"Terima kasih atas bantuannya, Mr. Westwood. Kalau bukan karena Anda, anakku yang bodoh pasti sudah dipenjara."
Seorang pria berwajah ramah menjabat tangan Jhon. Setelannya begitu rapi dan parlente, selayaknya pria terhormat di klub pribadi.Akan tetapi, Jhon tak akan tertipu. Pria yang tersenyum ini bukan sembarang manusia. Kekejamannya dalam menghadapi manusia lain, sudah jadi rahasia umum di kalangan mafia Pantai Timur."Anda terlalu menyanjung, Don. Saya hanya melakukan apa yang jadi kewajiban saya."Alfredo Antonietti tergelak, wajah tampan khas Italia miliknya nampak mempesona, dengan keramahan yang nyata."Saya suka sekali dengan orang berbakat namun rendah hati. Jadi... katakan, apakah Anda mau bergabung jadi tim hukum famiglia?"Jhon nyaris mengumpat. Jika bukan karena menginginkan sesuatu, dia tak mungkin mau berurusan dengan biang kerok berwujud Antonietti."Tawaran yang sangat murah hati. Tetapi saya takTak ada hal yang lebih disukai Jhon selain menyelesaikan kasus yang tengah digarapnya. Dia sungguh tak sabar ingin menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga, lalu menggoda Julia, seperti yang dia lakukan kemarin. Berita tentang Rick yang punya kebiasaan menerima suap sudah memenuhi halaman depan setiap kanal berita, sehingga opini publik mulai bergeser. Tadinya ingin menuntut keadilan, jadi tak peduli. "Bagaimana Westwood? Apa kau siap untuk sidang ini?" Salah satu partner senior bertanya ketika Jhon sedang mempersiapkan tas kerjanya. "Tentu saja. Akan tetapi, tolong cari semua informasi tentang Antonietti. Aku curiga bajingan tua itu sedang merencanakan sesuatu.""Baiklah, akan kucari semua cucian kotornya, walau harus menggali lubang neraka."Usai meninggalkan pesan penting pada partner kerjanya, Jhon segera beranjak menuju gedung pengadilan, yang sekarang sudah sesak oleh pemburu berita. "Apa Anda akan memenangkan kasus
"Wah, kau memang luar biasa, Mr. Westwood walau ... ini sedikit lebih lama dari yang kukira."Ketika mereka sudah diluar gedung, Mateo yang sengak mulai membual. "Kau tahu, aku yang merekomendasikanmu pada Papa. Kalau tidak, sudah pasti beliau tak akan memakai jasamu."Jhon menyeringai dingin, mengabaikan ocehan lawan bicaranya."Baiklah, karena urusan kita sudah selesai, aku pergi dulu," ujarnya tanpa memberi ruang bagi Mateo untuk membual lebih jauh. Akan tetapi, belum sempat dia menaiki mobil, sebuah Bentley metalik melaju kencang ke arah mereka. Bahkan ketika kendaraan tersebut masih agak jauh, sikap Mateo mendadak berbalik seratus delapan puluh derajat. Tadinya angkuh, sekarang buru-buru berdiri khidmat, penuh senyum, seperti anak yang patuh. Ketika pintu Bentley terbuka, barulah Jhon sadar apa yang membuat perubahan ini. "Papa, Anda tak perlu repot-repot... ."Plak! Plak! Sebelum kalimat tersebut seles
Julia dan Jhon akhirnya sampai di mansion, ketika waktu makan siang. Terbawa suasana akrab yang terjalin selama perjalanan, mereka berdua berjalan beriringan hingga tiba di ambang pintu. Mendekati ruang tengah, suasana asing langsung terasa, terlebih waktu terdengar gelak cekikikan seorang wanita. Keduanya bergegas menuju ke sana, dan dalam sekejap, Jhon langsung membeku. "Hai Jhon, kau terlihat hebat, persis aku waktu muda dulu," ujar seorang pria tua. Langkahnya gagah mendekati mereka, sementara perempuan berpakaian seronok, yang tadinya menggelayut manja, juga ikut membetulkan dress-nya yang sudah terbuka di sana-sini. Dengan antusiasme yang terasa palsu, pria itu merangkul Jhon sambil menepuk-nepuk pundaknya. "Son, kau akhirnya jadi dewasa." Akan tetapi, Jhon bergeming. Dia tetap berdiri mematung, hingga pria tua yang memeluknya mundur teratur. Mendapat sambutan dingin, pria tersebut m
