Sehabis sarapan, seperti biasa aku akan mencuci piring. Hatiku sebal setiap kali melihat tumpukan piring kotor, Ibu maupun Eka tidak mau mencuci sekedar bekas yang mereka pakai.
Belanjaan yang baru ku beli di pasar juga masih teronggok di meja, Ibu bahkan tidak menyentuhnya. Ibu tidak pernah mau membantu menaruhnya di lemari dan kulkas. Semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakan, biar lemak hilang begitu alasan yang selalu dibilang Ibu.
Apa mau dikata dari dulu aku memang sudah bohay, bahkan saat Mas Bram melamar. Dia tidak mempermasalahkan tubuhku, asal aku cantik dan rajin saja sudah cukup baginya. Namun, tidak dengan Ibu dari awal bertemu Ibu sudah tidak suka melihatku. Beliau memandang sinis kearah tubuhku sewaktu Mas Bram membawaku ke rumahnya.
Walaupun bohay tapi gerakan ku gesit, semua pekerjaan dalam tengah hari selesai. Seberat dan secapek apapun tubuhku tetap tidak bisa langsing, bisa dibilang termasuk subur. Padahal makan juga sedikit, biarlah toh aku juga sehat-sehat saja.
"Masak apa, Mbak? tanya Eka yang tiba-tiba membuatku kaget.
"Belum masak, sana kamu cuci sayur bayam itu!" jawabku ketus.
"Ogah, ntar tangan mulus ku jadi kasar," tolak Eka sembari ngeloyor pergi.
Idih, ini anak sekali-kali ingin ku jitak kepalanya. Geram banget aku beud, lihat saja nanti aku akan mengerjainya. Lepas cuci piring aku segera masak, sengaja aku masak sayurnya sedikit tapi garamnya ku taruh agak banyak. Ingin melihat respon penghuni rumah yang arogan itu.
Bau aroma bawang goreng menguar, Mas Bram menyukai sayur bayam yang ditaburi bawang goreng, enak katanya. Kulihat Eka ngintip di kamarnya, mungkin perutnya ikut merontah mencium bawang goreng yang lezat. Aku pun berpura-pura tidak melihatnya, dan bereaksi seperti chef. "Wah harumnya, pasti nikmat ini. Apalagi di taburi bawang, dijamin mak nyos rasanya," kataku sambil terkekeh dalam hati.
Selesai masak meletakkan semua lauk di atas meja dan ditutup tudung saji. Badan terasa penat dan ingin rebahan. Setelah mandi dan berwudhu sekalian, aku masuk ke kamar. Sengaja pintu ku kunci, karena tau Ibu akan menggedor kamarku setelah makan.
Benar saja, baru selesai salat Dzuhur terdengar gedoran pintu. "Winda, kemari kamu. Ini apa yang kamu masak, asin banget," teriak Ibu diluar.
Aku pun cekikan di kamar tak menggubris panggilan Ibu. Kudengar juga suara Eka memuntahkan sayurnya. "Wek, asin banget sayurnya, Bude."
Ah, capek sekali hari ini ditambah keributan mereka semua lebih baik aku tidur saja. Sembari rebahan di kasur ku ku aktifkan gawai dan ku scroll aplikasi hijau. Banyak pesan masuk digrup, "Sosialita istri Bos", nama grup yang aneh tapi begitulah nyatanya.
Aku baru saja dimasukkan Nina, istri dari teman kerja Mas Bram. Suami Nina yang menjabat sebagai wakil Manager, satu kantor dengan suamiku. Terlihat ada sekitar 20 anggota di grup itu, semua pasti wanita tajir. Banyak dari mereka yang mengirim foto dirinya, ada yang sedang berlibur di Paris, berlayar di atas kapal feri dan memamerkan perhiasan berlian.
Jiwa miskin ku merontah-rontah beud, jangankan berlian perhiasan emas saja aku tak punya. Baju juga tak seberapa, Mas Bram tidak mau membelikan. Baju di lemari sudah banyak yang kusam, itupun baju sebelum aku nikah.
Ting !!
Terlihat digrup ada yang mengirim pesan dari Angelina Lee, dari namanya pasti seorang Bos besar.
[Selamat siang semua, jangan lupa hari Minggu depan saya ingin mengundang anda semua datang meramaikan ulang tahun saya]
[Wah, selamat ya Bu Bos. Dimana acaranya di adakan?] pesan dari Ratna istri CEO
[Kali acara cuma diadakan di rumah saya, di taman belakang] balas Angelina
[ Pasti rame ini, kira-kira Bu Bos ngundang sapa aja] pesan dari Marissa
[Banyak tamu penting yang datang, pak Bos juga akan mengundang koleganya] jawab Angelina
[Wah, kalo gitu kita mesti dandan cantik ini. Memakai gaun mahal dan berlian]
Begitulah seterusnya chattingan mereka, aku tak membacanya sampai habis karena ngantuk. Namun, obrolan tadi sampai terbawa mimpi. Tiba-tiba aku seperti ada di istana, memakai gaun yang cantik juga sepatu kaca. Seorang pria memakai topeng mengajakku berdansa.
Aku terkesiap melihat wajah rupawan di depanku, sambil malu-malu ku terima uluran tangannya. Musik mengalun merdu dan pria tampan itu mulai menggerakkan tangannya melingkar dan memutar tubuhku. Kami berdansa dengan mesra, sesekali hadirin bertepuk tangan.
Pria tampan itu memelukku dan saat aku sudah mendekat tubuhnya tercium aroma wangi semerbak. "Kamu ratuku, permaisuri ku," bisiknya ditelinga ku.
Ku alihkan pandangan ke wajahnya, penasaran wajah dibalik topeng itu. Dengan tangan gemetar aku membuka topengnya, akan tetapi sebelum jelas melihat wajahnya aku terbangun dari tidur karena kaget.
"Winda ... Bangun. Angkat jemuran mau hujan," teriak Ibu menggedor pintu.
Aku menghela nafas sebentar sembari menguap lalu membuka pintu. "Apa sih, Bu? Dari tadi berisik aja."
"Berisik-berisik, lihat Sono tuh udah mendung. Angkat jemuran ntar keburu hujan," ngedumel Ibu.
"Ya Allah, Ibu kan bisa angkat sebentar."
"Kalo disuruh jangan membantah, lekas diangkat," hardik Ibu.
Dengan perasaan dongkol, aku kebelakang mengangkat jemuran. Baru saja keluar pintu, hujan turun deras. Cepat-cepat ku berlari, untung saja pakaian tidak basah. Pasti Ibu akan terus mengomel jika pakaiannya kembali basah.
*****
Sore itu, Mas Bram pulang kerja. Setelah melepas sepatunya lalu duduk di sofa, aku mengambil minum untuknya. Kemudian saat akan duduk disebelahnya, Mas Bram menghalauku. "Sana, duduk yang jauh. Mama bau bawang," refleknya menutup hidung."Mama udah mandi, Pa. Lihat daster udah ganti," ucapku kaget melihat sikap suamiku.
Aku tidak menyangka Mas Bram semakin menjauhiku. Walaupun aku tidak berdandan, tapi aku rajin mandi dan bersih. Akan tetapi, hal itu tetap tidak membuat Mas Bram mau menyentuhku. Entah kenapa, semenjak tinggal di rumah Ibu, Mas Bram seolah-olah menjadi asing padaku.
"Pa, aku ikut ya ke acara ulang tahun Bu Bos Angelina Lee," rayuku pada Mas Bram.
"Dari mana Mama tau kalo Bu Bos ulang tahun," selidiknya.
"Dari grup W******p, katanya Bu Bos mengundang kita semua Minggu depan," jawabku.
"Mama jangan mengada-ada, gak mungkin Papa mau bawa Mama," desis Mas Bram.
"Loh, memangnya kenapa, Pa? Apa Mama gak boleh ikut?" tanyaku heran.
"Ya iyalah, Mama itu gendut, kusam, udah gitu pakaian aja gak ada yang cantik," sindir Mas Bram yang membuatku geram.
"Seharusnya itu udah kewajiban Papa, membelikan Mama kosmetik dan baju. Ini sebulan aja Mama cuma dikasih 100 ribu, mau dapet apa uang segitu," kataku meradang.
