Suara mesin blower berlomba-lomba dengan suara pengocok juga teriakan para kru kitchen di pastry maupun bakery untuk coffee break nanti siang. Sesuai BEO, mereka harus menyiapkan beberapa menu seperti Florida salad yang cocok dimakan sebagai hidangan pembuka di tengah cuaca Nusa Dua yang cerah, banana split dengan tiga scoop es krim berbeda rasa, apple pie, sampai strawberry lemon roll.
Mungkin kesannya sederhana cuma perlu menyajikan empat menu hidangan manis. Tapi, kalau pengaturan waktunya tak tepat, mereka bisa keteteran sendiri. Walhasil, bagian-bagian yang membutuhkan penyiapan lebih lama seperti es krim tiga rasa untuk banana split, rekan di bagian pantry sudah membuatnya sejak kemarin dan siap ambil dari mesin pendingin.
Wendy mengeluarkan loyang-loyang berisi pai keemasan yang baru saja matang. Aroma mentega langsung menerpa hidung lancip gadis itu. Dia tersenyum lebar melihat betapa cantik kue yang berasal dari Inggris ini. Tinggal menunggu dingin beberapa saat sebelum dihias dengan potongan kecil daun mint juga buah rasberi. Kemudian, dia berjalan untuk mengecek sejauh mana kue lemon itu jadi.
"Nanti kamu masukkan ke freezer dulu ya, biar enggak letoy lagi gulungan rotinya," titah Wendy pada Adi--commis yang baru setahun bekerja di pastry.
"Siap, Mbak."
Di sisi lain di bagian hot kitchen juga sibuk menyiapkan hidangan kontinental lain seperti ayam kaserol, steak salmon, juga bebek yang dipanggang. Bimo mengecek satu-persatu masakan anak-anak commis yang dibantu cook helper sambil sesekali mencicipi apakah rasanya sudah pas di lidah. Selain itu, dia juga membantu memberikan garnish agar tampilan makanan itu tak hanya memuaskan perut tapi memanjakan mata. Bimo berpikir kalau semua visualisasi makanan yang sangat menarik akan memberikan reaksi positif yang menjalar ke otak sehingga mengeluarkan hormon kebahagiaan.
Kepala Bimo berputar ke arah dapur pastry menangkap sosok Wendy yang sepertinya tidak terlihat sakit seperti yang diucapkannya kemarin. Dia ingin meminta maaf sekali lagi karena sudah mengingkari janji pada teman sekaligus juniornya itu. Bimo berjanji pada diri sendiri selepas shift nanti harus menemui Wendy untuk mencurahkan kegelisahan yang menerpa.
Selama berada di sini, jujur saja Bimo hanya berteman dekat dengan Wendy lantaran mereka berasal dari kota yang sama. Dan hanya dia yang menurut Bimo bisa memberikan saran dari sudut pandang perempuan netral yang terkenal susah jatuh cinta itu. Dia berencana untuk meminta sedikit saran atas masalah yang sedang menerpa dirinya dengan sang tunangan. Bimo menggeleng pelan mengusir kegundahan yang kembali menyapa, dia memaksa bibirnya untuk tersenyum menghadapi banyaknya kegiatan di dapur.
###
Selesai menghidangkan jamuan kepada tamu adalah hal paling melegakan walau di depan mereka tumpukan wadah kotor menunggu untuk dicuci. Wendy meneguk air sebentar, membasahi kerongkongan yang terasa kering walau dahinya berpeluh keringat sebesar biji jagung. Iris matanya menangkap Bimo yang terlihat santai di dapur utama dan bertemu pandang dengan lelaki itu. Wendy berjalan hendak menanyakan keadaan Bimo dengan kekasihnya, Risya serta kepo dengan masalah yang menerpa mereka berulang kali.
"Mas Bim!" panggil Wendy membuat anak-anak dapur menoleh ke arahnya.
"Eciee ... Mas, dipanggil ayang Wendy," sahut lelaki plontos yang menjadi demi chef membuat Bimo berdehem dengan mata melotot. "Wendy ... " dia mengerlingkan mata menimbulkan rona merah di pipi Wendy.
"Ayang, ayang, aku goreng juga itu mulut," sembur Wendy kesal lalu bertanya kepada Bimo. "Gimana? Kemarin aman? Masalah Risya kan?"