hon habis. Dia mengusap mulut dan langsung meninggalkan meja. "Maaf, selera makanku hilang."Tentu saja tindakan ini diikuti oleh Julia dan si kembar. Dalam sekejap, ruang makan yang tadinya ramai, mendadak hening. Ketika Julia dan ketiga Westwood sudah di atas, mereka bisa mendengar pertengkaran sengit dari bawah sana. Tampaknya, David juga amat gusar dengan perilaku wanita muda yang dibawanya. "Menurutmu, besok mereka sudah pergi?" tanya Julia seraya menelengkan kepala.Saat ini, mereka berdua tengah duduk santai di atas ranjang Jhon. Tadi, setelah meninggalkan ruang makan, anak-anak langsung beranjak ke kamar masing-masing. "Kurasa tidak. David pasti akan memaafkan wanita itu secepatnya.""Kenapa begitu?""Sebab Mel adalah mainan favoritnya."Terang saja, Julia agak risih mendengar istilah suaminya. Akan tetapi, dia sendiri pun tak bisa menemukan istilah yang lebih pas untuk perempuan seperti Mel
Tak terbersit dalam benak Julia ketika dia bangun esok harinya, hal pertama yang dia lihat adalah kemesraan ayah mertua beserta sang selir di meja makan. "Pagi Julia, kau nampak mempesona hari ini." Pria tua itu menyapa dengan keramahan yang terasa tak wajar. Mel yang duduk di sebelahnya jadi agak gusar. Wanita itu beringsut makin dekat, seolah takut pria tua yang jadi kekasihnya bakal menghilang. "Tapi, aku tetap lebih mempesona, kan?""Tentu saja, Darling." Mulut David memuji, namun matanya tetap memandang menantunya, terpesona. Pagi ini, Julia memang nampak berbeda. Sejak menyadari perbedaan dirinya lewat pantulan cermin, dia jadi lebih semangat merias diri. Sebab itu, dia tampil berbeda dalam dress krim bermotif floral dengan rambut ikal yang tergerai lembut. "Ehem, apa aku ketinggalan sesuatu? Terdengar sangat ramai pagi ini." Jhon mendekati meja. Julia langsung berbalik, dan detik berikutnya, Jhon
Beberapa belas menit berikutnya, Julia adalah salah satu wanita paling cantik di wilayah Manhattan. Senyum merekah, mata berbinar indah, pun penampilan yang memikat, sampai-sampai penjaga perpustakaan yang selalu cuai, memperhatikannya lebih seksama. "Ada kabar bahagia Julia? Kau nampak luar biasa hari ini apalagi buket bunga yang cantik itu. Kurasa... pria yang memberinya pastilah luar biasa."Pujian yang murah hati tersebut, bikin senyum Julia makin terkembang, hingga matanya nyaris tertutup. "Ah, ya dia memang luar biasa."Petugas perpustakaan kembali berujar, "tapi kau pun tak kalah memikat. Kulitmu cantik, dan mukamu selalu optimis. Sejujurnya... aku agak iri padamu."Hati Julia melonjak girang. Entah pujian ini tulus atau tidak, namun semua orang pastilah suka mendengar hal baik. "Kau terlalu memuji. Aku jadi malu." Julia kembali menukas seraya memuji petugas itu kembali. Usai berbasa-basi, dia langsung meminta
Cerita Miranda di ruang belakang dulu, kemunculan Vivienne bersama pria misterius di taman bermain, serta kata-kata Selena, membuat sebuah dugaan dalam benak Julia. "Apakah pria tersebut Richard Kirby?" Dia adalah penggemar fanatik Vivienne dulu. Oleh karena itu tak sulit baginya untuk menduga identitas pria misterius tersebut. "Bingo!" Selena menjentikkan jari. "Selain itu, dari berita yang kudengar, Vivienne juga punya saudara kembar. Mereka bersekolah di tempat yang sama, tapi entah kenapa tak pernah terdengar beritanya."Semua cerita yang didengar Julia bikin kepalanya makin pusing oleh berbagai dugaan. Jangan lupa, sebagai pembaca dan penulis amatir, otaknya sangat aktif membuat skenario kehidupan. Ada apa dengan kembaran Vivienne? Mengapa Jhon masih bersikap baik padahal sudah dikhianati? Adakah transaksi yang tidak diketahui publik dalam hubungan mereka?"Hei, kau memikirkan apa?" tegur Selena yang sebal melihat Julia
