Seringai tipis muncul di wajah Jhon. "Menguntit? Menurutmu, aku orang seperti itu?""Lantas dari mana kau tahu kami mengerjakan tugas di situ?"Jhon bungkam untuk sekian detik. Ketika Julia merasa bahwa suaminya terpojok, pria itu malah membuka gawai dan menunjukkan fotonya dan Luke sedang serius mengerjakan tugas. Lebih tepatnya, rekan kuliahnya sedang serius mengamati dirinya. "Miranda dengan senang hati mengirimnya."Ada apa dengan Miranda? Mengapa orang sekelas dirinya berbuat iseng? Memikirkan tindakan tak etis ini, Julia nyaris mengumpat. Namun, hal demikian akan semakin membuat Jhon curiga. "Hmm, temanmu sungguh menarik. Aku baru tahu kalau seorang dosen bisa mengambil foto orang diam-diam lalu menyebarkannya. Padahal sudah jelas, itu tindakan ilegal."Di bawah ancaman istrinya, Jhon bergeming. Ada kilat geli di matanya tatkala mengamati sang muka Julia yang nampak kesal. "Tentu saja kau bisa membuat
Sebelum Julia sempat tarik nafas, Caroline langsung menyerbu dengan pertanyaan, "bagaimana dengan peradaban yang tak meninggalkan karya sastra sama sekali?""Kemungkinan besar bangsa dalam peradaban itu belum mengenal tulisan."Kening Caroline berkerut. "Jadi, menurutmu syair, puisi, dan lagu tradisional yang diturunkan secara lisan bukan karya sastra? Apa kau bahkan bisa membedakan Sastra dan Sejarah?"Melihat situasi mulai tak terkendali, Luke yang tadinya bertindak sebagai moderator, langsung ambil alih. "Tentu saja karya lisan seperti syair dan nyanyian, termasuk Sastra. Rekan saya baru hendak menjelaskan, namun Anda tak memberi kesempatan sama sekali."Terhadap pria muda nan tampan, Caroline selalu punya kesabaran ekstra, terlebih ibunya Luke juga dosen di kampus Borough. Wanita berambut cepak itu melepas kacamata, lalu tersenyum hangat. "Seharusnya, kau yang presentasi sejak awal. Kita semua butuh orang yang tepat untuk m
Tanpa basa-basi, Julia langsung menghentikan taksi yang lewat. Pada saat ini, tiba-tiba saja dia ingin memanjakan ke salon. Memanjakan diri setelah pergulatan mental yang melelahkan, sepertinya gagasan yang bagus. "Tolong belok ke fourth Avenue," ujarnya pada sopir. Di antara deretan bangunan tak mencolok, ada sebuah salon yang cukup bagus namun ramah di kantong. Begitu masuk ke dalam, Julia langsung meminta perawatan kulit dan rambut ekstra. Dua jam berselang, dia keluar dengan perasaan lebih baik. Kulit dan rambut lembut, tubuh harum, dan wajah cerah. "Terima kasih buat layanannya, Anda memang yang terbaik," ujar Julia pada wanita yang menanganinya. Setelahnya, dia menunggu di pinggir jalan, berharap sebuah taksi segera muncul. Tak lama, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi bergerak ke arahnya. Tanpa aba-aba, kendaraan bermotor ini terus meringsek, seolah dirinya sasaran utama. Refleks Julia mundur, namun tetap
Besoknya mereka berkunjung ke ruang tahanan, dimana pria dengan tampang mirip orang sakau, menatap acuh tak acuh. "Dengar, kau jangan macam-macam. Aku tak akan membiarkanmu berbuat sesuka hati." Polisi federal yang mengantar mereka memberi peringatan. Pria itu cuma melengos, sama sekali tak ada sikap peduli. Bahkan ketika Julia dan Jhon sudah duduk di depannya, dia masih bersikap tak acuh. "Katakan, siapa yang memintamu mengganggu istriku." Ketika polisi tadi sudah pergi, Jhon langsung bertanya. Meski bicara dengan tenang, orang yang duduk di dekatnya pasti bisa merasakan kemarahan dalam suara itu. "Apa untungnya memberitahumu? Kalian orang kaya memang harus dilenyapkan."Jhon menarik nafas panjang, jarinya mengepal, menahan emosi. Kadang, ini sebabnya dia malas berurusan dengan hukum. Prosesnya lambat dan hasilnya tidak maksimal. Kalau sajabukan praktisi hukum, maka lebih baik menyelesaikan segalanya dengan cara b
