Dug! Dug! Dug!
"Keluar! Bayar hutangmu!"
Mia yang baru selesai mandi berlari tergopoh ke kamar kosnya. Di depan kamar telah berkumpul lima preman berbadan besar dengan anting di telinga dan tato di sepanjang tangan. Seperti biasanya, setiap tanggal 15 akan ada preman yang berkumpul di depan kamar kosnya untuk menagih hutang. Mia cukup bersyukur ibu kos belum mengusirnya hingga saat ini.
"Tolong hentikan, teman-temanku pasti sedang istirahat!" Mia berlutut, mencoba menghentikan kegaduhan yang kelima preman itu lakukan.
"Bah! Aku juga mau istirahat. Kau itu yang membuat istirahatku batal!" balas seorang preman berlogat Batak. Badan yang jauh lebih besar dari lainnya serta rambut panjang tak terurus membuat preman itu tampak lebih mengerikan dari seharusnya.
"Kamu tahu ini tanggal berapa? Waktunya kamu membayar hutang!"
Mia memejamkan mata, menahan air mata yang selalu siap mengalir di saat seperti ini. Dia hanya bisa makan sehari sekali demi membayar hutang orang tuanya. Ayahnya yang keturunan konglomerat mengalami kegagalan dalam berbisnis dan berakhir dengan hutang yang menumpuk. Bukannya berusaha membayar hutang, ayahnya malah melarikan diri, membuat dirinya berada di kondisi terjepit seperti ini.
Mia segera berlari memasuki kamar dan kembali dengan lembaran uang berwarna merah. "Ini! Ini cicilan saya untuk bulan ini."
"Cuma dua juta? Kalau begini terus kapan hutangmu beres, hah?"
Mia memejamkan mata mendengar teriakan preman di hadapannya. Dirinya mungkin tidak ditakdirkan menyelesaikan pembayaran hutang-hutang ini. Dari lima ratus juta yang dipinjam ayahnya, nominalnya telah membengkak hingga nyaris seratus juta! Padahal penghasilannya dari bekerja di dua tempat tidak sebesar itu.
"Dengar, bos kita minta lo selesaikan secepatnya hutang-hutang itu. Lo cuma punya waktu dua hari. Kalau lo gagal, ingat konsekuensinya!" Preman berlogat Jakarta itu membuat gerakan horizontal di lehernya, membuat bulu kuduk Mia berdiri.
"Sa-saya minta tolong. Satu minggu. Saya janji melunasi dalam satu minggu!" minta Mia dengan suara tergagap. Mia merasakan air mata mengalir ketika kelima preman itu tertawa mendengarnya mengiba.
"Dua hari! Sekali lagi kau menawar, kubuat semakin pendek waktunya."
"Ba-baik, Bang."
Mia merasakan tubuhnya mulai melemas sementara kelima preman itu pergi meninggalkan dirinya. Tepat setelah kelima preman itu hilang dari pandangan, tubuh Mia luruh bagai tak bertulang.
***
Mia memasuki kamar dengan langkah gontai. Pikirannya sibuk memikirkan ke mana harus mencari uang. Pinjaman online? Memang tempat mana yang meminjamkan uang secara sukarela untuk orang seperti dirinya? Surat kerja? Tanda gaji? Satu-satunya berkas berharga yang masih Mia miliki adalah Surat Izin Mengemudi yang susah payah dia dapatkan demi melamar kerja di cafe. Apa benda itu bahkan bisa menjadi jaminan meminjam uang?
Mia mengambil ponsel, mencoba menghubungi satu persatu sanak saudaranya. Dari semua yang dia hubungi, hanya satu bibinya yang bersedia menjawab. Sayangnya, perempuan itu pun tidak bisa membantu karena tidak diizinkan suaminya. Mendengar itu Mia hanya menghela nafas panjang. "Ya mau gimana lagi, Paman memang selalu menganggap Ayah saingannya," desah Mia putus asa.
"Bibi minta maaf ya, Mia. Sungguh kalau Bibi bisa, pasti sudah Bibi bantu."
Mia tersenyum miris mendengar suara bibinya yang terus meminta maaf. Dengan sopan perempuan 21 tahun itu berpamitan untuk menutup telepon. Netranya masih menatap kosong ke langit-langit kamarnya, bahkan hingga beberapa menit kemudian.
"Kakek, Mia harus bagaimana, Kek?" Perempuan itu bersimpuh di samping ranjang, menumpahkan tangisan yang sejak tadi terpendam. "Mia nggak tahu lagi harus cari uang ke mana. Semua tempat yang memungkinkan sudah pernah Mia datangi. Paman dan Bibi melupakan Mia. Bekerja tanpa istirahat pun sudah. Mia harus bagaimana?"
Perhiasannya! Mia merangkak cepat ke salah satu laci dan membukanya. Tampak sebuah gelang emas yang telah kusam di dalamnya. "Apa aku harus menjual gelang ini? Tapi ini satu-satunya harta berharga yang tersisa dari orang tuaku. Aku harus gimana?"