Meletakkan tangan di lengan sang suami, Julia pun menuruni tangga dengan perasaan campur-aduk. Di satu sisi dia senang dengan sikap manis Jhon, di sisi lain takut bila kebahagiaan ini ilusi semata. Barulah ketika tiba di ruang makan, perasaannya mendadak kalut. Betapa tidak, entah dirasuk setan apa, Vivienne memutuskan bergabung di meja makan. Tak cuma itu, sang rival juga berbincang akrab dengan mertuanya. "Wah, tak kusangka hal pertama yang menyambutku adalah kemesraan kalian," ujarnya saat mata mereka bersirobok. Mengikuti sikap ramahnya, Julia pun balik menyapa. "Hai Vivienne, senang bertemu denganmu lagi. Kau nampak makin memukau.""Tentu saja. Bayangkan! Aktris tersohor di Amerika." Mel menimpali dengan kilat aneh di matanya. Kalau Julia tak salah, pastilah kedatangan Vivienne kemari ada hubungannya dengan Mel. Wanita beracun ini hendak melihat drama menarik antara di antara mereka. Satu hal yang masih disyukuri Julia,
Sontak semua mata mengarah ke pintu, dan Julia nyaris pingsan. Dia tak mungkin salah, tak mungkin silap sebab di kamar ayahnya foto calon anggota baru tersebut masih terpajang rapi. Bagaimana mungkin ibu kandungnya, Saoirse McGregor ada di sini? Ketika akhirnya wanita itu ikut bergabung, mata birunya yang cerah langsung bersirobok dengan netra gelap Julia. Dan bila Julia masih seperti orang linglung, wanita tersebut bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. "Hai semua, aku Saoirse, kalian boleh memanggilku Sasha," sapanya manja dan ceria. Sejak dulu ibunya memang agak centil. Suara dan postur tubuhnya yang mungil, menunjang tabiatnya ini. Hingga sekarang, Julia masih mengingatnya. Meski guratan tipis mulai tampak di wajah, Saoirse tetap berlagak seperti sosok perempuan muda, sebagaimana yang terekam dalam ingatan Julia. Hal ini menimbulkan cibiran dari beberapa perempuan aristokrat yang seumur hidup terbias
Sejak perdebatan dengan Jhon malam itu, suasana dingin kembali menyelimuti mansion Westwood. Julia memilih menjaga jarak dengan suaminya. Kalau bukan karena kasus penangkapan mafia yang melibatkan keluarga Antonietti, mungkin dia sudah pindah sekarang juga. Hari ini, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Julia bergegas ke rumah. Istirahat dan membaca buku yang dikirim Rebecca, sebab siang nanti akan ada pertemuan klub baca buku. "July, kau ada acara hari ini?"Suara Jhon di ambang pintu berhasil mengalihkan matanya dari halaman buku. "Ya, kenapa?"Alih-alih menyahut, Jhon malah menghampirinya. "Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?""Tak ada. Aku sedang sibuk, tak sempat kemana-mana."Jhon mengangguk paham. "Besok jadwal sidang terakhir Jose."Untuk sesaat, Julia berhenti membaca deretan huruf di depannya. Nyaris dua bulan tak mendengar nama yang pernah menggores kenangan manis dan kengerian dalam hidupny
"Kau mau merokok, July?" ujar Vivienne tiba-tiba Memikirkan betapa besar kemarahan wanita ini tadi, sebelum menampilkan keramahan yang terasa palsu, membuat Julia tak ragu lagi bila Vivienne adalah psikopat yang sebenarnya. Tak punya rasa takut, perasaan yang sukar ditebak, serta standar nilai moral yang kacau. "Tidak, aku tak biasa merokok," tolaknya. "Hmph, dasar perempuan naif." Vivienne melanjutkan kegiatannya seraya meniup-niup asap rokok dalam lingkaran besar. Aromanya segera memenuhi ruangan, bikin Julia mulai tak nyaman. "Kau tahu, Chayenne suka sekali merokok sembunyi-sembunyi tetapi karena orang tua kami tak tahu, mereka selalu berpikir bahwa dia gadis polos." "Karena sangat membencinya, mengapa kau tak cerita?" Vivienne memadamkan puntung rokok di asbak. "Kau pikir mereka percaya? Seperti yang kau bilang, aku cuma pecundang, hahahaha..."
