Lega hatiku saat istriku yang gendut dan selalu nampak kucel itu pergi ke kampung. Apalagi dia minta waktu seminggu, waktu yang panjang untuk aku leluasa.
Ya, akhir-akhir ini aku menjalin kasih dengan wanita lain. Tanpa Winda ketahui, wanita yang bernama Laras itu lebih menggoda. Kulitnya putih mulus dan body aduhai, membuatku selalu bernafsu memandangnya.
Apalagi dukungan dari Ibu, yang memang tidak menyukai Winda sebagai menantu. Aku sering mendengar Ibu selalu menjelekkan tubuh Winda yang berlemak. Barulah aku tau alasan Ibu begitu membencinya.
Padahal dulu saat akan melamar Winda, aku tak pernah permasalahkan tubuhnya. Walaupun dia sedikit gemuk tapi di mataku tetap menarik, dia juga seorang gadis yang cantik dan gesit.
Dahulu aku memang mencintai Winda, cinta itu bertambah saat kami mengontrak rumah. Winda menjalankan peran seorang istri dengan baik, selain rajin, masakannya juga enak dan cocok di lidahku.
Namun, kami mengontrak tidak lama. Baru tiga bulan, tiba-tiba Ibu jatuh sakit. Aku yang merasa kasihan segera mengajak Winda pindah kerumah Ibu. Winda hanya menurut tanpa banyak bicara.
Semenjak tinggal di rumah Ibu, kukira akan hidup lebih bahagia dan tentram. Namun, semua diluar dugaan Ibu sering marah dan teriak-teriak pada Winda. Walaupun Winda tidak melakukan kesalahan.
Bahkan aku yang baru pulang kerja, ingin istirahat tapi selalu disambut dengan omelan Ibu. Bram, istrimu ginilah, Winda gitulah. Lama-lama aku pusing, di rumah ingin ketenangan tapi malah seperti di pasar, ribut terus.
Pekerjaan kantor yang terus menguras energi dan otakku, terkadang membuatku malas pulang. Sengaja aku berlama-lama di kantor, entah itu sekedar ngopi atau tidur sebentar.
Ibu yang melihat perubahan ku, suatu hari pernah mengutarakan niatnya agar aku nikah lagi dan menceraikan Winda.
"Bram, sebaiknya kamu ceraikan aja istrimu. Ibu tidak suka dia sebagai menantu Ibu." Aku kaget mendengar perkataan Ibu.
"Tapi kenapa, Bu? Winda kan tidak salah apa-apa, lagian semua pekerjaan rumah dia lakukan dengan baik," protesku saat itu.
"Iya, tapi Ibu tetap tidak suka. Lihat badannya, kelebihan lemak, daster lusuh juga kucel jarang dandan. Kalo ada tamu Ibu yang datang, Ibu malu menantu Ibu seperti itu," gerutu Ibu kesal.
Bram tidak bisa berkata apa-apa, yang dibilang Ibu juga ada benarnya. Padahal dia sudah memberi jatah tiap bulan pada Winda kenapa tidak di pergunakan.
Bram baru ingat, selama di rumah Ibu uang gajiannya di pegang Ibu. Jadi Bram cuma memberi Winda 100 ribu, berkurang dari awalnya 300 ribu. Apa karena itu Winda jadi merajuk, gumam Bram.
Ah, sudahlah yang penting aku memberi jatahnya ketimbang tidak sama sekali. Terserah dia mau dandan atau tidak, tidak masalah buatku, toh dia tetap di rumah dan tidak kemana-mana.
Winda pernah merengek minta pulang kampung, tapi Ibu tidak setuju. Alasannya siapa yang masak di rumah nanti, Ibu tidak mau capek dan dekil.
Eka yang tinggal di sini juga tidak mau membantu Winda. Anak itu hanya tinggal numpang makan tidur saja, kadang aku kasihan juga dengan Winda. Tapi mau bagaimana lagi, daripada terus ribut lebih baik aku tak ikut campur.
Winda semakin hari kulihat semakin kusam, tidak pernah perhatikan penampilannya. Aku lama-lama juga jenuh dan bosan melihatnya, sedikitpun tidak enak dipandang. Sering tiap aku pulang, dia masih sibuk dengan kerjaannya. Aroma bawang dan keringat menguar dari tubuhnya.
Aku pun jadi males berdekatan dengannya dan menyuruhnya berjauhan bila duduk dekatku. Sore itu aku baru pulang kerja, dan seperti biasa Winda akan mengambilkan minum.
Saat akan duduk di sebelahku, refleks ku suruh dia duduk agak jauh. Walaupun aku tau dia sudah mandi dan bersih, tapi tetap saja aku tidak ingin berdekatan.
"Pa, kenapa? Mama udah mandi kok, lihat daster juga ganti," ucapnya kaget.
Aku cuma diam saja dan menikmati minuman yang dibuatnya. Ku seruput pelan dan kemudian Winda dengan terus menatapku seolah ingin bertanya.
"Pa, Mama ikut ya ke acara ulang tahun Bu Bos Angelina Lee," rayunya.
Aku yang mendengarnya tersedak, "Dari mana Mama tau kalo Bu Bos ulang tahun?" selidik ku.
"Dari grup W******p," katanya lagi.
Aku cuma tertawa dan menyeringai mendengarnya. Mana mungkin aku membawa dia ke acara para bos besar, aku pasti malu. Apa kata mereka nanti bila melihat istrinya yang gemuk dan kucel, sedangkan baju pun dia gak punya yang bagus.
Tiba-tiba Winda marah setelah aku katakan gak mungkin bawa dia yang seperti gembel itu. "Seharusnya itu sudah kewajiban, Papa. Membelikan Mama kosmetik dan baju. Ini cuma di jatah 100 ribu tiap bulan, mau dapat apa uang segitu?"
Aku kaget tidak menyangka Winda bisa berkata keras di depanku. Disaat masih melongo, Ibu keluar dan memarahi Winda" Winda, kurang ajar kamu ya! Berani sama suamimu sekarang. Dasar menantu miskin dan gendut."
Lagi-lagi Ibu mengatakan Winda gendut dan mereka kemudian adu muka. Suasana menjadi mencekam, tak lama terdengar bunyi gawai Winda dari kamar. Rupanya Mbok yang menelepon dan meminta Winda pulang menjenguknya.
Saat Winda lagi asyik menelepon di kamar, Ibu berbisik padaku. "Bram, kita izinkan aja Winda pulang kampung."
Aku melongo tak percaya, bukankah biasa Ibu yang melarang Winda pulang. Ibu melihat Bram tidak percaya lalu berbisik lagi sambil melihat kamar Winda.
"Bram, biarkan aja dia pulang. Kalo bisa sampe seminggu, dengan begitu dia tidak bisa ikut ke acara Bos kamu," jelas Ibu.
Bram manggut-manggut, seketika senyumnya mengembang. Kalo Winda ke kampung, Bram bisa pergi dengan Laras. Pasti gadis itu tidak akan membuat malu seperti Winda, gumam Bram.
Winda sangat senang saat kubilang mengizinkan dia pulang kampung. Ibu memberi uang satu juta untuk ongkos dan makan dia di kampung. Sekali-kali Ibu mau dianggap mertua yang baik tapi itu ada konsekuensinya. Uang itu hanya modus kami untuk membohongi Winda dan dia percaya saja.
*****
Hari ini acara ulang tahun Bu Bos Angelina, aku segera mematut diri di cermin. Sudah rapi dengan kemeja dan dasi, aku nampak seperti seorang Bos.Wajahku yang tampan didukung jabatan Manager sekarang, tidak sulit untuk mendapatkan wanita cantik manapun. Aku tersenyum sambil terus memutar tubuhku di cermin.
"Wah, anak Ibu keren. Udah cakep, jabatan pun Manager pasti bisa gaet wanita cantik yang modis dan kaya," ujar Ibu memuji.
"Iya dong, Bu. Tenang aja, Bram udah punya gebetan baru. Cantik dan aduhai sesuai selera Ibu," ucapku bangga.
"Ya sudah sana pergi, keburu malam," titah Ibu.
Aku pun berangkat naik mobil sendiri, soalnya Laras sudah tiba di sana. Sengaja kami pergi terpisah agar tidak ada siapapun yang curiga.
