Guys, bab selanjutnya sore ya. Terima kasih sudah membaca.
"Tidak! Lepaskan aku! Paman Louis, tolong! Paman Louis!" Suara putus asa Summer masih terngiang dalam telinga Louis. Semakin sering itu terulang, semakin sesak dadanya. Darah pun meletup-letup di puncak kepalanya. "Dia pikir ancamanku hanya gertakan? Tunggu saja nanti. Satu goresan di tubuh Summer akan kubayar dengan seribu tusukan!" Sambil menggertakkan geraham, Louis menginjak pedal gas lebih dalam. Sayangnya, mobil yang ia beli dari pengurus perkemahan itu tidak sebagus mobil sebelumnya. Lajunya tetap tidak sesuai yang ia harapkan. "Sial!" umpatnya dengan mata memerah. Tangannya kini mencengkeram kemudi begitu erat seolah-olah itu musuh yang ingin dihabisinya. "Kita tidak akan bisa tiba tepat waktu kalau hanya ini kecepatan maksimalnya. Di mana tim darurat?" Omega memeriksa ponselnya. "Masih dalam perjalanan, Tuan." "Dan polisi?" "Masih dalam perjalanan juga." Terlalu kesal, Louis memukul kemudinya. "Kenapa mereka begitu lambat? Apakah mereka pergi ke sana dengan otop
"Apakah kau sedang menguji kesabaranku? Aku tidak sudi punya anak nakal yang sangat merepotkan sepertimu," gerutu Kendrick dengan wajah mengernyit. Mendapat tanggapan semacam itu, Summer mengerucutkan bibir. "Kita baru bertemu sekali dan ini belum beberapa menit. Kenapa kau sudah menyebutku anak nakal yang merepotkan? Aku ini anak manis yang mandiri, Tuan. Kau tidak akan menyesal kalau punya anak sepertiku," angguknya meyakinkan. "Berhentilah menuduhku sebagai ayahmu! Kau tidak lihat? Kita sama sekali tidak mirip. Warna rambut kita saja berbeda." Kendrick menyentuh beberapa helai rambut keriting Summer dengan dua jari seolah-olah itu adalah sesuatu yang menjijikkan. Namun ternyata, sang balita tidak terintimidasi. Ekspresinya tidak berubah. "Aku mewarisi rambut dan wajah Mama, jadi wajar kalau rambut dan wajah kita berbeda," celetuk Summer ringan. "Itu tidak menutup kemungkinan kalau kau adalah ayahku. Mungkin saja, kau memiliki gen yang lemah." Kendrick mendengus tak perca
"Kenapa kau ngotot sekali mengatakan bahwa aku adalah ayahmu? Louis-lah orang yang seharusnya kau tuntut, bukan aku! Aku bukan ayahmu!" tegas Kendrick, terdengar agak putus asa. Ia tidak sadar bahwa bibir balita di hadapannya sedikit berkedut. Summer sebetulnya sedang setengah mati menahan tawa. Tingkah Kendrick sangat lucu baginya. Ia senang mengusili laki-laki itu. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk mengaku lagi. Tidak usah merengek, Tuan. Sekarang, kau lebih baik menjelaskan kenapa kau menculikku. Kalau tidak, bagaimana aku bisa paham?" Summer menjepit lehernya dengan pundak. Ia terlihat menggemaskan dengan pose tersebut. Kendrick pun meruncingkan telunjuk. "Dengarkan baik-baik. Aku tidak akan mengulanginya lagi." "Oke." Summer menyingkirkan rambut yang menutupi kupingnya dengan punggung tangan. Kemudian, ia duduk manis. "Ayahmu telah menghancurkan karier dan reputasiku. Karena itu, aku ingin membalas kejahatannya dengan melemparmu ke jurang." Mata Summer seket
Begitu masuk ke kamar mandi, Summer langsung mengunci pintu. Kemudian, ia melihat sekeliling. Ternyata, itu adalah kamar mandi mewah yang dilengkapi shower dan bak mandi yang estetik. "Kamar mandi untuk tamu saja semewah ini. Apalagi kamar mandinya sendiri. Ini pasti rumah singgahnya," gumam balita itu sambil berkedip-kedip. Saat pandangannya melintasi jendela, matanya membulat. Ia senang karena dugaannya tepat. "Itu dia! Aku harus segera memeriksa situasi di luar!" batinnya diiringi anggukan tegas. Tanpa membuang waktu, Summer merangkak naik ke bak mandi. Sambil berpijak pada tepiannya, ia mengintip ke luar jendela. Sayangnya, di luar terlalu gelap. Tidak ada petunjuk yang bisa ia dapat. "Seandainya saja aku membawa ranselku, aku pasti sudah mengambil senter," desah Summer kecewa. Namun, detik berikutnya, ia mengerjap. "Oh?" Summer berkedip-kedip, membiarkan mata abu-abunya beradaptasi dengan gelap. Keningnya ditekan lebih kuat ke kaca jendela, seakan-akan itu bisa
