Tin Tin Tin ....
Bunyi klakson mengagetkan aku yang sedang berjalan. Mobil itu berhenti tepat di sampingku, mobil Mas Bram. Sengaja dia ingin meledekku yang cuma bisa berjalan kaki ke pasar.
"Ma, Papa pergi dulu ya! Nikmati jalan kakinya ke pasar, sambil olahraga biar hilang tuh lemak. Hahahaha," ketawanya jahat. Kemudian tanpa memperdulikan ku melajukan mobilnya dengan kencang.
"Brengs*k, awas kau Mas. Lihat aja nanti, keadaan akan terbalik," gerutuku kesal sembari melempar sendal ke mobilnya.
Sepagi ini, aku sudah harus berjalan jauh ke pasar. Mas Bram--suamiku tidak sudi mengantarku, banyak alasan yang dikatakannya. Sudah terlambatlah, jauhlah, di pasar bau lah seakan sangat sayang mobil bagusnya kotor oleh aroma pasar.
Aku mesti jalan kaki itu karena Mas Bram juga tidak memberi ongkos, pun untuk belanja sudah di jatah mertua. Aku hanya belanja sesuai daftar yang dibuatnya. Bahkan untuk jajan saja uangnya selalu pas, terpaksa sering menelan saliva saat melewati rak tempat lapak kue digelar.
Sampai di pasar keadaan sudah ramai banget, cepat-cepat menuju lapak sayur langganan mertua. Si empunya lapak sampai hafal diriku, sudah wajib seminggu sekali mertua akan menyuruhku belanja.
"Eh, Neng Winda. Belanja ya!" tegur mamang sayur.
"Iya, Mang. Seperti biasa ini daftar belanja ibu," ku sodorkan kertas bertulis daftar belanja.
Mamang menerimanya sambil tersenyum, kemudian dengan gesit membungkusnya. Sedangkan aku hanya duduk mengawasi mamang, terkadang aku ingin juga punya usaha seperti mamang ini. Jadi tidak melulu bergantung pada suami. Mas Bram juga perhitungan memberi uang, jatahku hanya di beri 100 ribu sebulan. Sedangkan semua uang gajian Mas Bram dipegang mertua.
Jatah yang diberi Mas Bram juga tidak cukup untuk kebutuhanku sendiri, jadi aku berfikir keras. Bagaimana caranya agar bisa menghasilkan uang sendiri, sempat terfikir untuk jualan online akan tetapi usaha itu pasti ketahuan Mas Bram dan ibunya. Kalau sudah begitu, aku tidak akan dapat jatah lagi.
"Neng, ini sudah mamang siapkan semua!"
"Oke Mang, makasih ya ini uangnya!" jawabku menyodorkan dua lembar kertas merah yang diterima mamang dengan senang. Kemudian aku pamit pulang, bergegas menuju pintu keluar.
Kelelahan membawa barang belanja banyak itu yang selalu ku alami. Aku bisa saja naik ojek dengan uang simpanan, tetapi jika naik ojek aku tak bisa membeli kebutuhan lain. Untuk beli bedak saja tidak cukup, sehari-hari aku jarang pake hingga wajahku kusam. Daster yang ku kenakan juga banyak yang bolong, bolak balik ditambal. Jika aku minta uang pada Mas Bram untuk membeli daster, pasti akan di bentaknya.
"Halah, di rumah aja ngapain cantik. Kerja cuma makan, dapur sama sumur. Sayang baju cantik dipake untuk masak, bau minyak dan kotor," jawab Mas Bram mengelak.
Sindiran yang kerap kudapatkan dari Mas Bram masih belum cukup, kini mertua juga ikutan. "Winda, kamu tuh seharusnya bersyukur. Anakku yang mapan itu mau menikahimu, gak lihat apa! kamu itu udah miskin gendut lagi. Jadi kamu jangan banyak menuntut. Tugasmu itu patuh pada suami."
Suara mereka seperti koor bersahutan bila sudah mengomel. Bukan tidak berani melawan mereka, akan tetapi sekarang belum waktunya. Tunggu aku punya kuasa dan harta, jangankan melawan bahkan akan kubuat mereka bertekuk lutut sekalipun.
