Di dalam kamar yang temaram, Jasmine duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela. Suasana malam yang hening hanya diiringi suara angin lembut di luar. Namun, di dalam hatinya, badai kecil berkecamuk.Sikap Noah tadi membuatnya merasa tertekan. Kata-kata pedasnya, tuduhan tanpa dasar, dan sorot mata dingin yang menusuk terus terbayang di benaknya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.Tiba-tiba, ingatan tentang Pram kembali menghantui pikirannya. Pernyataan cinta yang tiba-tiba, dan momen ketika Pram hampir menciumnya di dalam mobil. Jasmine menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan itu.“Kenapa semuanya jadi serumit ini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Jasmine merasa khawatir jika Noah dan Pram sampai bertengkar karena dirinya. Dalam benaknya, ia mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini. Ia berpikir, ’Mungkin jika aku menerima Pram, semuanya akan menjadi lebih mudah.’Dengan begitu, Noah bisa kembal
Keesokan paginya, Jasmine bersiap merapikan rumah seperti biasanya. Namun, saat hendak meletakkan gelas di wastafel, kakinya tanpa sengaja menginjak genangan air kecil yang licin.“Astaga!” jerit Jasmine sebelum tubuhnya terhuyung ke belakang dan terjatuh dengan keras.Nikmah, asisten rumah tangga yang sedang berada di dapur, terkejut mendengar suara benda jatuh di ruang tengah. Dengan tergesa-gesa, ia berlari menghampiri Jasmine yang meringis kesakitan di lantai.“Non Jasmine! Ya Allah, kenapa ini? Apa yang sakit?” tanya Nikmah panik sambil mencoba membantu Jasmine bangkit.Jasmine memegang perutnya sambil meringis. “Perutku… rasanya nyeri sekali…” Suaranya lemah, hampir berbisik.Melihat kondisi Jasmine yang tidak baik, Nikmah segera meraih ponselnya dan menghubungi Zora. Dalam nada penuh kepanikan, ia menjelaskan apa yang terjadi.Zora yang sedang di rumah langsung kalang kabut mendengar berita itu. Tanpa pikir panjang, ia mengambil kunci mobil dan bergegas menuju Rafflesia Hill, t
Di ruang rawat yang nyaman, suasana terlihat lebih tenang. Zora duduk di sisi tempat tidur Jasmine dengan wajah ceria, matanya berbinar seolah beban yang ia pikul selama ini hilang begitu saja.“Jasmine, apa yang kamu rasakan selama tiga minggu terakhir?” tanya Zora penuh rasa ingin tahu.Jasmine, yang tadinya berbaring sambil memejamkan mata, membuka matanya perlahan. Ia tersenyum kecil, mencoba menjawab dengan santai. “Hmmm, apa ya? Rasanya campur aduk. Kadang aku kesal tanpa alasan, emosi jadi enggak stabil. Kalau lihat Noah, entah kenapa, aku ingin dimanja, tapi sekaligus juga kesal.”Zora tertawa kecil mendengar penuturan Jasmine. “Kesal kenapa? Apa Noah bikin ulah?”Jasmine menghela napas panjang, lalu melanjutkan, “Bukan itu. Kadang aku enggak tahan sama aroma tubuhnya. Pagi hari, aromanya terasa... menenangkan. Tapi kalau dia pulang kerja, sudah bercampur dengan wangi parfum orang lain, aku jadi muak sendiri.”’Lebih Muak lagi dengan sikapnya yang tidak jelas,’ batin Jasmine.
Di luar kamar, Noah dan Zora berdiri di koridor rumah sakit, berbicara empat mata dengan nada yang penuh kerahasiaan. Jasmine, yang tertinggal di dalam kamar, hanya bisa menebak-nebak isi percakapan mereka dari kejauhan.“Oma Dursila akan ke Artaloka,” kata Noah pelan, tapi tegas.Wajah Zora seketika berubah panik. “Apa?! Oma mau ke sini? Noah, bagaimana ini? Bagaimana aku menunjukkan kehamilanku di depan dia? Apalagi kalau dia memutuskan tinggal bersama kita!”Noah mencoba menenangkan Zora dengan meletakkan tangannya di bahunya. “Kita harus tenang. Semua ini sudah kita rencanakan, kan? Jasmine sekarang sedang mengandung, dan Oma tidak perlu tahu detailnya.”“Tapi bagaimana kalau Oma mau ikut ke pemeriksaan janin?” Zora memotong, suaranya terdengar makin cemas. “Aku tidak bisa terus-menerus mengelak. Ditambah lagi, Jasmine butuh perawatan intensif. Bagaimana kita bisa mengatur semua ini?”Noah terdiam sejenak, lalu menjawab dengan keyakinan. “Kita akan membawa Jasmine tinggal bersama
“Jadi begini rencanaku,” Zora berkata dengan penuh keyakinan, meskipun dalam hatinya sedikit gemetar.Zora melanjutkan kalimatnya. “Aku akan berpura-pura hamil. Jasmine akan kita perkenalkan sebagai sepupuku yang sedang dititipkan oleh suaminya karena hamil muda. Katakan saja suaminya sedang ke luar negeri untuk urusan kerja. Jadi, alasan Jasmine tinggal bersama kita akan terlihat wajar.”Noah mengernyit. “Itu terlalu berisiko. Oma tidak mudah percaya. Dia selalu punya cara untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi ini satu-satunya cara agar kita tidak ketahuan,” Zora membalas tegas. “Lagipula, aku sudah tahu bagaimana menghadapi Oma. Dia mungkin keras, tapi dia percaya pada nilai keluarga. Kalau kita mainkan cerita ini dengan baik, dia tidak akan mencurigai apa-apa.”Jasmine, yang duduk di tempat tidur, hanya bisa mendengar percakapan itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa seperti pion dalam permainan besar yang tidak ia pahami sepenuhnya.“Aku… aku tidak yakin bisa m
Pagi itu di Mansion Dirgantara, suasana sarapan terasa canggung. Meja makan yang biasanya penuh dengan pembicaraan hangat dan tawa kini dipenuhi oleh keheningan yang tebal.’Kenapa Oma menatap Jasmine dalam, aku takut dia akan mencurigai kami,’ batin Zora panik.Zora duduk dengan wajah tegang di sisi kanan Noah, sementara Dursila, dengan ekspresi seriusnya, duduk di ujung meja. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar, meskipun aroma makanan yang lezat memenuhi ruangan.”Aroma masakan ini membuatku rindu ,” ujar Dursila. Yang hanya di balas anggukan Zora.Noah yang duduk di samping neneknya juga tampak cemas. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan ketegangan yang tengah dirasakannya. Ia terus mencuri pandang ke arah Zora dan Jasmine yang duduk di ujung meja, mencoba tetap terlihat tenang, tetapi pikirannya berkelana jauh, memikirkan masalah yang belum selesai.’Tenang Noah , semua akan berjalan lancar,’ batin Noah menenangkan diri.Sementara itu, Jasmine, yang masih merasa mual di pagi
Kontrol yang MenegangkanJasmine yang mendengar nasihat itu hanya mengangguk lemah. Meskipun dia mencoba tampil tenang, hatinya tetap gelisah. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan dengan Dursila yang kini berada di dekat mereka, Jasmine merasa berada di bawah pengawasan yang semakin ketat.Zora memandang Noah sejenak, lalu kembali ke arah Dursila. “Tentu, Oma. Jasmine akan kami rawat dengan baik di sini. Semua sudah kami atur sesuai dengan rencana.”Dursila tersenyum puas. “Baiklah, semoga semuanya berjalan lancar. Tapi ingat, kalian tidak bisa seperti ini terlalu lama. Kalian harus siap menghadapi apapun yang akan datang.”Noah hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah hal yang mudah. Dengan Dursila yang semakin terlibat, semua yang mereka rencanakan bisa saja terbongkar kapan saja.Saat itu, Jasmine menyadari betapa besar tekanan yang sedang mereka hadapi. Tidak hanya masalah kehamilan yang rentan, tetapi juga kenyataan bahwa raha
