Hanifa dan Respati sedang berada di makam Abimana setelah kejadian mengerikan itu sudah berlalu dua bulan lamanya. Perlahan-lahan, Hanifa sudah belajar ikhlas atas kehilangan yang menimpa dirinya. Dia sudah tidak lagi merasa sedih yang begitu mendalam, karena bagaimana pun juga, mau menangis darah seperti apapun, calon anak mereka tidak akan pernah bisa kembali. "Mas Abi. Nggak nyangka, ya, kamu pergi secepat ini," keluh Hanifa seraya mengusap nisan yang bertuliskan nama Abimana bin Banu.Ada rasa sesak yang menyerang dada Hanifa. Bagaimana pun juga, Abimana merupakan cinta pertamanya, walau endingnya sangat menyakitkan. "Aku pengen marah sama kamu, Mas. Gara-gara kamu, aku kehilangan calon anakku, Mas." Suara Hanifa mulai bergetar. Demi apapun, dia ini calon ibu yang anaknya di rampas begitu saja karena kekejaman Abimana. Respati langsung mengusap bahu sang istri untuk menenangkan. Hatinya juga terasa tak karuan, walau begitu, dia berusaha keras untuk menanamkan rasa ikhlas atas
Hanifa menyerah. Baru satu ronde memimpin permainan pun dia sudah lelah bukan main. Wanita itu tak sanggup lagi dan memilih untuk berbaring pasrah.Respati menyeringai. Kali ini dia yang mengambil alih permainan lantaran istrinya sudah tidak berdaya. "Katanya mau kalahin Mas, hm? Mana?" bisiknya seraya tersenyum mengejek. Hanifa merem melek menikmati pergerakan suaminya yang mulai membara. Wanita itu sudah tidak bisa membalas ejekan sang suami dan justru sibuk mengeluarkan suara merdu. "Kamu kalah, Sayang. Pokoknya Mas mau minta hadiah!"Terserah. Hanifa sudah tidak peduli lagi. Mau suaminya minta ini dan itu, akan dia turuti asal dia mampu dan permintaan lelaki itu tidak terlalu nyeleneh. Itu saja sudah lebih dari cukup. "Kita bergadang sampai pagi, ya! Supaya dedek bayinya cepat jadi!"Mengangguk. Hanya itu yang bisa Hanifa lakukan. Ia sama sekali tak bisa berpikir jernih. Mau menolak pun juga tidak bisa. Terlebih lagi, kegiatan panas ini bermula padanya yang terus menerus meman
Santi menangis dalam diam di kamarnya seorang diri. Wanita paruh baya itu menatap lekat bingkai foto Abimana. Pikirannya telah berkelana. Sampai sekarang pun dia masih belum ikhlas atas kepergian anaknya itu. Bahkan, kebenciannya semakin mendalam terhadap Hanifa setelah keputusan pengacara almarhum mertuanya. Enak sekali Hanifa menerima harta secara cuma-cuma. Sementara Abimana sampai meregang nyawa belum pernah menikmati warisan itu sepeser pun. Wanita paruh baya itu juga kesal terhadap suaminya yang justru membela Hanifa. Harusnya jangan seperti ini, tapi sudahlah. "Abi. Mama rindu sama kamu. Mama seperti malas hidup lagi, Bi. Papamu terlalu gila. Mama kesal, Mama tidak suka," keluh Santi seolah mengadu pada bingkai foto tersebut. "Mama nggak rela kamu pergi duluan seperti ini. Ini semua gara-gara Hanifa yang terlalu belagu. Mentang-mentang sudah cantik langsung seperti itu. Mama tidak rela pokoknya. Perempuan itu harus mati juga. Mama tidak mau hanya kamu yang tersakiti di sin
Ada kesalahpahaman antara Hanifa dan Santi. Santi terus menerus menuduh mantan menantunya itu menerima harta warisan milik almarhum Abimana. Sayangnya, mereka belum bertemu dan pihak pengacara almarhum Kakek sebentar lagi akan menyelesaikan tugasnya. Hanifa memang tidak akan pernah mau menerima harta warisan itu walau sepeserpun. Pada akhirnya, pengacara tersebut akan membicarakan harta warisan itu pada Santi dan Banu. Sayangnya, lelaki itu dengan sejuta kesibukannya justru kini sedang berada di luar kota karena pekerjaan yang mendadak. Hal ini tentu saja membuat Santi hanya bisa menduga ini dan itu. Imbasnya, wanita paruh baya itu sekarang ini semakin membenci Hanifa. "Mama mau ke mana?" tanya Banu penasaran ketika melihat Santi yang sudah rapi dengan pakaiannya. "Mama mau keluar sebentar mencari udara segar. Papa mau ikut?" tawar Santi dengan kalemnya. Banu bahkan sampai menyerngit keheranan. Benar, kah, ini istrinya? Kenapa berubah menjadi kalem seperti ini? Apa sudah tobat at