*****
Peluh membasahi wajahku, dengan nafas ngos-ngosan segera ku letakkan belanjaan di dapur. Bukannya terima kasih ibu malah memarahiku, "Winda, ya ampun sudah jam berapa baru pulang. Ngapain aja kerjamu di pasar hah?" hardik ibu."Tadi di pasar agak ramai pembeli, Bu. Sampai antri menunggu giliran."
"Dasar gerakanmu aja yang lamban, makanya tuh lemak di kurusin. Jangan bisanya cuma makan," teriak ibu.
Aku kesal selalu saja lemakku yang di permasalahkan. Padahal beratku enam puluh kilo itu sudah termasuk bohay, ibu dan Mas Bram saja yang tidak bisa melihat. Menurut mereka berat empat lima baru dikatakan aduhai, tapi kesannya malah terlihat kurus.
Aku pusing sekali hari ini, sudah kehausan dari tadi belum sempat minum ibu sudah merepet. Dari pagi perut juga belum terisi, gimana mau sarapan. Ibu sudah mendesak saja menyuruhku ke pasar. Katanya kalo siang-siang nanti dapat sayurnya yang jelek.
Mas Bram juga tidak peduli, menyesal aku punya suami seperti Mas Bram yang hanya tunduk perintah pada ibunya. Walaupun anak itu wajib taat pada orang tuanya tapi juga tidak boleh dzolim pada istrinya. Bukankah Rasulullah Saw bersabda : "bahwa sebaik-baik lelaki adalah yang paling sayang terhadap keluarganya". Namun, itu tidak ku dapatkan pada diri Mas Bram.
Lelaki yang sudah dua tahun menikahiku hanya peduli uang. Aku tidak mengetahui berapa gaji yang dia dapatkan dari kantor. Mas Bram tidak pernah memberitahu, cukup terima saja jatahmu katanya dulu. Jika dulu Mas Bram memberi 300 ribu perbulan, akan tetapi semenjak tinggal bersama ibunya, jatah bulanan ku di pangkas menjadi 100 ribu.
Ya dulu saat baru menikah, kami mengontrak rumah. Tujuannya supaya kami mandiri, tinggal di rumah sendiri itu seperti dunia hanya milik berdua. Apalagi aku bisa bebas mau masak apa dan rebahan jam berapa tanpa ada yang mengomel. Namun, kenikmatan itu hanya sebentar ku lalui. Ibu semenjak awal tidak setuju kami mengontrak, kemudian membuat alasan yang tidak bisa kami tolak.
Ibu berpura-pura sakit dan tidak ada yang menjaga. Jadi Mas Bram merasa kasihan, "Ma, sebaiknya kita pindah kerumah ibu saja. Kasihan ibu tidak ada yang menemani. Lagian kalo tinggal disana kita bisa lebih hemat tidak perlu bayar kontrakan tiap bulan," rayu Mas Bram hingga membuatku luluh saat itu.
"Winda, kok bengong? Ayo masak sana," titah ibu.
"Aku pusing, Bu. Suruh Eka aja yang masak kenapa! Lagian Eka juga tidak ada kerjaan, aku mau istirahat dulu capek!" ujarku sembari mengambil piring kemudian menyendok nasi goreng yang ku masak tadi pagi.
"Aku gak bisa, Mbak! Aku baru siap luluran, ntar bau bawang lagi dong," sahutnya dari dalam kamar.
Aku kesal mendengarnya, anak itu di rumah sangat malas. Pergi hanya kuliah saja, selebihnya selalu di kamar bermain HP. Bahkan pakaian kotornya ditumpuk begitu saja di keranjang. Untuk mencuci pakaiannya sendiripun malas.
Eka adalah keponakan Mas Bram, dia tinggal disini baru beberapa bulan. Asal dari kampung tapi gayanya berlagak orang kota. Ibu juga yang beralasan supaya Eka tinggal di sini sambil kuliah. Uang kuliah siapa lagi kalau bukan Mas Bram yang bayar.