Mas Bram terdiam, tidak menyangka aku berani berkata keras di depannya. Aku masa bodoh saja melihatnya dan tidak ingin menjadi istri yang lemah. Seperti di sinetron, istri yang cuma bisa menangis dan pasrah. Aku bukan orang seperti itu.
"Winda, kamu udah kurang ajar sekarang ya! Berani melawan suami, dasar menantu miskin!" hardik Ibu tiba-tiba keluar setelah mendengar suaraku yang kencang tadi.
Aku melengos ke arah Ibu, menatap manik matanya yang menyorot kebencian. Wanita yang seumuran orang tuaku itu tak ubahnya seperti singa ganas, yang siap menerkam mangsanya. Namun, aku tidak takut. Selama aku benar, aku akan menuntut hak ku.
"Bram, lebih baik kamu ceraikan saja istrimu. Ibu tidak suka menantu seperti dia, sudah dinikahi tetap gak tau diri. Masak pun keasinan, tuh Ibu tadi gak jadi makan karena sayur yang dimasak istrimu asin," ucap Ibu mendelik.
Aku terkejut yang mendengar kata cerai, segera mengalihkan pandangan ke Mas Bram. Kulihat dia juga garuk-garuk kepala, ah dasar suami manja. Untuk urusan satu ini pun tetap tak bisa memutuskan sendiri. Kita lihat saja Mas, kalo kamu sampai menceraikan ku akan kubuat Mas menyesal, gumam ku dalam hati
Drt drt drt ....Gawaiku berdering saat lagi cekcok dengan Mas Bram dan Ibu. Bergegas ke kamar dan melihat dilayarnya nama Mbok di kampung memanggil. Segera ku tekon tombol on, terdengar suara serak Mbok diujung sana."Assalamualaikum, Nak," sapa Mbok dengan suara pelan."Wa'alaikumussalam, mbok sehatkan. Kenapa suaranya, Mbok sakit?" tanyaku cemas."Mbok lagi demam, oh ya gimana kabar kamu dan Nak Bram?""Alhamdulillah, kami semua sehat Mbok. Winda baik-baik aja kok, Mbok jangan khawatir. Tapi sebaiknya lebih perhatikan kesehatan, jangan terus begadang.""Ya, Mbok hanya mengerjakan tugas sedikit. Mungkin karena musim dan cuaca yang gak menentu jadi flu," jawab Mbok terbatuk-batuk.Aku menghembus nafas pelan, terbesit juga rasa kasihan. Meninggalkan Mbok sendiri di kampung, bapak baru setahun yang lalu berpulang menghadap Yang Maha Kuasa, akibat penyakit paru-paru basah yang di idapnya.
Sudah dua hari ini Mbok terlihat sumringah, mungkin senang akhirnya aku bisa pulang menjenguknya. Yang pasti aku juga bahagia, terlebih lagi Mbok sangat memanjakan diriku.Kerjaku hanya makan dan tidur, Mbok melarang bila ingin mengerjakan sesuatu. Mbok melihatku agak kurusan sekarang, jadi tidak rela anak kesayangannya mesti menderita lagi saat bersamanya.Pagi itu, seusai sarapan aku pamit pada Mbok untuk jalan-jalan sekitar kampung. Menghirup udara segar sembari berolahraga. Sudah lama sekali rasanya tidak olahraga, selama di rumah mertua dari pagi sudah di sibukkan pekerjaan rutinitas.Aku berlari kecil sepanjang jalan yang di tumbuhi pohon pisang. Aroma wangi dari pisang matang tercium di hidungku, sayangnya Mbok tidak punya ladang pisang. Pasti enak makan pisang apalagi di goreng pake tepung krispi. Rasanya krenyes enak dan gurih.Puas olahraga aku balik ke rumah, tiap ketemu tetangga di jalan saling bertegur sapa. Kebanyakan
