Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, membiaskan sinar keemasan yang menerpa wajah Jasmine. Ia menggeliat pelan, merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhnya.Saat kesadarannya kembali, ia menyadari satu hal: dirinya masih berada di dalam pelukan Noah.’Wajahnya sangat membuat nyaman jika masih terpejam,’ puji Jasmine di dalam hati, di ikuti senyum dengan wajah malasnya karena baru membuka mata.Pria itu masih tertidur lelap, satu lengannya erat melingkari pinggangnya, seolah tidak ingin melepaskan Jasmine pergi. Napasnya berhembus pelan di sisi leher Jasmine, membuat jantung wanita itu berdegup lebih cepat.Seharusnya Jasmine pergi. Seharusnya ia menjauh dari Noah sebelum semuanya menjadi lebih rumit.Namun, entah kenapa, tubuhnya enggan bergerak. Ia hanya menatap wajah pria itu dalam diam. Betapa damainya ekspresi Noah saat tidur. Tidak ada raut dingin atau sikap arogan seperti biasanya. Hanya seorang pria yang terlihat lelah dan rapuh.Jasmine tersenyum miris. ’Sean
Jasmine duduk dengan tenang di meja lobi hotel, menikmati roti panggang dan susu strawbery yang dibawakan Pram. Pria itu duduk di hadapannya, tersenyum lembut seperti biasa."Terima kasih, Jasmine," ujar Pram tiba-tiba.Jasmine menghentikan kunyahannya dan menatapnya dengan bingung. "Untuk apa?""Untuk kesabaranmu merawat Noah tadi malam. Aku tahu dia bisa sangat merepotkan," jawab Pram sambil mengaduk kopinya. "Walau dia itu kakak iparmu, tetap saja… aku tahu kamu pasti capek."Jasmine tersenyum kecil. "Noah memang menyebalkan, tapi aku sudah terbiasa."Pram menghela napas panjang. "Kalau kamu lelah, kamu bisa cerita padaku, Jasmine. Aku ada di sini, dan aku selalu bisa mendengar."Jasmine menatapnya, menyadari ketulusan di mata Pram. Pria itu memang selalu baik, selalu ada ketika ia membutuhkannya. Bukan seperti Noah yang selalu membuat segalanya men
”Noah, apa kabar?” Jabat tanggan tuan Bulharm yang kemudian di ikuti putri sulungnya Venesia.Wanita itu ingin melakukan cium pipi kanan dan kiri, tapi Noah segera melepas dan tidak menyambutnya.Jasmine tersenyum kecil kemudian mereka menuju ruang pertemuan.Suasana ruang pertemuan di kediaman Bulharm terasa begitu dingin dan penuh tekanan. Jasmine duduk di kursinya, mendengarkan percakapan antara Noah, Pram, dan Venesia tentang kesepakatan bisnis mereka.Noah berbicara dengan nada yang tenang dan berwibawa, seolah kejadian tadi malam tak pernah terjadi.Jasmine mencoba fokus, tapi pikirannya terusik oleh tatapan Venesia yang sesekali mengarah kepadanya, tatapan penuh ejekan dan superioritas.“Noah, jika kita menandatangani kontrak ini, berarti perusahaan Dirgantara dan Bulharm resmi menjadi mitra jangka panjang,” ujar Venesia, menggeser dokumen ke
“Kenapa aku marah?” ucapnya, suara Noah penuh tekanan. “Karena kau membiarkan Pram berbicara seperti itu di depan semua orang. Seakan-akan kau memang ingin bersamanya.”Jasmine menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.“Apa masalahnya, Noah? Aku sudah mengatakan sejak awal. Nikmati saja semua ini selama kontrak masih berjalan. Setelah itu, kita akan kembali ke kehidupan masing-masing.” Noah terdiam.Jasmine tersenyum pahit. “Itu juga yang kau katakan padaku, bukan? ‘Jangan berharap lebih, bahkan kau harus bisa merahasiakan hal ini.’”Mata Noah berubah tajam. Ia teringat dengan kata-katanya sendiri saat awal kontrak mereka dibuat. Saat itu, ia ingin menjaga jarak, tidak ingin perasaan ikut terlibat. Tapi sekarang, semuanya sudah berubah.Jasmine hendak membuka pintu mobil, tapi Noah dengan cepat menar