Lelaki itu mengangguk, mengatupkan bibir rapat membentuk satu garis lurus seakan menahan semua ucapan yang sudah memenuhi dada. Wendy menghela napas panjang sudah bisa menebak kalau kemarin Bimo tak datang karena ada urusan dengan kekasih LDR-nya. Entah apalagi yang sedang dihadapi oleh lelaki itu. Padahal rencananya akhir tahun ini Bimo akan mempersunting Risya setelah empat tahun bertunangan.
Kata orang cobaan sebelum menikah itu banyak, maka pasangan yang ingin mengikrarkan janji di hadapan Tuhan harus saling menguatkan diri agar fondasi rumah tangga mereka tetap kuat sampai ijab kabul terucap. Namun, banyak juga yang tidak bisa mempertahankan fondasi itu dan berakhir dengan sebuah kegagalan. Wendy hanya berharap kalau apa yang sedang dihadapi Bimo tidak sampai mengarah ke sana. Dia tahu betapa berat perjuangan lelaki manis di depannya ini mengumpulkan pundi-pundi uang demi menyenangkan Risya.
"Kamu sendiri?" tanya Bimo memiringkan kepalanya, menyunggingkan seulas senyum tipis. "Katanya kemarin sakit."
Wendy mencebik sambil memutar bola matanya jengkel. "Sakit hati iya, Mas."
"Kenapa?" tanya Bimo penasaran. "Kamu enggak pernah cerita sama aku Wen," protesnya lagi.
"Nanti aja deh, kalau di sini bahaya," bisik Wendy terkikik lalu meninggalkan sang sous chef menuju dapur pastry.
Ketika masuk iris mata cokelat Wendy menangkap Ratih--bawahannya sebagai demi chef-- tengah duduk jongkok sambil menangis tersedu-sedu sampai mukanya memerah. Di sebelahnya, ada Astrid yang berusaha menenangkan lalu menyiratkan Wendy untuk mendekat. Gadis berambut ikal sebahu yang diikat dengan harnet itu menengadah ke arah Wendy lalu berkata, "Wen ..."
"Nyapo to?" tanya Wendy kebingungan ikut jongkok.
(Kenapa sih?)
"Aku putus sama pacarku, Mbak Wen ..."
"Pacarnya ketahuan selingkuh, Mbak Wen," sahut Astrid. "Cup ... cup ... nanti Mbak Ratih cepet tua kalau nangis."
"Ngawur!" sembur Ratih menyikut tulang rusuk Astrid membuat Wendy tertawa.
"Positifnya, Mbak Ratih kan diselamatkan Tuhan ya to?" timpal Wendy. "Kalau masih pacaran sudah tukang tikung, gimana nanti pas jadi suami?"
Ratih yang dua tahun lebih muda dari Wendy mengangguk membenarkan ucapan seniornya. Walau hatinya saat ini seperti sedang ditusuki ribuan jarum sementara kepalanya begitu panas usai mendapat foto perselingkuhan mantan pacar. Padahal dia sudah yakin kalau hubungannya kali ini bisa berhasil di pelaminan karena sudah didesak keluarga untuk segera menikah. Nyatanya, rencana Ratih malah runtuh tak tersisa mendapati sang mantan kekasih ternyata menjalin asmara dengan perempuan lain.
"Aku bilang apa ya sama ibuku? Padahal aku udah yakin sama dia kalau kami berjodoh," ucap Ratih terbata-bata. "Tahu sendiri kan, usia kayak kita tuh sekarang dicap perawan tua."
"Astaga ..." Wendy turut prihatin sekaligus gemas. "Rat, emang salah ya kalau kita belum menikah di usia tiga puluh tahun? Emang kalau enggak menikah tuh kayak dosa besar terus dapat hukuman di neraka ya, Rat? Enggak kan?"
"Bener juga sih," kata Astrid. "Tapi, kalau enggak nikah tuh kayak bukan perempuan, Mbak."
"Berarti kalau laki-laki yang enggak menikahi perempuan juga bukan laki-laki dong, Astrid!" sindir Wendy. "Jangan bikin statement prestasi tertinggi perempuan itu menikah. Iya kalau dapet laki bener yang mau sayang dan bertanggung jawab. Kalau modal burung doang, asal celup sana celup sini terus kamu hamil enggak dinafkahi gimana? Mau?"
Astrid dan Ratih menggeleng bersamaan.
"Ya udah, jangan lempeng seolah kita enggak bisa hidup tanpa mereka. Kartini susah-susah naikin derajat perempuan kalian malah galau ditinggal pacar," omel Wendy.