Lega hatiku saat istriku yang gendut dan selalu nampak kucel itu pergi ke kampung. Apalagi dia minta waktu seminggu, waktu yang panjang untuk aku leluasa.Ya, akhir-akhir ini aku menjalin kasih dengan wanita lain. Tanpa Winda ketahui, wanita yang bernama Laras itu lebih menggoda. Kulitnya putih mulus dan body aduhai, membuatku selalu bernafsu memandangnya.Apalagi dukungan dari Ibu, yang memang tidak menyukai Winda sebagai menantu. Aku sering mendengar Ibu selalu menjelekkan tubuh Winda yang berlemak. Barulah aku tau alasan Ibu begitu membencinya.Padahal dulu saat akan melamar Winda, aku tak pernah permasalahkan tubuhnya. Walaupun dia sedikit gemuk tapi di mataku tetap menarik, dia juga seorang gadis yang cantik dan gesit.Dahulu aku memang mencintai Winda, cinta itu bertambah saat kami mengontrak rumah. Winda menjalankan peran seorang istri dengan baik, selain rajin, masakannya juga enak dan cocok di lidahku.N
"Assalamualaikum," Sapa ku begitu sampai di depan rumah mertua.Ya akhirnya aku balik lagi setelah seminggu di kampung. Lumayan juga untuk mengisi energi dan kekuatan agar aku dapat melawan dua manusia arogan itu. Aku akan berpura-pura tidak tahu, tetapi tetap terus mengawasi kelakuan mereka.Tetiba ingat foto yang dikirim Nina, membuatku menjadi jijik pada Mas Bram. Lelaki yang baru saja menjabat posisi tinggi itu sudah merasa hebat, merasa dengan jabatannya bisa melakukan semaunya. Mas Bram tidak tau, setiap perbuatan itu ada karmanya.Terdengar derit pintu terbuka, Ibu yang berdiri di depanku terkejut. "Winda?""Kenapa, Bu? Seperti melihat hantu aja, kenapa kaget?" tanyaku heran."Enggak, kok!" ucapnya gugup. Kemudian dengan cepat Ibu menguasai dirinya dan balik ke sikapnya yang angkuh."Eh, menantu miskin. Kenapa balik sini, apa udah bosan di kampung?" ejeknya."Ibu, apa-apaan? Winda masih
Buugghh !!"Aww, hati-hati dong kalo jalan. Mata di pake," ucapku kasar pada pria yang menabrak ku."Maaf, aku gak sengaja," katanya sembari membantuku berdiri.Sekilas aku menatap pria di depanku ini, wajahnya tidak asing. Oh, ternyata dia! Pria yang dulu pernah diam-diam aku suka, tetapi ditolaknya."Mas Bram?" kataku pura-pura terkejut.Bram menatap wanita yang ditabraknya dengan heran, kemudian mencoba mengingat. Namun, Bram tidak mengenalinya. "Maaf, kamu sapa? Kok tau nama saya?""Bram, aku Laras. Yang dulu pernah kamu tolak," jawabku menunduk sedih karena dia tidak mengenaliku lagi."Laras? Teman kuliahku dulu kan, yang dulu asyik ngejar aku terus tapi ku tolak," tebak Bram sembari tertawa."Ish, lucu ya Mas?" ujarku manyun."Nggak, cuma aku memang tidak tanda. Sekarang kamu tambah cantik, Ras," ucap Bram memuji. Aku pun tersipu mendengar pujiannya.