Zora hanya mengangguk sambil tersenyum, menyembunyikan kegelisahan di balik wajahnya. Setelah itu, mereka kembali ke Mansion Dirgantara dengan keheningan yang menegangkan.Noah berharap perjalanan kontrol itu bisa meyakinkan Dursila untuk kembali ke Beverly Hills. Namun, ketika mereka tiba di mansion, Dursila langsung memberi pengumuman yang membuat mereka semua terkejut.“Oma akan tinggal di sini lebih lama. Aku ingin memastikan semuanya berjalan baik sampai bayi ini lahir,” ujar Dursila dengan nada penuh kepastian.Noah dan Zora hanya bisa saling pandang, menyadari bahwa masalah mereka baru saja bertambah berat.Keputusan Dursila untuk tinggal lebih lama di Mansion Dirgantara membuat suasana semakin tegang.Noah, yang tadinya berharap neneknya segera kembali ke Beverly Hills, kini harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus terus memainkan sandiwara yang sudah melelahkan.Di malam harinya, setelah makan malam yang juga berlangsung dalam keheningan, Dursila memanggil Zora ke ruang
Suasan itu akhirnya mencair ketika Juan membuka suara.Juan menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Sepertinya aku harus berterima kasih padamu karena sudah menjemput Jasmine. Aku hampir berpikir harus mengantarnya pulang sendiri."Nada suaranya terdengar santai, tapi Noah bisa merasakan sindiran halus di dalamnya.Noah tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak benar-benar hangat. "Terima kasih karena sudah menemani istriku, Juan. Tapi sekarang, dia akan pulang denganku."Jasmine bisa merasakan ketegangan di antara kedua pria itu. Ia tahu Noah sedang menahan diri.Jasmine pun buru-buru melangkah ke arah mobil dan membuka pintu. "Ayo pergi, Noah."Noah tidak langsung masuk. Ia masih menatap Juan sejenak sebelum akhirnya berkata,"Jangan mengganggunya lagi, Juan."Juan tersenyum tipis. "Aku tidak pernah mengganggunya. Aku hanya member
Jasmine mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Angin malam berhembus pelan, membuat lampu-lampu jalan berpendar lembut di kejauhan."Aku baik-baik saja," jawabnya akhirnya."Benarkah?" Juan menyipitkan matanya, seolah mencoba menembus kebohongan yang mungkin tersembunyi di balik kata-kata Jasmine. "Kalau kau baik-baik saja, kenapa aku merasa ada kesedihan di matamu?"Jasmine terkesiap. Kata-kata Juan begitu menusuk, seolah menggali sisi hatinya yang selamaini ia coba tutupi.Jasmine menghela napas dan menatap Juan dalam-dalam. "Aku hanya menjalani hidupku sesuai dengan keadaan yang ada. Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, Juan."Juan tersenyum miris. "Jadi kau benar-benar akan terus bersama Suamimu?"Jasmine menggigit bibirnya. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan pasti.Juan mengejutkan di kalima
Jasmine kembali ke hotel sendirian. Langkahnya terasa ringan di luar, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Entah kenapa, mendengar Noah akan menemui Zora membuatnya sedikit tidak nyaman.Ia duduk di tepi ranjang, memandangi bayangannya di cermin. Tangannya mengusap perutnya yang mulai membesar. "Aku tidak boleh memikirkan ini terlalu jauh. Seperti yang Noah bilang, kita hanya terikat dalam kontrak."Tapi... benarkah hanya kontrak?Sementara itu, di tempat lain, Noah tiba di apartemen Zora. Wanita itu sudah menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi serius. Sebotol wine terbuka di meja, tapi gelas di depannya masih penuh. Sepertinya, ini bukan pertemuan biasa."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Noah langsung.Zora menatapnya dengan mata tajam. "Kau mulai berubah, Noah."Noah menyandarkan punggungnya, ekspresinya tetap datar. "Aku tidak mengerti maksu
”Bagaimana Noah kenapa kau diam? Apakah aku juga orang asing bagimu?” ulang Jasmine, menatap Noah tajam.Noah menoleh padanya, menatapnya dengan intens. Lalu, senyum kesal tersungging di bibirnya. Jasmine tahu dia sengaja mengumpan Noah untuk bertindak, dan pria itu akhirnya menanggapinya."Awalnya, aku tidak suka keberadaanmu," aku Noah, dengan jujur. "Tapi ternyata kamu berbeda."Tanpa peringatan, Noah mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir Jasmine singkat, membuatnya terkejut.August yang melihat itu langsung tertawa. "Wow, wow. Apa aku harus pergi agar kalian bisa menikmati waktu berdua?" godanya.Jasmine hanya bisa menunduk, sementara Noah kembali menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi santai, seolah tidak terjadi apa-apa.Tapi dalam hatinya, Jasmine tahu... ada sesuatu yang mulai berubah di antara mereka. Sesuatu