Sampai disana ternyata si kunyuk Nina celingukan, pasti mencari Winda. Sahabat Winda itu begitu getol terus bertanya, jadi kujawab dengan enteng kalo Winda minggat dari rumah. Padahal niatku cuma becanda, dengan begitu dia tidak bertanya lagi.
Betul saja dia langsung terdiam, aku tinggalkan dia yang masih terbengong. Bagus aku cari tempat buat mojok bareng Laras nanti, aku hubungi dia. Tak lama Laras datang dan berjalan mendekat, ku cium pipinya dan melingkarkan tanganku ke pinggangnya.
Bahagianya seperti ini memeluk wanita yang kita idamkan. Laras memang mempesona, jauh bila dibandingkan dengan Winda. Ah, kenapa aku malah ingat wanita gembel itu, pasti dia bersenang-senang di kampung.
Sudahlah tak usah ingat dia, lebih baik aku menikmati kebersamaan dengan Laras malam ini. Sehabis acara di rumah Bu Bos, aku mengajak Laras ke hotel. Tempat yang sudah beberapa kali kita datangi. Dari Laras aku mendapat kepuasan yang tidak bisa di kudapatkan dari Winda.
"Assalamualaikum," Sapa ku begitu sampai di depan rumah mertua.Ya akhirnya aku balik lagi setelah seminggu di kampung. Lumayan juga untuk mengisi energi dan kekuatan agar aku dapat melawan dua manusia arogan itu. Aku akan berpura-pura tidak tahu, tetapi tetap terus mengawasi kelakuan mereka.Tetiba ingat foto yang dikirim Nina, membuatku menjadi jijik pada Mas Bram. Lelaki yang baru saja menjabat posisi tinggi itu sudah merasa hebat, merasa dengan jabatannya bisa melakukan semaunya. Mas Bram tidak tau, setiap perbuatan itu ada karmanya.Terdengar derit pintu terbuka, Ibu yang berdiri di depanku terkejut. "Winda?""Kenapa, Bu? Seperti melihat hantu aja, kenapa kaget?" tanyaku heran."Enggak, kok!" ucapnya gugup. Kemudian dengan cepat Ibu menguasai dirinya dan balik ke sikapnya yang angkuh."Eh, menantu miskin. Kenapa balik sini, apa udah bosan di kampung?" ejeknya."Ibu, apa-apaan? Winda masih
Buugghh !!"Aww, hati-hati dong kalo jalan. Mata di pake," ucapku kasar pada pria yang menabrak ku."Maaf, aku gak sengaja," katanya sembari membantuku berdiri.Sekilas aku menatap pria di depanku ini, wajahnya tidak asing. Oh, ternyata dia! Pria yang dulu pernah diam-diam aku suka, tetapi ditolaknya."Mas Bram?" kataku pura-pura terkejut.Bram menatap wanita yang ditabraknya dengan heran, kemudian mencoba mengingat. Namun, Bram tidak mengenalinya. "Maaf, kamu sapa? Kok tau nama saya?""Bram, aku Laras. Yang dulu pernah kamu tolak," jawabku menunduk sedih karena dia tidak mengenaliku lagi."Laras? Teman kuliahku dulu kan, yang dulu asyik ngejar aku terus tapi ku tolak," tebak Bram sembari tertawa."Ish, lucu ya Mas?" ujarku manyun."Nggak, cuma aku memang tidak tanda. Sekarang kamu tambah cantik, Ras," ucap Bram memuji. Aku pun tersipu mendengar pujiannya.