Lama-lama aku jengah tinggal di rumah ini, tidak ada lagi kebahagiaan dan kehangatan yang kurasakan seperti baru menikah. Mas Bram juga berubah, jika dulu dia perhatian dan baik tapi semenjak tinggal di rumah ibunya, kelakuannya sudah mulai nampak. Apalagi saat ini jabatan Manager sudah di genggamnya, sikapnya makin keterlaluan.
Sehabis sarapan, seperti biasa aku akan mencuci piring. Hatiku sebal setiap kali melihat tumpukan piring kotor, Ibu maupun Eka tidak mau mencuci sekedar bekas yang mereka pakai.Belanjaan yang baru ku beli di pasar juga masih teronggok di meja, Ibu bahkan tidak menyentuhnya. Ibu tidak pernah mau membantu menaruhnya di lemari dan kulkas. Semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakan, biar lemak hilang begitu alasan yang selalu dibilang Ibu.Apa mau dikata dari dulu aku memang sudah bohay, bahkan saat Mas Bram melamar. Dia tidak mempermasalahkan tubuhku, asal aku cantik dan rajin saja sudah cukup baginya. Namun, tidak dengan Ibu dari awal bertemu Ibu sudah tidak suka melihatku. Beliau memandang sinis kearah tubuhku sewaktu Mas Bram membawaku ke rumahnya.Walaupun bohay tapi gerakan ku gesit, semua pekerjaan dalam tengah hari selesai. Seberat dan secapek apapun tubuhku tetap tidak bisa langsing, bisa dibilang termasuk subur. Padahal makan juga sediki
Drt drt drt ....Gawaiku berdering saat lagi cekcok dengan Mas Bram dan Ibu. Bergegas ke kamar dan melihat dilayarnya nama Mbok di kampung memanggil. Segera ku tekon tombol on, terdengar suara serak Mbok diujung sana."Assalamualaikum, Nak," sapa Mbok dengan suara pelan."Wa'alaikumussalam, mbok sehatkan. Kenapa suaranya, Mbok sakit?" tanyaku cemas."Mbok lagi demam, oh ya gimana kabar kamu dan Nak Bram?""Alhamdulillah, kami semua sehat Mbok. Winda baik-baik aja kok, Mbok jangan khawatir. Tapi sebaiknya lebih perhatikan kesehatan, jangan terus begadang.""Ya, Mbok hanya mengerjakan tugas sedikit. Mungkin karena musim dan cuaca yang gak menentu jadi flu," jawab Mbok terbatuk-batuk.Aku menghembus nafas pelan, terbesit juga rasa kasihan. Meninggalkan Mbok sendiri di kampung, bapak baru setahun yang lalu berpulang menghadap Yang Maha Kuasa, akibat penyakit paru-paru basah yang di idapnya.
