Ada aturan tak tertulis dalam kamus kelas atas. Walau kau tak harus bekerja untuk menafkahi diri, setidaknya miliki gelar pendidikan untuk menunjang portofolio. Kerjakan berbagai kegiatan agar dirimu tak seperti benalu yang cantik, hanya cocok untuk pajangan.
Menanggapi jebakan tersirat, Julia tersenyum tipis. "Tak banyak, cuma melanjutkan pendidikan di bidang Sastra.""Wow, kau suka menulis rupanya." Seorang nyonya yang bergabung bersama mereka berujar. "Lalu, di universitas mana?"Ketika Julia menyebutkan nama kampusnya, mereka makin takjub."Rupanya kau berbakat makanya Caroline setuju. Setahuku dia orang yang agak sulit." Nyonya yang sama kembali mencetus.Pujian tak beralasan ini bikin Julia tersenyum getir. Apalagi waktu matanya tak sengaja melihat senyum penuh arti di wajah Miranda. Kalau saja para nyonya ini tahu bahwa dia masuk ke sana atas campur tangan Jhon, mungkin situasinya akan berbeda."Meski begitu, jurusan SMiranda yang sejak tadi menyesap wine diam-diam, langsung menimpali, "ya, Luke memang punya kesan bagus terhadap Julia tapi hanya sebatas itu. Jangan membuat spekulasi aneh-aneh."Begitu Miranda sudah angkat bicara, bungkamlah semua mulut yang mau bergosip. Akibatnya, tak ada lagi perbincangan hangat, hingga akhir acara. Pukul sepuluh malam, akhirnya satu-persatu tamu pulang, menyisakan para staff dan partner junior."Bagaimana, Sayang? Apa kau menikmati pestanya? Tak ada yang macam-macam, kan?"Jhon langsung menghampiri ketika cuma Julia yang tinggal di meja. "Bagaimana mungkin mereka berani, ketika suamiku sangat menakjubkan?"Kalimat Julia rupanya mengelus ego Jhon dengan tepat, sebab sejurus kemudian, dia mendekat dan mengecup bibir istrinya dengan lembut. "Apa kau tahu betapa menariknya dirimu malam ini? Aku... sangat menginginkanmu sekarang."Menduga adalah satu hal, sedang mendengar pengakuan adalah ha
Julia menggeliat kepayahan, tubuh polosnya dibelit Jhon dengan erat. Setelah percintaan mereka yang panas, tumbuh benih-benih tak biasa dalam dirinya. Diam-diam, dia menyamping seraya memandangi wajah Jhon. Dalam keheningan pagi, muka suaminya tampak damai, tampan, dan manusiawi. Sesuatu yang sangat dia sukai, melebihi Jhon yang dibalut setelan eksekutif. Tiba-tiba mata itu membuka, ditingkahi suara Jhon yang serak, menggoda. "Sudah puas memandang mukaku?" Kepalang tanggung, Julia memberanikan diri mengelus muka suaminya. Sisa-sisa bekas cukur, terasa menggelitik telapak tangan. "Belum, Jhon. Kurasa aku tak akan puas memandangmu.""Benarkah? Haruskah kita mengulanginya lagi?"Pipi Julia memanas. Semalam dirinya seperti dirasuk Aphrodite. Dia membalas percintaan Jhon dengan panas, bahkan tak sungkan melakukan gaya bercinta yang hanya pernah di bacanya dalam buku roman. Tindakan inilah yang membuat Jhon makin ganas,
Besoknya, begitu keluarga Westwood berangkat dari rumah, Julia kabur ke perpustakaan. Selain kampus, hanya tempat ini tempat pelariannya. Tapi dasar sedang tak fokus, dia malah sibuk membuka ponsel, dan tak satu pun kalimat dari buku menempel di otaknya. Saat ini, ponselnya mendadak bergetar dan sebuah pesan masuk dari nomor Luke tertera di sana[Wanna some Bir?]Pesan itu jelas dan singkat, disertai foto beberapa kaleng bir di atas meja. Tentu saja Julia heran sebab Luke yang dikenalnya adalah pria sopan dan disiplin. Minum bir di siang hari, jelas bukan gaya hidupnya. [Kau yakin? Ini bahkan belum jam makan siang]Balasannya datang nyaris seketika. [Tak ada undang-undang yang melarang kita minum bir siang-siang]Memikirkan situasinya yang juga sedang runyam, Julia akhirnya sepakat untuk mengabaikan akal sehat. Minum bir memang cocok untuk mereka yang sedang galau. [Kirimkan lokasinya]
Tingkah Julia hanya membuat Luke makin gemas. Sebab dalam kesehariannya, Julia gadis sopan yang selalu menahan diri. Jadi, selain heran karena gadis disebelahnya minta turun di depan mansion megah, dia pun tak sabar ingin melalukan sesuatu yang lebih berani. Perlahan, dia mendekatkan wajah dan mendaratkan kecupan lembut di bibir Julia. Rasanya benar-benar seperti yang dia harapkan, manis dan hangat. Tiba-tiba... Sebuah tangan menyentak Luke ke belakang disertai jotosan telak pada rahangnya. "Beraninya melecehkan istriku. Kau mau mati?" Luke mengusap pipi lalu menatap pria kasar yang dengan lancang membuka paksa pintu mobilnya. Semua serapah yang sudah hendak dia lontarkan, tertelan kembali. Dari semua kebetulan, ini jadi salah satu yang tak pernah diduganya. Bayangkan! Seorang Jhon Westwood muncul begitu saja di hadapanmu sementara banyak orang mengantri untuk membuat janji temu dengannya. "Anda? Apa hubungan Anda dengan July?" Tentu saja Jhon enggan menyahut. Set
Nada bicara Julia begitu pelan, nyaris berbisik. Hanya memikirkan saja, dirinya sudah amat sedih. Entah bagaimana dia akan menjalani harinya nanti. Jhon memandangi riak wajah sang istri dalam diam. Ketika tak tahan lagi, dia merengkuh Julia dalam pelukannya. "Tentu saja berakhir. Mulai sekarang kita hanya akan menjalani pernikahan yang sesungguhnya. Tak ada lagi perjanjian."Kalau ada yang bilang bahwa segala hal diciptakan berpasangan, maka Julia tak akan menyangkal. Pada setiap rasa suka, akan terselip benci. Dalam setiap kedamaian, akan tersisip kekacauan. Begitu pun pada sebuah pengakuan, akan selalu ada keraguan. Saat ini dia mengalaminya. Ketika hatinya berbunga-bunga oleh rasa cinta, dia juga meragukan kebahagiaan ini. Siapa tahu, bunga yang tengah mekar di hatinya akan layu sekejap lagi. Terlebih, sebab Vivienne selalu hadir di antara mereka. "Tapi... bagaimana kalau suatu saat nanti kau bosan padaku? Kau t
Sepeninggal Jhon, anak-anak mulai sibuk memilih apa yang mereka sukai dari daftar lagu, sementara Julia membantu menyetel alat.Ketika sepuluh menit kemudian, suaminya tak kunjung kembali, Julia memutuskan untuk cari tahu. "Anak-anak, kalian di sini sebentar. Aunty mau ke toilet."Jim dan Jill yang tengah asyik bersenandung, cuma menggumam tak jelas, yang diartikan Julia sebagai persetujuan. Berhubung waktu pergi tadi, Jhon menjawab telepon seseorang, maka kemungkinan dia melipir ke ruang duduk, yang letaknya kebetulan searah dengan toilet wanita. Berhubung lantai dua hanya diisi ruang-ruang pribadi, suasana jadi sepi, sampai Julia bisa mendengar helaan nafasnya sendiri.Matanya awas meneliti sekeliling, dan saat mendekati ruang duduk, dia mendengar monolog seorang wanita. Julia berjinjit agar langkahnya tak terdengar, dan betapa kagetnya saat melihat suaminya dan Selena sedang dalam posisi yang amat dekat. Tangan bekas temannya itu ter
Langkah Julia terasa ringan ketika kembali menuju ruang private, terlebih kala ingat betapa pucat muka Selena tadi. Entah bagaimana jadinya perempuan licik itu bertahan saat kehilangan pekerjaan juga pria tua yang jadi sponsornya. Tak mungkin Collins mampu menerima ketidak-setiaannya. "Dari mana saja? Kenapa lama sekali?" ujar Jhon ketika Julia sudah masuk ke dalam. Berhubung moodnya sedang bagus, Julia tak begitu kesal dengan interogasi dadakan ini. "Dari toilet, perutku sakit karena kebanyakan makan."Mereka melanjutkan kegiatan bernyanyi hingga pada satu saat, mata Julia terpaku pada leher suaminya. Tampak bekas lipstik merah menyala, mengejeknya bagai lelucon. "Kau sendiri... bibir siapa yang menempel di lehermu?"Pertanyaan tiba-tiba ini nyaris membuat Jhon menjatuhkan microphone-nya. Matanya menatap Julia penuh tanya sampai tangan sang istri menunjuk lehernya."Sial," umpatnya pelan sebelum buru-buru tutup mulu
Tak terasa, bulan Desember pun tiba. Di mana-mana, suasana Natal mulai terasa, entah lewat dekorasi, atau pun lagu yang diputar di tempat-tempat umum. Berhubung semester sudah usai, maka Julia dan si kembar akan mengambil raport ke sekolah. "Anak-anak, bagaimana raport kalian kira-kira?" Dia mengawali percakapan ketika mereka dalam perjalanan ke sekolah. Jim dengan penuh percaya diri memberi jaminan. "Nilaiku pasti bagus."Sebaliknya Jill. "Aku tak begitu yakin."Julia tersenyum, seraya memperhatikan kedua bocah dari center mirror. "Sudahlah, yang penting kalian melakukan yang terbaik. Apapun hasilnya, kita tetap makan-makan."Jim langsung berteriak senang sementara Jill hanya menarik ujung bibirnya sedikit. Acara pengambilan raport diadakan di kelas masing-masing, dan menurut urutan lahir, Julia ke kelas Jim terlebih dahulu. "Selamat Nyonya Westwood, putera Anda benar-benar mengalami kemajuan pesat."
