Jasmine terus melangkah cepat menuju hotel tanpa menoleh ke belakang. Hatinya masih bergetar karena ciuman Noah tadi. Bukan karena marah, tapi karena ada sesuatu yang terasa lebih dalam dari sekadar amarah dan gairah.Begitu tiba di depan pintu kamar hotel, Jasmine berhenti dan berbalik. Noah yang sedari tadi mengikutinya juga berhenti beberapa langkah di belakangnya.“Apa kau ingat sesuatu, Noah?” suara Jasmine terdengar pelan, tetapi menusuk.Noah mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Jasmine menatapnya dalam-dalam, lalu mengulang dengan nada dingin, “Kamu jangan berharap lebih, bahkan kamu harus bisa merahasiakan hal ini.”Noah terdiam. Kata-kata itu terdengar begitu familiar, dan Jasmine mengatakannya dengan nada yang sama seperti dirinya dulu saat awal kontrak mereka.“Dulu kau mengatakannya dengan begitu
“Oh, kebetulan sekali! Aku ada jadwal meeting di sana juga. Senang bisa bertemu. Bisa kita bertukar pikiran nanti?”Jasmine tersenyum kecil. “Tentu. Akan sangat menyenangkan.”Setelah beberapa pertukaran kata, Pram akhirnya menutup telepon. Jasmine mengembalikan ponsel itu ke tangan Noah sambil melipat tangan di depan dada.Noah menatapnya tajam. “Jadi, Bulgarion?”Jasmine mengangkat bahu. “Kau tidak punya alasan lain, kan? Setidaknya sekarang Pram tidak curiga.”Noah mendengus frustrasi. “Kau tahu dia menyukaimu, bukan?”Jasmine menahan tawa. “Ya, aku tahu.”Noah mencengkram dagu Jasmine, memaksanya menatapnya. “Dan kau membiarkannya?”Jasmine tersenyum misterius. “Bukankah sejak awal kau yang berkata kalau aku tidak boleh berha
“Pram, ayo bicara tentang proyekmu,” kata Jasmine berusaha mengalihkan suasana.“Oh, tentu,” Pram menoleh ke arah Jasmine dan mulai menjelaskan tentang proyek pemasaran terbaru yang sedang ia kerjakan.Namun, meski Pram berbicara, Noah tidak benar-benar mendengarkannya. Yang ada di pikirannya hanyalah satu hal: Jasmine miliknya. Tidak ada pria lain yang boleh mendekatinya, apalagi menyentuhnya seperti yang Pram lakukan tadi.Ketika mereka sampai di hotel, Noah langsung menarik Jasmine keluar dari mobil sebelum Pram sempat mengatakan sesuatu. Ia menggenggam pergelangan tangan Jasmine erat dan menyeretnya menuju lift hotel tanpa peduli pada tatapan bingung Pram.Begitu pintu lift tertutup, Noah mendorong Jasmine ke dinding dan menatapnya dengan mata yang membara.“Kau menikmatinya, ya?” gumam Noah tajam.“Aku tidak peduli dengan kont
Jasmine menggeleng, mencoba mempertahankan akalnya. “Kau hanya mengatakan ini karena kecemburuanmu. Besok, kau mungkin akan melupakannya.”Noah mendesah frustrasi. Ia mengusap wajahnya, lalu menatap Jasmine dengan mata penuh luka dan keinginan yang ia sendiri belum bisa pahami.“Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya lebih tenang tapi masih penuh ketegangan. “Kalau memang begitu yang kau pikirkan, maka nikmati saja sisa waktu kita bersama.”Lalu, dengan tatapan tajam dan penuh ancaman, ia menambahkan, “Tapi jangan salahkan aku jika setelah kontrak ini berakhir, aku tidak akan membiarkanmu pergi.”Jasmine menahan napasnya.Karena ia tahu, Noah tidak sekadar berbicara. Noah benar-benar tidak akan melepaskannya.Malam itu Noah tidur dengan mendekap erat tubuh Jasmine, sedangkan Jasmine tidur membelakanginya.Pagi di Bulgarion terasa lebih dingin dibandingkan biasanya. Langit mendung, angin berhembus sejuk, namun suasana hati Noah justru semakin panas.Sejak kedatangan Pram, batas antara di