"Mbak Ratih, Mbak Wen, bukan aku," protes Astrid sambil terkekeh yang dibalas cubitan di lengan oleh Ratih.
###
Gelombang air laut membasahi kaki telanjang yang berpijak pada pasir putih meninggalkan jejak-jejak kaki dua insan yang kini berjalan beriringan di bibir pantai Sawangan. Embusan angin yang cukup kencang menggoyangkan ikatan rambut Wendy menampilkan leher jenjangnya. Sesekali dia memandangi Bimo yang masih enggan membuka suara, hanya menendang-nendang pasir yang basah akibat kecupan air laut.
Wendy mendongak ke arah bentang langit yang sudah menampakkan kerlap-kerlip bintang berbarengan dengan cahaya sang dewi malam yang dirasa sudah tak malu lagi. Sementara di sisi kirinya, restoran D'amore yang memakai tema outdoor dengan kursi dan meja kayu ditambah lampu-lampu kuning yang menggantung menciptakan kesan romantis. Di sana terlihat beberapa orang tengah menikmati hidangan di bawah sinar rembulan. Wendy tersenyum samar melihat pasangan-pasangan yang terlihat harmonis yang tak sungkan menunjukkan kemesraan.
Sayang, tak banyak manusia yang beruntung bisa memiliki pasangan hidup yang sefrekuensi, bisa menghargai, dan menyayangi sampai akhir hayat layaknya Habibi-Ainun. Sekarang, makin ke sini, banyak pasangan yang memilih berpisah atau banyak orang yang memilih hidup membujang daripada harus terjebak dalam lingkaran toksik. Itu hal yang paling ditakuti Wendy. Baginya cinta itu bukan sesuatu yang patut dipermainkan karena menyangkut perasaan yang tersambung dengan mental dan fisik. Kalau orang yang patah hati, maka cinta yang sempat diagung-agungkan akan menjadi racun yang menyebabkan tidak nafsu makan sampai tidur, membuat mood buruk, hingga rasa untuk hidup pun tak ada.
"Wen," panggil Bimo membuka suara.
Wendy berjalan sedikit cepat, mengimbangi langkah kaki lelaki itu lalu bertanya, "Apa Mas?"
Bimo berjalan naik dari bibir pantai lalu duduk di atas gundukan pasir sambil menekuk kedua lututnya. Pandangannya tetap lurus ke arah pantai Sawangan menikmati terpaan angin laut seraya berharap bahwa deburan ombak di depannya itu bisa melarutkan segala kegelisahannya. Wendy mengikuti Bimo namun dia meluruskan kakinya karena mengenakan rok selutut.
"Aku kurang apa sih menurut kamu?" tanya Bimo memalingkan wajahnya memandang temannya dengan mata berkaca-kaca.
"Hah? Maksudnya?" Wendy menggeleng tak paham. "Ada apa sih Mas Bim sampai cengeng gitu? Kalau nangis ya nangis aja enggak usah ditahan."
Bimo tersenyum nanar lalu melihat cincin pertunangannya dengan Risya lantas melepas cincin perak itu dan melemparkannya sembarangan. Otomatis mata Wendy membeliak dan sudah mengira kalau masalah yang menimpa Bimo sudah di ujung jurang.
"Risya hamil, Wen," jawab Bimo. "Hamil anak orang."
Lelaki itu tak dapat menahan kristal bening yang sudah bergerombol di pelupuk mata. Dia menyandarkan dahinya ke pundak kiri Wendy dan menangis tersedu-sedu mengiringi suara arus laut yang seakan menutupi betapa pengecutnya Bimo. Sementara, Wendy tertegun cukup lama namun membiarkan Bimo menumpahkan kesedihannya tanpa menyela sama sekali.
Ini hal yang kutakutkan ketika jatuh cinta, apakah komitmen yang sudah dibangun akan terus ada?
