Entah mengapa, sejak pagi tadi Hanifa selalu saja ingin marah-marah. Wanita itu semakin sensitif ketika kedatangan tamu bulanan. Entah karena memang bawaan tamu bulanan atau karena dia sedikit kecewa lantaran yang dia harapkan belum juga hadir di perutnya. "Sayang, are you okey?" tanya Respati ketika melihat wajah murung sang istri. Bahkan, makanan di atas meja sama sekali tidak disentuh oleh Hanifa. Hanifa berani bersikap seperti ini pun juga karena kedua mertuanya sedang sibuk bermesraan di dalam kamar mereka. Jika ada Anisa dan Handoko, tak mungkin juga Hanifa memperlihatkan wajah cemberutnya. "Aku datang bulan, Mas!" keluh Hanifa.Respati bahkan sampai menaikkan sebelah alisnya. Bukannya ini memang wajar untuk seorang wanita? Lantas, kenapa istrinya ini justru terlihat murung?"Memang kodratnya wanita begitu. Kenapa harus mengeluh? Perutnya sakit?" Tanya Respati dan sang istri pun menggeleng. Hanifa justru menatap judes ke arah sang suami yang menurutnya sangat tidak peka. Mer
Anisa tak bisa berhenti menangis ketika melihat menantunya sekarang ini tengah berbaring dengan selang infus yang menancap di tangannya. Hanifa sudah sadar dan setelah diperiksa syukurnya tak ada luka serius. Wanita itu hanya mengeluh pusing saja."Mama takut kamu kenapa-napa, Nak. Mama tidak bisa bayangin jika sampai terjadi sesuatu yang berbahaya pada kamu!" ujar Anisa seraya mengusap kening sang menantu dengan sayang."Aku baik-baik saja, Ma. Maaf sudah buat Maka khawatir," lirih Hanifa merasa bersalah. Anisa hanya mengangguk dan terus mengeluarkan air mata. Handoko yang melihat istrinya bersedih tentu saja tak terima. Pria paruh baya itu bahkan langsung memukul keras punggung Respati hingga membuat sang empu mengaduh kesakitan. "Kamu bawa mobil ngebutnya kayak gimana, hah? Kalau pasien sebelah mati bagaimana? Kamu sudah tau apa belum yang kamu tabrak itu ternyata mantannya Hanifa!" geram Handoko dan Respati yang memang tau jika korban yang di rawat di sebelah adalah Respati pun
"Maksudnya Hanifa tadi apa?" tanya Santi pada Widya."I-itu, Tan—""Maaf, Bu. Pasien sudah sadar dan sekarang sedang menangis histeris di ruangannya!"Widya bisa bernapas lega ketika ucapannya disela oleh salah satu perawat di sana. Sementara Santi langsung berlari memasuki ruang rawat Abimana. Di sana, terlihat sekali lelaki yang tubuhnya sudah diperban sana sini sedang menangis histeris."Ini kenapa wajahku? Kenapa tangan dan kakiku? Kenapa seperti mumi?" jerit lelaki itu. Dua perawat sampai kewalahan menangani Abimana. Santi gegas mendekat diikuti oleh Widya yang juga sangat khawatir dengan keadaan sang kekasih yang bisa dibilang jauh dari kata baik. Tangannya harus diberi gips dan hampir sebagian besar permukaan wajahnya terdapat luka dan ada juga yang sampai harus dijahit."Istighfar. Banyak nyebut, Bi. Kamu itu loh yang salah di sini. Coba kalau tidak ngebut di jalan, sudah pasti tidak sampai kecelakaan seperti ini!" Banu bukannya menenangkan sang anak, tapi justru mengomeli
Tubuh Hanifa mendadak lemas ketika melihat dengan begitu jelas bagaimana dahsyatnya percintaan dua anak manusia tanpa ikatan pernikahan. Wanita itu mundur beberapa langkah dan seketika ia memekik kecil ketika merasakan rengkuhan seseorang. Sontak saja orang itu langsung membungkam mulut Hanifa dengan menggunakan tangannya."Sssttt! Ini Mas, Sayang. Kenapa nakal sekali? Mas tadi bilang jangan keluar, yang anteng di dalam sana!" Ternyata itu adalah Respati hingga membuat Hanifa bisa bernapas dengan lega. Hanifa sama sekali tak menyahuti ucapan Respati. Kakinya mendadak lemas dan seolah tak memiliki tenaga. Alhasil, Respati yang peka terhadap keadaan sang istri pun lekas mengangkat tubuh wanita itu ala bridal style. Ia membawa wanitanya untuk masuk ke dalam ruang inap. Respati menurunkan sang istri di atas brankar. Setelahnya, lelaki itu gegas membuka bungkusan sate pesanan Hanifa."Mas tadi lihat?" tanya Hanifa penasaran."Tidak minat lihat! Toh juga punya istri Mas jauh lebih mengg