Semenjak Laras tinggal di rumah Ibu dan berpura-pura sebagai sepupu, perhatian Mas Bram mulai berkurang. Jika dulu Mas Bram sering mengajakku berbicara, namun kini dia pelit bicara sekedar untuk bertanya.Ibu juga yang biasa suka teriak, kini menjadi kalem sejak ada Laras. Apakah Ibu sedang menutupi kelakuan jeleknya di hadapan Laras, demi mendapat perhatian wanita hina itu.Aku tak tahu sampai berapa lama Laras tinggal, rasanya sungguh jengah. Aku mulai kesepian, terkadang dalam kesendirian kutumpahkan keluh kesah pada sang Khaliq. Mengadu segala beban dan deritaku, semoga aku diberi kekuatan untuk menghadapi manusia-manusia dzolim ini.Walaupun merasa dikucilkan, aku tetap melakukan pekerjaan seperti biasa. Setiap pagi selesai salat Subuh, aku memasak lauk dan mencuci piring.Belum ada seorangpun yang bangun, juga Laras si wanita kebanggaan Ibu. Kadang aku tidak habis pikir, wanita seperti Laras yang tidak pernah bangun pagi juga
Namun, saat melewati kamar Eka aku mendengar suara desahan dari dalam. Siapa di dalam dan sedang apa mereka, di dorong rasa penasaran aku intip dari lubang kunci.Astaghfirullah .....Jeritku tertahan, apa yang barusan kulihat? Aku mengucek mataku untuk memperjelas pemandangan di depan. Tidak salah, dua manusia hina dan mesum itu sedang asyik bergumul di atas ranjang. Mas Bram tanpa sehelai pakaian pun sedang menindih Laras di bawah yang keenakan.Suara desahan itu masih terus terdengar sesekali di iringi tawa cekikikan. Darahku mendidih seketika, berani-beraninya mereka berbuat mesum di rumah ini. Apalagi mereka bukan muhrim, tidak sepantasnya berbuat asusila.Aku yang sudah tak tahan, segera menggedor kamar itu. "Mas ... Buka pintu! Apa yang Mas lakukan didalam. Keluar!" teriakku.Bram dan Laras terkejut, keduanya segera memakai pakaian. Ibu juga terbangun mendengar teriakan ku, keluar kamar dan menghidupkan lampu. B
"Winda ...," teriak Mas Bram mendekatiku. Kemudian tanpa kusadari Mas Bram mengayunkan tangannya ke pipiku.Plak !!"Jangan keterlaluan kamu, selama ini aku sudah berusaha menahan dirimu karena Ibu. Aku sudah lama muak padamu, kini aku hanya mencintai Laras seorang bukan lagi kamu. Pergi kamu dari rumah ini, Pergi!" teriak Mas Bram yang membuat semua penghuni rumah terkejut termasuk aku.Aku terpana tidak percaya, benarkah Mas Bram mengusirku? Hanya demi wanita ini dia sampai hati menampar dan mengusirku. Seketika bulir-bulir air merembes, runtuh sudah perlawanan ku.Tadinya aku berbuat kasar hanya demi mempertahankan rumah tanggaku. Namun, tak kuduga Mas Bram malah tega melukaiku."Kenapa Mas? Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, demi wanita hina ini kamu tega menampar bahkan mengusirku. Kenapa?" teriakku mendorong tubuhnya."Karena aku udah gak cinta kamu lagi, aku udah muak melihatmu yang tak pernah se
Selesai mandi, aku dan Sayid siap-siap sholat berjamaah. Dalam doa aku meminta pada pencipta agar menguatkan cinta kami dan kekal dalam rumah tangga selamanya. Hati terasa tenang sudah mengadu kepadaNYA.Sayid mengajakku turun usai sholat, karena ingin melihat sekeliling rumah. Ya rumah yang Papa bangun ini lumayan besar dan megah. Untuk sementara kami tinggal disini dulu.Aku menemani Sayid berkeliling, sore ini udara sudah terasa dingin. "Kamu kedinginan humairo?" tanya Sayid kemudian melepaskan jaketnya dan memakainya di bahuku."Iya, Mas! Sepertinya sudah mulai turun salju ya!" jawabku sambil mendongak ke atas."Iya, memasuki musim dingin disini. Kalo kamu nggak tahan didalam rumah aja, biar Mas sendiri yang berkeliling," ujarnya sambil memelukku."Nggak apa-apa, Mas! Sekali ini aja, lagian baru sekarang aku kemari bareng suami. Mas masih ingat perkenalan kita dulu?" tanyaku bernostalgia.Sayid mengang
