Meletakkan tangan di lengan sang suami, Julia pun menuruni tangga dengan perasaan campur-aduk. Di satu sisi dia senang dengan sikap manis Jhon, di sisi lain takut bila kebahagiaan ini ilusi semata.
Barulah ketika tiba di ruang makan, perasaannya mendadak kalut. Betapa tidak, entah dirasuk setan apa, Vivienne memutuskan bergabung di meja makan. Tak cuma itu, sang rival juga berbincang akrab dengan mertuanya."Wah, tak kusangka hal pertama yang menyambutku adalah kemesraan kalian," ujarnya saat mata mereka bersirobok.Mengikuti sikap ramahnya, Julia pun balik menyapa. "Hai Vivienne, senang bertemu denganmu lagi. Kau nampak makin memukau.""Tentu saja. Bayangkan! Aktris tersohor di Amerika." Mel menimpali dengan kilat aneh di matanya.Kalau Julia tak salah, pastilah kedatangan Vivienne kemari ada hubungannya dengan Mel. Wanita beracun ini hendak melihat drama menarik antara di antara mereka.Satu hal yang masih disyukuri Julia,Vivienne menerjang bagai kesurupan. Tangannya menarik rambut panjang Julia. "Hei, kau gila!" Julia berseru nyaring. Namun wanita yang biasanya elegan itu tak peduli. Dia terus menarik dan mencakar, seolah Julia adalah hewan yang mengancam kelangsungan hidupnya. "Lepaskan, Vivienne. Kau tak malu berkelahi seperti gangster!"Sia-sia saja perkataan Julia sebab lawannya seperti tuli terhadap sekeliling. Tak mau jadi samsak tinju, akhirnya dia membalas balik. Pergulatan sengit terus terjadi hingga beberapa pasang tangan melerai mereka. "Apa kalian gila?!" Jhon meraung marah. "Sumpah! Aku tak bisa membedakan kalian dengan begundal jalanan."Mendadak Vivienne seperti kehilangan kekuatan. Ekspresi mukanya yang sekejap tadi dipenuhi amarah, mendadak sendu. Air matanya pun mengalir deras, seolah seseorang sudah membuka kerannya. Namun itu tak menarik lagi sebab muka dan rambutnya sudah awut-awutan. Malah, dia lebih mirip peng
Dalam mobil, ada bangkai tikus besar, berdarah-darah. Saking besarnya, dia sempat mengira sedang melihat kucing. Nanar menatap sekeliling, Julia menelepon suami dengan tangan gemetar. Sialnya, panggilan tersebut tak kunjung terhubung. Setelah mencoba untuk yang ketiga kali, barulah suara bariton Jhon terdengar dari seberang sana. "Halo, ada apa Julia?""I--itu darah... bangkai... ada banyak darah Jhon.""Tenanglah. Tarik nafas dan cerita pelan-pelan."Terduduk di sisi mobilnya, Julia mulai bicara tersendat-sendat. "Jhon, aku tak tahu siapa yang memasukkan bangkai tikus besar dalam mobilku. Seram sekali Jhon... kepalanya hampir putus.""Tenanglah. Tetap di tempatmu berada, aku segera datang."Klik. Panggilan langsung terputus, Julia mulai ketakutan lagi. Badan gemetaran sedangkan matanya awas menatap sekeliling. Pada saat begini, dia menyesal tak mau mengikuti saran mendiang ayahnya untuk mengikuti kelas bela
Ketika Jhon pulang malamnya, Julia sudah lebih bisa menguasai diri. "Berikan ponselmu, aku mau memeriksa nomor si pengirim," ujar Jhon usai mendengar ceritanya. Menuruti permintaan suami, Julia mengulurkan tangan. Segera, Jhon mengetikkan sesuatu pada layar gawainya dan menelepon seseorang. "Tolong lacak nomor barusan."Dia terdiam sejenak, menunggu respon dari orang di seberang sana. "Sial! Dasar pengecut!" Makinya kemudian sembari menutup panggilan. "Ada apa Jhon?" Julia yang sejak tadi menunggu dalam keheningan, mendadak buka mulut. "Bajingan itu menggunakan kartu sekali pakai."Tentu saja ini menimbulkan masalah baru. Kartu sekali pakai biasanya langsung dibuang, dengan begini akan lebih sukar melacak pelaku. Orang jahat tersebut berkeliaran di luar, bisa mengamati segalanya, sedang mereka meraba-raba dalam kegelapan. Semua terasa makin melelahkan. "Maaf, sudah membuatmu terseret da
Bahkan ketika Jose sudah lenyap, dan manusia pemilik langkah tadi memasuki ruang pengap tersebut, Julia masih membatu di tempatnya, terlalu kalut untuk melakukan apapun. "Maaf Nyonya, Saya terlambat." Pria asing itu berkata seraya mengulurkan tangan, hendak membantu Julia bangkit dari posisinya. Akan tetapi, Julia hanya memandangi, bingung bercampur takut. "Kau siapa?" "Ah, saya Tim. Orang yang diminta Mr. Westwood untuk menjaga Anda. Saya agak terlambat, sebab ragu mengikuti Anda ke toilet." Barulah sekarang Julia paham apa yang terjadi. Ternyata, Jhon bergerak cepat. Tak sampai dia puluh empat jam sejak pembicaraan mereka tentang bodyguard, dan itu langsung terjadi. Ketika mengetahui bahwa pria didepannya ini sang pelindung, Julia langsung menyambut ulurannya. "Aku Julia dan panggil saja dengan nama itu." Menatap reaksi bodyguard yang tetap datar, dia menambahkan, "apakah kau bisa melatihku bela diri ringan? Aku muak diperlakukan semena-mena." Meski muka Tim dat
