“Nona Mia!”
“Nona, tolong segera keluar!”
“Nona Mia, sekarang waktunya belajar!”
Sean mengurut dahinya yang pening. Bukan hanya dia, sekarang para maid pun diperintahkan untuk membantu menemukan keberadaan Mia. Masalahnya, bukan hanya perempuan itu masih belum makan, semua pekerja di mansion ini—termasuk dirinya—dilarang makan sebelum seluruh anggota keluarga makan. Dan itu berarti bencana, sehingga mereka semua harus menemukan Mia secepat mungkin.
Sean memutuskan melangkah ke kamar Mia yang terletak di lantai dua, mencoba mencari peruntungannya sendiri. Pria itu menghela nafas ketika menyadari nonanya juga tidak ditemukan di tempat itu. “Padahal aku kira Nona Mia nggak mungkin berani kabur jauh-jauh sendirian.”
Merasa putus asa, Sean melangkah ke jendela, memandang dengan tatapan menerawang. Kalau nonanya tidak bisa ditemukan di manapun, apa yang harus dia lakukan? Tidak mungkin kan dia terus-terusan bermain kucing-kucingan? Bagaimana dengan nasib pekerja lainnya yang harus menahan lapar? Kalau dirinya sih memang sudah terlatih sejak masih pendidikan butler. Tetapi pekerja lainnya kan tidak?
Mata Sean memicing ketika tanpa sengaja menatap gerakan dari seberangnya. Di taman, lebih tepatnya dekat air mancur berukuran raksasa, tampak seorang wanita tengah berisitirahat. Posisinya cukup tersembunyi, bahkan jika bukan karena matanya yang cukup jeli, Sean tidak yakin dapat menemukan wanita itu.
“Dasar, nona yang licik. Sekarang waktunya menangkap nona kita yang nakal.”
***
Mia memijat kakinya yang cukup pegal setelah dipakai berlarian. Dia tidak tahu berada di mana, karena ukuran mansion ini sungguh besar sekali. Belum lagi dirinya harus bersembunyi dari para pekerja rumah yang tengah mencarinya. Mungkin dia masih cukup beruntung karena tidak sampai tertangkap oleh satupun dari mereka.
“Ah!” pekik Mia dengan suara perlahan ketika ingatannya melayang pada satu hal penting. “Hari ini jatuh tempo hutangku. Apa yang harus aku lakuin? Mereka nggak mungkin masuk ke kamar kosku, kan? Kalau barang-barangku sih, nggak terlalu banyak. Tapi gimana kalau mereka ngelelang barang ibu kos? Duh, alamat dimarahi ini. Gimana caranya aku kabur? Kalau nggak kabur aku nggak bisa bayar hutang.”
Mia bangkit dari duduk, mengubah posisi menjadi jongkok, dan mengamati sekitarnya. Beberapa pekerja tampak mulai kelelahan mencarinya kesana kemari. Mia menggerakkan kaki, menggeser badannya perlahan, berharap tidak seorangpun menyadari keberadaannya.
Krek!
Duh, dahan kering! Mia memejamkan mata sebelum mengangkat kakinya perlahan dari dahan yang telah patah. Dia baru berniat meletakkan kembali kakinya ketika sebuah suara membuatnya terlonjak.
“Nona Mia.”
“Kya! Hantu! Hantu! Tolong aku, aku masih belum mau ketemu hantu. Usir hantunya. Aku mau hmp…”
Mia terus menendang-nendang sementara matanya terpejam dan mulutnya dibekap oleh sebuah tangan yang besar. Mia terus menendang dengan panik hingga dia menyadari satu hal. Kalau di film-film kan seharusnya dia diseret pergi setelah dibekap. Lalu ini… Mia mencoba mengintip sedikit dari celah matanya dan menemukan Sean, si pelaku pembekapan, tengah menatapnya dasar.
Dengan seluruh kekuatan, Mia memberontak, membuat pria itu tidak memiliki pilihan selain melepaskannya. “Kamu!” pekik perempuan itu dengan nada berbisik. “Bagaimana bisa kamu di sini? Gimana kalau aku tadi beneran ngirain kamu hantu? Kamu mau tanggung jawab? Gimana kalau aku mati karena jantungan?”