Semenjak Laras tinggal di rumah Ibu dan berpura-pura sebagai sepupu, perhatian Mas Bram mulai berkurang. Jika dulu Mas Bram sering mengajakku berbicara, namun kini dia pelit bicara sekedar untuk bertanya.Ibu juga yang biasa suka teriak, kini menjadi kalem sejak ada Laras. Apakah Ibu sedang menutupi kelakuan jeleknya di hadapan Laras, demi mendapat perhatian wanita hina itu.Aku tak tahu sampai berapa lama Laras tinggal, rasanya sungguh jengah. Aku mulai kesepian, terkadang dalam kesendirian kutumpahkan keluh kesah pada sang Khaliq. Mengadu segala beban dan deritaku, semoga aku diberi kekuatan untuk menghadapi manusia-manusia dzolim ini.Walaupun merasa dikucilkan, aku tetap melakukan pekerjaan seperti biasa. Setiap pagi selesai salat Subuh, aku memasak lauk dan mencuci piring.Belum ada seorangpun yang bangun, juga Laras si wanita kebanggaan Ibu. Kadang aku tidak habis pikir, wanita seperti Laras yang tidak pernah bangun pagi juga
Namun, saat melewati kamar Eka aku mendengar suara desahan dari dalam. Siapa di dalam dan sedang apa mereka, di dorong rasa penasaran aku intip dari lubang kunci.Astaghfirullah .....Jeritku tertahan, apa yang barusan kulihat? Aku mengucek mataku untuk memperjelas pemandangan di depan. Tidak salah, dua manusia hina dan mesum itu sedang asyik bergumul di atas ranjang. Mas Bram tanpa sehelai pakaian pun sedang menindih Laras di bawah yang keenakan.Suara desahan itu masih terus terdengar sesekali di iringi tawa cekikikan. Darahku mendidih seketika, berani-beraninya mereka berbuat mesum di rumah ini. Apalagi mereka bukan muhrim, tidak sepantasnya berbuat asusila.Aku yang sudah tak tahan, segera menggedor kamar itu. "Mas ... Buka pintu! Apa yang Mas lakukan didalam. Keluar!" teriakku.Bram dan Laras terkejut, keduanya segera memakai pakaian. Ibu juga terbangun mendengar teriakan ku, keluar kamar dan menghidupkan lampu. B
"Winda ...," teriak Mas Bram mendekatiku. Kemudian tanpa kusadari Mas Bram mengayunkan tangannya ke pipiku.Plak !!"Jangan keterlaluan kamu, selama ini aku sudah berusaha menahan dirimu karena Ibu. Aku sudah lama muak padamu, kini aku hanya mencintai Laras seorang bukan lagi kamu. Pergi kamu dari rumah ini, Pergi!" teriak Mas Bram yang membuat semua penghuni rumah terkejut termasuk aku.Aku terpana tidak percaya, benarkah Mas Bram mengusirku? Hanya demi wanita ini dia sampai hati menampar dan mengusirku. Seketika bulir-bulir air merembes, runtuh sudah perlawanan ku.Tadinya aku berbuat kasar hanya demi mempertahankan rumah tanggaku. Namun, tak kuduga Mas Bram malah tega melukaiku."Kenapa Mas? Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, demi wanita hina ini kamu tega menampar bahkan mengusirku. Kenapa?" teriakku mendorong tubuhnya."Karena aku udah gak cinta kamu lagi, aku udah muak melihatmu yang tak pernah se
Aku melangkahkan kaki menuju trotoar, kulihat kebelakang rumah yang sudah dua tahun ditinggali. Kini semua tinggal kenangan, kebahagiaan yang baru seteguk di rasakan hancur berkeping-keping karena ulah seorang wanita.Impian untuk menua bersama sang suami hanya dongeng belaka, yang tidak sedikit pun terbesit di hati mantan suamiku. Entah apa tujuan dia dulu menikahi ku, kalo memang dasar cinta kenapa baru dua tahun saja sikapnya sudah berubah.Andai dulu tidak menyetujui permintaan Ibu untuk tinggal bersamanya, pasti sekarang aku masih hidup bahagia bersama Mas Bram. Ibu ikut andil dalam menyesatkan Mas Bram hingga membuat dia berpaling dariku.Ah, sudahlah. Semua sudah berlalu, walaupun aku lega tapi tetap saja sakit masih menguasai hatiku. Ingatlah Bram, Ibu suatu saat nanti aku akan datang dan membalas semua perbuatan kalian, gumam ku bertekad.Ku stop taksi yang lewat dan ku pinta menuju terminal. Ya lebih baik aku pulang kampu