***
Mia berjalan lemas keluar dari kantor kesekian yang dia datangi. Niat Mia untuk mencoba mencari peruntungan dengan meminjam uang ke berbagai tempat terus mendapat kegagalan. Rekam sejarah hutang-hutangnya yang menumpuk membuat Mia terus mendapat penolakan dari tempat-tempat yang dia datangi. Entah bagaimana semua orang mengetahui hutang-hutangnya yang menumpuk ini.
“Kalau begini terus, bagaimana aku bisa melunasi hutang-hutangku? Pinjaman ke cafe saja masih ditangguhkan. Kalau bukan karena kebaikan bos yang memberiku keringanan, aku pasti sudah tidak punya uang untuk makan sama sekali.”
Ya, Mia memang telah meminjam uang ke cafe untuk pelunasan hutang beberapa bulan yang lalu. Pemberi hutang yang sedang membutuhkan uang dengan cepat memaksa Mia melunasi sepertiga dari total yang harus dia bayar. Karena desakan tanpa henti, Mia pun memutuskan menghubungi bosnya. Syukurlah dia mendapat pinjaman itu, meskipun akhirnya Mia sering kali harus mengambil lembur tanpa dibayar.
Pikirannya terus melayang ke gelang peninggalan kedua orang tuanya. Tidak, aku harus berusaha mempertahankan gelang itu, bagaimana pun kondisinya! Dengan langkah berapi-api, Mia kembali melangkahkan kaki, menuju ke tempat peminjaman uang selanjutnya.
***
Mia melangkah memasuki toko emas dengan ragu. Di kantong celananya tersimpan gelang peninggalan orang tuanya. Hanya gelang rantai sederhana, tidak ada hiasan yang membuatnya terlihat mewah.
Mia tersenyum kecut ketika penjaga toko yang rata-rata masih muda dan berpakaian bagus menatapnya meremehkan. Tak hanya berbisik, mereka pun mulai menunjuk-nunjuk Mia sambil memandang penuh cemooh. Kepalang tanggung, Mia pun melangkah ke seorang yang menurutnya bisa membantu.
"Anu… saya mau menjual gelang ini," ucap Mia ke seorang pria bermata sipit yang tengah duduk di balik kasir. Sepertinya pria itu merupakan pemilik tempat ini, mengingat Mia sempat melihat pria itu mengeluarkan perintah pada pegawai di sana.
"You punya nota pembeliannya?"
Mia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tentu dia tidak punya. Dirinya pun saat mendapat gelang ini hanya dipakaikan langsung oleh ibunya. "Kalau misal saya tidak punya?"
"Berarti kita harus menimbang gelang ini lalu cek kadar emasnya. Kita paling belinya lebih murah. Ini sudah bagus, di luar sana banyak yang nggak pertimbangkan teliti kadar emas perhiasan ini. You mau?"
"Kira-kira bisa dibeli berapa, ya?" tanya Mia semakin ragu.
Pria sipit itu melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya sebelum mengambil perhiasan di tangan Mia untuk diamati di bawah kaca pembesar. "Perhiasan ini sepertinya bagus. Kadar emasnya terlihat masih lumayan tinggi. Mungkin bisa satu juta. Gimana?"
Mia menghela nafas panjang. Satu juta masih sangat jauh dari total hutang yang harus dibayar. Sudah kehilangan peninggalan orang tuanya, hutangnya pun masih jauh dari kata lunas. Tetapi apa mau dikata? Bisa mendapat uang saja dia sudah bersyukur, mengingat dirinya tidak mungkin menambah pekerjaan lagi.
Mia mendongak, menatap si penjual emas dengan penuh tekad. "Baik, Koh. Saya jual perhiasan saya."
Tanpa seroang pun sadari, sebutir ait mata mengaliri pipinya kala Mia menyerahkan gelang itu merasa telah gagal melindungi harta terakhir dari orang tuanya.
