Sebelum Julia sempat tarik nafas, Caroline langsung menyerbu dengan pertanyaan, "bagaimana dengan peradaban yang tak meninggalkan karya sastra sama sekali?"
"Kemungkinan besar bangsa dalam peradaban itu belum mengenal tulisan."Kening Caroline berkerut. "Jadi, menurutmu syair, puisi, dan lagu tradisional yang diturunkan secara lisan bukan karya sastra? Apa kau bahkan bisa membedakan Sastra dan Sejarah?"Melihat situasi mulai tak terkendali, Luke yang tadinya bertindak sebagai moderator, langsung ambil alih."Tentu saja karya lisan seperti syair dan nyanyian, termasuk Sastra. Rekan saya baru hendak menjelaskan, namun Anda tak memberi kesempatan sama sekali."Terhadap pria muda nan tampan, Caroline selalu punya kesabaran ekstra, terlebih ibunya Luke juga dosen di kampus Borough.Wanita berambut cepak itu melepas kacamata, lalu tersenyum hangat. "Seharusnya, kau yang presentasi sejak awal. Kita semua butuh orang yang tepat untuk mTanpa basa-basi, Julia langsung menghentikan taksi yang lewat. Pada saat ini, tiba-tiba saja dia ingin memanjakan ke salon. Memanjakan diri setelah pergulatan mental yang melelahkan, sepertinya gagasan yang bagus. "Tolong belok ke fourth Avenue," ujarnya pada sopir. Di antara deretan bangunan tak mencolok, ada sebuah salon yang cukup bagus namun ramah di kantong. Begitu masuk ke dalam, Julia langsung meminta perawatan kulit dan rambut ekstra. Dua jam berselang, dia keluar dengan perasaan lebih baik. Kulit dan rambut lembut, tubuh harum, dan wajah cerah. "Terima kasih buat layanannya, Anda memang yang terbaik," ujar Julia pada wanita yang menanganinya. Setelahnya, dia menunggu di pinggir jalan, berharap sebuah taksi segera muncul. Tak lama, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi bergerak ke arahnya. Tanpa aba-aba, kendaraan bermotor ini terus meringsek, seolah dirinya sasaran utama. Refleks Julia mundur, namun tetap
Besoknya mereka berkunjung ke ruang tahanan, dimana pria dengan tampang mirip orang sakau, menatap acuh tak acuh. "Dengar, kau jangan macam-macam. Aku tak akan membiarkanmu berbuat sesuka hati." Polisi federal yang mengantar mereka memberi peringatan. Pria itu cuma melengos, sama sekali tak ada sikap peduli. Bahkan ketika Julia dan Jhon sudah duduk di depannya, dia masih bersikap tak acuh. "Katakan, siapa yang memintamu mengganggu istriku." Ketika polisi tadi sudah pergi, Jhon langsung bertanya. Meski bicara dengan tenang, orang yang duduk di dekatnya pasti bisa merasakan kemarahan dalam suara itu. "Apa untungnya memberitahumu? Kalian orang kaya memang harus dilenyapkan."Jhon menarik nafas panjang, jarinya mengepal, menahan emosi. Kadang, ini sebabnya dia malas berurusan dengan hukum. Prosesnya lambat dan hasilnya tidak maksimal. Kalau sajabukan praktisi hukum, maka lebih baik menyelesaikan segalanya dengan cara b
Acara ulang tahun perusahaan diadakan di ballroom sebuah hotel kelas atas, dan sebagai tokoh utama perhelatan, Jhon tiba lebih awal. Julia menyusul di belakang sebab ada kelas yang tak bisa dilewatkan. "Kenapa kita lewat sini?" ujarnya pada George, yang malam ini bertugas mengantarnya ke tempat acara. "Ini khusus untuk tamu VIP."Ketika turun dari mobil, Julia segera disambut dua petugas berseragam maroon, yang membimbingnya menuju lift utama. Ketika masuk ke dalam, sudah ada dua pasangan lain, yang tampak glamor dengan tuxedo dan gaun masing-masing. "Hai Julia, rupanya kau hadir juga." Salah satu nyonya dari pasangan itu menyapa, dan nyatalah bahwa itu Miranda. Terlepas dari situasi, namun pria yang berdiri di sebelahnya masih sang suami, hakim agung Stewart. "Hai, tak kusangka kita bertemu di sini," balas Julia ramah. "Kau terlihat mengagumkan."Segurat senyum tipis melintas di muka Miranda. "Kalau aku mengagumkan
