Julia menggeliat kepayahan, tubuh polosnya dibelit Jhon dengan erat. Setelah percintaan mereka yang panas, tumbuh benih-benih tak biasa dalam dirinya.
Diam-diam, dia menyamping seraya memandangi wajah Jhon. Dalam keheningan pagi, muka suaminya tampak damai, tampan, dan manusiawi. Sesuatu yang sangat dia sukai, melebihi Jhon yang dibalut setelan eksekutif.Tiba-tiba mata itu membuka, ditingkahi suara Jhon yang serak, menggoda."Sudah puas memandang mukaku?"Kepalang tanggung, Julia memberanikan diri mengelus muka suaminya. Sisa-sisa bekas cukur, terasa menggelitik telapak tangan. "Belum, Jhon. Kurasa aku tak akan puas memandangmu.""Benarkah? Haruskah kita mengulanginya lagi?"Pipi Julia memanas. Semalam dirinya seperti dirasuk Aphrodite. Dia membalas percintaan Jhon dengan panas, bahkan tak sungkan melakukan gaya bercinta yang hanya pernah di bacanya dalam buku roman.Tindakan inilah yang membuat Jhon makin ganas,Besoknya, begitu keluarga Westwood berangkat dari rumah, Julia kabur ke perpustakaan. Selain kampus, hanya tempat ini tempat pelariannya. Tapi dasar sedang tak fokus, dia malah sibuk membuka ponsel, dan tak satu pun kalimat dari buku menempel di otaknya. Saat ini, ponselnya mendadak bergetar dan sebuah pesan masuk dari nomor Luke tertera di sana[Wanna some Bir?]Pesan itu jelas dan singkat, disertai foto beberapa kaleng bir di atas meja. Tentu saja Julia heran sebab Luke yang dikenalnya adalah pria sopan dan disiplin. Minum bir di siang hari, jelas bukan gaya hidupnya. [Kau yakin? Ini bahkan belum jam makan siang]Balasannya datang nyaris seketika. [Tak ada undang-undang yang melarang kita minum bir siang-siang]Memikirkan situasinya yang juga sedang runyam, Julia akhirnya sepakat untuk mengabaikan akal sehat. Minum bir memang cocok untuk mereka yang sedang galau. [Kirimkan lokasinya]
Tingkah Julia hanya membuat Luke makin gemas. Sebab dalam kesehariannya, Julia gadis sopan yang selalu menahan diri. Jadi, selain heran karena gadis disebelahnya minta turun di depan mansion megah, dia pun tak sabar ingin melalukan sesuatu yang lebih berani. Perlahan, dia mendekatkan wajah dan mendaratkan kecupan lembut di bibir Julia. Rasanya benar-benar seperti yang dia harapkan, manis dan hangat. Tiba-tiba... Sebuah tangan menyentak Luke ke belakang disertai jotosan telak pada rahangnya. "Beraninya melecehkan istriku. Kau mau mati?" Luke mengusap pipi lalu menatap pria kasar yang dengan lancang membuka paksa pintu mobilnya. Semua serapah yang sudah hendak dia lontarkan, tertelan kembali. Dari semua kebetulan, ini jadi salah satu yang tak pernah diduganya. Bayangkan! Seorang Jhon Westwood muncul begitu saja di hadapanmu sementara banyak orang mengantri untuk membuat janji temu dengannya. "Anda? Apa hubungan Anda dengan July?" Tentu saja Jhon enggan menyahut. Set
