"Mereka terlihat begitu akrab?" gumam Jasmine pelan, hampir berbisik pada dirinya sendiri. Ada nada getir dalam suaranya, bercampur dengan sesuatu yang sulit ia akui.Jasmine berdiri di balik pintu ruang keluarga, mengintip perbincangan antara Zora, Noah, dan Dursila.Jasmine tahu ia seharusnya tidak berada di sana, tapi hatinya terasa berat. Ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya, sebuah perasaan yang sulit ia ungkapkan.Tatapan Dursila yang penuh otoritas membuat Jasmine teringat pada neneknya yang terbaring di RS. Meski Dursila tampak tegas, Jasmine tidak bisa menahan keinginannya untuk diperhatikan, untuk dirasakan kehadirannya dalam keluarga ini.Namun, setiap kali ia mencoba mendekat, rasa takut selalu menghantui pikirannya.Dari dalam ruangan, suara Dursila terdengar jelas. “Zora, kamu harus menjaga kondisi tubuhmu. Kehamilan muda itu penuh risiko, apalagi dengan aktivitasmu yang cukup sibuk di rumah ini.”Zora mengangguk, berusaha menunjukkan keseriusannya. Namun, dari sud
Noah terbangun telat. Matahari sudah tinggi, dan Zora serta Dursila pasti sudah berangkat berbelanja.Namun, saat langkahnya menuju ruang tamu, matanya tertumbuk pada sosok Jasmine. Wanita itu berdiri di dekat jendela, mengenakan dress tipis yang sedikit ketat di bagian pinggang dan leher, membuat Noah terdiam. Mata Noah membelalak, seolah ada yang mengganggu dirinya.“Jasmine, apa yang kamu kenakan?!” Bentakan Noah membuat Jasmine terkejut, botol air di tangannya hampir jatuh. Wajahnya langsung memucat.“Ini hanya baju daster biasa, Noah,” jawab Jasmine cemas, mencoba menjelaskan. “Aku merasa gerah.”Tapi Noah merasa emosinya meledak. Ia tidak bisa menahan diri. Pakaian Jasmine itu, meskipun biasa, tiba-tiba membuat perasaannya kacau. “Ini tidak pantas, Jasmine!” serunya lagi, suara sedikit naik.Jasmine hanya bisa menunduk, matanya mulai berair. "Aku... aku hanya merasa tidak nyaman," jawabnya lemah, merasa bersalah. Air matanya mulai turun tanpa bisa dihentikan.Noah menatapnya den
Suara pintu kamar yang terbanting keras membuat Maria, asisten rumah tangga, segera menoleh. Ia teringat pesan Zora untuk menjaga Jasmine dengan baik.”Pasti ada sesuatu yang tidak beres.” Maria melangkah cepat menuju kamar tempat suara itu berasal, dan tiba di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada Noah yang masih berdiri terpaku, ekspresi wajahnya datar, seolah tidak peduli pada apa yang baru saja terjadi.“Maaf, Tuan, ada yang bisa saya bantu?” tanya Maria hati-hati.Noah menoleh, menatap Maria sebentar, lalu menghela napas panjang."Mood-nya nggak enak," jawabnya datar. "Jaga dia baik-baik, ya. Kalau perlu, bawa dia ke dapur untuk makan."Maria hanya mengangguk, merasa ada ketegangan di udara. Dia melangkah menjauh, tapi tidak bisa menahan rasa penasaran. ’Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?’Noah melihat Maria yang sudah menjauh, lalu ia kembali berdiri di depan pintu kamar Jasmine. Ia bergeming sebentar, menatap pintu yang tertutup rapat. Dengan perlahan, ia mengetu