Lima tahun kemudianJulia duduk santai di tepi danau. Matanya tak luput memandang suami dan kedua anaknya yang sedang naik perahu di tengah sana. Cahaya mentari memantul indah, membuat permukaan air seperti permata yang berkilauan. "Mom, lihat! Aku bisa mengayuh."Seruan si bungsu Jill membuat senyum lebar terbit di wajahnya. Ya, beberapa tahun terakhir, si kembar memutuskan untuk memanggilnya Mommy, sementara Vivienne mereka panggil Mother. Hal ini bikin hidup Julia terasa lengkap. Dia bisa saja kehilangan dua anak, tetapi dia mendapat dua anak juga sebagai gantinya. "Mom, aku jauh lebih kuat dari pada Jim." Seruan si bungsu terdengar lagi.Julia balas melambai sembari meneriakkan kata-kata penyemangat. Saat perahu makin jauh berlayar, barulah dia melirik pesan yang sudah sejak tadi singgah di gawainya. Pengirim pesan ini adalah Luke. [Dear July, aku bangga dengan pencapaianmu. Kulihat beberapa bukumu mas
Besok paginya, setelah memutuskan dengan penuh pertimbangan, Julia berangkat bersama Jhon. Saat akan naik ke mobil, Olivia tak hentinya menangis seraya berpesan. "Kalau suatu saat nanti hidupmu tak baik-baik saja, kembalilah kemari. Bibi akan selalu menerima."Tak ada yang bisa diucapkannya selain memeluk Olivia lebih erat. Setelah keduanya selesai melepas haru, Jhon pun pamit pada Olivia. "Kami pergi dulu. Di masa mendatang, kami akan berkunjung lagi."Usai berpamitan, mobil pun menderu, meninggalkan rumah pertanian semakin jauh. Julia terus menoleh ke belakang, hingga rumah tempatnya lahir dan menghabiskan masa muda, lenyap dari pandangan. "Kau sedih, Sayang?" tukas Jhon. "Sedikit. Bagaimana pun, aku sudah sebulan tinggal di sana.""Kapan-kapan kita kemari lagi."Jauh dalam hatinya, Julia tahu bahwa janji ini sulit ditepati. Begitu kembali ke Manhattan, sudah pasti Jhon akan kembali jadi robot gila kerja.
Sudah lewat waktunya makan siang saat mereka sampai di sana. Suasana agak gelap karena tempat yang mereka datangi tertutup pepohonan besar. "Jadi, tempat ini yang kau maksud?" tanya Jhon seraya memandang sekelilingnya takjub. "Tentu saja. Waktu kecil, aku sering bersembunyi di sini agar tak disuruh mencuci piring."Dengan gesit, Julia masuk ke dalam celah bebatuan tersembunyi, lalu duduk pada ceruk yang dalam. Tak butuh waktu lama bagi Jhon menyusul sang istri. Pria itu langsung duduk di sisi Julia dan melanjutkan asmara yang sempat terjeda. Api kerinduan membuat keduanya terbakar gairah. Beberapa saat berselang, ketika mereka terbaring bersimbah peluh, barulah hasrat yang menggelora itu padam. "Terima kasih, Sayang." Jhon berbisik lembut seraya mengecup kening istrinya. Perlakuan yang begitu manis membuat Julia makin larut dalam dekapan Jhon. Hari ini, dia mempertaruhkan segenap keyakinan demi bisa mereg
Kata-kata bibinya tempo hari masih terngiang di benak Julia. Meski demikian, hatinya masih dilema, antara kembali ke Manhattan atau menetap di tanah kelahiran. Saat ini, dia sedang serius menekuni laptopnya, namun jumlah kata yang diketik pada jendela aplikasi, tak bertambah satu huruf pun. Alih-alih berpikir, dia malah sibuk berandai-andai, bagaimana jadinya jika dia tak bersama Jhon lagi untuk selamanya. Dia menarik nafas kesekian kali, dalam upaya sia-sia untuk mengumpulkan niat menulis. Tetapi, belum sempat terlaksana, deru halus mobil terdengar di pekarangan rumah, diikuti Ketukan pada daun pintu sejurus kemudian. "Siapa?!" serunya seraya beranjak dari duduknya. Orang asing yang berdiri di balik sana tidak menyahut. Hal ini bikin Julia was-was, sebab bukan cuma sekali dia nyaris mati dalam percobaan pembunuhan. "Siapa di sana?" ujarnya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Ketika tamu tak diundang ini bu