Nada bicara Julia begitu pelan, nyaris berbisik. Hanya memikirkan saja, dirinya sudah amat sedih. Entah bagaimana dia akan menjalani harinya nanti. Jhon memandangi riak wajah sang istri dalam diam. Ketika tak tahan lagi, dia merengkuh Julia dalam pelukannya. "Tentu saja berakhir. Mulai sekarang kita hanya akan menjalani pernikahan yang sesungguhnya. Tak ada lagi perjanjian."Kalau ada yang bilang bahwa segala hal diciptakan berpasangan, maka Julia tak akan menyangkal. Pada setiap rasa suka, akan terselip benci. Dalam setiap kedamaian, akan tersisip kekacauan. Begitu pun pada sebuah pengakuan, akan selalu ada keraguan. Saat ini dia mengalaminya. Ketika hatinya berbunga-bunga oleh rasa cinta, dia juga meragukan kebahagiaan ini. Siapa tahu, bunga yang tengah mekar di hatinya akan layu sekejap lagi. Terlebih, sebab Vivienne selalu hadir di antara mereka. "Tapi... bagaimana kalau suatu saat nanti kau bosan padaku? Kau t
Sepeninggal Jhon, anak-anak mulai sibuk memilih apa yang mereka sukai dari daftar lagu, sementara Julia membantu menyetel alat.Ketika sepuluh menit kemudian, suaminya tak kunjung kembali, Julia memutuskan untuk cari tahu. "Anak-anak, kalian di sini sebentar. Aunty mau ke toilet."Jim dan Jill yang tengah asyik bersenandung, cuma menggumam tak jelas, yang diartikan Julia sebagai persetujuan. Berhubung waktu pergi tadi, Jhon menjawab telepon seseorang, maka kemungkinan dia melipir ke ruang duduk, yang letaknya kebetulan searah dengan toilet wanita. Berhubung lantai dua hanya diisi ruang-ruang pribadi, suasana jadi sepi, sampai Julia bisa mendengar helaan nafasnya sendiri.Matanya awas meneliti sekeliling, dan saat mendekati ruang duduk, dia mendengar monolog seorang wanita. Julia berjinjit agar langkahnya tak terdengar, dan betapa kagetnya saat melihat suaminya dan Selena sedang dalam posisi yang amat dekat. Tangan bekas temannya itu ter
Langkah Julia terasa ringan ketika kembali menuju ruang private, terlebih kala ingat betapa pucat muka Selena tadi. Entah bagaimana jadinya perempuan licik itu bertahan saat kehilangan pekerjaan juga pria tua yang jadi sponsornya. Tak mungkin Collins mampu menerima ketidak-setiaannya. "Dari mana saja? Kenapa lama sekali?" ujar Jhon ketika Julia sudah masuk ke dalam. Berhubung moodnya sedang bagus, Julia tak begitu kesal dengan interogasi dadakan ini. "Dari toilet, perutku sakit karena kebanyakan makan."Mereka melanjutkan kegiatan bernyanyi hingga pada satu saat, mata Julia terpaku pada leher suaminya. Tampak bekas lipstik merah menyala, mengejeknya bagai lelucon. "Kau sendiri... bibir siapa yang menempel di lehermu?"Pertanyaan tiba-tiba ini nyaris membuat Jhon menjatuhkan microphone-nya. Matanya menatap Julia penuh tanya sampai tangan sang istri menunjuk lehernya."Sial," umpatnya pelan sebelum buru-buru tutup mulu
Tak terasa, bulan Desember pun tiba. Di mana-mana, suasana Natal mulai terasa, entah lewat dekorasi, atau pun lagu yang diputar di tempat-tempat umum. Berhubung semester sudah usai, maka Julia dan si kembar akan mengambil raport ke sekolah. "Anak-anak, bagaimana raport kalian kira-kira?" Dia mengawali percakapan ketika mereka dalam perjalanan ke sekolah. Jim dengan penuh percaya diri memberi jaminan. "Nilaiku pasti bagus."Sebaliknya Jill. "Aku tak begitu yakin."Julia tersenyum, seraya memperhatikan kedua bocah dari center mirror. "Sudahlah, yang penting kalian melakukan yang terbaik. Apapun hasilnya, kita tetap makan-makan."Jim langsung berteriak senang sementara Jill hanya menarik ujung bibirnya sedikit. Acara pengambilan raport diadakan di kelas masing-masing, dan menurut urutan lahir, Julia ke kelas Jim terlebih dahulu. "Selamat Nyonya Westwood, putera Anda benar-benar mengalami kemajuan pesat."