Cukup lama bagi Bimo sampai bisa menenangkan diri usai menangisi Risya yang sudah mengkhianati kesetiaannya selama enam tahun. Bukan sebulan atau setahun, lantas lelaki mana yang tak akan menangis jikalau berada di posisi Bimo? Lelaki mana yang tidak akan remuk hatinya mendapati sang pujaan ternyata bermain di belakang dan memilih menyerahkan dirinya kepada pria lain sementara ada cincin yang mengikat hubungan mereka. Tak habis pikir dengan sikap Risya yang tega mengingkari cinta yang diberikan Bimo dengan tulus. Apa yang salah dengan dia?Apa yang kurang dari lelaki macam dirinya?Dua pertanyaan itu memenuhi benak Bimo sampai berani menanyakannya kepada Wendy. Di jaman sekarang, menurutnya susah mencari lelaki yang mau berpikiran lurus tanpa mau menyentuh sang dambaan sebelum ada ikatan pernikahan. Selain itu, selama ini dia percaya begitu saja dengan hubungan jarak jauh antara Bali-Jawa berharap bibit-bibit rindu yang ditanam ini akan berbuah manis kala Bimo menikahi dan membawa Ri
Di sinilah Wendy, duduk di samping tubuh lemah sang ibu yang masih dirawat di salah satu rumah sakit umum daerah Yogyakarta. Dipegang kulit tangan kanan Suwarni yang sudah keriput dengan penuh kasih sayang. Air matanya kembali menetes menyesali pertengkaran terakhirnya jikalau Suwarni harus terbujur tak berdaya seperti ini. Setelah mendapat kabar bahwa ibunya sakit akibat tekanan darah tinggi yang menyebabkan ada penyumbatan di otak sebelah kanan ditambah kadar gula darah yang tak mau kalah saing, Wendy langsung meminta ijin kepada manajer F&B untuk memberinya cuti tiga hari. Tak sempat berpamitan kepada Bimo maupun kru kitchen lain kecuali Ratih yang dia beri tanggung jawab mengawasi kinerja commis dan cook helper. Dia meminta Ratih merahasiakan kabar ini agar tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan lantas langsung pulang dengan pesawat terbang yang dipesan secara mendadak. Pikiran gadis itu berkecamuk mengingat tidak ada orang yang tahu kapan nyawa manusia akan dipanggil men
Dipandang latar depan rumah di mana ada beberapa ayam tengah mematuk beras jagung yang tadi disebar Wendy. Merangkul kedua lutut, memandang kosong ke arah hewan-hewan itu sambil memikirkan permintaan kedua orang tuanya yang dirasa mencekik Wendy perlahan-lahan. Dia menitikkan air mata, menangis dalam diam kenapa harus dipaksa seperti ini. Di sisi lain, dia tidak ingin bertengkar lagi dengan mereka untuk memperdebatkan hal yang sama terus-menerus. Dia bosan.Semilir angin di siang hari menggoyangkan dedaunan yang enggan gugur dari ranting-ranting pohon mangga. Namun di sebelahnya, daun pohon jati tampak meranggas menyisakan cabang-cabang kayu kering bagai merontokkan harapan manusia yang sudah digantungkan setinggi angkasa. Wendy menengadah menatap jejak-jejak matahari begitu terik seakan tak mengenal yang namanya kesedihan, memaksa menerobos ke sela-sela daun pohon mangga yang mulai berbuah juga menjatuhkan daun kekuningan dari pohon jati yang mengotori latar rumah. Dia bersandar ke
"Ni-nikah?" ulang Bimo masih tak percaya dengan apa yang didengar. Dia mengorek telinga kiri takut indra pendengarannya menurun drastis usai menangkap kalimat yang tak masuk akal itu. Wendy mengangguk cepat. "Iya, kita nikah aja, Mas," ajaknya tanpa basa-basi langsung menusuk Bimo dari segala penjuru berharap lelaki itu segera memberi keputusan. Jantungnya nyaris tak berdetak begitu juga tungkai yang terbalut sandal sudah tak bertulang lagi setelah memberanikan diri mengajukan permintaan paling gila kepada Bimo. Dia yakin setelah ini pria di depannya akan mengejeknya gila atau sudah keracunan sabun sampai berani mengatakan hal itu. "Tunggu sebentar, Wen," potong Bimo mencerna sekali lagi ajakan Wendy. "Kamu enggak lagi halusinasi kan?" "Enggak, aku serius, Mas Bim," kata Wendy meyakinkan. "Kita nikah, kamu bisa tunjukin ke Risya kalau ada orang yang mau diajak komitmen sementara aku bisa tunjukin ke ibu dan bapak kalau--" "Maksudmu kita menikah cuma buat mainan?" sela Bimo kesal