Jasmine menghela napas panjang saat melihat Noah pergi dengan langkah penuh amarah. Dadanya terasa sesak. Sementara itu, Pram hanya menghela napas dan menatap Jasmine dengan khawatir."Kau baik-baik saja?" tanya Pram pelan.Jasmine memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja, Pram. Aku hanya lelah."Walau hati kecilnya lelah, dia sangat lelah dengan rasa cemburunya dan rasa cemburu Noah yang berlebihan. Dia lelah dengan pertengkarannya dengan Noah yang diulang berkali-kali.Pram mengangguk. "Kalau begitu, istirahatlah. Aku tidak ingin menambah bebanmu. Tapi ingat, Jasmine... Aku di sini untukmu, kapan pun kau butuh."Jasmine mengangguk tanpa berkata-kata. Setelah itu, ia kembali ke kamarnya, tetapi hatinya masih kacau.Saat membuka pintu kamar, ia terkejut melihat Noah berdiri di dalam, bersandar pada dinding dengan wajah gelap."Kau tidak men
Pagi itu, suasana kamar terasa dingin meski sinar matahari telah menembus tirai jendela. Jasmine membuka matanya perlahan, mendapati Noah masih duduk di sofa, kepalanya menunduk, seolah tidak tidur semalaman.Jasmine ingin mengabaikannya, tetapi ada sesuatu di dalam hatinya yang membuatnya enggan membiarkan pria itu begitu saja. Ia mendekat, lalu berjongkok di hadapan Noah."Kau tidak tidur?" tanyanya pelan.Noah mengangkat kepala, menatap Jasmine dengan mata merah dan lelah. "Aku tidak bisa tidur."Jasmine menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke meja kecil di dekat tempat tidur untuk menuangkan segelas air putih. "Minum ini, kau butuh sesuatu yang menyegarkan."Noah menerimanya tanpa berkata-kata. Ia meneguk air itu perlahan, sementara Jasmine melangkah ke balkon, menikmati udara pagi Bulgarion. Namun, baru beberapa detik, tangan Noah melingkar di pinggangnya dari belakang.
Noah berjalan lebih dulu tanpa menoleh ke belakang, sementara Jasmine dan Pram masih berbicara di belakangnya."Aku akan mengantarmu pulang," kata Pram sambil tersenyum pada Jasmine.Sebelum Jasmine bisa menjawab, suara berat Noah memotong. "Dia pulang bersamaku."Jasmine dan Pram sama-sama menoleh.Pram mengernyit bingung. "Tapi rumah Jasmine bukan—""Aku akan mengantarnya," ulang Noah lebih tegas.Jasmine menghela napas panjang. "Tidak perlu, Noah. Aku bisa pulang sendiri."Noah menatapnya dingin. "Masuk ke mobil sekarang."Jasmine ingin membantah, tetapi tatapan Noah begitu menekan. Pram, yang masih tidak tahu apa-apa, hanya menatap mereka berdua dengan penuh tanya."Aku pulang dulu, Pram," ucap Jasmine akhirnya, sebelum melangkah ke arah mobil Noah.Pram menatap kepe
"Apa kau masih pemalu?" suara Noah terdengar menggoda.Jasmine menghela napas panjang. "Aku hanya malas berurusan denganmu."Noah terkekeh kecil sebelum naik ke tempat tidur, merebahkan tubuhnya di samping Jasmine."Aku tidak akan menggigitmu, Jasmine," katanya pelan.Jasmine tetap diam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi keberadaan Noah begitu dekat membuatnya sulit berpikir jernih.Lalu tiba-tiba, Noah menarik Jasmine ke dalam pelukannya, membuat wanita itu terkejut."Noah! Lepaskan aku!"Noah tidak menjawab. Tubuhnya terasa hangat, aroma maskulin khasnya memenuhi indera penciuman Jasmine."Noah, aku serius!" seru Jasmine dengan tatapan tajam.Namun, pria itu hanya mempererat pelukannya dan berbisik di dekat telinga Jasmine."Aku tidak akan melepasmu lagi, Jasmine. Kau milikku."