Ada aturan tak tertulis dalam kamus kelas atas. Walau kau tak harus bekerja untuk menafkahi diri, setidaknya miliki gelar pendidikan untuk menunjang portofolio. Kerjakan berbagai kegiatan agar dirimu tak seperti benalu yang cantik, hanya cocok untuk pajangan. Menanggapi jebakan tersirat, Julia tersenyum tipis. "Tak banyak, cuma melanjutkan pendidikan di bidang Sastra.""Wow, kau suka menulis rupanya." Seorang nyonya yang bergabung bersama mereka berujar. "Lalu, di universitas mana?"Ketika Julia menyebutkan nama kampusnya, mereka makin takjub. "Rupanya kau berbakat makanya Caroline setuju. Setahuku dia orang yang agak sulit." Nyonya yang sama kembali mencetus. Pujian tak beralasan ini bikin Julia tersenyum getir. Apalagi waktu matanya tak sengaja melihat senyum penuh arti di wajah Miranda. Kalau saja para nyonya ini tahu bahwa dia masuk ke sana atas campur tangan Jhon, mungkin situasinya akan berbeda. "Meski begitu, jurusan S
Miranda yang sejak tadi menyesap wine diam-diam, langsung menimpali, "ya, Luke memang punya kesan bagus terhadap Julia tapi hanya sebatas itu. Jangan membuat spekulasi aneh-aneh."Begitu Miranda sudah angkat bicara, bungkamlah semua mulut yang mau bergosip. Akibatnya, tak ada lagi perbincangan hangat, hingga akhir acara. Pukul sepuluh malam, akhirnya satu-persatu tamu pulang, menyisakan para staff dan partner junior."Bagaimana, Sayang? Apa kau menikmati pestanya? Tak ada yang macam-macam, kan?"Jhon langsung menghampiri ketika cuma Julia yang tinggal di meja. "Bagaimana mungkin mereka berani, ketika suamiku sangat menakjubkan?"Kalimat Julia rupanya mengelus ego Jhon dengan tepat, sebab sejurus kemudian, dia mendekat dan mengecup bibir istrinya dengan lembut. "Apa kau tahu betapa menariknya dirimu malam ini? Aku... sangat menginginkanmu sekarang."Menduga adalah satu hal, sedang mendengar pengakuan adalah ha
Julia menggeliat kepayahan, tubuh polosnya dibelit Jhon dengan erat. Setelah percintaan mereka yang panas, tumbuh benih-benih tak biasa dalam dirinya. Diam-diam, dia menyamping seraya memandangi wajah Jhon. Dalam keheningan pagi, muka suaminya tampak damai, tampan, dan manusiawi. Sesuatu yang sangat dia sukai, melebihi Jhon yang dibalut setelan eksekutif. Tiba-tiba mata itu membuka, ditingkahi suara Jhon yang serak, menggoda. "Sudah puas memandang mukaku?" Kepalang tanggung, Julia memberanikan diri mengelus muka suaminya. Sisa-sisa bekas cukur, terasa menggelitik telapak tangan. "Belum, Jhon. Kurasa aku tak akan puas memandangmu.""Benarkah? Haruskah kita mengulanginya lagi?"Pipi Julia memanas. Semalam dirinya seperti dirasuk Aphrodite. Dia membalas percintaan Jhon dengan panas, bahkan tak sungkan melakukan gaya bercinta yang hanya pernah di bacanya dalam buku roman. Tindakan inilah yang membuat Jhon makin ganas,