Jasmine melangkah keluar dari ruang kuliah, dan pandangannya langsung tertuju pada Ryan yang sedang menunggu di sudut ruangan. Sejak pertama kali bertemu, pria itu selalu membuat Jasmine merasa nyaman.Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ryan menatapnya dengan cara yang tak biasa, seperti ada ketegangan yang tersirat di matanya.“Jas,” Ryan mulai, suaranya terdengar agak tegang, “Aku... ingin nanya sesuatu.”Jasmine mengerutkan dahi, merasa ada yang aneh dengan sikap Ryan. "Ada apa, Ry?"“Pram,” Ryan melanjutkan, suara semakin rendah. “Pram itu... siapa sebenarnya?”Jasmine terkejut mendengar pertanyaan itu. Pram? Sahabat Noah, Jasmine tidak tahu kenapa tiba-tiba Ryan bertanya tentang dia.“Kenapa tanya Pram?” tanya Jasmine, mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang meski ada rasa curiga yang muncul.Ryan menatapnya lebih dalam, seakan ingin mencari tahu lebih banyak. "Nggak ada apa-apa, cuma...? Waktu itu juga, Pram yang nganterin kamu pulang," katanya, nada suaranya sedikit cembur
Jasmine terdiam menatap layar ponselnya, jarinya dengan santai men-scroll media sosial dan pesan di aplikasi Wibu miliknya. Tidak lama kemudian, sebuah notifikasi muncul dari seseorang dengan inisial "Pm" di salah satu postingannya.Pm: "Hai, aku boleh message kamu nggak?"Jasmine mengerutkan kening, merasa bingung. Inisial itu mengingatkannya pada Pram. Setelah berpikir sejenak, dia hanya membalas dengan menekan tombol suka, mencoba bersikap netral. Namun, tidak lama kemudian, sebuah pesan masuk di ponselnya.Pram: "Jasmine, boleh tidak kapan-kapan kita jalan? Oh iya, ini jadikan pertemanan ya, biar aku mudah menghubungimu. Aku Pram."Jasmine menelan saliva, ragu untuk membalas. Saat ini, mungkin masih aman jika mereka berkomunikasi atau bertemu, tapi bagaimana nanti ketika usia kandungannya menginjak trimester ketiga atau keempat? Bentuk tubuhnya pasti akan berubah drastis. Sekarang saja, pipinya mulai tampak lebih cabi.Dengan hati-hati, Jasmine hanya membalas dengan emoticon senyu
Jasmine menatap layar ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Dia masih ragu apakah harus membalas pesan Pram atau mengabaikannya.Dalam pikirannya, ada konflik yang terus berputar. Jika dia membalas, itu bisa memperumit keadaan. Tapi jika dia mengabaikan, Jasmine tahu Pram pasti akan bertanya-tanya.Dengan napas panjang, Jasmine akhirnya mengetik balasan singkat.Jasmine: "Aku baru sampai rumah, Pram. Lain kali ya."Setelah mengirim pesan itu, Jasmine meletakkan ponselnya di meja dan merebahkan diri di kasur. Pikirannya masih terjebak dalam banyak hal. Keadaan dengan Noah semakin rumit, dan kehadiran Pram dalam hidupnya sekarang justru membuatnya semakin bingung.Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk pelan. "Nona Jasmine, aku boleh masuk?" suara Maria terdengar dari balik pintu.Jasmine bangkit dan berjalan ke pintu, membukanya sedikit. "Ada apa, Maria?"Maria menatapnya dengan penuh perhatian. "Tuan Noah meminta saya membawakan teh untukmu. Katanya, kamu terlihat lelah."Jas
Bab. 67. Membuat Janji di Café EdelweissSetelah mendapatkan izin dari Noah, Jasmine akhirnya membuka aplikasi Wibu dan membalas pesan Pram.Jasmine: "Pram, kita bisa ketemu, tapi aku nggak bisa dijemput. Kita ketemu di Cafe Edelweiss di Palm Square aja, gimana?"Pram membalas dengan cepat, seakan takut Jasmine akan membatalkan.Pram: "Oh, oke! Yang penting kita bisa ketemu. Aku nggak masalah ke sana. Aku cuma pengen ngobrol sama kamu lebih banyak."Jasmine menatap layar ponselnya, merasa sedikit ragu. Dia tahu Pram hanya ingin lebih dekat dengannya, tapi dia sendiri tidak ingin memberi harapan yang salah. Baginya, ini hanya bentuk terima kasih karena Pram sudah membantunya, terutama saat dia flu dan membelikan vitamin.Dengan menghembuskan napas, Jasmine membalas singkat: "Oke, sampai ketemu besok."Pram terlihat senang dengan balasan itu. Dia memang hanya ingin mengenal Jasmine lebih dalam, meskipun dia menyadari ada batas yang tidak bisa dia langkahi.Bagi Jasmine, ini hanya sekada