Tangannya menekan pinggang Jasmine, membuat gadis itu semakin dekat dengannya. Bibirnya bergerak lebih agresif, menuntut respons, dan Jasmine meskipun berusaha mempertahankan harga dirinya, tidak bisa menolak perasaan yang perlahan menguasainya.Saat mereka akhirnya menarik napas, Noah menatapnya dengan mata gelap yang penuh dengan ketegangan. “Aku tidak suka melihatmu dengan Pram.”Jasmine tersenyum samar, meskipun pipinya merona. “Tapi aku tidak melanggar aturan apa pun.”Noah menggeram, lalu dengan suara serak dia berkata, “Aku akan mengubah aturannya.”Tidak lama mereka langsung saling menjauh saat terasa Pram mendekat ke arahnya. Jasmine dan Noah bersikap seolah hanya perselisihan antar saudara.Pram menatap Noah dengan ekspresi jengkel. Ia melipat tangan di dadanya dan mendesah keras sebelum akhirnya berkata, “Ayolah, Noah. Beri kesempatan sepupumu ini bersenang-senang. Kamu nggak kasihan? Dia sudah jauh dari suaminya, di sini cuma tertekan olehmu sebagai sepupu iparnya.”Noah t
Jasmine menghela napas panjang saat ia berusaha membawa Noah yang setengah sadar menuju mobil. Pria itu benar-benar memberatkannya, tubuhnya terasa lemas akibat pengaruh alkohol, membuat Jasmine harus menopangnya dengan hati-hati.“Kamu mengerjaiku, Noah! Dan juga bayimu saat ini. Kalau ada apa-apa dengan kami, aku tidak akan memaafkanmu,” omelnya kesal.Namun, Noah hanya tersenyum samar, matanya yang sayu menatap Jasmine dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan gerakan lambat, ia mengangkat satu jarinya dan menempelkannya di bibir Jasmine.“Ssttt… diam, cantik. Semua salahmu,” gumamnya dengan suara berat dan serak. “Aku lelah… mau beristirahat…”Jasmine memutar bola matanya. “Dasar menyebalkan,” gumamnya, tetapi tetap membantunya masuk ke dalam mobil.Di perjalanan menuju hotel, Jasmine harus menghadapi kekacauan lainnya—Noah hampir muntah berkali-kali. Ia menggertakkan giginya, berusaha menjaga kesabaran sementara tangannya sibuk menahan kepala Noah agar tidak terlalu banyak berg
Jasmine dengan susah payah menyudahi ciuman itu. Tangannya menahan wajah Noah agar tidak semakin dalam menyesap bibirnya. Nafasnya memburu, wajahnya merona karena sentuhan Noah yang semakin berani.“Noah, cukup,” bisiknya pelan, meski tubuhnya sendiri terasa gemetar karena efek mabuk pria itu yang justru semakin liar.Namun, Noah tidak mau berhenti begitu saja. Jemarinya mulai berusaha membuka hoodie yang Jasmine kenakan, tetapi dengan cekatan Jasmine menahannya.Sebagai gantinya, ia malah membalas dengan membuka kancing kemeja Noah satu per satu, membuat pria itu tersenyum samar.“Kamu mau ikut bermain denganku?” suara Noah terdengar rendah, penuh godaan.Jasmine menghela napas panjang. “Aku tidak bermain, Noah. Aku hanya ingin membersihkan tubuhmu.”Tanpa memberikan kesempatan Noah untuk menggoda lebih lanjut, Jasmine menyalakan shower kembali dan mulai menyabuni tubuh pria itu. Gerakannya lembut, telaten, seperti seorang ibu yang sedang memandikan anak kecil.Tapi Noah tetaplah pri
Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, membiaskan sinar keemasan yang menerpa wajah Jasmine. Ia menggeliat pelan, merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhnya.Saat kesadarannya kembali, ia menyadari satu hal: dirinya masih berada di dalam pelukan Noah.’Wajahnya sangat membuat nyaman jika masih terpejam,’ puji Jasmine di dalam hati, di ikuti senyum dengan wajah malasnya karena baru membuka mata.Pria itu masih tertidur lelap, satu lengannya erat melingkari pinggangnya, seolah tidak ingin melepaskan Jasmine pergi. Napasnya berhembus pelan di sisi leher Jasmine, membuat jantung wanita itu berdegup lebih cepat.Seharusnya Jasmine pergi. Seharusnya ia menjauh dari Noah sebelum semuanya menjadi lebih rumit.Namun, entah kenapa, tubuhnya enggan bergerak. Ia hanya menatap wajah pria itu dalam diam. Betapa damainya ekspresi Noah saat tidur. Tidak ada raut dingin atau sikap arogan seperti biasanya. Hanya seorang pria yang terlihat lelah dan rapuh.Jasmine tersenyum miris. ’Sean
Jasmine yang sejak tadi diam, merasa darahnya mendidih. Dia berdiri tegak, matanya memandang pesan itu seakan menantang. "Tidak ada lagi tempat bersembunyi," ucapnya, suaranya penuh tekad dan keberanian yang tak bisa dipadamkan. "Kita akan berhadapan langsung."Seketika, seluruh ruangan terasa hening, hanya suara detak jantung yang terdengar keras di telinga mereka. Waktu terasa berhenti sejenak, dan semuanya tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Keputusan telah dibuat. Mereka harus menghadapi musuh mereka, apapun risikonya.Malam itu, langit Arenia dipenuhi bintang-bintang yang seolah menyaksikan perjalanan mereka. Di luar jendela, angin bertiup kencang, membawa nuansa ketegangan yang semakin tebal. Bintang-bintang di langit seakan menjadi saksi dari pertempuran terakhir yang akan segera meletus. Masing-masing dari mereka tahu bahwa ini adalah momen yang tak bisa dihindari. Setiap pilihan yang mereka ambil sekarang akan menentukan masa depan mereka.Jasmine
Mata Jasmine menyipit. Satu teka-teki terungkap, tetapi gambaran yang lebih besar tampak lebih mengerikan."Bagaimana dengan bukti?" tanya Kiara. "Ada rekaman, dokumen?"Sebastian mengangguk. "Ada. Semua transaksi, semua perintah, disimpan di server rahasia. Aku tahu koordinatnya. Ada di luar Arenia, di fasilitas bawah tanah di Eresia.""Kau mau mengantar kami ke sana?" tanya Noah, nadanya datar.Sebastian mengangguk dengan cepat. "Asal kau jamin keselamatanku... aku akan bawa kalian ke semua bukti."Jasmine mengangguk. "Kalau begitu, kita bergerak besok. Tapi sebelum itu, kau akan menuliskan seluruh kesaksianmu di bawah sumpah."Sebastian mulai menulis. Tangan gemetar, keringat menetes di dahinya.Kiara membantu mengamankan dokumen. Evan menghubungi pengacara Project Axis untuk memastikan semuanya sah secara hukum internasional.Saat Sebastian sibuk menulis, Jasmine berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menatap langit malam Aren