"Papa, aku datang hari ini... ."Tangis Julia tak bisa dibendung saat berkunjung ke pusara laki-laki yang sangat dia kasihi. Pada nisan yang usang, tertulis nama Sebastian Hernandez beserta tahun kelahiran dan kematian. Sedangkan di baris paling akhir tertera kutipan ayat kitab suci : Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya dan peringatan-peringatanNyaJulia tersenyum getir. Menjelang kematiannya, Sebastian memang kerap menyendiri di kamar, mengerjakan entah apa. Dan saat ajalnya tiba, Julia hanya menemukan tubuh yang terbujur beserta ayat yang ditandai dengan stabilo kuning pada kitab yang terbuka di sebelah tubuh kaku sang ayah. Apakah ayahnya tidak berpegang pada perintahNya sehingga Dia tidak menunjukkan belas kasihan? Pertanyaan ini berputar-putar di benak Julia untuk waktu yang lama, tetapi hingga detik ini dia belum menemukan jawaban. "Ah, Papa." Dia be
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal
Jhon membuang nafas berkali-kali. Sudah seminggu Julia tak mau bicara. Setiap kali dia datang, istrinya cuma diam lalu memalingkan wajah. Sebagai pria, Jhon tak keberatan jika istrinya marah atau bahkan memukulnya. Tetapi sikap diam adalah sesuatu yang tak bisa dia pahami. "Kau punya pacar, Tim?"Pria muda yang tengah merapikan beberapa berkas itu terperangah. Tak biasanya sang atasan membahas masalah pribadi. "Punya, Mr Westwood.""Kalau begitu, apa yang kau lakukan saat dia marah?" selidik Jhon terang-terangan. Kegiatan merapikan berkas jadi terhenti. Tim menatap bos-nya serius. "Anda bertengkar dengan nyonya Westwood?""Jawab saja pertanyaanku.""Biasanya aku membujuknya. Kalau tak berhasil juga, kudiamkan saja beberapa saat. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir."Meski tak menyahut, Jhon mencatat penjelasan Tim dalam benaknya. Apakah benar bahwa Julia butuh waktu sendiri? Kalau begit
Sementara itu, Jhon tak kalah panik di mansion. Dia lalu-lalang seperti cacing kepanasan. Tiap sebentar, ponselnya berdering menyampaikan info terbaru pelacakan Julia. Apa yang membuat kepalanya hampir pecah adalah kenyataan bahwa si kembar juga nyaris diculik dari sekolah. Kalau saja pihak keamanan lengah sedikit, Jim dan Jill akan bernasib seperti Julia. "Sudah dapat jejak terakhir GPS-nya?" Dia kembali bicara pada seseorang lewat panggilan telepon. "Sudah, Bos. Sekitar dua kilometer ke arah timur laut.""Baik. Lacak semua kendaraan yang melintas, dan kabari aku kalau sudah dapat titik terangnya."Begitu panggilan usai, Jhon kembali menghubungi nomor lain. Kali ini dia meminta orang tersebut mencari semua gambar yang sempat tertangkap kamera pengawas di sepanjang jalur yang mungkin dilewati Julia. Selanjutnya, dia juga menghubungi orang lain untuk melacak nomor taksi yang ditumpangi Julia siang tadi. Begitu juga dengan mobi
Jhon menatap kejauhan, lewat terali jendela yang terbuka, dia bisa melihat keramaian di bawah sana. Meski raga bersama Julia, pikirannya mengawang entah kemana. "Jhon, kau tak percaya padaku?"Suara Julia terdengar lagi, lebih memelas dari sebelumnya. Jhon sungguh tak tega, dia hendak merengkuhnya dalam dekapan. Namun, sebagian besar dari dirinya menolak. Rasa trauma akibat perbuatan Vivienne, membekas sangat dalam. Sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya pun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. "Akan kuminta Tim mengantarmu. Kurasa kita perlu menenangkan diri," ujarnya lelah. "Tidak, Jhon. Aku tak punya apapun untuk disembunyikan. Aku tak butuh menenangkan diri. Aku butuh kepercayaanmu," sahut Julia keras kepala.Saat melihat Jhon bergeming, akhirnya dia menyerah. Wanita yang tengah hamil empat bulan itu mengambil tas-nya lalu beranjak pergi."Aku naik taksi saja."Dia sengaja berja