"Sayang. Kamu kenapa? Sini, bicara dulu sama Mas!"Istirahat Hanifa terusik ketika mendengar penuturan dari Respati. Wanita itu menoleh dan mendapati keberadaan sang suami yang sudah menatap khawatir ke arah dirinya."Mas?" kaget Hanifa. Matanya masih bengkak dan dia belum terlihat baik-baik saja di depan Respati. Astaga, sudah pasti setelah ini dia akan disidang habis-habisan oleh sang suami."Ini kenapa matanya bengkak? Astaga, Sayang. Pipi kamu juga bengkak loh ini!" Respati tentu saja kaget bukan main.Pasalnya, pagi tadi sang istri masih baik-baik saja, lantas kenapa sekarang justru babak belur seperti ini? Sudah pasti ini ada yang tidak beres. Lelaki itu harus tau betul apa yang sebenarnya terjadi dengan si cantik ini. "Sini, cerita sama Mas. Siapa yang buat kamu kayak gini, Sayang!" desak Respati yang tak suka ketika melihat kebungkaman Hanifa. Sang empu menghela napas. Dia masih berusaha untuk menyembunyikan hal ini dari suaminya. Bukannya tak ingin selalu terbuka. Hanya sa
Hanifa dan Respati semalam memang menginap di kontrakan. Pagi ini, Respati masih terlelap, apalagi semalam lelaki itu mengajak istrinya bergadang. Ia memang sangat bersemangat untuk terus mengajak istrinya lembur supaya segera mencapai garis dua.Hanifa sendiri sudah wangi dan sekarang ini baru keluar dari kamar kontrakan. Wanita itu menatap sekeliling dan pandangannya tak sengaja bertabrakan dengan duda yang tinggal di salah satu unit kontrakannya. Entahlah, siapa nama lelaki itu. Hanifa juga tak mau mencari tahu. Takut jika suaminya nanti merajuk dan salah paham. Wanita itu tersenyum simpul sebelum memutuskan pandangan keduanya. Ia memilih untuk berjalan keluar pagar dan tak lupa menyapa dua satpam yang memang selalu berada di sana, walau tidak sampai dua puluh empat jam. Sebab, dua satpam itu juga punya keluarga. "Duh, Mbak Nifa masih pagi sudah segar begini wajahnya. Makin cantik loh Mbak!" sapa salah satu tetangga kontrakan yang seketika membuat Hanifa terkekeh."Ibu bisa saj
Hanifa menghela napas beberapa kali ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi suaminya belum juga pulang. Padahal tadi pamitnya hanya pergi ke tempat fitness, tapi sampai sekarang justru belum pulang. Wanita itu beberapa kali menelepon sang suami, tapi hasilnya nihil. Sama sekali tidak ada respon dan hanya ada suara operator. "Kamu di mana sih, Mas? Kenapa lupa pulang? Ini sudah malam, loh!" gerutu Hanifa kesal bukan main.Tau begini, hari ini dia tidak mau di ajak pulang ke rumah lantaran rumah sebesar ini justru hanya diisi oleh dirinya saja. Jika memang Respati berniat untuk pulang larut, lebih baik Hanifa menginap saja di kontrakan. "Awas saja kalau nanti pulang. Bakal aku omelin—"Tok ... Tok ... Tok ...Hanifa menghela napas. Sudah pasti itu bukan suaminya dan dia sudah menebak jika itu adalah satpam yang bertugas menjaga keamanan rumah mewah ini. Wanita itu gegas mendekat ke arah pintu dan membukanya. Benar saja, di sana sudah ada salah satu satpam yang menat