Sudah dua hari ini Mbok terlihat sumringah, mungkin senang akhirnya aku bisa pulang menjenguknya. Yang pasti aku juga bahagia, terlebih lagi Mbok sangat memanjakan diriku.Kerjaku hanya makan dan tidur, Mbok melarang bila ingin mengerjakan sesuatu. Mbok melihatku agak kurusan sekarang, jadi tidak rela anak kesayangannya mesti menderita lagi saat bersamanya.Pagi itu, seusai sarapan aku pamit pada Mbok untuk jalan-jalan sekitar kampung. Menghirup udara segar sembari berolahraga. Sudah lama sekali rasanya tidak olahraga, selama di rumah mertua dari pagi sudah di sibukkan pekerjaan rutinitas.Aku berlari kecil sepanjang jalan yang di tumbuhi pohon pisang. Aroma wangi dari pisang matang tercium di hidungku, sayangnya Mbok tidak punya ladang pisang. Pasti enak makan pisang apalagi di goreng pake tepung krispi. Rasanya krenyes enak dan gurih.Puas olahraga aku balik ke rumah, tiap ketemu tetangga di jalan saling bertegur sapa. Kebanyakan
Lega hatiku saat istriku yang gendut dan selalu nampak kucel itu pergi ke kampung. Apalagi dia minta waktu seminggu, waktu yang panjang untuk aku leluasa.Ya, akhir-akhir ini aku menjalin kasih dengan wanita lain. Tanpa Winda ketahui, wanita yang bernama Laras itu lebih menggoda. Kulitnya putih mulus dan body aduhai, membuatku selalu bernafsu memandangnya.Apalagi dukungan dari Ibu, yang memang tidak menyukai Winda sebagai menantu. Aku sering mendengar Ibu selalu menjelekkan tubuh Winda yang berlemak. Barulah aku tau alasan Ibu begitu membencinya.Padahal dulu saat akan melamar Winda, aku tak pernah permasalahkan tubuhnya. Walaupun dia sedikit gemuk tapi di mataku tetap menarik, dia juga seorang gadis yang cantik dan gesit.Dahulu aku memang mencintai Winda, cinta itu bertambah saat kami mengontrak rumah. Winda menjalankan peran seorang istri dengan baik, selain rajin, masakannya juga enak dan cocok di lidahku.N
"Assalamualaikum," Sapa ku begitu sampai di depan rumah mertua.Ya akhirnya aku balik lagi setelah seminggu di kampung. Lumayan juga untuk mengisi energi dan kekuatan agar aku dapat melawan dua manusia arogan itu. Aku akan berpura-pura tidak tahu, tetapi tetap terus mengawasi kelakuan mereka.Tetiba ingat foto yang dikirim Nina, membuatku menjadi jijik pada Mas Bram. Lelaki yang baru saja menjabat posisi tinggi itu sudah merasa hebat, merasa dengan jabatannya bisa melakukan semaunya. Mas Bram tidak tau, setiap perbuatan itu ada karmanya.Terdengar derit pintu terbuka, Ibu yang berdiri di depanku terkejut. "Winda?""Kenapa, Bu? Seperti melihat hantu aja, kenapa kaget?" tanyaku heran."Enggak, kok!" ucapnya gugup. Kemudian dengan cepat Ibu menguasai dirinya dan balik ke sikapnya yang angkuh."Eh, menantu miskin. Kenapa balik sini, apa udah bosan di kampung?" ejeknya."Ibu, apa-apaan? Winda masih
Buugghh !!"Aww, hati-hati dong kalo jalan. Mata di pake," ucapku kasar pada pria yang menabrak ku."Maaf, aku gak sengaja," katanya sembari membantuku berdiri.Sekilas aku menatap pria di depanku ini, wajahnya tidak asing. Oh, ternyata dia! Pria yang dulu pernah diam-diam aku suka, tetapi ditolaknya."Mas Bram?" kataku pura-pura terkejut.Bram menatap wanita yang ditabraknya dengan heran, kemudian mencoba mengingat. Namun, Bram tidak mengenalinya. "Maaf, kamu sapa? Kok tau nama saya?""Bram, aku Laras. Yang dulu pernah kamu tolak," jawabku menunduk sedih karena dia tidak mengenaliku lagi."Laras? Teman kuliahku dulu kan, yang dulu asyik ngejar aku terus tapi ku tolak," tebak Bram sembari tertawa."Ish, lucu ya Mas?" ujarku manyun."Nggak, cuma aku memang tidak tanda. Sekarang kamu tambah cantik, Ras," ucap Bram memuji. Aku pun tersipu mendengar pujiannya.