Ketika Jhon tersenyum canggung, sang wanita yang tak lain adalah Vivienne langsung buka suara. "Maaf, sudah membuatmu tak nyaman. Kebetulan, aku sedang ke kantor Jhon dan kami berpapasan. Ketika kutanya mau kemana, ternyata dia mengajak anak-anak kami makan siang. Sekalian aja aku gabung."Julia membatin tak berdaya. Mengapa dia selalu lupa akan satu kenyataan penting, bahwa dirinya hanyalah ibu tiri. Diam-diam, dia menarik tangan Jill dan mereka duduk bersebelahan. Sementara itu, Vivienne tersenyum lebar sebab duduk di sisi Jhon, mengelilingi meja besar berbentuk bundar. "Baiklah, karena semua sudah di sini, kita akan memulai acara makan." Jhon memberi aba-abaEntah apa yang merasukinya, si Sulung Jim tiba-tiba menolak. "Aku tak ikut makan, sedang tak lapar.""Bagaimana mungkin tak lapar? Ini sudah jam makan siang, Sayang." Vivienne berbicara lembut namun sorot matanya sangat tajam. "Kalau begitu kalian makan saja,
Jhon tak langsung menanggapi. Dia nampak berpikir keras, sebelum mulutnya yang berharga, terbuka. "July, aku tak pernah menyalahkanmu. Aku bahkan memujimu di depan Vivienne. Kau dengar sendiri tadi.""Oh, tak pernah? Jadi apa maksudmu memintaku membujuk anak-anak agar bersikap baik sama mantan istrimu? Kau tahu apa cerita wali kelas Jill padaku?""Katakan?""Beliau bilang, Jill selalu murung setiap kali Vivienne datang kemari."Bila seorang anak membenci ibu tiri mereka adalah hal lumrah, maka agak sukar menemukan anak yang tidak menyukai ibu kandungnya. Kenyataan bahwa Vivienne mengalami nasib demikian, membuat Jhon terpekur lama. "Katakan, apa lagi yang diceritakan wali kelasnya?"Terlalu malas meladeni ucapan sang suami, Julia menceritakan segalanya secara singkat. Entah apapun isi hati Jhon setelahnya, yang jelas dia tak lagi punya beban moral terhadap Jill. "Jadi Jhon, kuharap kau mengevaluasi
Sontak semua mata mengarah ke pintu, dan Julia nyaris pingsan. Dia tak mungkin salah, tak mungkin silap sebab di kamar ayahnya foto calon anggota baru tersebut masih terpajang rapi. Bagaimana mungkin ibu kandungnya, Saoirse McGregor ada di sini? Ketika akhirnya wanita itu ikut bergabung, mata birunya yang cerah langsung bersirobok dengan netra gelap Julia. Dan bila Julia masih seperti orang linglung, wanita tersebut bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. "Hai semua, aku Saoirse, kalian boleh memanggilku Sasha," sapanya manja dan ceria. Sejak dulu ibunya memang agak centil. Suara dan postur tubuhnya yang mungil, menunjang tabiatnya ini. Hingga sekarang, Julia masih mengingatnya. Meski guratan tipis mulai tampak di wajah, Saoirse tetap berlagak seperti sosok perempuan muda, sebagaimana yang terekam dalam ingatan Julia. Hal ini menimbulkan cibiran dari beberapa perempuan aristokrat yang seumur hidup terbias
Sejak perdebatan dengan Jhon malam itu, suasana dingin kembali menyelimuti mansion Westwood. Julia memilih menjaga jarak dengan suaminya. Kalau bukan karena kasus penangkapan mafia yang melibatkan keluarga Antonietti, mungkin dia sudah pindah sekarang juga. Hari ini, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Julia bergegas ke rumah. Istirahat dan membaca buku yang dikirim Rebecca, sebab siang nanti akan ada pertemuan klub baca buku. "July, kau ada acara hari ini?"Suara Jhon di ambang pintu berhasil mengalihkan matanya dari halaman buku. "Ya, kenapa?"Alih-alih menyahut, Jhon malah menghampirinya. "Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?""Tak ada. Aku sedang sibuk, tak sempat kemana-mana."Jhon mengangguk paham. "Besok jadwal sidang terakhir Jose."Untuk sesaat, Julia berhenti membaca deretan huruf di depannya. Nyaris dua bulan tak mendengar nama yang pernah menggores kenangan manis dan kengerian dalam hidupny