Setelah beberapa jam terpejam, Sky akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali. Ia langsung tersentak, memeriksa keadaan sekeliling. Mendapati kamar yang asing, ia mendesah khawatir, "Apakah aku diculik?" Detik berikutnya, Sky tersentak lagi. Ia baru sadar, Summer ternyata sedang tidur sambil memeluknya. "Kami berdua diculik?" Kegelisahannya membukit. Mendengar suara sang ibu dan merasakan pergerakannya, Summer terbangun. Sambil mengucek mata, ia bangkit duduk. "Akhirnya, Mama bangun juga. Aku sudah menunggu Mama sejak tadi. Apakah Mama baik-baik saja?" bisiknya. Sky ikut duduk. Ia mengusap kepala sang balita. "Ya, Sayang. Mama baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Kau tidak apa-apa, kan? Apakah mereka menyakitimu?" Summer menggeleng tipis. "Mereka tidak menyakitiku, Mama. Hanya saja, sikap dan bicara mereka kasar. Padahal, aku sudah menasihati mereka berulang kali, tapi mereka tetap tidak berubah. Sewaktu kecil, mereka semua pasti anak nakal." Wajah Sky berubah kusut. "
Sementara tim darurat menyebar, Louis mulai menerbangkan drone-nya. Dengan bantuan night vision, ia bisa menghindari pohon-pohon dengan mudah. Selang beberapa saat, tidak ada lagi pohon yang terlihat dalam jarak dekat. "Kurasa kita sudah terbang di atas jurang," gumam Louis samar. "Kira-kira, di mana Kendrick membangun tempat rahasia itu?" Louis mulai mencari cahaya. Ia periksa berbagai sudut. Tidak menemukan apa-apa, ia turunkan drone-nya beberapa meter. "Tunggu. Apa itu?" Louis mendekatkan kepalanya ke monitor. Beberapa titik cahaya terlihat di sisi tebing yang agak jauh. Tanpa membuang waktu, Louis menerbangkan drone-nya ke sana. Begitu dronenya tiba, ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya bersamaan dengan tawa. Ada beberapa jendela di dinding tebing tersebut. Salah satunya memiliki gambar matahari dan awan-awan. "Ketemu," gumam Louis lega. Omega pun mendekat. Ia amati apa yang ada di layar. "Wah," desahnya takjub. "Apakah itu langit di musim panas
"Eagle? Jaguar? Apa yang terjadi di dalam sana?" tanya seseorang di sela suara ketukan pintu. Sky dan Summer bertukar pandang. Mata mereka sama-sama lebar. Alis mereka melengkung tinggi. "Mama, gawat! Kita terlambat keluar. Tuan Jahat yang lain sudah keburu datang," bisik Summer, panik. Sky mengembuskan napas cepat. Saat ia hendak menimpali, si Sangar menginterupsi dengan bunyi aneh, "Hmmph hmmph hmmph!" Merasa risih, Summer berkacak pinggang. "Kamu ini berisik sekali! Apakah kamu tidak mendengar kalau aku dan Mama sedang berbicara? Memotong pembicaraan orang lain itu tidak sopan," omelnya. Akan tetapi, si Sangar malah semakin berisik. Merasa kesal, Summer mengentakkan kaki. "Kuingatkan sekali lagi. Diam!" "Hmmmph hmmmph ...." Summer mendengus. Ia dekati pria yang sedang meronta-ronta itu. "Kubilang diam!" Ia layangkan pukulan keras ke bagian belakang kepala sang pria. Tanpa terduga, si Sangar langsung tergeletak di lantai. Tidak ada bunyi mengganggu yang keluar dari mu
"Berjalanlah satu langkah lagi. Aku tidak akan segan melubangi kepala kalian," ancam Kendrick dengan suara menggelegar. Summer tidak berani lagi macam-macam. Ia sadar, apa yang diucapkan Kendrick sudah bukan lagi gertakan, melainkan ancaman. Dengan gerakan yang sangat lambat, ia menoleh kepada sang ibu. Suara kecilnya berbisik, "Mama, kita harus bagaimana?" Sky meringis. Ia sendiri bingung dengan apa yang harus mereka lakukan. "Sayang, jangan takut. Sewaktu Mama seusiamu saja, Mama sudah berhasil mengalahkan para pemburu liar. Sekarang, Mama sudah jauh lebih tua, dan ada kamu bersama Mama. Bersama-sama, kita pasti bisa mengalahkan Kendrick." "Oke," jawab Summer ragu, "tapi bagaimana?" Sky menggigit bibir. Selang perenungan kilat, ia kembali berbisik, "Mama akan berbalik menghadapnya. Tugasmu adalah bersembunyi di belakang Mama dengan gerakan yang sangat lambat. Mengerti?" "Mengerti, Mama." Summer pun memperhatikan sang ibu. Ia berniat untuk mengikuti kecepatannya.
"Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.
"Ya, kau sebaiknya fokus saja dengan kegiatan di penjara ini, Kendrick. Siapa tahu, kau bisa mendapat keringanan karena perilaku baik," Summer mengedikkan bahu santai. Akan tetapi, Kendrick malah semakin menggila. Ia mulai mengguncang pintu, memohon kepada para petugas untuk membukanya. Saat Orion mendekat, ia berteriak ketakutan. "Tidak! Menjauhlah dariku! Aku masih mau hidup! Jangan kau apa-apakan kepalaku!" Tiba-tiba, bunyi aneh terdengar dari pantat Kendrick. Bau busuk pun menyebar. Summer dan River cepat-cepat memencet hidung mereka. "Uuuh, Kendrik, kau jorok sekali!" tutur Summer, meledek. "Cepat sana ke kamar mandi! Dan jangan lupa dengan chipmu!" River terkekeh usil. "Dia tidak perlu membawanya, River. Chip ini yang akan datang sendiri kepadanya. Maksudku, petugas kepolisian yang akan memasukkan chip ke dalam otaknya!" Membayangkan kepalanya dibelah, Kendrick terkesiap. Mulutnya mulai bergetar. Saat pintu besi dibuka, lututnya ikut gemetar. Ia mencoba untuk melari
Khawatir sandiwaranya terbongkar, Summer cepat-cepat mengobrol dengan River. Ia bertanya tentang penilaiannya terhadap roti lapis itu dan apa yang perlu mereka perbaiki ke depannya. Setelah Kendrick menghabiskan makanan dan minumannya, barulah ia meraih kotak besar di atas meja. "Apakah kau sudah kenyang?" tanya Summer yang kini berlutut di atas kursi. Kalau tidak, kotak besar itu pasti sudah menutupi wajahnya dari Kendrick. Narapidana itu mendengus. "Apa pedulimu?" "Apakah kau lupa? Aku sudah menjawab pertanyaan itu. Berapa kali pun kau bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku mengkhawatirkan kondisimu karena keluargakulah yang memasukkanmu ke dalam penjara itu," Summer menunjuk pintu besi yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Kendrick memutar bola mata. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau dan orang tua berengsekmu itu berpesta setelah kalian melemparku ke tempat terkutuk ini." Summer terkesiap. Mata bulatnya berkilat oleh keterkejutan. "Tolong perhat
"Tolong jangan disebut. Itu berbahaya!" ujar Summer lantang. River menyingkirkan tangan Summer dari mulutnya. "Kenapa?" "Pokoknya, itu berbahaya. Mari kita masukkan itu sebagai kata terlarang. Jangan membahasnya lagi sampai kita dewasa," tutur Summer dengan penuh keseriusan. River pun menghela napas kesal. Namun, melihat ketegasan di wajah Summer, ia akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan melupakannya. Anggap itu tidak pernah kudengar," ia memutar telinga seolah sedang memutar pita kaset ke belakang. Louis akhirnya bisa kembali bernapas lega. Sky terkekeh melihatnya mengelus dada. Setelah itu, perbincangan berlangsung normal. Tidak ada hal aneh lagi yang mereka bahas. Mereka hanya bertukar kabar. Saat perbincangan mereka berakhir, Summer memekik gembira, "Oh, aku sungguh tidak sabar ingin menyambut Papa dan Mama pulang! Mereka pasti akan membawa banyak cerita!" "Ya, aku juga. Aku tidak sabar ingin melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa dari Antartika!" sahut River, tak