Semenjak Laras tinggal di rumah Ibu dan berpura-pura sebagai sepupu, perhatian Mas Bram mulai berkurang. Jika dulu Mas Bram sering mengajakku berbicara, namun kini dia pelit bicara sekedar untuk bertanya.Ibu juga yang biasa suka teriak, kini menjadi kalem sejak ada Laras. Apakah Ibu sedang menutupi kelakuan jeleknya di hadapan Laras, demi mendapat perhatian wanita hina itu.Aku tak tahu sampai berapa lama Laras tinggal, rasanya sungguh jengah. Aku mulai kesepian, terkadang dalam kesendirian kutumpahkan keluh kesah pada sang Khaliq. Mengadu segala beban dan deritaku, semoga aku diberi kekuatan untuk menghadapi manusia-manusia dzolim ini.Walaupun merasa dikucilkan, aku tetap melakukan pekerjaan seperti biasa. Setiap pagi selesai salat Subuh, aku memasak lauk dan mencuci piring.Belum ada seorangpun yang bangun, juga Laras si wanita kebanggaan Ibu. Kadang aku tidak habis pikir, wanita seperti Laras yang tidak pernah bangun pagi juga
Namun, saat melewati kamar Eka aku mendengar suara desahan dari dalam. Siapa di dalam dan sedang apa mereka, di dorong rasa penasaran aku intip dari lubang kunci.Astaghfirullah .....Jeritku tertahan, apa yang barusan kulihat? Aku mengucek mataku untuk memperjelas pemandangan di depan. Tidak salah, dua manusia hina dan mesum itu sedang asyik bergumul di atas ranjang. Mas Bram tanpa sehelai pakaian pun sedang menindih Laras di bawah yang keenakan.Suara desahan itu masih terus terdengar sesekali di iringi tawa cekikikan. Darahku mendidih seketika, berani-beraninya mereka berbuat mesum di rumah ini. Apalagi mereka bukan muhrim, tidak sepantasnya berbuat asusila.Aku yang sudah tak tahan, segera menggedor kamar itu. "Mas ... Buka pintu! Apa yang Mas lakukan didalam. Keluar!" teriakku.Bram dan Laras terkejut, keduanya segera memakai pakaian. Ibu juga terbangun mendengar teriakan ku, keluar kamar dan menghidupkan lampu. B
Selesai mandi, aku dan Sayid siap-siap sholat berjamaah. Dalam doa aku meminta pada pencipta agar menguatkan cinta kami dan kekal dalam rumah tangga selamanya. Hati terasa tenang sudah mengadu kepadaNYA.Sayid mengajakku turun usai sholat, karena ingin melihat sekeliling rumah. Ya rumah yang Papa bangun ini lumayan besar dan megah. Untuk sementara kami tinggal disini dulu.Aku menemani Sayid berkeliling, sore ini udara sudah terasa dingin. "Kamu kedinginan humairo?" tanya Sayid kemudian melepaskan jaketnya dan memakainya di bahuku."Iya, Mas! Sepertinya sudah mulai turun salju ya!" jawabku sambil mendongak ke atas."Iya, memasuki musim dingin disini. Kalo kamu nggak tahan didalam rumah aja, biar Mas sendiri yang berkeliling," ujarnya sambil memelukku."Nggak apa-apa, Mas! Sekali ini aja, lagian baru sekarang aku kemari bareng suami. Mas masih ingat perkenalan kita dulu?" tanyaku bernostalgia.Sayid mengang
Kami tiba di bandara Internasional tepat waktu, satu jam sebelum keberangkatan. Setelah mengecek semua barang lalu menunggu di bagian maskapai. Selama satu hari kondisi tubuhku harus fit. Sebelum terbang juga sudah memeriksa kandungan. Dokter menyatakan sehat dan boleh naik pesawat.Sayid terus memegang dan menjagaku agar nyaman. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba, terdengar dari pengeras suara agar penumpang segera naik kedalam pesawat. Mencari nomer kursi, seorang pramugari membantu kami.Setelah penumpang masuk dan penuh, seorang pramugari sedang memberi arahan bagaimana bila pesawat dalam keadaan darurat. Ada keasyikan sendiri memandang pramugari, selain cantik juga dituntut berani untuk memberi layanan yang nyaman bagi penumpang.Selama di pesawat aku habiskan untuk tidur, sesekali Sayid mengajak ngobrol. Wajahnya begitu senang karena bisa mengajakku tinggal di Abu Dhabi. Namun, aku masih perlu menyesuaikan diri disana. Lagian kami akan t