Jasmine yang sejak tadi diam, merasa darahnya mendidih. Dia berdiri tegak, matanya memandang pesan itu seakan menantang. "Tidak ada lagi tempat bersembunyi," ucapnya, suaranya penuh tekad dan keberanian yang tak bisa dipadamkan. "Kita akan berhadapan langsung."Seketika, seluruh ruangan terasa hening, hanya suara detak jantung yang terdengar keras di telinga mereka. Waktu terasa berhenti sejenak, dan semuanya tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Keputusan telah dibuat. Mereka harus menghadapi musuh mereka, apapun risikonya.Malam itu, langit Arenia dipenuhi bintang-bintang yang seolah menyaksikan perjalanan mereka. Di luar jendela, angin bertiup kencang, membawa nuansa ketegangan yang semakin tebal. Bintang-bintang di langit seakan menjadi saksi dari pertempuran terakhir yang akan segera meletus. Masing-masing dari mereka tahu bahwa ini adalah momen yang tak bisa dihindari. Setiap pilihan yang mereka ambil sekarang akan menentukan masa depan mereka.Jasmine
Mata Jasmine menyipit. Satu teka-teki terungkap, tetapi gambaran yang lebih besar tampak lebih mengerikan."Bagaimana dengan bukti?" tanya Kiara. "Ada rekaman, dokumen?"Sebastian mengangguk. "Ada. Semua transaksi, semua perintah, disimpan di server rahasia. Aku tahu koordinatnya. Ada di luar Arenia, di fasilitas bawah tanah di Eresia.""Kau mau mengantar kami ke sana?" tanya Noah, nadanya datar.Sebastian mengangguk dengan cepat. "Asal kau jamin keselamatanku... aku akan bawa kalian ke semua bukti."Jasmine mengangguk. "Kalau begitu, kita bergerak besok. Tapi sebelum itu, kau akan menuliskan seluruh kesaksianmu di bawah sumpah."Sebastian mulai menulis. Tangan gemetar, keringat menetes di dahinya.Kiara membantu mengamankan dokumen. Evan menghubungi pengacara Project Axis untuk memastikan semuanya sah secara hukum internasional.Saat Sebastian sibuk menulis, Jasmine berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menatap langit malam Aren
Kiara memegang tablet kecil yang terhubung ke jaringan deteksi panas. "Tiga orang bersenjata di depan, enam puluh meter. Mereka berjaga.""Itu pasti markas Sebastian," bisik Evan.Mereka berbelok ke gang kecil, berhenti di balik dinding batu berlumut."Kita harus hati-hati," ujar Noah. "Begitu kita masuk, tidak ada jalan mundur."Jasmine menarik napas dalam-dalam, merasakan detak jantungnya berdentum keras di dadanya."Aku siap," katanya.Kiara mengirimkan sinyal disruptor untuk menjatuhkan kamera pengawas sementara. Evan bergerak cepat membobol kunci pintu dengan alat digital.Saat pintu terbuka sedikit, suara langkah tergesa terdengar dari dalam."Dia tahu kita datang!" seru Evan.Tanpa pikir panjang, Jasmine dan Noah menyerbu masuk. Suara benturan kayu dan desakan sepatu memenuhi udara.Di lantai atas, Sebastian Warde berusaha kabur lewat jendela, namun Noah lebih cepat. Ia menarik pria itu jatuh ke lantai deng
Malam itu di hotel, Jasmine dan timnya menelaah data dengan tegang.Nama-nama besar bermunculan: politisi, CEO, pejabat tinggi. Beberapa nama mengejutkan mereka."Ini tidak mungkin..." bisik Kiara, matanya membelalak.Di antara daftar itu, muncul nama seorang mentor lama keluarga Jorse, seseorang yang selama ini mereka kira sekutu setia."Dia...?" Evan bergumam, suara tercekat.Jasmine mengepalkan tinjunya. Dunia yang ia kenal mulai runtuh, pengkhianatan terasa lebih pahit dari yang pernah ia bayangkan.Namun satu hal pasti: Arenia bukan hanya menjadi tempat pertemuan masa lalu dan masa depan.Arenia akan menjadi medan pertarungan terakhir.Di luar jendela, Château De Lune bersinar megah di tengah kegelapan, seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjang mereka.Dan di dalam hatinya, Jasmine tahu, apa pun yang terjadi... ia tidak akan mundur.Karena kali ini, bukan hanya masa depan yang ia pertaruhkan.Tapi seluruh kebenaran tentang siapa dirinya sebenarnya.Pagi di Arenia datang perlah
Dalam waktu kurang dari 24 jam, tim kecil dibentuk. Jasmine, Noah, Kiara, dan dua penyelidik andalan Project Axis bersiap menuju Morvenia. Di dalam koper mereka bukan hanya dokumen dan peralatan, tapi juga kekuatan moral dari seluruh dunia yang menanti jawaban.Sebelum keberangkatan, Jasmine berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Avenhurst. Cahaya lampu malam tampak seperti bintang-bintang yang mendekat ke bumi.Noah menghampirinya, memeluknya dari belakang.“Kalau ini benar-benar jebakan, apakah kamu siap?”Jasmine menoleh. “Kalau ini membawaku ke kebenaran yang Ayah dan Ibu pertaruhkan nyawa mereka untuk... maka aku akan datang, walau hanya satu langkah dari jurang.”Dan mereka berangkat. Ke negeri tanpa nama, tempat di mana hukum telah lama dijual, dan kebenaran harus dicuri kembali dari balik kegelapan."Senja perlahan turun di atas langit Valmora," gumam Noah sambil menatap ke luar jendela pesawat pribadi yang meluncur stabil di udara. Di dalam kabin, Jasmine duduk di