“Nona sudah lebih dulu membuat saya kena serangan jantung, jadi saya rasa itu balasan yang setimpal,” balas Sean dengan nada terhibur.
Mia yang mendengar balasan acuh Sean hanya mampu membuka tutup mulutnya tanpa suara. Perempuan itu melayangkan pandangan permusuhan sebelum memutuskan melangkah menjauh. “Jangan ikuti aku! Itu perintah!”
“Saya akan menuruti perintah Nona kalau itu masuk akal,” balas Sean, mencoba bernegosiasi. Oh, sungguh pria ini tidak akan bisa menolak perintah nonanya, bahkan jika dia ingin. Selagi Mia belum tau tentang itu, sebaiknya dia mencoba bernegosiasi, bukan?
“Aku harus bayar hutangku.”
“Memangnya Nona tahu ke mana arah pintu keluar?”
“Ini aku lagi cari tahu!”
“Tetapi saya bisa mengantar Nona lebih cepat.”
Mia menoleh tajam ke Sean, mengakibatkan pria itu terlonjak kecil. “Memangnya aku percaya kalau kamu mau ngantar aku ke gerbang?”
“Tentu saja kalau Nona menginginkan itu.”
“Oke, antar aku ke gerbang!”
***
Sean tersenyum kecil melihat Mia mengusap peluh untuk kesekian kalinya. Pria itu paham, tidak mudah bagi nonanya untuk berjalan kaki melintasi taman mansion ini yang begitu besar. Bayangkan saja, mereka berada di belakang mansion, sementara pintu gerbang berada di sisi seberang mansion. Itu berarti mereka perlu mengelilingi mansion berkapasitas seratus orang dengan tinggi hanya tiga lantai, dan melintasi setidaknya empat taman.
Sebenarnya Sean tidak perlu susah-susah membawa nonanya melakukan semua itu. Jika Mia menyadari, dari bagian belakang mansion ke pintu gerbang, hanya perlu melintasi bagian tengah mansion. Namun memberikan pilihan yang terlalu mudah tentu tidak akan membuat wanita itu mengurungkan niatnya.
“Tunggu! Jadi kamu sebenarnya niat bawa aku keluar nggak, sih?”
“Tentu saja, Nona,” balas Sean dengan senyuman simpulnya. Nonanya tidak boleh membaca niatnya, setidaknya tidak secepat ini.
“Kamu bohong!”
“Seorang butler dilarang berbohong ke nonanya.”
“Aku nggak percaya!”
Sean menghela nafas dramatis, mencoba membuat nonanya percaya bahwa dia tidak mengada-ada. “Saya termasuk salah satu lulusan terbaik di akademi, Nona. Tentu saya memegang teguh ajaran-ajaran yang diberikan.”
“Tapi bukan berarti kamu nggak bohong!”
“Kalau Nona tidak percaya, silahkan cek sendiri, apa kita berada di sisi mansion yang berbeda?”
Mia menoleh dan menemukan mereka memang berada di sisi mansion yang berbeda. Perempuan itu bahkan mendapati perbedaan-perbedaan yang mencolok, seperti adanya bentuk jendela yang berbeda serta keberadaan kandang kuda di sisi mansion. Enggan memutuskan untuk menyerah, Mia kembali menoleh dan menatap nyalang pria di hadapannya. “Aku tetap nggak percaya kamu. Sudahlah, diam sini aja. Aku bisa jalan sendiri!” Puas memuntahkan kekesalannya, Mia pun berjalan meninggalkan Sean.
Tanpa dia sadari, pria di belakangnya tengah tersenyum tipis.
***
“Ini di mana lagi, sih? Kenapa jalan tamannya nggak dibikin lurus aja? Kenapa harus banyak belok-beloknya gini?”
Mia kembali duduk di rerumputan, memutuskan beristirahat sejenak. Rasanya dia sudah sangat lelah, padahal setiap harinya dia banyak jalan kaki pada saat bekerja. Mungkinkah ini efek sepatu hak tinggi yang digunakannya? Dengan frustasi, Mia melepas kedua sepatunya dan melemparnya jauh-jauh. Haah.. Baru begini saja dia sudah ingin menyerah. Bagaimana dia bisa melanjutkan perjalanan setelah keluar dari mansion ini?
