlahan turun di atas langit Valmora," gumam Noah sambil menatap ke luar jendela pesawat pribadi yang meluncur stabil di udara. Di dalam kabin, Jasmine duduk di
Sore harinya, sebuah konferensi pers dilakukan oleh Jasmine secara langsung dari kantor pusat Project Axis. Disiarkan secara global, jutaan orang menyaksikan saat Jasmine berdiri dengan latar belakang simbol Jorse dan Project Axis bersatu.“Beberapa orang bilang kami nekat. Bahwa kami bermain dengan kekuatan yang terlalu besar. Tapi hari ini, kami katakan: dunia tidak lagi milik mereka yang menyembunyikan kekuatan dalam bayangan.”Ia mengangkat dokumen resmi dari Mahkamah Internasional.“Surat penahanan Leonhart Vasmer telah disahkan. Dan kami, Project Axis, akan bekerja sama dengan semua negara yang berani berkata ‘cukup.’ Ini adalah awal baru.”Media berebut bertanya. Jasmine menjawab satu per satu dengan ketenangan dan presisi. Namun satu pertanyaan dari wartawan Eresia membuatnya diam sejenak:“Apakah Anda siap menghadapi ancaman terakhir dari jaringan yang kini terpojok?”Jasmine menatap l
Sore harinya, Jasmine dan tim hukum membuka sistem cadangan itu. Dengan bantuan ahli digital forensik, dana sebesar 1,7 miliar dolar muncul dalam 13 akun berbeda di bawah nama entitas tak dikenal.“Ini cukup untuk membiayai Project Axis selama dua dekade penuh,” ujar Evan dengan nada kagum.Jasmine menatap layar dengan tenang. “Ayah tidak hanya meninggalkan warisan. Dia meninggalkan senjata terakhir.”Kiara menambahkan, “Dengan ini, kita bisa memperkuat keamanan digital, memberi perlindungan untuk saksi, dan memperluas koalisi.”“Dan kita lakukan itu malam ini,” ucap Jasmine.Sementara itu, di Zurich, Leonhart mendapat kabar bahwa seluruh asetnya telah dibekukan. Lebih buruk lagi, satu per satu mitra bisnis lamanya mulai menawarkan kerja sama kepada Project Axis.“Ini pengkhianatan,” geram Leonhart sambil meremukkan gelas di tangannya.Klemens menjawab datar. “Ini... kelangsungan hidup.”Leonhart bangkit dari kursi. “Kalau begitu, aku harus mencari jalan keluar sebelum semuanya hilang
“Aku tidak menyangka mereka akan bergerak secepat ini,” kata Evan, melihat daftar partisipan yang terus bertambah.Jasmine menjawab, “Dunia sudah lelah dijajah oleh sistem yang tak terlihat. Kita hanya menyalakan lentera. Mereka yang lain... membawa obor.”Tapi seperti angin sebelum badai, keheningan tidak bertahan lama. Di sore yang dingin, sebuah ledakan kecil terjadi di salah satu gudang data Project Axis di pinggiran Lioren. Tidak ada korban, tapi jelas... ini bukan kecelakaan.“Pesan dari jaringan lama,” ujar Kiara sambil menunjukkan hasil investigasi awal. “Mereka mulai menargetkan infrastruktur. Mereka tidak bisa menghentikanmu secara hukum, jadi mereka serang fondasinya.”Jasmine menatap puing-puing digital dari rekaman drone. Wajahnya tak bergeming.“Kalau begitu... kita pindahkan data ke server awan global, dengan backup di enam negara berbeda. Kita jangan beri mereka kesempatan kedua.”Noah masuk dengan wajah serius. “Dan aku baru dapat laporan. Ada tiga pria tak dikenal ya