Perkataan Mbok sedari siang masih terngiang terus di telinga, rahasia? Mengapa begitu banyak rahasia yang tidak ku ketahui. Apakah rahasia itu baik atau buruk, aku takut akan seperti rahasia perselingkuhan Mas Bram.Setelah melepas lelah, aku segera ke kamar membereskan barang. Ku taruh kembali baju usang kedalam lemari, baju yang selalu menemani suka duka ku selama ini. Baju ini juga sebagai saksi dan simbol atas sifat kikir Mas Bram.Masih ingat jelas dalam benakku awal menikah dulu, Mas Bram pernah membelikan sehelai daster. Daster itu pula yang selalu ku pakai selama ini, hingga sobek dan berlubang. Mas Bram tau itu tapi tidak sedikitpun ingin membeli gantinya.Dia hanya bisa mencela terus mencela, katanya tak usah cantik karena aku selalu kerja di rumah. Tapi kenyataan nya itu jadi bumerang tajam bagi sikapnya. Dia yang pelit keluar uang, tapi dia juga yang tak terima aku jelek dan tak berdandan.Benarlah kata mutiara itu buah
Sementara itu, Bram merasakan kebahagiaan baru dengan wanita pilihannya. Setelah kepergian Winda, Bram sama sekali tidak mengingat lagi mantan istrinya itu. Hatinya sudah di penuhi oleh kehadiran Laras.Apalagi kini Laras telah mengandung, buah cinta mereka. Bagaimana tidak bahagia, selama dua tahun berumah tangga, tidak nampak tanda-tanda sedikitpun Winda hamil. Namun, baru jalan dua bulan dengan Laras, wanita itu malah hamil.Bram pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, alasan itu pula yang membuat Bram mantap menceraikan Winda. Tanpa Bram selidiki dulu benarkah anak yang di kandung Laras itu memang anaknya. Akan tetapi, emosi dan nafsu sesaat sudah membutakan mata dan hati Bram.Setelah menalak Winda, hari itu juga Bram menikahi Laras. Roman bahagia terpancar dari mata keduanya, saat menghadap penghulu dengan mantap Bram mengucapkan ijab qobul. Kini resmilah mereka menjadi sepasang suami istri.Kebahagiaan itu juga turut di ras
Selesai mandi, aku dan Sayid siap-siap sholat berjamaah. Dalam doa aku meminta pada pencipta agar menguatkan cinta kami dan kekal dalam rumah tangga selamanya. Hati terasa tenang sudah mengadu kepadaNYA.Sayid mengajakku turun usai sholat, karena ingin melihat sekeliling rumah. Ya rumah yang Papa bangun ini lumayan besar dan megah. Untuk sementara kami tinggal disini dulu.Aku menemani Sayid berkeliling, sore ini udara sudah terasa dingin. "Kamu kedinginan humairo?" tanya Sayid kemudian melepaskan jaketnya dan memakainya di bahuku."Iya, Mas! Sepertinya sudah mulai turun salju ya!" jawabku sambil mendongak ke atas."Iya, memasuki musim dingin disini. Kalo kamu nggak tahan didalam rumah aja, biar Mas sendiri yang berkeliling," ujarnya sambil memelukku."Nggak apa-apa, Mas! Sekali ini aja, lagian baru sekarang aku kemari bareng suami. Mas masih ingat perkenalan kita dulu?" tanyaku bernostalgia.Sayid mengang