Sore harinya, sebuah konferensi pers dilakukan oleh Jasmine secara langsung dari kantor pusat Project Axis. Disiarkan secara global, jutaan orang menyaksikan saat Jasmine berdiri dengan latar belakang simbol Jorse dan Project Axis bersatu.“Beberapa orang bilang kami nekat. Bahwa kami bermain dengan kekuatan yang terlalu besar. Tapi hari ini, kami katakan: dunia tidak lagi milik mereka yang menyembunyikan kekuatan dalam bayangan.”Ia mengangkat dokumen resmi dari Mahkamah Internasional.“Surat penahanan Leonhart Vasmer telah disahkan. Dan kami, Project Axis, akan bekerja sama dengan semua negara yang berani berkata ‘cukup.’ Ini adalah awal baru.”Media berebut bertanya. Jasmine menjawab satu per satu dengan ketenangan dan presisi. Namun satu pertanyaan dari wartawan Eresia membuatnya diam sejenak:“Apakah Anda siap menghadapi ancaman terakhir dari jaringan yang kini terpojok?”Jasmine menatap l
Sore harinya, Jasmine dan tim hukum membuka sistem cadangan itu. Dengan bantuan ahli digital forensik, dana sebesar 1,7 miliar dolar muncul dalam 13 akun berbeda di bawah nama entitas tak dikenal.“Ini cukup untuk membiayai Project Axis selama dua dekade penuh,” ujar Evan dengan nada kagum.Jasmine menatap layar dengan tenang. “Ayah tidak hanya meninggalkan warisan. Dia meninggalkan senjata terakhir.”Kiara menambahkan, “Dengan ini, kita bisa memperkuat keamanan digital, memberi perlindungan untuk saksi, dan memperluas koalisi.”“Dan kita lakukan itu malam ini,” ucap Jasmine.Sementara itu, di Zurich, Leonhart mendapat kabar bahwa seluruh asetnya telah dibekukan. Lebih buruk lagi, satu per satu mitra bisnis lamanya mulai menawarkan kerja sama kepada Project Axis.“Ini pengkhianatan,” geram Leonhart sambil meremukkan gelas di tangannya.Klemens menjawab datar. “Ini... kelangsungan hidup.”Leonhart bangkit dari kursi. “Kalau begitu, aku harus mencari jalan keluar sebelum semuanya hilang
“Aku tidak menyangka mereka akan bergerak secepat ini,” kata Evan, melihat daftar partisipan yang terus bertambah.Jasmine menjawab, “Dunia sudah lelah dijajah oleh sistem yang tak terlihat. Kita hanya menyalakan lentera. Mereka yang lain... membawa obor.”Tapi seperti angin sebelum badai, keheningan tidak bertahan lama. Di sore yang dingin, sebuah ledakan kecil terjadi di salah satu gudang data Project Axis di pinggiran Lioren. Tidak ada korban, tapi jelas... ini bukan kecelakaan.“Pesan dari jaringan lama,” ujar Kiara sambil menunjukkan hasil investigasi awal. “Mereka mulai menargetkan infrastruktur. Mereka tidak bisa menghentikanmu secara hukum, jadi mereka serang fondasinya.”Jasmine menatap puing-puing digital dari rekaman drone. Wajahnya tak bergeming.“Kalau begitu... kita pindahkan data ke server awan global, dengan backup di enam negara berbeda. Kita jangan beri mereka kesempatan kedua.”Noah masuk dengan wajah serius. “Dan aku baru dapat laporan. Ada tiga pria tak dikenal ya
Fajar menyingsing perlahan di langit Avenhurst, tapi hari itu bukan awal biasa. Di ruang tengah kediaman perlindungan tinggi tempat Jasmine ditampung, belasan layar digital menyala serempak. Wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia muncul melalui jaringan video terenkripsi—pengacara HAM internasional, jaksa dari Eresia dan Valmora, perwakilan Interpol, serta penasihat hukum dari Mahkamah Internasional.Jasmine duduk di kursi utama. Ia mengenakan setelan hitam dengan rambut dikuncir rapi. Di sampingnya, Kiara dan Evan menatap layar dengan mata yang tak berkedip.“Langkah ini tidak hanya historis,” ujar Kiara, “tapi juga berisiko tinggi. Begitu nama Leonhart diajukan ke Mahkamah Internasional, ia akan diperlakukan sebagai penjahat kelas berat. Dan itu bisa memicu tindakan terakhir dari jaringannya.”Jasmine mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak lagi bicara tentang pencucian uang atau sabotase korporat. Kita bicara tentang konspirasi pembunuhan, pelanggaran HAM, dan ancaman terhadap stab