"Jadi aku akan mulai bertemu pembeliku sekarang? Kamu serius? Dia galak nggak? Ganteng nggak? Aku bakal jadi istri keberapa? Kelima? Sepuluh?"
Sean melangkah dengan pandangan lurus, mengabaikan setiap pertanyaan Mia. Dia sudah lelah menjelaskan bahwa perempuan ini tidak dijual, melainkan diadopsi. Entah terbuat dari apa otak perempuan ini, hingga bisa begitu keras kepala mengira dirinya telah diculik.
"Hei, berhentilah dulu," minta Mia yang tentu saja diabaikan oleh Sean. "Aku bilang berhenti!" Sean masih terus berjalan dengan tenang hingga… "Aku perintahkan kau berhenti!"
Ckiiit!
Sial!
Salahkan reaksi tubuhnya yang secara otomatis akan mengikuti setiap perintah yang dikeluarkan nonanya. Dengan senyum terpaksa Sean menoleh ke Mia. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
"Jawab pertanyaanku dulu! Jadi siapa pembeliku?"
"Nona Mia, Nona diadopsi menjadi cucu, bukan dibeli."
"Aku nggak percaya!"
"Nona, seorang butler tidak boleh berbohong."
"Halah! Mau namamu Sean, mau namamu Buder, bohong ya bohong!"
"Nama saya Sean, nona."
"Tuh kan, kamu mutar-mutar terus. Kamu bohong, kan?"
Sean menghela nafas panjang, mencoba merilekskan otot lehernya yang mendadak terasa kaku. "Nama saya Sean, Nona. Saya seorang butler. Butler itu pekerjaan, bukan nama."
Mia mengerjapkan mata, seolah baru mendengar Sean menjelaskan dalam bahasa planet lain. "Bisa kamu jelaskan dengan lebih sederhana? Aku bingung."
Sean menghela nafas lega melihat Mia sudah tidak emosi seperti tadi. Memang tidak membuat penjelasannya sepenuhnya lebih mudah, tetapi paling tidak Mia akan mendengarkan dengan lebih baik. "Jadi, butler adalah sebutan untuk pelayan pribadi tuan dan nona rumah. Berbeda dengan maid yang bertugas membersihkan rumah, koki yang memasak, dan tukang kebun yang mengatur taman, tugas saya hanyalah memastikan semua kebutuhan nona terpenuhi. Secara struktur, butler memiliki jabatan yang lebih tinggi dibanding maid, koki, dan tukang kebun, karena kami berhubungan langsung dengan tuan dan nona rumah. Karena itu, mereka juga memanggil kami dengan sebutan 'Tuan' dan menaati perintah kami. Lalu…"
"Stop!" Pekik Mia yang mulai merasa pusing dengan penjelasan Sean. "Jadi intinya butter…"
"Butler, Nona."
"Butler atau apalah itu namanya. Itu pelayan pribadi untuk siapapun tuan rumah di sini, kan?"
"Betul. Saya sendiri pelayan…"
"Kalau begitu bawa aku ke kakek-kakek buncit yang kau maksud!"
"Tuan Adam adalah kakek anda, dan beliau tidak buncit, Nona."
Mia menggeram mendengar Sean yang terus mampu membantahnya. Apa-apaan juga dia? Mengatakan pria tua siapapun itu sebagai kakeknya? Dia tidak terima!
***
Irama piano klasik memenuhi ruang makan berkapasitas besar itu. Puluhan maid tengah berlalu lalang, menyiapkan peralatan makan serta mengeluarkan makanan yang telah siap untuk dihidangkan. Kepulan uap panas disertai aroma makanan yang harum menggoda siapapun untuk mencicipinya.
"Apa piring milik Tuan Besar sudah siap?"
"Jangan lupa tambahkan satu piring untuk Nona Muda!"
"Apa kau sudah memastikan makanan ini tidak memicu alergi Tuan Besar dan Nona Muda?"
Suara teriakan para maid yang sibuk menata meja saling bersahutan. Teriakan itu lenyap begitu saja ketika pintu ruang makan terbuka, menampilkan Adam yang duduk di kursi rodanya. Pandangannya memindai seluruh ruang makan, senyuman puas tersungging di bibirnya. Ah, dia tidak sabar melihat respon cucunya melihat semua persiapan yang telah dia lakukan.
Adam mengerutkan dahi melihat jajaran kaleng soda dan minuman berkafein yang tersedia pagi itu. Dengan wajah masam dia memanggil seorang maid di dekatnya. “Tumben sekali kalian menyediakan soda dan kopi. Ada apa ini?”
“Mohon maaf Tuan Besar, berdasarkan daftar makanan dan minuman yang disukai Nona Mia, Nona menyukai minuman bersoda dan kopi. Bahkan Nona selalu meminum salah satu dari itu setiap kali selesai makan,” balas maid tersebut dengan menunduk takut-takut.