Kami tiba di bandara Internasional tepat waktu, satu jam sebelum keberangkatan. Setelah mengecek semua barang lalu menunggu di bagian maskapai. Selama satu hari kondisi tubuhku harus fit. Sebelum terbang juga sudah memeriksa kandungan. Dokter menyatakan sehat dan boleh naik pesawat.Sayid terus memegang dan menjagaku agar nyaman. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba, terdengar dari pengeras suara agar penumpang segera naik kedalam pesawat. Mencari nomer kursi, seorang pramugari membantu kami.Setelah penumpang masuk dan penuh, seorang pramugari sedang memberi arahan bagaimana bila pesawat dalam keadaan darurat. Ada keasyikan sendiri memandang pramugari, selain cantik juga dituntut berani untuk memberi layanan yang nyaman bagi penumpang.Selama di pesawat aku habiskan untuk tidur, sesekali Sayid mengajak ngobrol. Wajahnya begitu senang karena bisa mengajakku tinggal di Abu Dhabi. Namun, aku masih perlu menyesuaikan diri disana. Lagian kami akan t
Ustad berhenti bicara untuk menunggu keputusan Bu Ningsih. "Gimana, Bu?"Bu Ningsih terdiam, matanya melirik amplop tebal di atas meja kemudian menatap kami satu persatu. Mungkin masih bimbang antara menerima atau menolak."Kalo Ibu merasa kurang bisa kami tambah tapi maaf nggak bisa lebih dari sepuluh milyar," ucap Papa tegas.Bu Ningsih terlihat menelan saliva mendengar nominal yang disebut Papa. Baginya uang segitu tidak akan bisa didapat seumur hidupnya. Kemudian dengan mengangguk pelan, Bu Ningsih setuju."Baik, karena Ibu sudah setuju kita tanda tangan di surat bermaterai ini. Dengan begitu jika kedepannya ada masalah lagi, surat ini bisa jadi rujukan," ujar Papa sambil menyerahkan kertas dan pulpen.Papa bertanda tangan dulu baru menyerahkan pada Bu Ningsih. Dengan tangan gemetar Bu Ningsih membubuhkan tandatangan. Bu Ningsih meminta tambahan dua milyar untuk merenovasi rumah agar kokoh hingga cucunya dewasa.&nb
"Tadi malam, pas tengah malam Winda teriak ketakutan karena di kamar kalian ada hantunya. Awalnya kami nggak percaya, lalu melihat ada bekas cakaran di jendela kami berjaga dan tidur bareng. Papa pun inisiatif memanggil ustad untuk melihat," tutur Mama berhenti sebentar mengambil napas."Apa? Hantu, Ma?" tanya Sayid kaget."Iya, setelah ustad periksa bukan hantu melainkan kiriman orang untuk menakuti Winda," jelas Mama.Sayid mengernyitkan dahi lalu menggenggam tanganku. "Kamu nggak apa-apa, kan humairo?" tanya Sayid cemas.Aku menggeleng dan tersenyum, Mama menggeleng lega dan Papa hanya melengos. "Sayid, itu karena Winda nggak patuh sama Papa. Udah dilarang keluar tapi masih aja ngeyel, akhirnya terjadi seperti ini."Sayid menatapku meminta penjelasan. Aku pun menceritakan dari awal, Sayid mengangguk mendengarkan. Tiba-tiba dia tersenyum lalu mengatakan hal yang mengejutkan."Pa, Ma, gimana kalo Winda Sa
"Win, bagaimana kalo kamu tinggal di Abu Dhabi aja? Mungkin disana lebih aman dan nyaman buat kamu," cetus Mbok tiba-tiba dapat ide."Apa, Mbok?" tanyaku kaget takut salah dengar. Mbok tersenyum lalu mengulang lagi perkataannya. "Mbok bilang kamu tinggal aja dengan mertua di Abu Dhabi. Pasti disana nggak ada orang yang akan membuat hidupmu sulit.""Mbok yakin?" tanyaku tak percaya."Dulu, sewaktu Den Sayid melamar kamu Mbok dengar kalian akan tinggal disana dan kamu setuju saat itu kan?" Kata Mbok balik bertanya."Iya, Mbok! Tapi, semua keluarga Winda disini, Mbok pasti nggak mau kan kalo Winda ajak kesana?""Mbok disini aja, udah tua! Nanti merepotkan besan disana, lagian Mbok nggak terbiasa tinggal di luar negeri. Nanti Bapakmu mencari Mbok kalo Mbok tinggal jauh," ujar Mbok tertawa.Aku pun tersenyum dan menepuk tangan Mbok, ada-ada saja Mbok ini. Namun, jika dipikirkan apa yang dikatakan