Mereka pun berjalan menuju Funzone, pusat permainan yang terletak di lantai dua Palm Square. Begitu masuk, Pram langsung menarik tangan Jasmine ke arah mesin capit boneka.“Kita mulai dari sini!” katanya penuh semangat.Jasmine tertawa melihat Pram begitu serius. “Kamu yakin bisa dapat boneka dari sini? Aku pernah lihat orang habis banyak koin tapi nggak dapat apa-apa.”Pram menyeringai. “Itu karena mereka nggak punya skill. Lihat dan pelajari.”Dia memasukkan koin, lalu dengan penuh konsentrasi menggerakkan tuas. Jasmine mengamati dengan tangan terlipat di dada. “Oke, ayo lihat kehebat—”Jasmine masih tertawa saat Pram gagal lagi menangkap boneka dari mesin capit. Wajah frustasinya benar-benar menghibur.“Kamu yakin ini keahlianmu?” ledek Jasmine sambil melipat tangan.Pram mendengus, mengetuk kaca mesin capit. “Hei, ini bukan soal keahlian. Ini murni keberuntungan!”Jasmine terkikik. “Berapa kali nyoba?”Pram melirik layar mesin. “Baru... sepuluh kali?”Jasmine tertawa lebih keras.
Sementara itu, Jasmine dan Noah kembali ke hotel mereka setelah menghadiri resepsi diplomatik kecil yang digelar di Konsulat Lioren. Jasmine merasa kelelahan, namun damai. Dunia tampaknya menyambut pidatonya dengan antusias. Belasan negara telah menyatakan niat bergabung dalam Koalisi Anti-Korupsi Korporat Dunia.Namun di lobi hotel, salah satu staf keamanan mendekati mereka.“Maaf, Ibu Jasmine. Mobil pengawal Anda terlihat mengalami kerusakan. Kami menyarankan Anda untuk naik kendaraan cadangan yang sudah disiapkan.”Kiara, yang datang bersama dari belakang, menyipitkan mata. “Mobil rusak? Tapi tadi pagi sudah dicek.”Noah langsung tanggap. “Tunda. Kita tetap di sini sampai tim teknis kita periksa langsung.”Sementara staf itu berlalu, Jasmine berbisik, “Perasaanmu juga tidak enak?”Noah mengangguk. “Sangat.”Tiga puluh menit kemudian, laporan datang. Salah satu baut rem ken
Jasmine berdiri. Langkahnya mantap menuju podium. Cahaya lampu menyorot wajahnya, dan ribuan mata tertuju padanya.Ia membuka pidatonya dengan suara yang tenang tapi tegas.“Terima kasih atas kesempatan ini. Nama saya Jasmine Jorse. Hari ini, saya tidak hanya berbicara sebagai pemimpin sebuah perusahaan, tapi sebagai saksi dari bagaimana sistem keuangan yang tidak terawasi bisa menghancurkan keluarga, kepercayaan, dan masa depan.”Ia berhenti sejenak. Tatapannya menyapu seluruh ruangan.“Saya lahir dari darah seorang industrialis yang jujur dan seorang ibu yang mencintai keadilan. Mereka dibunuh, bukan oleh peluru, tapi oleh sistem yang membiarkan korupsi tumbuh di balik nama-nama besar.”Hening. Beberapa orang mulai menegakkan badan.“Selama puluhan tahun, banyak dari kita menutup mata atas praktik-praktik keuangan gelap yang dikemas dalam bahasa legal. Kita memberi ruang bagi orang seperti Leonhart Vasmer dan