Kami tiba di bandara Internasional tepat waktu, satu jam sebelum keberangkatan. Setelah mengecek semua barang lalu menunggu di bagian maskapai. Selama satu hari kondisi tubuhku harus fit. Sebelum terbang juga sudah memeriksa kandungan. Dokter menyatakan sehat dan boleh naik pesawat.Sayid terus memegang dan menjagaku agar nyaman. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba, terdengar dari pengeras suara agar penumpang segera naik kedalam pesawat. Mencari nomer kursi, seorang pramugari membantu kami.Setelah penumpang masuk dan penuh, seorang pramugari sedang memberi arahan bagaimana bila pesawat dalam keadaan darurat. Ada keasyikan sendiri memandang pramugari, selain cantik juga dituntut berani untuk memberi layanan yang nyaman bagi penumpang.Selama di pesawat aku habiskan untuk tidur, sesekali Sayid mengajak ngobrol. Wajahnya begitu senang karena bisa mengajakku tinggal di Abu Dhabi. Namun, aku masih perlu menyesuaikan diri disana. Lagian kami akan t
Ustad berhenti bicara untuk menunggu keputusan Bu Ningsih. "Gimana, Bu?"Bu Ningsih terdiam, matanya melirik amplop tebal di atas meja kemudian menatap kami satu persatu. Mungkin masih bimbang antara menerima atau menolak."Kalo Ibu merasa kurang bisa kami tambah tapi maaf nggak bisa lebih dari sepuluh milyar," ucap Papa tegas.Bu Ningsih terlihat menelan saliva mendengar nominal yang disebut Papa. Baginya uang segitu tidak akan bisa didapat seumur hidupnya. Kemudian dengan mengangguk pelan, Bu Ningsih setuju."Baik, karena Ibu sudah setuju kita tanda tangan di surat bermaterai ini. Dengan begitu jika kedepannya ada masalah lagi, surat ini bisa jadi rujukan," ujar Papa sambil menyerahkan kertas dan pulpen.Papa bertanda tangan dulu baru menyerahkan pada Bu Ningsih. Dengan tangan gemetar Bu Ningsih membubuhkan tandatangan. Bu Ningsih meminta tambahan dua milyar untuk merenovasi rumah agar kokoh hingga cucunya dewasa.&nb
"Tadi malam, pas tengah malam Winda teriak ketakutan karena di kamar kalian ada hantunya. Awalnya kami nggak percaya, lalu melihat ada bekas cakaran di jendela kami berjaga dan tidur bareng. Papa pun inisiatif memanggil ustad untuk melihat," tutur Mama berhenti sebentar mengambil napas."Apa? Hantu, Ma?" tanya Sayid kaget."Iya, setelah ustad periksa bukan hantu melainkan kiriman orang untuk menakuti Winda," jelas Mama.Sayid mengernyitkan dahi lalu menggenggam tanganku. "Kamu nggak apa-apa, kan humairo?" tanya Sayid cemas.Aku menggeleng dan tersenyum, Mama menggeleng lega dan Papa hanya melengos. "Sayid, itu karena Winda nggak patuh sama Papa. Udah dilarang keluar tapi masih aja ngeyel, akhirnya terjadi seperti ini."Sayid menatapku meminta penjelasan. Aku pun menceritakan dari awal, Sayid mengangguk mendengarkan. Tiba-tiba dia tersenyum lalu mengatakan hal yang mengejutkan."Pa, Ma, gimana kalo Winda Sa
"Win, bagaimana kalo kamu tinggal di Abu Dhabi aja? Mungkin disana lebih aman dan nyaman buat kamu," cetus Mbok tiba-tiba dapat ide."Apa, Mbok?" tanyaku kaget takut salah dengar. Mbok tersenyum lalu mengulang lagi perkataannya. "Mbok bilang kamu tinggal aja dengan mertua di Abu Dhabi. Pasti disana nggak ada orang yang akan membuat hidupmu sulit.""Mbok yakin?" tanyaku tak percaya."Dulu, sewaktu Den Sayid melamar kamu Mbok dengar kalian akan tinggal disana dan kamu setuju saat itu kan?" Kata Mbok balik bertanya."Iya, Mbok! Tapi, semua keluarga Winda disini, Mbok pasti nggak mau kan kalo Winda ajak kesana?""Mbok disini aja, udah tua! Nanti merepotkan besan disana, lagian Mbok nggak terbiasa tinggal di luar negeri. Nanti Bapakmu mencari Mbok kalo Mbok tinggal jauh," ujar Mbok tertawa.Aku pun tersenyum dan menepuk tangan Mbok, ada-ada saja Mbok ini. Namun, jika dipikirkan apa yang dikatakan