Keheningan membeku di udara, sebelum Vivienne akhirnya terbahak-bahak. Matanya sampai berair akibat gelak yang hebat. "Ternyata kau punya bakat melawak. Menurutmu, Jhon bisa ditipu dengan mudah?" ujarnya kemudian. Tampilan Vivienne yang begitu meyakinkan, tidak membuat hati Julia gentar. Bertaruh atas keyakinan, dia mengemukakan dugaannya. "Tentu saja Jhon tak mudah ditipu, kecuali bila kau punya stuntman luar biasa, seperti... saudara kembar yang sudah mati misalnya."Ekspresi geli di muka Vivienne langsung lenyap. "Apa maksudmu?""Bahwa yang menolong Jhon adalah Chayenne, bukan kau."Secepat kilat Vivienne maju, hendak menerjang lawannya. Akan tetapi Julia yang sudah sering berlatih bela diri bersama Tim, lebih dulu mengelak. Tubuh rampingnya meliuk ke samping hingga tangan Vivienne mengenai udara kosong. "Kenapa kau marah ketika aku menyebutkan fakta?" ujarnya seraya merapikan rambut yang tergerai. "Aku
Julia bingung mau ketawa atau marah. Singa betina? Apa segarang itu mukanya saat menantang para nyonya tadi? Dia memundurkan tubuh hingga jarak mereka makin lebar. Aroma Jhon yang tercium samar-samar adalah godaan yang jahat. "Kau berlebihan, Jhon. Aku cuma membalas kata-kata mereka.""Memang. Sebab itulah kau terlihat sangat cantik malam ini. Semata-mata bukan karena apa yang kau pakai, tetapi kepercayaan diri yang terpancar dari wajahmu.Kurasa, itu juga yang membuat Rebecca berniat mengenalmu."Sebagian diri Julia mengamini kata-kata Jhon.Waktu percakapannya dengan Rebecca tadi, terlihat benar bila wanita itu sudi memanggilnya karena berani mendebat para nyonya kaya. Kalau saja dia tetap diam, mungkin Rebecca tak akan sudi mengenalnya. Julia tengah hanyut dengan pikirannya ketika mobil berhenti di depan mansion. "Baiklah, kita sudah sampai Jhon. Selamat malam dan terima kasih buat gaunnya."Usai mengatak
Nostalgia adalah hal menyenangkan bila yang diingat kenangan indah. Demikian pula yang terjadi pada Rebecca. Sembari menerawang jauh, matanya dipenuhi sinar teduh. "Sebastian dan aku sangat dekat, bahkan banyak orang berpikir suatu saat nanti kami akan menikah."Rebecca memulai ceritanya. Matanya yang sewarna zamrud menatap Julia lekat-lekat. "Dan memang begitulah adanya. Siapa sangka, dia malah jatuh cinta dan menikah dengan ibumu. Gara-gara patah hati, aku akhirnya kabur ke New York."Sungguh Julia bingung harus menanggapi cerita ini seperti apa. Ayahnya adalah pria tak beruntung. Melepas wanita yang mencintainya, lalu menikah dengan dia yang meninggalkannya. "Pada akhirnya, kau bernasib lebih baik dari Papa," cetus Julia sendu. "Ya, tentu saja. Suamiku sangat tergila-gila padaku, makanya perkawinan kami awet sampai sekarang."Amy yang duduk di sebelah Rebecca menambahkan, "tak hanya tergila, dia juga mengizinkanmu menguasai