"Kau mau merokok, July?" ujar Vivienne tiba-tiba Memikirkan betapa besar kemarahan wanita ini tadi, sebelum menampilkan keramahan yang terasa palsu, membuat Julia tak ragu lagi bila Vivienne adalah psikopat yang sebenarnya. Tak punya rasa takut, perasaan yang sukar ditebak, serta standar nilai moral yang kacau. "Tidak, aku tak biasa merokok," tolaknya. "Hmph, dasar perempuan naif." Vivienne melanjutkan kegiatannya seraya meniup-niup asap rokok dalam lingkaran besar. Aromanya segera memenuhi ruangan, bikin Julia mulai tak nyaman. "Kau tahu, Chayenne suka sekali merokok sembunyi-sembunyi tetapi karena orang tua kami tak tahu, mereka selalu berpikir bahwa dia gadis polos." "Karena sangat membencinya, mengapa kau tak cerita?" Vivienne memadamkan puntung rokok di asbak. "Kau pikir mereka percaya? Seperti yang kau bilang, aku cuma pecundang, hahahaha..."
Keheningan membeku di udara, sebelum Vivienne akhirnya terbahak-bahak. Matanya sampai berair akibat gelak yang hebat. "Ternyata kau punya bakat melawak. Menurutmu, Jhon bisa ditipu dengan mudah?" ujarnya kemudian. Tampilan Vivienne yang begitu meyakinkan, tidak membuat hati Julia gentar. Bertaruh atas keyakinan, dia mengemukakan dugaannya. "Tentu saja Jhon tak mudah ditipu, kecuali bila kau punya stuntman luar biasa, seperti... saudara kembar yang sudah mati misalnya."Ekspresi geli di muka Vivienne langsung lenyap. "Apa maksudmu?""Bahwa yang menolong Jhon adalah Chayenne, bukan kau."Secepat kilat Vivienne maju, hendak menerjang lawannya. Akan tetapi Julia yang sudah sering berlatih bela diri bersama Tim, lebih dulu mengelak. Tubuh rampingnya meliuk ke samping hingga tangan Vivienne mengenai udara kosong. "Kenapa kau marah ketika aku menyebutkan fakta?" ujarnya seraya merapikan rambut yang tergerai. "Aku
Julia bingung mau ketawa atau marah. Singa betina? Apa segarang itu mukanya saat menantang para nyonya tadi? Dia memundurkan tubuh hingga jarak mereka makin lebar. Aroma Jhon yang tercium samar-samar adalah godaan yang jahat. "Kau berlebihan, Jhon. Aku cuma membalas kata-kata mereka.""Memang. Sebab itulah kau terlihat sangat cantik malam ini. Semata-mata bukan karena apa yang kau pakai, tetapi kepercayaan diri yang terpancar dari wajahmu.Kurasa, itu juga yang membuat Rebecca berniat mengenalmu."Sebagian diri Julia mengamini kata-kata Jhon.Waktu percakapannya dengan Rebecca tadi, terlihat benar bila wanita itu sudi memanggilnya karena berani mendebat para nyonya kaya. Kalau saja dia tetap diam, mungkin Rebecca tak akan sudi mengenalnya. Julia tengah hanyut dengan pikirannya ketika mobil berhenti di depan mansion. "Baiklah, kita sudah sampai Jhon. Selamat malam dan terima kasih buat gaunnya."Usai mengatak