"Bagaimana, Pak Ustad?" tanya Papa penasaran.Kami semua menanti apa yang akan disampaikan Pak Ustad. Apa memang benar hantu atau manusia, bila hantu toh rumah selama ini dalam keadaan aman. Namun, bila manusia sepertinya kurang kerjaan karena kamarku terletak diatas jadi siapa yang melakukannya."Kamar siapa yang diganggu tadi malam?" tanya Ustad menyelidik."Kamar putri saya, Winda," jawab Papa sambil menunjuk diriku.Pak Ustad memandangku tajam, lalu mengangguk. "Apa ananda Winda ada menyakiti seseorang?" tanya Pak Ustad padaku.Semua orang di ruangan menatapku, pertanyaan Pak Ustad membuat semuanya bingung. Tak terkecuali aku yang merasa tak pernah sekalipun mengganggu atau menyakiti orang lain.Aku menggeleng, kemudian balik bertanya pada Pak Ustad. "Memang kenapa, Pak Ustad?""Gangguan tadi malam adalah kiriman seseorang untuk menakuti kamu. Namun, dibalik itu ada dendam didalamnya. Mung
"Dikamar Winda ada hantu, Ma! Winda takut!" kataku gemetar memeluk Mama."Apa? Hantu?" kata Mama terkejut."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Papa begitu tiba di samping Mama. Haris juga keluar kamar dan mendekati kami."Kata Winda dikamarnya ada hantu, Pa!" jawab Mama sambil mengerinyitkan dahinya.Papa tertawa. "Mana mungkin ada hantu, selama ini rumah ini baik-baik aja kok. Ya kan Haris?" kata Papa beralih pada Haris."Bener, Mbak! Nanti Mbak cuma mimpi dan menginggau," sahut Haris setuju pada Papa."Ta-tapi tadi memang bener, Mbak udah bangun lalu mendengar suara cakaran di jendela loh," kataku tetap kukuh kalo aku tidak mimpi."Baiklah, kita lihat sekarang ke kamarmu!" seru Papa sambil berjalan masuk kamarku.Haris mengikuti langkah Papa, kemudian aku dan Mama dibelakang. Sambil memeluk Mama, mataku terus mengamati sekeliling kamar. Suara itu tak terdengar lagi."N
Beberapa kali panggilan ku tak dijawab. Lalu saat diangkat terdengar suara wanita diseberang sana."Halo, siapa ini?" tanyanya.Mengapa dia tanya, apakah di ponsel Sayid tak tertulis siapa yang memanggil. Sambil menggerutu aku pun mematikan panggilan dan membanting ponsel ke ranjang.Huh, dari tadi kenapa selalu terdengar suara perempuan. Siapa dia? Ah lebih baik aku tanya Sayid saja daripada terus menduga. Namun, tiap aku telepon Sayid entah keman dan lagi-lagi wanita yang sama.Lebih baik aku mandi saja, setelah itu turun kebawah untuk makan bersama Papa. Aku pun menyambar handuk dan masuk kamar mandi. Saat mandi entah mengapa terus terpikir Sayid, teringat akan mantan pacar Sayid.Ketakutan mulai menyelimuti hatiku, takut bila Sayid terpikat mantan pacarnya. Lamunanku tersentak kala mendengar ponsel berdering, gegas mengenakan handuk.Langsung menyambar ponsel setelah melihat dilayar siapa yang memanggi
Mobil yang disupiri Pak Rudi berhenti didepan gang. Untuk masuk kedalam mesti berjalan kaki karena gang terlalu sempit.Begitu kami turun dari mobil, banyak orang sekitar yang memperhatikan. Sambil mengangguk dan tersenyum, aku dibantu Mbok dan pak Rudi menurunkan barang.Sekitar lima rumah kami lewati, menyapa beberapa ibu-ibu yang sedang duduk santai. Aku mencoba ramah dan senyum, dibalas dengan senyuman mereka.Sampai di rumah kontrakan ibu terlihat sepi. Pintu rumah tertutup rapat. Kami menurunkan barang di lantai. Seorang ibu mendekat, sambil beramah tamah."Oh, ada tamunya Bu Bram ya! Kenalkan saya Bu Ani, tetangga sebelah kanan," katanya sambil menunjuk rumah."Iya, Bu Ani. Ibu ada dirumah?" tanyaku.Ibu itu menghela napas, menatap kami satu persatu. Aku menunggu dengan sabar apa yang akan diucapkannya."Semenjak menempati kontrakan ini, ibu Bram jarang sekali keluar. Bahkan kami nggak