Adam menghela nafas panjang. Sepertinya banyak sekali yang harus dia ajarkan kepada cucunya ini. “Singkirkan minuman-minuman itu. Masukkan saja ke kulkas kamar Mia. Cucuku hanya boleh meminum kaleng-kaleng itu di luar jam makan. Jangan lupa beritahu teman-temanmu. Kau mengerti?” Puas dengan anggukan maid di hadapannya, Adam mengibas tangannya, meminta maid itu untuk pergi.
“Segera selesaikan pekerjaan kalian. Cucuku pasti sudah lapar.”
***
Mia melirik Sean yang sibuk menaruh satu persatu makanan di atas piringnya. Pria itu tampak tenang, berbanding terbalik dengan dirinya yang duduk dengan kaku di kursinya. Di hadapannya terdapat seorang pria paruh baya—mungkin tujuh puluh tahunan—tengah mengamatinya dengan senyuman hangat. Meskipun senyuman itu tampak hangat, entah kenapa Mia merasa senyum itu hanyalah formalitas yang sudah biasa terpasang di wajah si kakek.
Melihat Sean mempersilahkannya makan, Mia pun mulai mencicipi makanan di hadapannya. Perempuan itu memulai dengan menyesap kuah sup. Hangat dan nikmat sekali. Dia belum pernah merasakan kuah sup senikmat ini! Seakan terhipnotis dengan kenikmatan sup yang dirasakan, Mia mulai menyuap satu persatu makanan yang disajikan.
“Apa tidurmu nyenyak semalam?”
Uhuk!
Mia yang tidak menyangka pertanyaan itu akan dilayangkan tepat ketika dia makan mendadak tersedak. Tangannya menggapai-gapai ke sekitar, mencoba mencari air yang langsung mendarat begitu saja di tangannya. Ah, dia lupa. Dia kan punya butler yang siap membantu setiap aktivitasnya.
“Kakek tanya ke saya?”
Pria di hadapan mia tersenyum lebar. “Ah, rupanya Sean sudah berhasil menjelaskan padamu. Ya, saya bertanya kepada kamu.”
“Saya pingsan Kek, karena ulah penculik yang anda kirim. Jadi saya tidak merasa tidur sama sekali tadi malam.”
"Penculik? Saya merasa tidak pernah mengirim penculik?" Adam berdecak kesal. "Sean, apa ini hasil kerjamu? Bagaimana mungkin cucuku hampir diculik orang?"
Mia mengerutkan dahi mendengar Adam memanggilnya cucu. Jadi benar dirinya diculik untuk diadopsi? Kenapa harus susah-susah, coba. Padahal kalau Sean datang mengenalkan diri, dia akan lebih mudah percaya. Eh, apa tidak, ya?
"Penculik yang Nona Mia maksud itu saya sendiri, tuan," jawab Sean dengan hati-hati.
Adam menatap takjub pada Sean dan Mia sebelum tertawa keras. "Ah, ternyata itu ulah kalian berdua, ya? Saya sudah terlanjur bingung. Baiklah, lanjutkan makanmu. Saya yakin banyak yang ingin kamu ketahui tentang mansion ini."
Mia meringis mendengar ucapan Adam. Dari pada berkeliling, dia lebih ingin merebahkan diri di kasur barunya yang empuk. Ah, jangan lupakan menonton televisi yang tadi dilihatnya di kamar!
"Sean," panggil Adam sekali lagi, "bagaimana kalau setelah ini kalian berkeliling mansion?"
"Baik, Tuan. Saya akan membawa Nona Mia berkeliling mansion dan kamar."
"Mia belum kamu ajak berkeliling kamar?" Adam mengerutkan dahi dan menatap Sean kesal. "Bagaimana kamu lupa membawa Mia keliling kamarnya sendiri?"
"Maaf Tuan, tadi Nona terlalu lapar dan meminta makan dulu ke bawah."
Adam kembali tertawa, namun kali ini tidak terlalu lama karena menyadari satu hal. "Sean, ke mana Mia?"