“Jas... Ada seseorang dari dalam Levara Group mengirimkan pesan rahasia.”Jasmine berdiri. “Siapa?”Kiara menyerahkan sebuah flashdisk dan dokumen cetak.“Namanya tidak disebut, tapi tanda tangannya mencocok dengan seorang analis senior bernama Aline Köhler. Dia dikabarkan sudah lama tidak muncul di media, dan ternyata... dia menyimpan dokumen internal.”Jasmine membuka file pertama di layar laptop. Di sana, terdapat ratusan halaman laporan transfer dana fiktif, rekaman rapat tertutup yang memperlihatkan Leonhart menyuruh stafnya menekan media, dan yang paling mencengangkan: dokumen strategi hukum menyerang Jasmine, tertanggal sebulan sebelum gugatan didaftarkan.“Aline memberikan semua ini?” bisik Jasmine, nyaris tak percaya.Kiara mengangguk. “Dia bilang dalam pesannya: ‘Saya tidak bisa melawan langsung. Tapi saya percaya kamu bisa.’”Jasmine memandang laya
Sore hari, Jasmine menerima kabar bahwa Levara Group secara resmi mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Komersial Internasional Avenhurst.“Gugatan ini tidak berdasar,” ujar Kiara. “Tapi tetap harus kita jawab.”Jasmine membaca dokumen gugatan. Tuduhannya kejam: penyalahgunaan informasi pribadi, sabotase ekonomi, dan pencemaran nama baik.“Dia menyerang dari jalur hukum karena sudah kalah di jalur fakta,” ucap Jasmine pelan. “Tapi kita tidak boleh gegabah. Kita jawab elegan. Kita buktikan kebenaran bisa berjalan lurus tanpa harus menabrak.”Malam hari, setelah hari yang panjang dan rapat yang tak ada habisnya, Jasmine akhirnya kembali ke kamar hotel tempat ia menginap bersama Noah. Penerangan temaram, lampu-lampu kota Eresia berkelap-kelip seperti bintang-bintang kecil dari balik jendela kaca.Noah sudah menunggunya. Ia duduk di sofa dengan mengenakan kaus gelap dan celana santai, rambutnya sedikit acak.“Kau terlihat seperti ratu perang yang baru pulang dari medan tempur,” gumam
Tangannya bergetar.“Noah,” bisiknya saat pria itu menghampiri.“Ada apa?”Jasmine menyodorkan dokumen itu dengan mata basah. “Mereka… mereka tidak hanya berkhianat. Mereka membunuh.”Sesi kedua sidang dibuka dengan panggilan terhadap saksi ahli forensik kendaraan. Ia menjelaskan bahwa tingkat kerusakan sistem rem tidak mungkin terjadi karena usia atau kelalaian servis. Ia menunjukkan simulasi digital yang menunjukkan titik-titik sabotase.Hakim terlihat terguncang. Lucas mulai gelisah. Ia mencoba berdiskusi dengan pengacaranya, tapi mikrofon ruang sidang menangkap ucapannya:“Aku bilang hentikan semua jejak itu. Kenapa masih ada yang muncul?”Sorotan kamera langsung diarahkan ke wajahnya. Raut panik dan kemarahan membuatnya tak lagi mampu menyembunyikan kecemasan.Jaksa Norell lalu berdiri dengan bukti tambahan.“Yang Mulia, kami memohon agar Lucas Greif ditahan tanpa syarat selama penyelidikan. Bukti menunjukkan adanya potensi penghilangan jejak, tekanan terhadap saksi, dan keterlib
Noah, yang melihat semua itu, langsung menghubungi Jasmine.“Aku tahu ini menyakitkan. Tapi jangan biarkan hal-hal itu mengalihkanmu.”“Aku tidak akan mundur,” sahut Jasmine tegas. “Tapi aku tidak bisa bohong, ini melelahkan.”“Aku akan ke Eresia besok,” kata Noah. “Kamu tidak harus hadapi ini sendirian lagi.”Jasmine terdiam sejenak, lalu suaranya melunak. “Terima kasih. Mungkin kali ini... aku memang butuh bahumu lebih dari sekadar kata-kata.”Sore itu, Jasmine duduk sendiri di taman kecil belakang kantor EILI. Suara burung camar terdengar samar. Ia menutup mata sejenak.Langkah kaki menghampiri. Noah datang, lebih cepat dari yang dijanjikan. Pria itu berdiri di depannya, dengan senyum penuh kehangatan.“Aku tahu kau bilang besok,” kata Jasmine, sedikit terkejut.“Aku tahu kau butuh hari ini.”Jasmine berdiri. Mereka saling mendekat, lalu tanpa banyak kata, Noah menariknya ke dalam pelukan. Pelukan itu lama. Lama sekali. Seolah seluruh dunia menjadi latar belakang bisu.Saat Jasmine