Fajar menyingsing perlahan di langit Avenhurst, tapi hari itu bukan awal biasa. Di ruang tengah kediaman perlindungan tinggi tempat Jasmine ditampung, belasan layar digital menyala serempak. Wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia muncul melalui jaringan video terenkripsi—pengacara HAM internasional, jaksa dari Eresia dan Valmora, perwakilan Interpol, serta penasihat hukum dari Mahkamah Internasional.Jasmine duduk di kursi utama. Ia mengenakan setelan hitam dengan rambut dikuncir rapi. Di sampingnya, Kiara dan Evan menatap layar dengan mata yang tak berkedip.“Langkah ini tidak hanya historis,” ujar Kiara, “tapi juga berisiko tinggi. Begitu nama Leonhart diajukan ke Mahkamah Internasional, ia akan diperlakukan sebagai penjahat kelas berat. Dan itu bisa memicu tindakan terakhir dari jaringannya.”Jasmine mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak lagi bicara tentang pencucian uang atau sabotase korporat. Kita bicara tentang konspirasi pembunuhan, pelanggaran HAM, dan ancaman terhadap stab
Sementara itu, Jasmine dan Noah kembali ke hotel mereka setelah menghadiri resepsi diplomatik kecil yang digelar di Konsulat Lioren. Jasmine merasa kelelahan, namun damai. Dunia tampaknya menyambut pidatonya dengan antusias. Belasan negara telah menyatakan niat bergabung dalam Koalisi Anti-Korupsi Korporat Dunia.Namun di lobi hotel, salah satu staf keamanan mendekati mereka.“Maaf, Ibu Jasmine. Mobil pengawal Anda terlihat mengalami kerusakan. Kami menyarankan Anda untuk naik kendaraan cadangan yang sudah disiapkan.”Kiara, yang datang bersama dari belakang, menyipitkan mata. “Mobil rusak? Tapi tadi pagi sudah dicek.”Noah langsung tanggap. “Tunda. Kita tetap di sini sampai tim teknis kita periksa langsung.”Sementara staf itu berlalu, Jasmine berbisik, “Perasaanmu juga tidak enak?”Noah mengangguk. “Sangat.”Tiga puluh menit kemudian, laporan datang. Salah satu baut rem ken
Jasmine berdiri. Langkahnya mantap menuju podium. Cahaya lampu menyorot wajahnya, dan ribuan mata tertuju padanya.Ia membuka pidatonya dengan suara yang tenang tapi tegas.“Terima kasih atas kesempatan ini. Nama saya Jasmine Jorse. Hari ini, saya tidak hanya berbicara sebagai pemimpin sebuah perusahaan, tapi sebagai saksi dari bagaimana sistem keuangan yang tidak terawasi bisa menghancurkan keluarga, kepercayaan, dan masa depan.”Ia berhenti sejenak. Tatapannya menyapu seluruh ruangan.“Saya lahir dari darah seorang industrialis yang jujur dan seorang ibu yang mencintai keadilan. Mereka dibunuh, bukan oleh peluru, tapi oleh sistem yang membiarkan korupsi tumbuh di balik nama-nama besar.”Hening. Beberapa orang mulai menegakkan badan.“Selama puluhan tahun, banyak dari kita menutup mata atas praktik-praktik keuangan gelap yang dikemas dalam bahasa legal. Kita memberi ruang bagi orang seperti Leonhart Vasmer dan
“Jas... Ada seseorang dari dalam Levara Group mengirimkan pesan rahasia.”Jasmine berdiri. “Siapa?”Kiara menyerahkan sebuah flashdisk dan dokumen cetak.“Namanya tidak disebut, tapi tanda tangannya mencocok dengan seorang analis senior bernama Aline Köhler. Dia dikabarkan sudah lama tidak muncul di media, dan ternyata... dia menyimpan dokumen internal.”Jasmine membuka file pertama di layar laptop. Di sana, terdapat ratusan halaman laporan transfer dana fiktif, rekaman rapat tertutup yang memperlihatkan Leonhart menyuruh stafnya menekan media, dan yang paling mencengangkan: dokumen strategi hukum menyerang Jasmine, tertanggal sebulan sebelum gugatan didaftarkan.“Aline memberikan semua ini?” bisik Jasmine, nyaris tak percaya.Kiara mengangguk. “Dia bilang dalam pesannya: ‘Saya tidak bisa melawan langsung. Tapi saya percaya kamu bisa.’”Jasmine memandang laya