"Ini yang namanya Hanifa?" tanya Nenek Laksmi, orang tua dari ayah mertua Hanifa, Handoko. Hanifa mengangguk kaku seraya tersenyum. Jujur saja, dia grogi bukan main. Apalagi tampilan Nenek Laksmi ini seperti sosok pemain antagonis di sebuah serial. Membayangkan saja sudah membuat Hanifa bergidik ngeri. "Punya mulut, tidak? Setidaknya dijawab pakai suara gitu!" sentaknya yang seketika membuat Hanifa meneguk ludah dengan susah payah.Dia baru keluar dari rumah sakit, loh, tapi justru sudah di hadapkan dengan seorang wanita paruh baya yang nada bicaranya judesnya minta ampun. Jangan lupa jika sejak tadi tatapannya bahkan sangat sinis. "I-iya, Nek. Saya Hanifa, istrinya Mas Pati!" lirih Hanifa seraya menunduk dalam. Memang, ya, dunia pernikahan tak selamanya indah. Punya suami penyayang, ipar dan mertua baik, tapi minusnya nenek sang suami sangat menyeramkan. "Ma. Menantuku baru saja sembuh dari kecelakaan. Jangan dibuat tertekan!" Yang biasanya Handoko sering usil dan bercanda, kini
Hanifa begitu cekatan dalam mengolah menu yang diminta oleh Nenek Laksmi. Sementara sang suami sama sekali tak membantu, lelaki itu justru asyik merecoki dirinya. Di mulai dari suka colek sana sini. Ketika ditegur, Respati justru malah menatap lekat ke arah Hanifa yang sukses membuat wanita itu kalang kabut sendiri. Sekarang dengan usilnya, Respati justru memeluk sang istri dari belakang. Rasanya Hanifa ingin sekali menangis. Dia memang begitu luwes memasak menu ini, hanya saja dia takut ada yang salah ketika fokusnya justru terbagi."Mas. Kalau nggak mau bantu, setidaknya nggak usah ganggu kayak gini!" keluh Hanifa yang sudah berkaca-kaca. Respati menghela napas. Tangan lelaki itu terulur untuk mematikan kompor. Untung saja makanan buatan sang istri sudah matang. "Maaf, Mas cuma kangen banget sama kamu. Padahal tiap hari juga nempel begini. Maaf, ya, tadinya mau bantu, tapi justru malah ngerecokin. Nanti bakal Mas bantu—""Bantu apa? Sudah jadi loh ini!" keluh Hanifa seraya mem
Malam ini juga, Respati memboyong sang istri untuk tidur di apartemen. Lelaki itu sangat bertanggung jawab lantaran tak mau bila Hanifa terlalu larut dalam kepedihan akibat ucapan dari Nenek Laksmi. "Masih sedih?" tanya Respati yang di angguki oleh Hanifa. Respati menghela napas. Dia juga tak menyangka jika Neneknya akan berlaku seperti itu. Alhasil, dia pun lekas memeluk erat tubuh sang istri untuk memberikan ketenangan pada wanita itu. Mau berlaku lebih pun juga tidak bisa. Istrinya sedang kedatangan tamu bulanan. "Aku nggak mau pulang ke sana, Mas. Mending tinggal di sini saja. Aku kapok!" keluh Hanifa begitu manja. Wanita itu bahkan sama sekali tak sungkan menumpahkan segala keluh kesal di depan sang suami. "Iya, besok ke sana ambil barang-barang kita. Terutama baju. Mas juga sumpek di sana kalau ada Nenek!" balas Respati menyetujui usulan sang istri.Seketika, senyuman Hanifa terbit. Dia tak menyangka memiliki suami yang sangat pengertian seperti ini. Andai saja dia sedang t
Hanifa telah sampai di kontrakan yang pernah dia tempati waktu itu. Untung saja, Respati sengaja mengosongkan kontrakan tersebut lantaran tak rela jika bekas istrinya harus ditempati oleh orang lain. Jangan heran, Respati memang sangat bucin dengan Hanifa. "Nanti malam Mas datang ke sini. Maaf, harus LDR seperti ini." Respati mengusap lembut wajah sang istri. Tingkah keduanya tentu saja membuat para ibu-ibu yang tinggal di kontrakan tersebut heboh bukan main. Mereka bahkan sudah berasumsi yang tidak-tidak."Nggak usah berlebihan, Mas! Cuma beda tempat saja, bukan beda pulau," kekeh Hanifa seraya mengacak gemas rambut sang suami. "Maaf, ya. Maafkan tingkah laku Nenek. Kedepannya Mas pastikan jika Nenek bakal kesemsem sama kamu. Itu janji, Mas!"Cup!Astaga, wajah Hanifa langsung memerah. Apalagi ketika mendengar godaan dari para tetangga. Lain halnya dengan Respati yang justru melempar senyum ke arah mereka."Aku nggak masalah, kok, Mas. Maaf juga kalau aku justru kekanakan begini.
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d