Pagi di Eresia tiba dengan udara dingin dan kabut tipis yang menyelimuti gedung-gedung tinggi kota pelabuhan itu. Tapi suasana kantor Kejaksaan Tinggi justru panas sejak dini hari. Setelah pernyataan resmi dibuka untuk publik, penyelidikan atas Leonhart Vasmer dan Lucas Greif berubah dari rumor menjadi aksi nyata.Media lokal dan internasional berkumpul di depan gedung, berebut tempat terbaik untuk mendapatkan gambar pertama dari dokumen penyitaan yang sudah ditandatangani. Wartawan menggali lebih dalam, memunculkan artikel-artikel investigatif yang selama ini terkubur, kini mendapat perhatian kembali.Di ruang kerja Jasmine, yang sementara dipinjam dari kantor hukum EILI, Kiara datang membawa berita besar."Lucas Greif ditangkap tadi pagi di perbatasan selatan Valmora," ucapnya cepat, napas sedikit terengah.Jasmine bangkit dari kursi. “Benarkah?”Kiara mengangguk. “Dia mencoba kabur ke wilayah netral, tapi ditahan setelah surat penangkapan internasional keluar malam tadi.”Suasana r
Pagi menyelimuti Eresia dengan cahaya keemasan yang lembut, tapi di dalam ruang rapat kantor hukum internasional EILI, ketegangan menyatu dengan antusiasme. Jasmine duduk di kursi utama, diapit oleh Kiara dan penasihat hukum Eresia. Di hadapan mereka, berkas-berkas hasil investigasi yang telah diperkuat oleh pernyataan saksi Grego Marven dan dokumen asli dari arsip Ardian Jorse tersusun rapi, siap diserahkan ke otoritas hukum Eresia.“Dengan ini, kami menyerahkan semua bukti sebagai dasar pembukaan kembali kasus tertutup tahun 2005 atas nama Lucas Greif dan Leonhart Vasmer,” ucap Jasmine dengan tegas.Dokumen itu diterima oleh perwakilan Kejaksaan Eresia, Tuan Adelric Norell, seorang pria muda dengan reputasi bersih yang dikenal gemar menindak kasus korupsi lintas negara. Ia membaca sekilas, lalu mengangguk.“Materi ini cukup kuat untuk membuka jalur hukum formal. Dalam waktu 48 jam, kami akan keluarkan surat penyelidikan resmi. Jika terbukti valid, nama Leonhart akan masuk daftar pen
Langit Eresia diselimuti kabut pagi ketika pesawat pribadi yang ditumpangi Jasmine, Kiara, dan tim hukum mendarat di bandara internasional kota tersebut. Meski Eresia dikenal sebagai kota pelabuhan yang sibuk, pagi itu terasa seperti menyimpan rahasia yang siap terbongkar.“Selamat datang kembali di tempat masa lalu ayahmu pernah bergema,” bisik Kiara saat mereka menuruni tangga pesawat.Jasmine mengangguk pelan. “Dan semoga kita pulang membawa kebenaran yang selama ini dikubur.”Tim mereka langsung menuju kantor hukum independen yang sebelumnya bekerja sama dengan Ardian Kartika Jorse. Pria yang menyambut mereka adalah Lucian Velmar, mantan asisten hukum Ardian dua dekade lalu, kini kepala penasihat hukum di Eresia International Law Institute.“Jasmine Jorse…” ucapnya dengan nada emosional saat melihat wajah Jasmine. “Kau mewarisi mata ibumu, dan ketegasan ayahmu.”“Terima kasih, Pak Lucian. Aku datang untuk mengungkap apa yang belum sempat Ayah dan Ibu ungkapkan,” jawab Jasmine.Mer