“Jadi Nona sudah lelah?”
Mia menoleh dan menemukan Sean ditemani seorang maid tengah berdiri membawa segelas es jeruk. Tanpa sadar Mia meneguk ludah. Dia sudah lelah, dan minuman yang dibawa Sean begitu menggiurkan. Sungguh, meskipun dia penggemar soda, dalam situasi seperti ini, semua minuman pun akan terlihat menggiurkan.
“Kalau Nona haus, silahkan minum ini,” ujas Sean seraya menyodorkan gelasnya.
“Nggak akan!” balas Mia ketus. Perempuan itu bangkit dengan cepat dan mulai berjalan. Sayangnya, baru satu langkah, kakinya melancarkan protes dengan menunjukkan reaksi kram yang cukup parah. “Sakit!” Mia yang tak kuat pun kembali terduduk, membuat dirinya dengan mudah dihampiri oleh Sean.
“Nona perlu istirahat. Tolong izinkan saya membawa Nona ke kamar untuk beristirahat.”
“Iya, iya. Sakit, nggak usah kebanyakan izin!”
***
Seorang perempuan berambut pirang menatap perempuan berambut coklat yang kini tengah dibopong oleh butlernya. Mata birunya turut mengikuti setiap langkah kepergian keduanya. Jarak mereka cukup dekat, mungkin hanya dua ratus meter. Entah kenapa teh hangat yang berada di tangannya jadi terasa kurang menarik. Mungkin karena isu-isu yang telah dia dengar beberapa hari belakangan ini?
“Jadi itu cucu baru Kakek?” tanya perempuan itu kepada butlernya.
“Betul, Nona Elisa.”
Seutas senyuman terbentuk di bibir Elisa. Ah, jadi itu saingannya dalam menguasai kekuasaan Adam? Setelah dirinya, kini ada perempuan lain yang diadopsi sebagai cucu?
“Bereskan semua ini. Aku ingin beristirahat sebelum membasmi tikus kecil yang nakal itu.”
Sean menutup pintu kamar Mia perlahan. Badannya terasa pegal, tetapi masih banyak yang harus dia lakukan sebelum beristirahat. Memastikan menu sarapan besok pagi, mengecek kembali jadwal Mia esok hari, bahkan memastikan pilihan pakaian untuk besok pun menjadi tanggung jawabnya. Setidaknya mansion ini sudah sepi, sehingga dia bisa melakukan segalanya dengan lebih santai. Sean bersenandung kecil seraya mengecek catatan kecil yang selalu dibawa kemana-mana. Ah, jadwal Nona Mia besok tampaknya cukup sibuk. Semoga saja Sean masih sempat istirahat di tengah kesibukannya besok. Tangan Sean memukul-mukul punggungnya, meredakan kaku di bahu. "Apa cucuku sudah tidur, Sean?" Sean menghentikan langkahnya dan berdiri tegak sebelum membungkuk hormat kepada Adam. "Sudah, Tuan. Nona Mia sepertinya kelelahan setelah berlari-lari di taman tadi sore." "Ah, kamu benar!" seru Adam dengan mata berbinar. "Aku tidak menyangka cucu sahabatku begitu lincah. Kamu pasti kesusahan mengejar cucu baruku." "Ti
Dug! Dug! Dug!"Keluar! Bayar hutangmu!"Mia yang baru selesai mandi berlari tergopoh ke kamar kosnya. Di depan kamar telah berkumpul lima preman berbadan besar dengan anting di telinga dan tato di sepanjang tangan. Seperti biasanya, setiap tanggal 15 akan ada preman yang berkumpul di depan kamar kosnya untuk menagih hutang. Mia cukup bersyukur ibu kos belum mengusirnya hingga saat ini."Tolong hentikan, teman-temanku pasti sedang istirahat!" Mia berlutut, mencoba menghentikan kegaduhan yang kelima preman itu lakukan."Bah! Aku juga mau istirahat. Kau itu yang membuat istirahatku batal!" balas seorang preman berlogat Batak. Badan yang jauh lebih besar dari lainnya serta rambut panjang tak terurus membuat preman itu tampak lebih mengerikan dari seharusnya."Kamu tahu ini tanggal berapa? Waktunya kamu membayar hutang!"Mia memejamkan mata, menahan air mata yang selalu siap mengalir di saat seperti ini. Dia hanya bisa makan sehari sekali demi membayar hutang orang tuanya. Ayahnya yang ke