Ustad berhenti bicara untuk menunggu keputusan Bu Ningsih. "Gimana, Bu?"Bu Ningsih terdiam, matanya melirik amplop tebal di atas meja kemudian menatap kami satu persatu. Mungkin masih bimbang antara menerima atau menolak."Kalo Ibu merasa kurang bisa kami tambah tapi maaf nggak bisa lebih dari sepuluh milyar," ucap Papa tegas.Bu Ningsih terlihat menelan saliva mendengar nominal yang disebut Papa. Baginya uang segitu tidak akan bisa didapat seumur hidupnya. Kemudian dengan mengangguk pelan, Bu Ningsih setuju."Baik, karena Ibu sudah setuju kita tanda tangan di surat bermaterai ini. Dengan begitu jika kedepannya ada masalah lagi, surat ini bisa jadi rujukan," ujar Papa sambil menyerahkan kertas dan pulpen.Papa bertanda tangan dulu baru menyerahkan pada Bu Ningsih. Dengan tangan gemetar Bu Ningsih membubuhkan tandatangan. Bu Ningsih meminta tambahan dua milyar untuk merenovasi rumah agar kokoh hingga cucunya dewasa.&nb
"Tadi malam, pas tengah malam Winda teriak ketakutan karena di kamar kalian ada hantunya. Awalnya kami nggak percaya, lalu melihat ada bekas cakaran di jendela kami berjaga dan tidur bareng. Papa pun inisiatif memanggil ustad untuk melihat," tutur Mama berhenti sebentar mengambil napas."Apa? Hantu, Ma?" tanya Sayid kaget."Iya, setelah ustad periksa bukan hantu melainkan kiriman orang untuk menakuti Winda," jelas Mama.Sayid mengernyitkan dahi lalu menggenggam tanganku. "Kamu nggak apa-apa, kan humairo?" tanya Sayid cemas.Aku menggeleng dan tersenyum, Mama menggeleng lega dan Papa hanya melengos. "Sayid, itu karena Winda nggak patuh sama Papa. Udah dilarang keluar tapi masih aja ngeyel, akhirnya terjadi seperti ini."Sayid menatapku meminta penjelasan. Aku pun menceritakan dari awal, Sayid mengangguk mendengarkan. Tiba-tiba dia tersenyum lalu mengatakan hal yang mengejutkan."Pa, Ma, gimana kalo Winda Sa
"Win, bagaimana kalo kamu tinggal di Abu Dhabi aja? Mungkin disana lebih aman dan nyaman buat kamu," cetus Mbok tiba-tiba dapat ide."Apa, Mbok?" tanyaku kaget takut salah dengar. Mbok tersenyum lalu mengulang lagi perkataannya. "Mbok bilang kamu tinggal aja dengan mertua di Abu Dhabi. Pasti disana nggak ada orang yang akan membuat hidupmu sulit.""Mbok yakin?" tanyaku tak percaya."Dulu, sewaktu Den Sayid melamar kamu Mbok dengar kalian akan tinggal disana dan kamu setuju saat itu kan?" Kata Mbok balik bertanya."Iya, Mbok! Tapi, semua keluarga Winda disini, Mbok pasti nggak mau kan kalo Winda ajak kesana?""Mbok disini aja, udah tua! Nanti merepotkan besan disana, lagian Mbok nggak terbiasa tinggal di luar negeri. Nanti Bapakmu mencari Mbok kalo Mbok tinggal jauh," ujar Mbok tertawa.Aku pun tersenyum dan menepuk tangan Mbok, ada-ada saja Mbok ini. Namun, jika dipikirkan apa yang dikatakan