August mengeluarkan sebotol wine terbaiknya dari rak kayu di sudut ruangan. Ia tersenyum sambil menunjukkan botol itu ke arah Jasmine."Sebagai tamu kehormatan, kau harus mencoba ini, Jasmine. Ini koleksi spesialku, hanya aku sajikan untuk orang-orang yang berarti bagiku," katanya dengan bangga.Jasmine tersenyum sopan, tapi sebelum ia sempat menolak, Noah dengan cepat mengangkat tangan, menghentikan August."Dia tidak bisa minum, August," suara Noah terdengar tegas. "Jasmine sedang hamil. Saat ini sudah di bulan ke 5."August mengerutkan kening, lalu tatapannya bergeser pada Jasmine sebelum kembali menatap Noah dengan ekspresi penuh pemahaman."Begitu rupanya," gumam August sambil mengembalikan wine itu ke tempatnya. "Baiklah, aku akan membuatkan sesuatu yang lebih cocok untuk ibu hamil. Jus segar dan beberapa makanan ringan. Aku tahu wanita hamil sering merasa lapar, apalagi ji
Jasmine menatap takjub ke arah meja yang dipenuhi berbagai hidangan laut. Aroma gurihnya begitu menggoda, dan tampilan setiap hidangan tampak begitu menggugah selera.Matanya berbinar saat ia menoleh ke arah August. "Ini semua terlihat luar biasa. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Bisa kau jelaskan satu per satu?" tanyanya antusias.August tertawa kecil sebelum mulai menunjuk ke beberapa hidangan di hadapannya. "Ini adalah grilled lobster dengan saus lemon butter, yang di sebelahnya itu paella seafood khas Mediterranean. Lalu, ada king crab dengan saus pedas, dan ini hidangan spesialku, scallop dengan saus krim truffle."Jasmine mengangguk penuh kagum. "Semuanya terlihat lezat," gumamnya.Noah yang duduk di sampingnya tersenyum tipis. "Daripada hanya mengagumi, lebih baik kau langsung mencicipinya."Tanpa ragu, Jasmine mulai mencicipi satu per satu. Setiap gigitan terasa begi
Jasmine menatap Noah dengan serius, suaranya tegas, tidak menyisakan ruang untuk perdebatan."Ingat, Noah Dirgantara. Aku tidak ingin mengambil posisi Zora. Aku hanya ingin kita menikmati kebersamaan ini selama kita masih terikat dalam kontrak. Jika kau melakukan hal yang tidak kusukai terhadap Zora, jangan salahkan aku jika aku akan meninggalkanmu selamanya."Noah menatapnya dalam diam, ekspresinya sulit ditebak. Matanya yang tajam seperti meneliti setiap sudut wajah Jasmine, seolah mencari celah untuk membantah. Namun, akhirnya, ia menghela napas panjang dan mengangguk."Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu. Sampai bayi kita lahir, kita akan kembali ke kehidupan semula, sesuai perjanjian. Soal takdir setelahnya, itu urusan nanti."Jasmine tersenyum kecil, merasa lega dengan jawaban itu. Ia tahu Noah bukan tipe pria yang mudah menurut, tetapi setidaknya kali ini, ia berhasil m
Mata Noah menajam. Ia tahu ada sesuatu di balik ucapan Jasmine. “Jasmine… apa yang Zora katakan padamu?”Jasmine tidak menjawab. Sebaliknya, ia menarik selimut dan membenamkan wajahnya di dalamnya. “Tidak ada.”Namun, Noah tidak akan membiarkan itu berlalu begitu saja. Ia menarik tubuh Jasmine ke dalam pelukannya, memaksanya menatap matanya. “Zora mengancammu?”Jasmine masih terdiam, tetapi Noah tahu bahwa jawabannya adalah ‘iya.’Pria itu mengepalkan tangan. Rasa marah mulai membakar dadanya. Jika Zora berani menyentuh Jasmine atau bayinya, ia tidak akan tinggal diam.Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Jasmine lebih dulu berbisik, “Noah… jangan lakukan sesuatu yang bodoh…”Noah menatapnya dalam, lalu menghela napas. Ia tahu bahwa Jasmine takut.Deng
Jasmine terbaring dengan tubuh masih melekat pada Noah. Dadanya naik turun dengan napas yang masih tersengal, sementara Noah menatapnya dengan mata yang penuh gairah.Namun, di tengah keintiman itu, Jasmine mengingat sesuatu.“Noah, kita harus berhenti….” Katanya dengan suara lirih.Noah mengangkat alis, masih enggan melepaskan Jasmine dari pelukannya. “Kenapa?”“Kita harus ingat pesan dokter,” lanjutnya, tangannya yang mungil menyentuh wajah Noah, berusaha mengingatkannya. “Aku hamil lima bulan, Noah. Kita tidak bisa terlalu sering….”Noah menghela napas, lalu mengangguk. “Aku tahu… Aku juga ingin bayi kita sehat.”Namun, sejujurnya, Noah merasa tersiksa. Setiap kali berada di dekat Jasmine, tubuhnya selalu bereaksi. Ada sesuatu yang berbeda dengan wanita ini. Sesuatu yang tak pernah ia rasak