Rupanya, marahnya Hanifa bertahan sampai sore hari. Dia mencueki suaminya yang terus menerus berusaha untuk selalu meminta maaf.Seperti sekarang ini, dia sama sekali tidak memasak. Bahkan, seharian ini hanya sekedar makan buah dan roti selai saja. "Dek. Mas sudah masak buat kita berdua. Makan dulu, ya!" Pinta Respati dengan nada memelas. Hanifa menatap sinis ke arah suaminya. Ia kesal bukan main dan masih sangat kecewa dengan semuanya. "Kamu masak kayak gitu cuma mau niat nyogok aku, Mas? Yang benar saja. Aku loh kecewa berat sama kamu. Nggak mau lihat kamu dulu!"Wanita itu bangkit dan berniat untuk pergi. Sialnya, Respati justru menahan dengan menggunakan tangan kiri. Sementara tangan kanan langsung meletakkan sepiring makanan tadi di atas bufet. Grep!Hanifa memekik tertahan ketika sekarang ini tubuhnya justru di angkat oleh sang suami. Bahkan, cara menggendongnya saja seperti orang yang sedang mengangkat karung beras. "Mas. Kamu apa-apaan, sih? Turunin aku—"Plak!"Akh ...,"
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa
Rupanya, marahnya Hanifa bertahan sampai sore hari. Dia mencueki suaminya yang terus menerus berusaha untuk selalu meminta maaf.Seperti sekarang ini, dia sama sekali tidak memasak. Bahkan, seharian ini hanya sekedar makan buah dan roti selai saja. "Dek. Mas sudah masak buat kita berdua. Makan dulu, ya!" Pinta Respati dengan nada memelas. Hanifa menatap sinis ke arah suaminya. Ia kesal bukan main dan masih sangat kecewa dengan semuanya. "Kamu masak kayak gitu cuma mau niat nyogok aku, Mas? Yang benar saja. Aku loh kecewa berat sama kamu. Nggak mau lihat kamu dulu!"Wanita itu bangkit dan berniat untuk pergi. Sialnya, Respati justru menahan dengan menggunakan tangan kiri. Sementara tangan kanan langsung meletakkan sepiring makanan tadi di atas bufet. Grep!Hanifa memekik tertahan ketika sekarang ini tubuhnya justru di angkat oleh sang suami. Bahkan, cara menggendongnya saja seperti orang yang sedang mengangkat karung beras. "Mas. Kamu apa-apaan, sih? Turunin aku—"Plak!"Akh ...,"
Hanifa menghela napas beberapa kali ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi suaminya belum juga pulang. Padahal tadi pamitnya hanya pergi ke tempat fitness, tapi sampai sekarang justru belum pulang. Wanita itu beberapa kali menelepon sang suami, tapi hasilnya nihil. Sama sekali tidak ada respon dan hanya ada suara operator. "Kamu di mana sih, Mas? Kenapa lupa pulang? Ini sudah malam, loh!" gerutu Hanifa kesal bukan main.Tau begini, hari ini dia tidak mau di ajak pulang ke rumah lantaran rumah sebesar ini justru hanya diisi oleh dirinya saja. Jika memang Respati berniat untuk pulang larut, lebih baik Hanifa menginap saja di kontrakan. "Awas saja kalau nanti pulang. Bakal aku omelin—"Tok ... Tok ... Tok ...Hanifa menghela napas. Sudah pasti itu bukan suaminya dan dia sudah menebak jika itu adalah satpam yang bertugas menjaga keamanan rumah mewah ini. Wanita itu gegas mendekat ke arah pintu dan membukanya. Benar saja, di sana sudah ada salah satu satpam yang menat