Kiara memegang tablet kecil yang terhubung ke jaringan deteksi panas. "Tiga orang bersenjata di depan, enam puluh meter. Mereka berjaga.""Itu pasti markas Sebastian," bisik Evan.Mereka berbelok ke gang kecil, berhenti di balik dinding batu berlumut."Kita harus hati-hati," ujar Noah. "Begitu kita masuk, tidak ada jalan mundur."Jasmine menarik napas dalam-dalam, merasakan detak jantungnya berdentum keras di dadanya."Aku siap," katanya.Kiara mengirimkan sinyal disruptor untuk menjatuhkan kamera pengawas sementara. Evan bergerak cepat membobol kunci pintu dengan alat digital.Saat pintu terbuka sedikit, suara langkah tergesa terdengar dari dalam."Dia tahu kita datang!" seru Evan.Tanpa pikir panjang, Jasmine dan Noah menyerbu masuk. Suara benturan kayu dan desakan sepatu memenuhi udara.Di lantai atas, Sebastian Warde berusaha kabur lewat jendela, namun Noah lebih cepat. Ia menarik pria itu jatuh ke lantai deng
Malam itu di hotel, Jasmine dan timnya menelaah data dengan tegang.Nama-nama besar bermunculan: politisi, CEO, pejabat tinggi. Beberapa nama mengejutkan mereka."Ini tidak mungkin..." bisik Kiara, matanya membelalak.Di antara daftar itu, muncul nama seorang mentor lama keluarga Jorse, seseorang yang selama ini mereka kira sekutu setia."Dia...?" Evan bergumam, suara tercekat.Jasmine mengepalkan tinjunya. Dunia yang ia kenal mulai runtuh, pengkhianatan terasa lebih pahit dari yang pernah ia bayangkan.Namun satu hal pasti: Arenia bukan hanya menjadi tempat pertemuan masa lalu dan masa depan.Arenia akan menjadi medan pertarungan terakhir.Di luar jendela, Château De Lune bersinar megah di tengah kegelapan, seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjang mereka.Dan di dalam hatinya, Jasmine tahu, apa pun yang terjadi... ia tidak akan mundur.Karena kali ini, bukan hanya masa depan yang ia pertaruhkan.Tapi seluruh kebenaran tentang siapa dirinya sebenarnya.Pagi di Arenia datang perlah
Dalam waktu kurang dari 24 jam, tim kecil dibentuk. Jasmine, Noah, Kiara, dan dua penyelidik andalan Project Axis bersiap menuju Morvenia. Di dalam koper mereka bukan hanya dokumen dan peralatan, tapi juga kekuatan moral dari seluruh dunia yang menanti jawaban.Sebelum keberangkatan, Jasmine berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Avenhurst. Cahaya lampu malam tampak seperti bintang-bintang yang mendekat ke bumi.Noah menghampirinya, memeluknya dari belakang.“Kalau ini benar-benar jebakan, apakah kamu siap?”Jasmine menoleh. “Kalau ini membawaku ke kebenaran yang Ayah dan Ibu pertaruhkan nyawa mereka untuk... maka aku akan datang, walau hanya satu langkah dari jurang.”Dan mereka berangkat. Ke negeri tanpa nama, tempat di mana hukum telah lama dijual, dan kebenaran harus dicuri kembali dari balik kegelapan."Senja perlahan turun di atas langit Valmora," gumam Noah sambil menatap ke luar jendela pesawat pribadi yang meluncur stabil di udara. Di dalam kabin, Jasmine duduk di
Sore harinya, sebuah konferensi pers dilakukan oleh Jasmine secara langsung dari kantor pusat Project Axis. Disiarkan secara global, jutaan orang menyaksikan saat Jasmine berdiri dengan latar belakang simbol Jorse dan Project Axis bersatu.“Beberapa orang bilang kami nekat. Bahwa kami bermain dengan kekuatan yang terlalu besar. Tapi hari ini, kami katakan: dunia tidak lagi milik mereka yang menyembunyikan kekuatan dalam bayangan.”Ia mengangkat dokumen resmi dari Mahkamah Internasional.“Surat penahanan Leonhart Vasmer telah disahkan. Dan kami, Project Axis, akan bekerja sama dengan semua negara yang berani berkata ‘cukup.’ Ini adalah awal baru.”Media berebut bertanya. Jasmine menjawab satu per satu dengan ketenangan dan presisi. Namun satu pertanyaan dari wartawan Eresia membuatnya diam sejenak:“Apakah Anda siap menghadapi ancaman terakhir dari jaringan yang kini terpojok?”Jasmine menatap l