Sang kapten tersenyum simpul. "Dia mengaku bernama Summer." Louis dan Sky terbelalak. "Summer?" Lengkung bibir sang kapten melebar. "Ya. Summer Harper. Awalnya, saya berpikir bahwa itu hanyalah panggilan iseng. Tapi setelah mendengar caranya berbicara dan mengetahui namanya, saya percaya bahwa situasinya serius. Saya sarankan Anda untuk segera menghubunginya. Dia sangat resah." Sky mengangguk cepat. Di sisinya, Louis berkata, "Terima kasih, Kapten Alvarez. Kami akan segera menghubungi putri kami." Seperginya sang kapten, Sky melakukan panggilan video. Begitu Summer menerimanya, suara manisnya langsung bergema, "Mama, kenapa baru meneleponku sekarang? Ke mana saja dari tadi? Apakah Angelica mengganggu kalian lagi?" Melihat wajah cemberut sang putri, Sky dan Louis tertawa lirih. Mata mereka berkaca-kaca, terlapisi oleh keharuan sekaligus rasa bangga. "Maaf, Sayang. Mama dan Papa ada urusan mendesak. Kami terpaksa menghidupkan mode pesawat sebentar," timpal Sky, agak serak. "A
Pablo kembali tertawa. Sambil menggaruk alis, ia bergumam lirih, "Mengapa orang kaya suka sekali semena-mena?" Detik berikutnya, ia menatap Louis dengan kesan meremehkan. "Anda pikir dengan kekayaan yang Anda miliki, Anda bisa bertindak sesuka hati di sini? Maaf, Tuan Harper. Ini bukan L City. Di sini, Kapten Alvarez-lah yang memegang kendali. Dan lewat saya, beliau sudah menyampaikan perintah. Tahan Louis Harper dan sang istri. Karena itu ...." Pablo melihat rekan-rekannya dan menggerakkan kepala sekali. Para petugas mendekati Louis dan Sky lagi. Secepat kilat, Louis menarik Sky ke balik punggungnya. "Siapa yang berani menyentuh istriku, akan kupastikan dia tidak bisa berjalan lagi!" hardiknya, mengancam. Para petugas seketika menahan langkah. Louis pun menambahkan, "Daripada kalian bersikeras ingin menangkap kami, kalian lebih baik menghubungi kapten kalian." "Untuk apa?" sela Pablo dengan nada menjengkelkan. "Untuk mengulur waktu? Maaf, Tuan Harper. Kami sudah menghabi
Draco menggertakkan geraham. Ia ingin sekali menghajar Louis. Saat itulah, Sky berbisik, "Apakah Pablo, si petugas keamanan itu? Dia yang membantu kau dan Angelica melancarkan misi untuk menggangguku dan Louis?" Draco tersentak. Mulutnya tanpa sadar menimpali, "Dari mana kau tahu kalau itu Pablo?" Sky tersenyum lebar. Ia sumpal mulut Draco dengan kain. "Terima kasih atas kejujuranmu." Kemudian, ia bangkit berdiri. Sementara Louis menahan Draco agar tidak macam-macam, Sky berhenti merekam suara di ponselnya. Saat ia memutarnya ulang, pengakuan Draco terekam jelas. "Emmhh .... Emm emmmh ...." Draco terus meronta-ronta. Louis yang masih berlutut di dekatnya pun berdesus. Telunjuknya teracung meminta waktu. "Apa yang kau ributkan?" gerutu Louis. "Kau takut Pablo membunuhmu karena gagal menjaga rahasianya? Tenang. Kami akan menangkapnya sebelum dia bisa membunuhmu." Setelah menepuk pipi Draco dengan kasar dua kali, Louis bangkit berdiri. Ia menghampiri Sky. Sang istr
Begitu Pablo pergi, Sky dan Louis keluar menghampiri pelayan tadi. "Kami sudah siap," seru Sky, ceria. Sang pelayan menyambut mereka dengan tawa. "Kalian memang sangat unik. Baru kali ini ada pasangan bulan madu yang ingin belajar menjadi pelayan." "Kami ingin mencoba pengalaman baru. Setelah ini, kami berencana untuk pergi ke ruang kemudi. Kapan lagi kami bisa belajar menjadi nahkoda di perairan Antartika. Benar begitu, Louis?" "Ya, benar. Sebelum lanjut ke situ, ayo kita selesaikan misi ini," Louis memakaikan masker di wajah Sky. "Kami tidak ingin membuat kehebohan di sini. Orang-orang bisa histeris kalau tahu kami yang mengantarkan makanan mereka," terangnya seraya mengernyit. Sang pelayan mengangguk. "Ya, saya paham. Memang lebih baik begitu. Nanti, tolong ikuti arahan saya." "Siap, Tuan!" Sky menegakkan badan dan mengentak lantai dengan sepatu. Melihat semangat sang istri, Louis tersenyum geli. Didampingi oleh pelayan baik hati itu, mereka mulai menjalankan misi