"Bagaimana, Pak Ustad?" tanya Papa penasaran.Kami semua menanti apa yang akan disampaikan Pak Ustad. Apa memang benar hantu atau manusia, bila hantu toh rumah selama ini dalam keadaan aman. Namun, bila manusia sepertinya kurang kerjaan karena kamarku terletak diatas jadi siapa yang melakukannya."Kamar siapa yang diganggu tadi malam?" tanya Ustad menyelidik."Kamar putri saya, Winda," jawab Papa sambil menunjuk diriku.Pak Ustad memandangku tajam, lalu mengangguk. "Apa ananda Winda ada menyakiti seseorang?" tanya Pak Ustad padaku.Semua orang di ruangan menatapku, pertanyaan Pak Ustad membuat semuanya bingung. Tak terkecuali aku yang merasa tak pernah sekalipun mengganggu atau menyakiti orang lain.Aku menggeleng, kemudian balik bertanya pada Pak Ustad. "Memang kenapa, Pak Ustad?""Gangguan tadi malam adalah kiriman seseorang untuk menakuti kamu. Namun, dibalik itu ada dendam didalamnya. Mung
"Dikamar Winda ada hantu, Ma! Winda takut!" kataku gemetar memeluk Mama."Apa? Hantu?" kata Mama terkejut."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Papa begitu tiba di samping Mama. Haris juga keluar kamar dan mendekati kami."Kata Winda dikamarnya ada hantu, Pa!" jawab Mama sambil mengerinyitkan dahinya.Papa tertawa. "Mana mungkin ada hantu, selama ini rumah ini baik-baik aja kok. Ya kan Haris?" kata Papa beralih pada Haris."Bener, Mbak! Nanti Mbak cuma mimpi dan menginggau," sahut Haris setuju pada Papa."Ta-tapi tadi memang bener, Mbak udah bangun lalu mendengar suara cakaran di jendela loh," kataku tetap kukuh kalo aku tidak mimpi."Baiklah, kita lihat sekarang ke kamarmu!" seru Papa sambil berjalan masuk kamarku.Haris mengikuti langkah Papa, kemudian aku dan Mama dibelakang. Sambil memeluk Mama, mataku terus mengamati sekeliling kamar. Suara itu tak terdengar lagi."N
Beberapa kali panggilan ku tak dijawab. Lalu saat diangkat terdengar suara wanita diseberang sana."Halo, siapa ini?" tanyanya.Mengapa dia tanya, apakah di ponsel Sayid tak tertulis siapa yang memanggil. Sambil menggerutu aku pun mematikan panggilan dan membanting ponsel ke ranjang.Huh, dari tadi kenapa selalu terdengar suara perempuan. Siapa dia? Ah lebih baik aku tanya Sayid saja daripada terus menduga. Namun, tiap aku telepon Sayid entah keman dan lagi-lagi wanita yang sama.Lebih baik aku mandi saja, setelah itu turun kebawah untuk makan bersama Papa. Aku pun menyambar handuk dan masuk kamar mandi. Saat mandi entah mengapa terus terpikir Sayid, teringat akan mantan pacar Sayid.Ketakutan mulai menyelimuti hatiku, takut bila Sayid terpikat mantan pacarnya. Lamunanku tersentak kala mendengar ponsel berdering, gegas mengenakan handuk.Langsung menyambar ponsel setelah melihat dilayar siapa yang memanggi
Mobil yang disupiri Pak Rudi berhenti didepan gang. Untuk masuk kedalam mesti berjalan kaki karena gang terlalu sempit.Begitu kami turun dari mobil, banyak orang sekitar yang memperhatikan. Sambil mengangguk dan tersenyum, aku dibantu Mbok dan pak Rudi menurunkan barang.Sekitar lima rumah kami lewati, menyapa beberapa ibu-ibu yang sedang duduk santai. Aku mencoba ramah dan senyum, dibalas dengan senyuman mereka.Sampai di rumah kontrakan ibu terlihat sepi. Pintu rumah tertutup rapat. Kami menurunkan barang di lantai. Seorang ibu mendekat, sambil beramah tamah."Oh, ada tamunya Bu Bram ya! Kenalkan saya Bu Ani, tetangga sebelah kanan," katanya sambil menunjuk rumah."Iya, Bu Ani. Ibu ada dirumah?" tanyaku.Ibu itu menghela napas, menatap kami satu persatu. Aku menunggu dengan sabar apa yang akan diucapkannya."Semenjak menempati kontrakan ini, ibu Bram jarang sekali keluar. Bahkan kami nggak