Hanifa dan Respati semalam memang menginap di kontrakan. Pagi ini, Respati masih terlelap, apalagi semalam lelaki itu mengajak istrinya bergadang. Ia memang sangat bersemangat untuk terus mengajak istrinya lembur supaya segera mencapai garis dua.Hanifa sendiri sudah wangi dan sekarang ini baru keluar dari kamar kontrakan. Wanita itu menatap sekeliling dan pandangannya tak sengaja bertabrakan dengan duda yang tinggal di salah satu unit kontrakannya. Entahlah, siapa nama lelaki itu. Hanifa juga tak mau mencari tahu. Takut jika suaminya nanti merajuk dan salah paham. Wanita itu tersenyum simpul sebelum memutuskan pandangan keduanya. Ia memilih untuk berjalan keluar pagar dan tak lupa menyapa dua satpam yang memang selalu berada di sana, walau tidak sampai dua puluh empat jam. Sebab, dua satpam itu juga punya keluarga. "Duh, Mbak Nifa masih pagi sudah segar begini wajahnya. Makin cantik loh Mbak!" sapa salah satu tetangga kontrakan yang seketika membuat Hanifa terkekeh."Ibu bisa saj
"Sayang. Kamu kenapa? Sini, bicara dulu sama Mas!"Istirahat Hanifa terusik ketika mendengar penuturan dari Respati. Wanita itu menoleh dan mendapati keberadaan sang suami yang sudah menatap khawatir ke arah dirinya."Mas?" kaget Hanifa. Matanya masih bengkak dan dia belum terlihat baik-baik saja di depan Respati. Astaga, sudah pasti setelah ini dia akan disidang habis-habisan oleh sang suami."Ini kenapa matanya bengkak? Astaga, Sayang. Pipi kamu juga bengkak loh ini!" Respati tentu saja kaget bukan main.Pasalnya, pagi tadi sang istri masih baik-baik saja, lantas kenapa sekarang justru babak belur seperti ini? Sudah pasti ini ada yang tidak beres. Lelaki itu harus tau betul apa yang sebenarnya terjadi dengan si cantik ini. "Sini, cerita sama Mas. Siapa yang buat kamu kayak gini, Sayang!" desak Respati yang tak suka ketika melihat kebungkaman Hanifa. Sang empu menghela napas. Dia masih berusaha untuk menyembunyikan hal ini dari suaminya. Bukannya tak ingin selalu terbuka. Hanya sa
Ada kesalahpahaman antara Hanifa dan Santi. Santi terus menerus menuduh mantan menantunya itu menerima harta warisan milik almarhum Abimana. Sayangnya, mereka belum bertemu dan pihak pengacara almarhum Kakek sebentar lagi akan menyelesaikan tugasnya. Hanifa memang tidak akan pernah mau menerima harta warisan itu walau sepeserpun. Pada akhirnya, pengacara tersebut akan membicarakan harta warisan itu pada Santi dan Banu. Sayangnya, lelaki itu dengan sejuta kesibukannya justru kini sedang berada di luar kota karena pekerjaan yang mendadak. Hal ini tentu saja membuat Santi hanya bisa menduga ini dan itu. Imbasnya, wanita paruh baya itu sekarang ini semakin membenci Hanifa. "Mama mau ke mana?" tanya Banu penasaran ketika melihat Santi yang sudah rapi dengan pakaiannya. "Mama mau keluar sebentar mencari udara segar. Papa mau ikut?" tawar Santi dengan kalemnya. Banu bahkan sampai menyerngit keheranan. Benar, kah, ini istrinya? Kenapa berubah menjadi kalem seperti ini? Apa sudah tobat at
Santi menangis dalam diam di kamarnya seorang diri. Wanita paruh baya itu menatap lekat bingkai foto Abimana. Pikirannya telah berkelana. Sampai sekarang pun dia masih belum ikhlas atas kepergian anaknya itu. Bahkan, kebenciannya semakin mendalam terhadap Hanifa setelah keputusan pengacara almarhum mertuanya. Enak sekali Hanifa menerima harta secara cuma-cuma. Sementara Abimana sampai meregang nyawa belum pernah menikmati warisan itu sepeser pun. Wanita paruh baya itu juga kesal terhadap suaminya yang justru membela Hanifa. Harusnya jangan seperti ini, tapi sudahlah. "Abi. Mama rindu sama kamu. Mama seperti malas hidup lagi, Bi. Papamu terlalu gila. Mama kesal, Mama tidak suka," keluh Santi seolah mengadu pada bingkai foto tersebut. "Mama nggak rela kamu pergi duluan seperti ini. Ini semua gara-gara Hanifa yang terlalu belagu. Mentang-mentang sudah cantik langsung seperti itu. Mama tidak rela pokoknya. Perempuan itu harus mati juga. Mama tidak mau hanya kamu yang tersakiti di sin