Nostalgia adalah hal menyenangkan bila yang diingat kenangan indah. Demikian pula yang terjadi pada Rebecca. Sembari menerawang jauh, matanya dipenuhi sinar teduh. "Sebastian dan aku sangat dekat, bahkan banyak orang berpikir suatu saat nanti kami akan menikah."Rebecca memulai ceritanya. Matanya yang sewarna zamrud menatap Julia lekat-lekat. "Dan memang begitulah adanya. Siapa sangka, dia malah jatuh cinta dan menikah dengan ibumu. Gara-gara patah hati, aku akhirnya kabur ke New York."Sungguh Julia bingung harus menanggapi cerita ini seperti apa. Ayahnya adalah pria tak beruntung. Melepas wanita yang mencintainya, lalu menikah dengan dia yang meninggalkannya. "Pada akhirnya, kau bernasib lebih baik dari Papa," cetus Julia sendu. "Ya, tentu saja. Suamiku sangat tergila-gila padaku, makanya perkawinan kami awet sampai sekarang."Amy yang duduk di sebelah Rebecca menambahkan, "tak hanya tergila, dia juga mengizinkanmu menguasai
Sontak semuanya bungkam.Di tengah keheningan ini, Julia segera beranjak. Baru satu langkah berjalan, hal mengejutkan terjadi lagi. "Prok, prok, prok!"Tepukan nyaring membuat langkahnya berhenti. Dia menoleh ke belakang, dan melihat bahwa pelakunya adalah perempuan yang sejak tadi duduk tenang. Pada saat dia kebingungan, wanita itu kembali berkata, "impressive! Nyonya Westwood ternyata lebih menarik dari yang kukira. Kalau tak keberatan, kau boleh duduk di sini."Ketika perempuan lain saling tatap, Julia melangkah menuju perempuan asing tersebut. Meski belum bertegur sapa, firasatnya bilang jika yang satu ini tidak bermaksud jahat. "Kenalkan, aku Rebecca Wilson," ujar wanita itu lalu menoleh pada teman di sebelahnya. "Sedangkan dia Emy Warren."Setelah menjabat mereka bergantian, Julia pun duduk di hadapan Rebecca. Samar-samar otaknya mulai mengingat nama ini. Bukankah penerbit yang menerima bukunya adalah Wilson Pub
Jhon menatap curiga, setidaknya itu yang dirasakan Julia. "Kenapa harus kuizinkan? Memangnya ada yang salah kalau dia mengekoriku?"Pengacara perempuan itu tergelak kecil. "Oh, ayolah Jhon. Bukan zamannya lagi kami, wanita harus mengekor di belakang kalian, iya kan Julia?"Sekarang, ketika namanya pun terseret, mau tak mau Julia harus terjun ke arena. Menilik dari rupa si pengacara, sepertinya ada niat terselubung. Meski sejak tadi terselip senyum lebar di wajah itu, namun tak ada kehangatan di sana. Sebaliknya, tercium aroma persekongkolan. Akan tetapi, sampai kapan dia harus berlindung di belakang Jhon? Jika terus begini, para wanita kalangan atas, akan terus meremehkannya. "Tentu saja itu benar." Julia menyahut mantap. "Jhon, kau pergilah dengan teman-temanmu. Biarkan para wanita memiliki acara sendiri.""Kau yakin?" Kekhawatiran Jhon tergambar jelas lewat tatapan matanya. "Sangat yakin. Tak mu
Jika dibilang Jhon tak terpengaruh suasana, jelas bohong besar. Sudah lama sejak terakhir kali dirinya merasakan kehangatan Julia. Akan tetapi, sebagai manusia waras, dia juga sadar bahwa sekarang bukan saat yang tepat memikirkan hal primitif. Maka dari itu, perlahan dia menjauhkan tubuh Julia hingga kedua pasang netra mereka saling tatap. "Tak apa, Sayang. Itu sudah jadi tugasku sebagai suami. Aku bangga bisa berbuat sesuatu untukmu."Mereka saling tatap sejenak, sebelum Jhon kembali menambahkan, "sebenarnya... aku juga punya permintaan. Tetapi kau boleh menolak kalau tak nyaman.""Katakan.""Lusa ada pertemuan para pengacara dan entah orang tolol mana yang kasih gagasan bahwa kami semua harus datang ... berpasangan."Terdengar sederhana, namun menimbulkan masalah dalam situasi mereka sekarang. Walau secara teknis, masih berstatus suami istri, pembicaraan untuk cerai sudah sempat keluar. Lagi pula, Julia masih trauma