“Kamu tumben agak terlambat, Mi?”Mia menoleh dan meringis mendapati rekan kerjanya telah berganti pakaian dengan seragam. Hari ini malam minggu, dan sayangnya, berbarengan dengan salah satu tanggal paling romantis dalam satu tahun, yakni 14 Februari. DI sepanjang jalan, banyak ornamen merah muda bertebaran, dengan gambar pasangan di setiap sudutnya. Cafe dan restoran yang dia lalui juga semuanya tampak penuh sesak dengan pengunjung.Sejujurnya, Mia pun merasa sungkan karena waktu kedatangannya yang sedikit terlambat ini. Saat melintasi bagian depan cafe, dia bisa melihat bahwa antrian pengunjung untuk malam ini cukup panjang. Dia hampir bisa memastikan bahwa seluruh rekan di shift sebelumnya hanya mendapat waktu istirahat yang minim, sehingga wajar kalau mereka pun kelelahan.“Segera ganti baju, jangan sampai shift sebelumnya mengomel karena menunggu persiapan kita yang terlalu lama,” ucap rekannya yang sudah selesai mengganti pakaian dan akan keluar dari ruang ganti. “Hari ini kamu
"Sakit.." Mia mengerang merasakan pusing di kepalanya. Entah sudah berapa lama dia tidur, yang jelas dia sekarang perlu bangun. Mia membuka matanya perlahan. Kenapa langit-langitnya bukan putih? Bukannya biasanya rumah sakit catnya serba putih, ya? Mia kembali memejamkan mata, namun ketika matanya kembali terbuka, dia masih melihat warna krem, bukan putih."Tidaaak!" Mia bangkit dengan nafas terengah. Dia melihat sekitar dan mendapati dirinya terbangun di ruangan serba asing. Di manakah dirinya kini berada?Mia memukul-mukul pelan keningnya, mencoba memaksa otaknya bekerja. Sayangnya, hingga keningnya memerah, dia masih tidak mengerti apa yang terjadi. Dia pun menyerah, memilih kembali merebahkan badan di atas kasur.Tunggu, aku kan nggak boleh nyerah gitu aja? Mia kembali mendudukkan tubuhnya, bersiap memikirkan apa yang terjadi. "Oke, mari kita pikirkan ini dari awal. Seingatku tadi kan lagi kerja, cafe pas lagi rame. Terus aku ngelayani pembeli cafe. Terus tiba-tiba ada yang mukul
"Jadi aku akan mulai bertemu pembeliku sekarang? Kamu serius? Dia galak nggak? Ganteng nggak? Aku bakal jadi istri keberapa? Kelima? Sepuluh?"Sean melangkah dengan pandangan lurus, mengabaikan setiap pertanyaan Mia. Dia sudah lelah menjelaskan bahwa perempuan ini tidak dijual, melainkan diadopsi. Entah terbuat dari apa otak perempuan ini, hingga bisa begitu keras kepala mengira dirinya telah diculik. "Hei, berhentilah dulu," minta Mia yang tentu saja diabaikan oleh Sean. "Aku bilang berhenti!" Sean masih terus berjalan dengan tenang hingga… "Aku perintahkan kau berhenti!"Ckiiit!Sial!Salahkan reaksi tubuhnya yang secara otomatis akan mengikuti setiap perintah yang dikeluarkan nonanya. Dengan senyum terpaksa Sean menoleh ke Mia. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?""Jawab pertanyaanku dulu! Jadi siapa pembeliku?""Nona Mia, Nona diadopsi menjadi cucu, bukan dibeli.""Aku nggak percaya!""Nona, seorang butler tidak boleh berbohong.""Halah! Mau namamu Sean, mau namamu Buder, bohong ya
“Nona Mia!”“Nona, tolong segera keluar!”“Nona Mia, sekarang waktunya belajar!”Sean mengurut dahinya yang pening. Bukan hanya dia, sekarang para maid pun diperintahkan untuk membantu menemukan keberadaan Mia. Masalahnya, bukan hanya perempuan itu masih belum makan, semua pekerja di mansion ini—termasuk dirinya—dilarang makan sebelum seluruh anggota keluarga makan. Dan itu berarti bencana, sehingga mereka semua harus menemukan Mia secepat mungkin.Sean memutuskan melangkah ke kamar Mia yang terletak di lantai dua, mencoba mencari peruntungannya sendiri. Pria itu menghela nafas ketika menyadari nonanya juga tidak ditemukan di tempat itu. “Padahal aku kira Nona Mia nggak mungkin berani kabur jauh-jauh sendirian.”Merasa putus asa, Sean melangkah ke jendela, memandang dengan tatapan menerawang. Kalau nonanya tidak bisa ditemukan di manapun, apa yang harus dia lakukan? Tidak mungkin kan dia terus-terusan bermain kucing-kucingan? Bagaimana dengan nasib pekerja lainnya yang harus menahan l
Sean menutup pintu kamar Mia perlahan. Badannya terasa pegal, tetapi masih banyak yang harus dia lakukan sebelum beristirahat. Memastikan menu sarapan besok pagi, mengecek kembali jadwal Mia esok hari, bahkan memastikan pilihan pakaian untuk besok pun menjadi tanggung jawabnya. Setidaknya mansion ini sudah sepi, sehingga dia bisa melakukan segalanya dengan lebih santai. Sean bersenandung kecil seraya mengecek catatan kecil yang selalu dibawa kemana-mana. Ah, jadwal Nona Mia besok tampaknya cukup sibuk. Semoga saja Sean masih sempat istirahat di tengah kesibukannya besok. Tangan Sean memukul-mukul punggungnya, meredakan kaku di bahu. "Apa cucuku sudah tidur, Sean?" Sean menghentikan langkahnya dan berdiri tegak sebelum membungkuk hormat kepada Adam. "Sudah, Tuan. Nona Mia sepertinya kelelahan setelah berlari-lari di taman tadi sore." "Ah, kamu benar!" seru Adam dengan mata berbinar. "Aku tidak menyangka cucu sahabatku begitu lincah. Kamu pasti kesusahan mengejar cucu baruku." "Ti