Sontak semuanya bungkam.Di tengah keheningan ini, Julia segera beranjak. Baru satu langkah berjalan, hal mengejutkan terjadi lagi. "Prok, prok, prok!"Tepukan nyaring membuat langkahnya berhenti. Dia menoleh ke belakang, dan melihat bahwa pelakunya adalah perempuan yang sejak tadi duduk tenang. Pada saat dia kebingungan, wanita itu kembali berkata, "impressive! Nyonya Westwood ternyata lebih menarik dari yang kukira. Kalau tak keberatan, kau boleh duduk di sini."Ketika perempuan lain saling tatap, Julia melangkah menuju perempuan asing tersebut. Meski belum bertegur sapa, firasatnya bilang jika yang satu ini tidak bermaksud jahat. "Kenalkan, aku Rebecca Wilson," ujar wanita itu lalu menoleh pada teman di sebelahnya. "Sedangkan dia Emy Warren."Setelah menjabat mereka bergantian, Julia pun duduk di hadapan Rebecca. Samar-samar otaknya mulai mengingat nama ini. Bukankah penerbit yang menerima bukunya adalah Wilson Pub
Jhon menatap curiga, setidaknya itu yang dirasakan Julia. "Kenapa harus kuizinkan? Memangnya ada yang salah kalau dia mengekoriku?"Pengacara perempuan itu tergelak kecil. "Oh, ayolah Jhon. Bukan zamannya lagi kami, wanita harus mengekor di belakang kalian, iya kan Julia?"Sekarang, ketika namanya pun terseret, mau tak mau Julia harus terjun ke arena. Menilik dari rupa si pengacara, sepertinya ada niat terselubung. Meski sejak tadi terselip senyum lebar di wajah itu, namun tak ada kehangatan di sana. Sebaliknya, tercium aroma persekongkolan. Akan tetapi, sampai kapan dia harus berlindung di belakang Jhon? Jika terus begini, para wanita kalangan atas, akan terus meremehkannya. "Tentu saja itu benar." Julia menyahut mantap. "Jhon, kau pergilah dengan teman-temanmu. Biarkan para wanita memiliki acara sendiri.""Kau yakin?" Kekhawatiran Jhon tergambar jelas lewat tatapan matanya. "Sangat yakin. Tak mu
Jika dibilang Jhon tak terpengaruh suasana, jelas bohong besar. Sudah lama sejak terakhir kali dirinya merasakan kehangatan Julia. Akan tetapi, sebagai manusia waras, dia juga sadar bahwa sekarang bukan saat yang tepat memikirkan hal primitif. Maka dari itu, perlahan dia menjauhkan tubuh Julia hingga kedua pasang netra mereka saling tatap. "Tak apa, Sayang. Itu sudah jadi tugasku sebagai suami. Aku bangga bisa berbuat sesuatu untukmu."Mereka saling tatap sejenak, sebelum Jhon kembali menambahkan, "sebenarnya... aku juga punya permintaan. Tetapi kau boleh menolak kalau tak nyaman.""Katakan.""Lusa ada pertemuan para pengacara dan entah orang tolol mana yang kasih gagasan bahwa kami semua harus datang ... berpasangan."Terdengar sederhana, namun menimbulkan masalah dalam situasi mereka sekarang. Walau secara teknis, masih berstatus suami istri, pembicaraan untuk cerai sudah sempat keluar. Lagi pula, Julia masih trauma