Seringai tipis muncul di wajah Jhon. "Menguntit? Menurutmu, aku orang seperti itu?""Lantas dari mana kau tahu kami mengerjakan tugas di situ?"Jhon bungkam untuk sekian detik. Ketika Julia merasa bahwa suaminya terpojok, pria itu malah membuka gawai dan menunjukkan fotonya dan Luke sedang serius mengerjakan tugas. Lebih tepatnya, rekan kuliahnya sedang serius mengamati dirinya. "Miranda dengan senang hati mengirimnya."Ada apa dengan Miranda? Mengapa orang sekelas dirinya berbuat iseng? Memikirkan tindakan tak etis ini, Julia nyaris mengumpat. Namun, hal demikian akan semakin membuat Jhon curiga. "Hmm, temanmu sungguh menarik. Aku baru tahu kalau seorang dosen bisa mengambil foto orang diam-diam lalu menyebarkannya. Padahal sudah jelas, itu tindakan ilegal."Di bawah ancaman istrinya, Jhon bergeming. Ada kilat geli di matanya tatkala mengamati sang muka Julia yang nampak kesal. "Tentu saja kau bisa membuat
Sebelum Julia sempat tarik nafas, Caroline langsung menyerbu dengan pertanyaan, "bagaimana dengan peradaban yang tak meninggalkan karya sastra sama sekali?""Kemungkinan besar bangsa dalam peradaban itu belum mengenal tulisan."Kening Caroline berkerut. "Jadi, menurutmu syair, puisi, dan lagu tradisional yang diturunkan secara lisan bukan karya sastra? Apa kau bahkan bisa membedakan Sastra dan Sejarah?"Melihat situasi mulai tak terkendali, Luke yang tadinya bertindak sebagai moderator, langsung ambil alih. "Tentu saja karya lisan seperti syair dan nyanyian, termasuk Sastra. Rekan saya baru hendak menjelaskan, namun Anda tak memberi kesempatan sama sekali."Terhadap pria muda nan tampan, Caroline selalu punya kesabaran ekstra, terlebih ibunya Luke juga dosen di kampus Borough. Wanita berambut cepak itu melepas kacamata, lalu tersenyum hangat. "Seharusnya, kau yang presentasi sejak awal. Kita semua butuh orang yang tepat untuk m
Tanpa basa-basi, Julia langsung menghentikan taksi yang lewat. Pada saat ini, tiba-tiba saja dia ingin memanjakan ke salon. Memanjakan diri setelah pergulatan mental yang melelahkan, sepertinya gagasan yang bagus. "Tolong belok ke fourth Avenue," ujarnya pada sopir. Di antara deretan bangunan tak mencolok, ada sebuah salon yang cukup bagus namun ramah di kantong. Begitu masuk ke dalam, Julia langsung meminta perawatan kulit dan rambut ekstra. Dua jam berselang, dia keluar dengan perasaan lebih baik. Kulit dan rambut lembut, tubuh harum, dan wajah cerah. "Terima kasih buat layanannya, Anda memang yang terbaik," ujar Julia pada wanita yang menanganinya. Setelahnya, dia menunggu di pinggir jalan, berharap sebuah taksi segera muncul. Tak lama, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi bergerak ke arahnya. Tanpa aba-aba, kendaraan bermotor ini terus meringsek, seolah dirinya sasaran utama. Refleks Julia mundur, namun tetap
Besoknya mereka berkunjung ke ruang tahanan, dimana pria dengan tampang mirip orang sakau, menatap acuh tak acuh. "Dengar, kau jangan macam-macam. Aku tak akan membiarkanmu berbuat sesuka hati." Polisi federal yang mengantar mereka memberi peringatan. Pria itu cuma melengos, sama sekali tak ada sikap peduli. Bahkan ketika Julia dan Jhon sudah duduk di depannya, dia masih bersikap tak acuh. "Katakan, siapa yang memintamu mengganggu istriku." Ketika polisi tadi sudah pergi, Jhon langsung bertanya. Meski bicara dengan tenang, orang yang duduk di dekatnya pasti bisa merasakan kemarahan dalam suara itu. "Apa untungnya memberitahumu? Kalian orang kaya memang harus dilenyapkan."Jhon menarik nafas panjang, jarinya mengepal, menahan emosi. Kadang, ini sebabnya dia malas berurusan dengan hukum. Prosesnya lambat dan hasilnya tidak maksimal. Kalau sajabukan praktisi hukum, maka lebih baik menyelesaikan segalanya dengan cara b