"Tante, mau nggak jadi Mama kami?"Julia Hernandez yang sejak tadi menunduk, terlampau serius menyusun kue-kue kecil yang cantik di etalase, sontak menengadah. Matanya mengerjap menatap dua bocah menggemaskan di depannya. Duo kembar bernama Jim dan Jill adalah pelanggan cilik yang kerap membeli cupcake di tokonya. Gara-gara sering ketemu, mereka jadi akrab. "Hush, dasar cowok vulgar. Seharusnya, kau tidak usah blak-blakan." Jill yang rambut pirangnya dikepang dua, memarahi sang kakakTergelak kecil, Julia mengelus kepala si sulung Jim. "Maaf dear, Aunty cuma penjual cupcake. Tak cukup baik jadi mama buat siapapun." "Tapi Aunty... ."Mulut Jim langsung dibekap adiknya. Setelahnya, gadis kecil berlagak dewasa tersebut minta maaf. "Maafkan Kakak saya Aunty, sejak lahir dia memang bodoh. Kalau begitu kami pergi dulu."Julia nyaris tertawa keras melihat upaya gadis kecil itu menyeret Jim yang tubuhnya lebih besar. "Hei, bagaimana dengan cupcake? Kalian tak membelinya hari ini?"Keduany
Baik Julia maupun pria tersebut, bicara nyaris bersamaan. Jill yang sedang menggandeng ayahnya, berseru takjub. "Kalian saling kenal?" Melihat situasi pelik ini, Julia langsung balik badan, buru-buru membungkus beberapa cookies non-gluten untuk anak yang tantrum tadi, lalu menghampiri trio ayah dan anak, yang kini sedang duduk dengan nyaman di kursi minimalis. "Maaf, ada perlu apa Anda menemui saya?" Pria tersebut menatap Julia dengan pandangan meremehkan. "Saya ayah mereka dan bukan pria tua gendut berperut buncit dengan muka berminyak." "Oh?" Julia kaget sesaat sebelum akhirnya tertawa keras. "Cuma gara-gara itu, Anda datang kemari?" Pria itu menoleh pada kedua anaknya, yang dengan patuh beranjak ke etalase, melihat-lihat kue yang mereka mau. "Jadi, selain untuk klarifikasi bahwa Anda bukan pria gendut dengan muka berminyak, hal apa lagi yang perlu saya ketahui?" Julia memperjelas fakta yang masih kabur. Pria itu memberikan kartu namanya. Di sana tertera firma hukum 'West
Jose buru-buru melepas rambut Julia lalu mengenakan kacamata hitamnya. Setelah itu dia melenggang, melewati wanita itu dan asistennya, seolah tak terjadi apa-apa. Wanita yang baru masuk itu mendekat perlahan, dan ketika melihat situasi Julia dia kembali berseru, "Astaga! Ada apa denganmu? Siapa bajingan tadi? Apa perlu kulapor polisi?" "Tidak apa-apa, Ma'am. Aku baik-baik saja. Ada perlu apa Anda kemari?" Julia buru-buru bangkit seraya merapikan baju dan rambutnya yang berantakan. "Hmmm, mau menginformasikan kalau sewa toko akan kunaikkan untuk kontrak berikutnya. Seperti yang kau tahu... harga-harga sedang naik, tentu saja pemeliharaan gedung pun ikut naik." Julia nyaris tak percaya. Mukanya masih berantakan sesudah dihajar Jose, namun pemilik gedung sudah langsung mencecarnya dengan uang sewa. Sepertinya, empati adalah barang langka di zaman modern. "Hello Ms. Julia, still here?" Wanita berambut keperakan itu mulai gerah melihat sikap diam penyewanya. "Ehm, ya m
Ada senyum tipis di bibir Jhon.Seharusnya, terlihat indah di wajah maskulinnya yang agung. Akan tetapi, Julia tak bisa menikmati sebab di matanya senyum itu lebih mirip ejekan. Memutar gelas wine-nya perlahan, Jhon bertanya lagi. "Kenapa tiba-tiba? Bukannya... kau sangat benci padaku?Memang! Hampir saja Julia meneriakkan kata ini. Untunglah otaknya lebih cepat bertindak dari pada mulutnya. "Seperti yang Anda tahu, hati manusia gampang berubah.""Aku tidak begitu," sambar JhonSebab kau bukan manusia! Lagi-lagi pikiran Julia mendebat si sombong Westwood. "Jadi, apa tawaran Anda kemarin masih berlaku?" tanya Julia pasrah. Berdebat dengan Jhon tak akan ada ujungnya, terlebih ketika dia pihak yang kalah. "Boleh, akan tetapi kontrak yang bisa kutawarkan jauh lebih rendah dari yang seharusnya."Julia yang sedang memainkan ujung jarinya terkesiap. "Maaf?"Jhon tak menyahut, melainkan meletakkan sebuah dokumen di depan wanita cantik bergaun biru itu. Demi memuaskan rasa penasaran, Ju