“Nona Mia!”“Nona, tolong segera keluar!”“Nona Mia, sekarang waktunya belajar!”Sean mengurut dahinya yang pening. Bukan hanya dia, sekarang para maid pun diperintahkan untuk membantu menemukan keberadaan Mia. Masalahnya, bukan hanya perempuan itu masih belum makan, semua pekerja di mansion ini—termasuk dirinya—dilarang makan sebelum seluruh anggota keluarga makan. Dan itu berarti bencana, sehingga mereka semua harus menemukan Mia secepat mungkin.Sean memutuskan melangkah ke kamar Mia yang terletak di lantai dua, mencoba mencari peruntungannya sendiri. Pria itu menghela nafas ketika menyadari nonanya juga tidak ditemukan di tempat itu. “Padahal aku kira Nona Mia nggak mungkin berani kabur jauh-jauh sendirian.”Merasa putus asa, Sean melangkah ke jendela, memandang dengan tatapan menerawang. Kalau nonanya tidak bisa ditemukan di manapun, apa yang harus dia lakukan? Tidak mungkin kan dia terus-terusan bermain kucing-kucingan? Bagaimana dengan nasib pekerja lainnya yang harus menahan l
Sean menutup pintu kamar Mia perlahan. Badannya terasa pegal, tetapi masih banyak yang harus dia lakukan sebelum beristirahat. Memastikan menu sarapan besok pagi, mengecek kembali jadwal Mia esok hari, bahkan memastikan pilihan pakaian untuk besok pun menjadi tanggung jawabnya. Setidaknya mansion ini sudah sepi, sehingga dia bisa melakukan segalanya dengan lebih santai. Sean bersenandung kecil seraya mengecek catatan kecil yang selalu dibawa kemana-mana. Ah, jadwal Nona Mia besok tampaknya cukup sibuk. Semoga saja Sean masih sempat istirahat di tengah kesibukannya besok. Tangan Sean memukul-mukul punggungnya, meredakan kaku di bahu. "Apa cucuku sudah tidur, Sean?" Sean menghentikan langkahnya dan berdiri tegak sebelum membungkuk hormat kepada Adam. "Sudah, Tuan. Nona Mia sepertinya kelelahan setelah berlari-lari di taman tadi sore." "Ah, kamu benar!" seru Adam dengan mata berbinar. "Aku tidak menyangka cucu sahabatku begitu lincah. Kamu pasti kesusahan mengejar cucu baruku." "Ti
Dug! Dug! Dug!"Keluar! Bayar hutangmu!"Mia yang baru selesai mandi berlari tergopoh ke kamar kosnya. Di depan kamar telah berkumpul lima preman berbadan besar dengan anting di telinga dan tato di sepanjang tangan. Seperti biasanya, setiap tanggal 15 akan ada preman yang berkumpul di depan kamar kosnya untuk menagih hutang. Mia cukup bersyukur ibu kos belum mengusirnya hingga saat ini."Tolong hentikan, teman-temanku pasti sedang istirahat!" Mia berlutut, mencoba menghentikan kegaduhan yang kelima preman itu lakukan."Bah! Aku juga mau istirahat. Kau itu yang membuat istirahatku batal!" balas seorang preman berlogat Batak. Badan yang jauh lebih besar dari lainnya serta rambut panjang tak terurus membuat preman itu tampak lebih mengerikan dari seharusnya."Kamu tahu ini tanggal berapa? Waktunya kamu membayar hutang!"Mia memejamkan mata, menahan air mata yang selalu siap mengalir di saat seperti ini. Dia hanya bisa makan sehari sekali demi membayar hutang orang tuanya. Ayahnya yang ke
“Kamu tumben agak terlambat, Mi?”Mia menoleh dan meringis mendapati rekan kerjanya telah berganti pakaian dengan seragam. Hari ini malam minggu, dan sayangnya, berbarengan dengan salah satu tanggal paling romantis dalam satu tahun, yakni 14 Februari. DI sepanjang jalan, banyak ornamen merah muda bertebaran, dengan gambar pasangan di setiap sudutnya. Cafe dan restoran yang dia lalui juga semuanya tampak penuh sesak dengan pengunjung.Sejujurnya, Mia pun merasa sungkan karena waktu kedatangannya yang sedikit terlambat ini. Saat melintasi bagian depan cafe, dia bisa melihat bahwa antrian pengunjung untuk malam ini cukup panjang. Dia hampir bisa memastikan bahwa seluruh rekan di shift sebelumnya hanya mendapat waktu istirahat yang minim, sehingga wajar kalau mereka pun kelelahan.“Segera ganti baju, jangan sampai shift sebelumnya mengomel karena menunggu persiapan kita yang terlalu lama,” ucap rekannya yang sudah selesai mengganti pakaian dan akan keluar dari ruang ganti. “Hari ini kamu
"Sakit.." Mia mengerang merasakan pusing di kepalanya. Entah sudah berapa lama dia tidur, yang jelas dia sekarang perlu bangun. Mia membuka matanya perlahan. Kenapa langit-langitnya bukan putih? Bukannya biasanya rumah sakit catnya serba putih, ya? Mia kembali memejamkan mata, namun ketika matanya kembali terbuka, dia masih melihat warna krem, bukan putih."Tidaaak!" Mia bangkit dengan nafas terengah. Dia melihat sekitar dan mendapati dirinya terbangun di ruangan serba asing. Di manakah dirinya kini berada?Mia memukul-mukul pelan keningnya, mencoba memaksa otaknya bekerja. Sayangnya, hingga keningnya memerah, dia masih tidak mengerti apa yang terjadi. Dia pun menyerah, memilih kembali merebahkan badan di atas kasur.Tunggu, aku kan nggak boleh nyerah gitu aja? Mia kembali mendudukkan tubuhnya, bersiap memikirkan apa yang terjadi. "Oke, mari kita pikirkan ini dari awal. Seingatku tadi kan lagi kerja, cafe pas lagi rame. Terus aku ngelayani pembeli cafe. Terus tiba-tiba ada yang mukul