"Bagaimana, Pak Ustad?" tanya Papa penasaran.Kami semua menanti apa yang akan disampaikan Pak Ustad. Apa memang benar hantu atau manusia, bila hantu toh rumah selama ini dalam keadaan aman. Namun, bila manusia sepertinya kurang kerjaan karena kamarku terletak diatas jadi siapa yang melakukannya."Kamar siapa yang diganggu tadi malam?" tanya Ustad menyelidik."Kamar putri saya, Winda," jawab Papa sambil menunjuk diriku.Pak Ustad memandangku tajam, lalu mengangguk. "Apa ananda Winda ada menyakiti seseorang?" tanya Pak Ustad padaku.Semua orang di ruangan menatapku, pertanyaan Pak Ustad membuat semuanya bingung. Tak terkecuali aku yang merasa tak pernah sekalipun mengganggu atau menyakiti orang lain.Aku menggeleng, kemudian balik bertanya pada Pak Ustad. "Memang kenapa, Pak Ustad?""Gangguan tadi malam adalah kiriman seseorang untuk menakuti kamu. Namun, dibalik itu ada dendam didalamnya. Mung
"Dikamar Winda ada hantu, Ma! Winda takut!" kataku gemetar memeluk Mama."Apa? Hantu?" kata Mama terkejut."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Papa begitu tiba di samping Mama. Haris juga keluar kamar dan mendekati kami."Kata Winda dikamarnya ada hantu, Pa!" jawab Mama sambil mengerinyitkan dahinya.Papa tertawa. "Mana mungkin ada hantu, selama ini rumah ini baik-baik aja kok. Ya kan Haris?" kata Papa beralih pada Haris."Bener, Mbak! Nanti Mbak cuma mimpi dan menginggau," sahut Haris setuju pada Papa."Ta-tapi tadi memang bener, Mbak udah bangun lalu mendengar suara cakaran di jendela loh," kataku tetap kukuh kalo aku tidak mimpi."Baiklah, kita lihat sekarang ke kamarmu!" seru Papa sambil berjalan masuk kamarku.Haris mengikuti langkah Papa, kemudian aku dan Mama dibelakang. Sambil memeluk Mama, mataku terus mengamati sekeliling kamar. Suara itu tak terdengar lagi."N
Beberapa kali panggilan ku tak dijawab. Lalu saat diangkat terdengar suara wanita diseberang sana."Halo, siapa ini?" tanyanya.Mengapa dia tanya, apakah di ponsel Sayid tak tertulis siapa yang memanggil. Sambil menggerutu aku pun mematikan panggilan dan membanting ponsel ke ranjang.Huh, dari tadi kenapa selalu terdengar suara perempuan. Siapa dia? Ah lebih baik aku tanya Sayid saja daripada terus menduga. Namun, tiap aku telepon Sayid entah keman dan lagi-lagi wanita yang sama.Lebih baik aku mandi saja, setelah itu turun kebawah untuk makan bersama Papa. Aku pun menyambar handuk dan masuk kamar mandi. Saat mandi entah mengapa terus terpikir Sayid, teringat akan mantan pacar Sayid.Ketakutan mulai menyelimuti hatiku, takut bila Sayid terpikat mantan pacarnya. Lamunanku tersentak kala mendengar ponsel berdering, gegas mengenakan handuk.Langsung menyambar ponsel setelah melihat dilayar siapa yang memanggi
Mobil yang disupiri Pak Rudi berhenti didepan gang. Untuk masuk kedalam mesti berjalan kaki karena gang terlalu sempit.Begitu kami turun dari mobil, banyak orang sekitar yang memperhatikan. Sambil mengangguk dan tersenyum, aku dibantu Mbok dan pak Rudi menurunkan barang.Sekitar lima rumah kami lewati, menyapa beberapa ibu-ibu yang sedang duduk santai. Aku mencoba ramah dan senyum, dibalas dengan senyuman mereka.Sampai di rumah kontrakan ibu terlihat sepi. Pintu rumah tertutup rapat. Kami menurunkan barang di lantai. Seorang ibu mendekat, sambil beramah tamah."Oh, ada tamunya Bu Bram ya! Kenalkan saya Bu Ani, tetangga sebelah kanan," katanya sambil menunjuk rumah."Iya, Bu Ani. Ibu ada dirumah?" tanyaku.Ibu itu menghela napas, menatap kami satu persatu. Aku menunggu dengan sabar apa yang akan diucapkannya."Semenjak menempati kontrakan ini, ibu Bram jarang sekali keluar. Bahkan kami nggak