Besoknya, begitu keluarga Westwood berangkat dari rumah, Julia kabur ke perpustakaan. Selain kampus, hanya tempat ini tempat pelariannya. Tapi dasar sedang tak fokus, dia malah sibuk membuka ponsel, dan tak satu pun kalimat dari buku menempel di otaknya. Saat ini, ponselnya mendadak bergetar dan sebuah pesan masuk dari nomor Luke tertera di sana[Wanna some Bir?]Pesan itu jelas dan singkat, disertai foto beberapa kaleng bir di atas meja. Tentu saja Julia heran sebab Luke yang dikenalnya adalah pria sopan dan disiplin. Minum bir di siang hari, jelas bukan gaya hidupnya. [Kau yakin? Ini bahkan belum jam makan siang]Balasannya datang nyaris seketika. [Tak ada undang-undang yang melarang kita minum bir siang-siang]Memikirkan situasinya yang juga sedang runyam, Julia akhirnya sepakat untuk mengabaikan akal sehat. Minum bir memang cocok untuk mereka yang sedang galau. [Kirimkan lokasinya]
Tingkah Julia hanya membuat Luke makin gemas. Sebab dalam kesehariannya, Julia gadis sopan yang selalu menahan diri. Jadi, selain heran karena gadis disebelahnya minta turun di depan mansion megah, dia pun tak sabar ingin melalukan sesuatu yang lebih berani. Perlahan, dia mendekatkan wajah dan mendaratkan kecupan lembut di bibir Julia. Rasanya benar-benar seperti yang dia harapkan, manis dan hangat. Tiba-tiba... Sebuah tangan menyentak Luke ke belakang disertai jotosan telak pada rahangnya. "Beraninya melecehkan istriku. Kau mau mati?" Luke mengusap pipi lalu menatap pria kasar yang dengan lancang membuka paksa pintu mobilnya. Semua serapah yang sudah hendak dia lontarkan, tertelan kembali. Dari semua kebetulan, ini jadi salah satu yang tak pernah diduganya. Bayangkan! Seorang Jhon Westwood muncul begitu saja di hadapanmu sementara banyak orang mengantri untuk membuat janji temu dengannya. "Anda? Apa hubungan Anda dengan July?" Tentu saja Jhon enggan menyahut. Set
Sontak semua mata mengarah ke pintu, dan Julia nyaris pingsan. Dia tak mungkin salah, tak mungkin silap sebab di kamar ayahnya foto calon anggota baru tersebut masih terpajang rapi. Bagaimana mungkin ibu kandungnya, Saoirse McGregor ada di sini? Ketika akhirnya wanita itu ikut bergabung, mata birunya yang cerah langsung bersirobok dengan netra gelap Julia. Dan bila Julia masih seperti orang linglung, wanita tersebut bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. "Hai semua, aku Saoirse, kalian boleh memanggilku Sasha," sapanya manja dan ceria. Sejak dulu ibunya memang agak centil. Suara dan postur tubuhnya yang mungil, menunjang tabiatnya ini. Hingga sekarang, Julia masih mengingatnya. Meski guratan tipis mulai tampak di wajah, Saoirse tetap berlagak seperti sosok perempuan muda, sebagaimana yang terekam dalam ingatan Julia. Hal ini menimbulkan cibiran dari beberapa perempuan aristokrat yang seumur hidup terbias
Sejak perdebatan dengan Jhon malam itu, suasana dingin kembali menyelimuti mansion Westwood. Julia memilih menjaga jarak dengan suaminya. Kalau bukan karena kasus penangkapan mafia yang melibatkan keluarga Antonietti, mungkin dia sudah pindah sekarang juga. Hari ini, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Julia bergegas ke rumah. Istirahat dan membaca buku yang dikirim Rebecca, sebab siang nanti akan ada pertemuan klub baca buku. "July, kau ada acara hari ini?"Suara Jhon di ambang pintu berhasil mengalihkan matanya dari halaman buku. "Ya, kenapa?"Alih-alih menyahut, Jhon malah menghampirinya. "Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?""Tak ada. Aku sedang sibuk, tak sempat kemana-mana."Jhon mengangguk paham. "Besok jadwal sidang terakhir Jose."Untuk sesaat, Julia berhenti membaca deretan huruf di depannya. Nyaris dua bulan tak mendengar nama yang pernah menggores kenangan manis dan kengerian dalam hidupny
"Kau mau merokok, July?" ujar Vivienne tiba-tiba Memikirkan betapa besar kemarahan wanita ini tadi, sebelum menampilkan keramahan yang terasa palsu, membuat Julia tak ragu lagi bila Vivienne adalah psikopat yang sebenarnya. Tak punya rasa takut, perasaan yang sukar ditebak, serta standar nilai moral yang kacau. "Tidak, aku tak biasa merokok," tolaknya. "Hmph, dasar perempuan naif." Vivienne melanjutkan kegiatannya seraya meniup-niup asap rokok dalam lingkaran besar. Aromanya segera memenuhi ruangan, bikin Julia mulai tak nyaman. "Kau tahu, Chayenne suka sekali merokok sembunyi-sembunyi tetapi karena orang tua kami tak tahu, mereka selalu berpikir bahwa dia gadis polos." "Karena sangat membencinya, mengapa kau tak cerita?" Vivienne memadamkan puntung rokok di asbak. "Kau pikir mereka percaya? Seperti yang kau bilang, aku cuma pecundang, hahahaha..."
Keheningan membeku di udara, sebelum Vivienne akhirnya terbahak-bahak. Matanya sampai berair akibat gelak yang hebat. "Ternyata kau punya bakat melawak. Menurutmu, Jhon bisa ditipu dengan mudah?" ujarnya kemudian. Tampilan Vivienne yang begitu meyakinkan, tidak membuat hati Julia gentar. Bertaruh atas keyakinan, dia mengemukakan dugaannya. "Tentu saja Jhon tak mudah ditipu, kecuali bila kau punya stuntman luar biasa, seperti... saudara kembar yang sudah mati misalnya."Ekspresi geli di muka Vivienne langsung lenyap. "Apa maksudmu?""Bahwa yang menolong Jhon adalah Chayenne, bukan kau."Secepat kilat Vivienne maju, hendak menerjang lawannya. Akan tetapi Julia yang sudah sering berlatih bela diri bersama Tim, lebih dulu mengelak. Tubuh rampingnya meliuk ke samping hingga tangan Vivienne mengenai udara kosong. "Kenapa kau marah ketika aku menyebutkan fakta?" ujarnya seraya merapikan rambut yang tergerai. "Aku
Julia bingung mau ketawa atau marah. Singa betina? Apa segarang itu mukanya saat menantang para nyonya tadi? Dia memundurkan tubuh hingga jarak mereka makin lebar. Aroma Jhon yang tercium samar-samar adalah godaan yang jahat. "Kau berlebihan, Jhon. Aku cuma membalas kata-kata mereka.""Memang. Sebab itulah kau terlihat sangat cantik malam ini. Semata-mata bukan karena apa yang kau pakai, tetapi kepercayaan diri yang terpancar dari wajahmu.Kurasa, itu juga yang membuat Rebecca berniat mengenalmu."Sebagian diri Julia mengamini kata-kata Jhon.Waktu percakapannya dengan Rebecca tadi, terlihat benar bila wanita itu sudi memanggilnya karena berani mendebat para nyonya kaya. Kalau saja dia tetap diam, mungkin Rebecca tak akan sudi mengenalnya. Julia tengah hanyut dengan pikirannya ketika mobil berhenti di depan mansion. "Baiklah, kita sudah sampai Jhon. Selamat malam dan terima kasih buat gaunnya."Usai mengatak