“Kamu tumben agak terlambat, Mi?”Mia menoleh dan meringis mendapati rekan kerjanya telah berganti pakaian dengan seragam. Hari ini malam minggu, dan sayangnya, berbarengan dengan salah satu tanggal paling romantis dalam satu tahun, yakni 14 Februari. DI sepanjang jalan, banyak ornamen merah muda bertebaran, dengan gambar pasangan di setiap sudutnya. Cafe dan restoran yang dia lalui juga semuanya tampak penuh sesak dengan pengunjung.Sejujurnya, Mia pun merasa sungkan karena waktu kedatangannya yang sedikit terlambat ini. Saat melintasi bagian depan cafe, dia bisa melihat bahwa antrian pengunjung untuk malam ini cukup panjang. Dia hampir bisa memastikan bahwa seluruh rekan di shift sebelumnya hanya mendapat waktu istirahat yang minim, sehingga wajar kalau mereka pun kelelahan.“Segera ganti baju, jangan sampai shift sebelumnya mengomel karena menunggu persiapan kita yang terlalu lama,” ucap rekannya yang sudah selesai mengganti pakaian dan akan keluar dari ruang ganti. “Hari ini kamu
"Sakit.." Mia mengerang merasakan pusing di kepalanya. Entah sudah berapa lama dia tidur, yang jelas dia sekarang perlu bangun. Mia membuka matanya perlahan. Kenapa langit-langitnya bukan putih? Bukannya biasanya rumah sakit catnya serba putih, ya? Mia kembali memejamkan mata, namun ketika matanya kembali terbuka, dia masih melihat warna krem, bukan putih."Tidaaak!" Mia bangkit dengan nafas terengah. Dia melihat sekitar dan mendapati dirinya terbangun di ruangan serba asing. Di manakah dirinya kini berada?Mia memukul-mukul pelan keningnya, mencoba memaksa otaknya bekerja. Sayangnya, hingga keningnya memerah, dia masih tidak mengerti apa yang terjadi. Dia pun menyerah, memilih kembali merebahkan badan di atas kasur.Tunggu, aku kan nggak boleh nyerah gitu aja? Mia kembali mendudukkan tubuhnya, bersiap memikirkan apa yang terjadi. "Oke, mari kita pikirkan ini dari awal. Seingatku tadi kan lagi kerja, cafe pas lagi rame. Terus aku ngelayani pembeli cafe. Terus tiba-tiba ada yang mukul
"Jadi aku akan mulai bertemu pembeliku sekarang? Kamu serius? Dia galak nggak? Ganteng nggak? Aku bakal jadi istri keberapa? Kelima? Sepuluh?"Sean melangkah dengan pandangan lurus, mengabaikan setiap pertanyaan Mia. Dia sudah lelah menjelaskan bahwa perempuan ini tidak dijual, melainkan diadopsi. Entah terbuat dari apa otak perempuan ini, hingga bisa begitu keras kepala mengira dirinya telah diculik. "Hei, berhentilah dulu," minta Mia yang tentu saja diabaikan oleh Sean. "Aku bilang berhenti!" Sean masih terus berjalan dengan tenang hingga… "Aku perintahkan kau berhenti!"Ckiiit!Sial!Salahkan reaksi tubuhnya yang secara otomatis akan mengikuti setiap perintah yang dikeluarkan nonanya. Dengan senyum terpaksa Sean menoleh ke Mia. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?""Jawab pertanyaanku dulu! Jadi siapa pembeliku?""Nona Mia, Nona diadopsi menjadi cucu, bukan dibeli.""Aku nggak percaya!""Nona, seorang butler tidak boleh berbohong.""Halah! Mau namamu Sean, mau namamu Buder, bohong ya