Sore harinya, Jasmine dan tim hukum membuka sistem cadangan itu. Dengan bantuan ahli digital forensik, dana sebesar 1,7 miliar dolar muncul dalam 13 akun berbeda di bawah nama entitas tak dikenal.“Ini cukup untuk membiayai Project Axis selama dua dekade penuh,” ujar Evan dengan nada kagum.Jasmine menatap layar dengan tenang. “Ayah tidak hanya meninggalkan warisan. Dia meninggalkan senjata terakhir.”Kiara menambahkan, “Dengan ini, kita bisa memperkuat keamanan digital, memberi perlindungan untuk saksi, dan memperluas koalisi.”“Dan kita lakukan itu malam ini,” ucap Jasmine.Sementara itu, di Zurich, Leonhart mendapat kabar bahwa seluruh asetnya telah dibekukan. Lebih buruk lagi, satu per satu mitra bisnis lamanya mulai menawarkan kerja sama kepada Project Axis.“Ini pengkhianatan,” geram Leonhart sambil meremukkan gelas di tangannya.Klemens menjawab datar. “Ini... kelangsungan hidup.”Leonhart bangkit dari kursi. “Kalau begitu, aku harus mencari jalan keluar sebelum semuanya hilang
“Aku tidak menyangka mereka akan bergerak secepat ini,” kata Evan, melihat daftar partisipan yang terus bertambah.Jasmine menjawab, “Dunia sudah lelah dijajah oleh sistem yang tak terlihat. Kita hanya menyalakan lentera. Mereka yang lain... membawa obor.”Tapi seperti angin sebelum badai, keheningan tidak bertahan lama. Di sore yang dingin, sebuah ledakan kecil terjadi di salah satu gudang data Project Axis di pinggiran Lioren. Tidak ada korban, tapi jelas... ini bukan kecelakaan.“Pesan dari jaringan lama,” ujar Kiara sambil menunjukkan hasil investigasi awal. “Mereka mulai menargetkan infrastruktur. Mereka tidak bisa menghentikanmu secara hukum, jadi mereka serang fondasinya.”Jasmine menatap puing-puing digital dari rekaman drone. Wajahnya tak bergeming.“Kalau begitu... kita pindahkan data ke server awan global, dengan backup di enam negara berbeda. Kita jangan beri mereka kesempatan kedua.”Noah masuk dengan wajah serius. “Dan aku baru dapat laporan. Ada tiga pria tak dikenal ya
Fajar menyingsing perlahan di langit Avenhurst, tapi hari itu bukan awal biasa. Di ruang tengah kediaman perlindungan tinggi tempat Jasmine ditampung, belasan layar digital menyala serempak. Wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia muncul melalui jaringan video terenkripsi—pengacara HAM internasional, jaksa dari Eresia dan Valmora, perwakilan Interpol, serta penasihat hukum dari Mahkamah Internasional.Jasmine duduk di kursi utama. Ia mengenakan setelan hitam dengan rambut dikuncir rapi. Di sampingnya, Kiara dan Evan menatap layar dengan mata yang tak berkedip.“Langkah ini tidak hanya historis,” ujar Kiara, “tapi juga berisiko tinggi. Begitu nama Leonhart diajukan ke Mahkamah Internasional, ia akan diperlakukan sebagai penjahat kelas berat. Dan itu bisa memicu tindakan terakhir dari jaringannya.”Jasmine mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak lagi bicara tentang pencucian uang atau sabotase korporat. Kita bicara tentang konspirasi pembunuhan, pelanggaran HAM, dan ancaman terhadap stab