Sejak pagi tadi hingga siang, Hanifa terus menerus menempeli suaminya. Dia tak mau bila berjauhan dengan Respati. Sayangnya, pada pukul satu siang, Respati dengan tiba-tiba mendapatkan telepon dari karyawan tempat fitness jika ada kecelakaan kecil yang menimpa salah satu pelanggan. Mau tak mau, Respati harus ke sana. Melihat secara langsung musibah tersebut. Namun, sejak tadi Hanifa terus menerus merengek dan tak mau ditinggal. Wanita hamil itu sedang manja."Mas. Hari ini saja nggak usah keluar, ya!" mohon Hanifa pada sang suami."Nggak bisa, Sayang. Bagaimana pun juga, itu tempat milik Mas. Mas yang sepenuhnya bertanggung jawab sama semua pelanggan di tempat fitness itu!" Respati berusaha keras untuk memberi pengertian pada sang istri.Hanifa tetap tak mau ditinggal. Tubuhnya langsung memeluk erat tubuh kekar Respati. Untungnya, sang empu sama sekali tak keberatan. "Pokoknya aku nggak mau ditinggal, Mas." Hanifa memelas dan berusaha keras untuk tetap menahan suami tercinta."Mau
Keluarga besar Respati kalang kabut sendiri. Mereka semua sudah berkumpul di rumah baru itu demi meminta penjelasan pada Respati bAnisa dan Nenek Laksmi sudah menangis sesenggukan lantaran sibuk memikirkan bagaimana keadaan Hanifa di luar sana. "Harusnya kamu sebagai suami menuruti apa keinginannya Hanifa!" sentak Handoko merasa marah ketika mendengar penuturan dari sang anak. "Sudah. Kalian jangan saling menyalahkan. Lebih baik cek saja cctv!"Detik itu juga, Respati langsung menepuk jidat. Dia tak kepikiran jika rumah mewahnya ini sudah terpasang dengan cctv. "Di mana layar komputernya?" sentak Handoko yang selalu tak sabar dengan semuanya. "Pakai ponsel saja, Pa. Sudah tersambung di ponselku!" ujar Respati.Bugh!"Harusnya dari tadi kamu bilang ke Papa, dasar bodoh!" Satu pukulan sudah melayang di kepala Respati. Pelakunya tentu saja Handoko yang terlampau kesal bukan main. Mereka pun mulai memantau tayangan cctv. Awalnya biasa saja. Namun, ketika kedatangan Abimana, semuany
Hanifa mengerjapkan mata beberapa kali. Ia menatap sekeliling dan merasa asing dengan semuanya. Wanita itu baru bangun dari pingsannya dan tak menyangka bangun-bangun, kini justru berada di tempat asing. "Mas Pati," lirih Hanifa yang sudah bergetar ketakutan. Ia kebingungan. Apalagi, tangannya sudah diikat di belakang kursi. Posisinya sangat membuatnya kelelahan dan berusaha untuk membuka ikatan. Sayangnya, bukannya terbuka, tapi kini justru tangannya lecet dan terasa sangat sakit. "Sudah bangun, Sayang?"Deg!Jantung Hanifa mencelos ketika mendengar suara serak dari Abimana. Ia menoleh ke samping kanan dan mendapati sosok Abimana yang sudah duduk santai di atas kursi yang letaknya tak begitu jauh. "M-mas Abi. T-tolong bukakan ikatannya!" pinta Hanifa memelas. Abimana tersenyum miring. Lelaki itu terlihat sangat menakutkan di mata Hanifa. Ia mulai berjalan mendekat dengan langkah lebarnya. Badannya ia condongkan ke depan. Alhasil, wajah Hanifa dan Abimana sangat dekat dan ham
"Sekali lagi Mas tanya. Kamu mau balikan sama Mas atau tidak?" tanya Abimana seraya menatap tajam ke arah Hanifa."Aku nggak mau mengkhianati Mas Pati. Dia cinta sejatiku—"PlakWajah Hanifa tertoleh ke samping ketika mendapati tamparan yang sangat kuat dari tangan Abimana. Bahkan, sudut bibirnya sampai terluka saking kuatnya tamparan tersebutHanifa kembali menangis sesenggukan. Sayangnya, Abimana sama sekali tak memiliki rasa iba. Lelaki itu mulai mencengkram kuat dagu sang mantan."Kurang baik apalagi aku, Nifa? Kenapa kamu berubah, hah? Mana Hanifa yang dulu mengemis cintaku? Giliran aku sudah cinta sama kamu, kamu justru menolaknya!" teriak Abimana kepalang frustasi dan sudah gelap mata. Seharusnya lelaki itu sadar. Hanifa berubah drastis seperti ini pun juga karena pernah tersakiti oleh lelaki itu. Tidak ada wanita yang mau kembali bersama lelaki kasar dan suka menyakiti batin dan fisiknya. Walaupun sudah diiming imingi dengan cinta, tapi jika sudah trauma, maka ia tak akan per