Setelah menikah, Wendy langsung bertolak ke Bali dengan alasan honeymoon di Pulau Dewata lebih berkesan. Padahal sebenarnya tak ingin berlama-lama di Yogyakarta untuk bercengkerama dengan keluarga besar yang terlalu ikut campur urusan pribadi. Kemarin saja setelah acara, banyak di antara mereka memberikan wejangan masalah cara mendapatkan anak lelaki maupun perempuan tanpa sungkan kalau masih ada anak-anak di bawah umur yang mendengarkan percakapan dewasa. Lagi pula, hal pribadi seperti itu tak perlulah diajari lagi karena sejatinya manusia memiliki naluri tersendiri ketika menjalani hubungan seksual. Wendy menepis kata terakhirnya. Tidak ada hubungan pasutri seperti yang tertulis dalam kontrak pun dia juga tidak mau menyerahkan keperawanannya kepada Bimo begitu saja. Dalam kamus kehidupan Wendy, bercinta itu lebih dari sekadar menyatunya dua tubuh manusia untuk mencapai surga dunia namun ada hati yang harus terlibat. Jika dia melakukannya dengan Bimo tanpa ada ikatan perasaan, maka
"Loh!" seru Wendy terkejut bukan main hampir menjatuhkan piringnya mendapati Bimo keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di pinggul. Pahatan otot dada hingga perut yang terpatri sempurna oleh tangan Sang Pencipta ditambah untaian rambut hitam yang masih basah menjadi suatu pengalaman pertama bagi Wendy. Bulir air menetes dari sela-sela rambut dan mendarat di kulit bersih Bimo bagai kristal-kristal berjatuhan. Belum lagi aroma sabun menguar menggoda indra penciumannya sampai Wendy nyaris lupa cara bernapas dan berkedip mengamati betapa indah lekukan tubuh Bimo yang biasanya tertutup seragam koki.Sisi lain di dalam diri Wendy berbisik kalau apa yang ditangkap kedua matanya saat ini tidak banyak orang yang bisa menikmati secara gratis. Walau tahu kalau pakaian yang dikenakan Bimo sehari-hari sudah cukup menunjukkan kalau otot-otot lelaki itu memang dilatih. Jadi, mungkin ini salah satu alasan mengapa banyak perempuan di D'amore mengagumi Bimo Hartawan selain tampan juga berpo
"Australian wagyu grade 5, ribeye!" teriak seorang barker--tukang teriak yang menghubungkan antara pelayan dan juru masak dalam menyebutkan menu yang dipesan. Meski biasanya dapur D'amore terlihat sibuk, tapi hari ini kru dapur makin tampak repot untuk memenuhi pesanan para tamu VIP di mana salah satu pejabat daerah sedang melakukan gathering dengan beberapa orang penting dari luar negeri. Di restoran D'amore yang berkonsep semi outdoor dengan dapur terbuka sehingga koki bisa menunjukkan atraksi selagi menyajikan makanan bernuansa Bali kontemporer. Salah satunya ayam betutu yang sudah terkenal di kalangan mancanegara. Bumbu genep merasuk ke dalam daging ayam tanpa tulang membuat siapa saja yang mencicipinya tak akan berhenti pada satu gigitan. Apalagi jika ditambah sambal matah diberi bunga kecicang, plecing kangkung, dan nasi yang mengepul panas. Selain masakan khas Ubud dan steak daging sapi impor, kru dapur juga menyajikan olahan daging babi yang kini makin populer dengan kerenya
"Wah, banyak lagi ya, Mbak Wen," ucap Astrid yang baru datang sambil merapikan toque lalu berdiri di sisi Wendy membaca whiteboard di mana barisan daftar menu sudah tercatat di sana. "Tapi, enggak kayak kemaren," balas Wendy kemudian menyambut anak-anak kru dapur lain yang datang. Mereka berbaris mendengarkan Wendy dalam briefing pagi sebelum mengerjakan deretan tugas yang harus diselesaikan termasuk pembagiannya. Setelah berdoa bersama, Wendy bergegas untuk mengecek peralatan dan bahan-bahan yang akan dibuat sementara tim satu mulai membuat adonan opera cake--roti almond sponge dari Prancis yang setiap lapisan diolesi butter cream kopi dan ganache cokelat. Sehingga setiap gigitan terasa mewah di lidah karena kombinasi sempurna antara cokelat, kopi, dan almond jadi satu dalam tesktur yang lembut. Di tim lain fokus pada olahan croissant yang sudah dimodifikasi Wendy dengan isian daging ayam asap, keju, tomat hingga selada berbentuk mini sehingga mirip dengan sandwich. Adonan tepun