Nostalgia adalah hal menyenangkan bila yang diingat kenangan indah. Demikian pula yang terjadi pada Rebecca. Sembari menerawang jauh, matanya dipenuhi sinar teduh. "Sebastian dan aku sangat dekat, bahkan banyak orang berpikir suatu saat nanti kami akan menikah."Rebecca memulai ceritanya. Matanya yang sewarna zamrud menatap Julia lekat-lekat. "Dan memang begitulah adanya. Siapa sangka, dia malah jatuh cinta dan menikah dengan ibumu. Gara-gara patah hati, aku akhirnya kabur ke New York."Sungguh Julia bingung harus menanggapi cerita ini seperti apa. Ayahnya adalah pria tak beruntung. Melepas wanita yang mencintainya, lalu menikah dengan dia yang meninggalkannya. "Pada akhirnya, kau bernasib lebih baik dari Papa," cetus Julia sendu. "Ya, tentu saja. Suamiku sangat tergila-gila padaku, makanya perkawinan kami awet sampai sekarang."Amy yang duduk di sebelah Rebecca menambahkan, "tak hanya tergila, dia juga mengizinkanmu menguasai
Sontak semuanya bungkam.Di tengah keheningan ini, Julia segera beranjak. Baru satu langkah berjalan, hal mengejutkan terjadi lagi. "Prok, prok, prok!"Tepukan nyaring membuat langkahnya berhenti. Dia menoleh ke belakang, dan melihat bahwa pelakunya adalah perempuan yang sejak tadi duduk tenang. Pada saat dia kebingungan, wanita itu kembali berkata, "impressive! Nyonya Westwood ternyata lebih menarik dari yang kukira. Kalau tak keberatan, kau boleh duduk di sini."Ketika perempuan lain saling tatap, Julia melangkah menuju perempuan asing tersebut. Meski belum bertegur sapa, firasatnya bilang jika yang satu ini tidak bermaksud jahat. "Kenalkan, aku Rebecca Wilson," ujar wanita itu lalu menoleh pada teman di sebelahnya. "Sedangkan dia Emy Warren."Setelah menjabat mereka bergantian, Julia pun duduk di hadapan Rebecca. Samar-samar otaknya mulai mengingat nama ini. Bukankah penerbit yang menerima bukunya adalah Wilson Pub
Jhon menatap curiga, setidaknya itu yang dirasakan Julia. "Kenapa harus kuizinkan? Memangnya ada yang salah kalau dia mengekoriku?"Pengacara perempuan itu tergelak kecil. "Oh, ayolah Jhon. Bukan zamannya lagi kami, wanita harus mengekor di belakang kalian, iya kan Julia?"Sekarang, ketika namanya pun terseret, mau tak mau Julia harus terjun ke arena. Menilik dari rupa si pengacara, sepertinya ada niat terselubung. Meski sejak tadi terselip senyum lebar di wajah itu, namun tak ada kehangatan di sana. Sebaliknya, tercium aroma persekongkolan. Akan tetapi, sampai kapan dia harus berlindung di belakang Jhon? Jika terus begini, para wanita kalangan atas, akan terus meremehkannya. "Tentu saja itu benar." Julia menyahut mantap. "Jhon, kau pergilah dengan teman-temanmu. Biarkan para wanita memiliki acara sendiri.""Kau yakin?" Kekhawatiran Jhon tergambar jelas lewat tatapan matanya. "Sangat yakin. Tak mu
Jika dibilang Jhon tak terpengaruh suasana, jelas bohong besar. Sudah lama sejak terakhir kali dirinya merasakan kehangatan Julia. Akan tetapi, sebagai manusia waras, dia juga sadar bahwa sekarang bukan saat yang tepat memikirkan hal primitif. Maka dari itu, perlahan dia menjauhkan tubuh Julia hingga kedua pasang netra mereka saling tatap. "Tak apa, Sayang. Itu sudah jadi tugasku sebagai suami. Aku bangga bisa berbuat sesuatu untukmu."Mereka saling tatap sejenak, sebelum Jhon kembali menambahkan, "sebenarnya... aku juga punya permintaan. Tetapi kau boleh menolak kalau tak nyaman.""Katakan.""Lusa ada pertemuan para pengacara dan entah orang tolol mana yang kasih gagasan bahwa kami semua harus datang ... berpasangan."Terdengar sederhana, namun menimbulkan masalah dalam situasi mereka sekarang. Walau secara teknis, masih berstatus suami istri, pembicaraan untuk cerai sudah sempat keluar. Lagi pula, Julia masih trauma