Bugh!Ketika Abimana lengah, satu bogeman mendarat manis di tengkuk leher bagian belakangnya. Alhasil, Abimana sontak saja melepaskan dekapan dari Hanifa.Sang empu langsung luruh ke lantai dan sudah tak sadarkan diri. "Hanifa!" teriak Respati. Lelaki itu gegas menghampiri sang istri dan memeluknya dengan erat. "Pak Pati, tolong bawa istri Bapak menepi. Kami akan meringkus tersangka!" tegas salah satu polisi dan langsung diiyakan oleh Respati. Setelah Respati menepi dengan membawa Hanifa ke dalam gendongannya, pihak polisi langsung saja mendekati Abimana yang mulai memberontak ingin berlari.Sayangnya, ia sudah terkepung. Lelaki itu merasa sangat frustasi dan tak mau bila harus berakhir di jeruji besi. Membayangkan saja sudah membuat pikirannya ngeri sendiri. Jangan sampai dia mendekam di penjara dan meninggalkan segala harta benda yang belum sempat dia nikmati. "Lepaskan saya. Minggir kalian. Saya akan pergi dari sini!" teriak Abimana nyaring. Di sisi lain, Widya tak terima deng
Abimana dan Widya sudah dikebumikan. Bahkan, makam keduanya berdampingan satu sama lain. Sungguh, mungkin di dunia mereka tidak bisa bersatu, tetapi di kehidupan selanjutnya barulah mereka bersatu. Santi sangat terpuruk. Ia dan sang suami sudah berada di dalam rumah. Sudah tak berselera makan maupun minum. Hanya ada tangisan tanpa suara saja yang terlihat sangat pilu. "Jeng, makan dulu, ya. Dari pagi loh Jeng Santi belum makan!" ujar tetangga Santi yang merasa sangat prihatin dengan apa yang menimpa keluarga itu.Santi hanya bisa menggeleng pelan. Sudah tidak berdaya bila harus mengeluarkan suara selain tangisan. Air matanya terus menerus mengalir. Merasa sangat frustasi pada dunia, tapi sayangnya sang anak sudah tidak akan bisa bangun lagi. "Jeng, ayolah—""Mana bisa saya makan? Setelah kehilangan anak satu-satunya!" keluh Santi sedih bukan main.Semua orang terdiam dan tidak lagi memaksa Santi makan. Apalagi ketika melihat Banu yang sedang memejamkan mata. Pria paruh baya itu te
Hanifa dan Respati sedang berada di makam Abimana setelah kejadian mengerikan itu sudah berlalu dua bulan lamanya. Perlahan-lahan, Hanifa sudah belajar ikhlas atas kehilangan yang menimpa dirinya. Dia sudah tidak lagi merasa sedih yang begitu mendalam, karena bagaimana pun juga, mau menangis darah seperti apapun, calon anak mereka tidak akan pernah bisa kembali. "Mas Abi. Nggak nyangka, ya, kamu pergi secepat ini," keluh Hanifa seraya mengusap nisan yang bertuliskan nama Abimana bin Banu.Ada rasa sesak yang menyerang dada Hanifa. Bagaimana pun juga, Abimana merupakan cinta pertamanya, walau endingnya sangat menyakitkan. "Aku pengen marah sama kamu, Mas. Gara-gara kamu, aku kehilangan calon anakku, Mas." Suara Hanifa mulai bergetar. Demi apapun, dia ini calon ibu yang anaknya di rampas begitu saja karena kekejaman Abimana. Respati langsung mengusap bahu sang istri untuk menenangkan. Hatinya juga terasa tak karuan, walau begitu, dia berusaha keras untuk menanamkan rasa ikhlas atas
Hanifa menyerah. Baru satu ronde memimpin permainan pun dia sudah lelah bukan main. Wanita itu tak sanggup lagi dan memilih untuk berbaring pasrah.Respati menyeringai. Kali ini dia yang mengambil alih permainan lantaran istrinya sudah tidak berdaya. "Katanya mau kalahin Mas, hm? Mana?" bisiknya seraya tersenyum mengejek. Hanifa merem melek menikmati pergerakan suaminya yang mulai membara. Wanita itu sudah tidak bisa membalas ejekan sang suami dan justru sibuk mengeluarkan suara merdu. "Kamu kalah, Sayang. Pokoknya Mas mau minta hadiah!"Terserah. Hanifa sudah tidak peduli lagi. Mau suaminya minta ini dan itu, akan dia turuti asal dia mampu dan permintaan lelaki itu tidak terlalu nyeleneh. Itu saja sudah lebih dari cukup. "Kita bergadang sampai pagi, ya! Supaya dedek bayinya cepat jadi!"Mengangguk. Hanya itu yang bisa Hanifa lakukan. Ia sama sekali tak bisa berpikir jernih. Mau menolak pun juga tidak bisa. Terlebih lagi, kegiatan panas ini bermula padanya yang terus menerus meman
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa