Cukup lama bagi Bimo sampai bisa menenangkan diri usai menangisi Risya yang sudah mengkhianati kesetiaannya selama enam tahun. Bukan sebulan atau setahun, lantas lelaki mana yang tak akan menangis jikalau berada di posisi Bimo? Lelaki mana yang tidak akan remuk hatinya mendapati sang pujaan ternyata bermain di belakang dan memilih menyerahkan dirinya kepada pria lain sementara ada cincin yang mengikat hubungan mereka. Tak habis pikir dengan sikap Risya yang tega mengingkari cinta yang diberikan Bimo dengan tulus.
Apa yang salah dengan dia?
Apa yang kurang dari lelaki macam dirinya?
Dua pertanyaan itu memenuhi benak Bimo sampai berani menanyakannya kepada Wendy. Di jaman sekarang, menurutnya susah mencari lelaki yang mau berpikiran lurus tanpa mau menyentuh sang dambaan sebelum ada ikatan pernikahan. Selain itu, selama ini dia percaya begitu saja dengan hubungan jarak jauh antara Bali-Jawa berharap bibit-bibit rindu yang ditanam ini akan berbuah manis kala Bimo menikahi dan membawa Risya tinggal bersamanya di Nusa Dua.
Ah, kenyataan yang pahit dan harus ditelan mentah-mentah!
Dipejamkan mata berharap Tuhan mau menghapus ingatannya tentang Risya dan hari-hari yang sudah dilewati cukup lama. Mencabut segala rasa yang pernah dia berikan kepada gadis manis itu. Namun, pada kenyataannya semesta terlalu kejam membiarkan Bimo tenggelam dalam kubangan kenangan menyakitkan. Sementara, malam makin larut sementara laut enggan untuk beriak dalam keheningan. Suara deburannya yang membentur karang maupun mengecup pelan bibir pantai menjadi saksi bisu atas hancurnya impian Bimo untuk membangun rumah tangga dengan sang pujaan hati. Hingga tepukan pelan di pundaknya menyadarkan lelaki 32 tahun itu bahwa masih ada kehidupan yang lebih baik daripada malam ini. Setidaknya begitu.
Wendy masih tak bisa mengucapkan sepatah kata selain hanya memberikan sentuhan untuk menguatkan teman sekaligus seniornya yang sudah dianggap saudara sendiri. Walau tidak pernah menjalin asmara sampai ke jenjang pertunangan, tapi Wendy paham betapa remuknya perasaan Bimo atau siapa pun itu jikalau dikhianati pasangannya. Terlebih rencana pernikahan mereka sudah di depan mata. Dia juga tahu bagaimana perjuangan Bimo mengumpulkan pundi-pundi uang juga menjaga jarak dengan para kaum hawa yang mencoba mengambil hatinya.
Dia yang terlalu baik atau terlalu setia? pikir Wendy.
"Maaf ya Wen," ucap Bimo dengan suara gemetaran menghapus jejak air matanya yang belum mengering.
Kepala Wendy terangguk. "Aku enggak bisa bilang apa-apa kecuali sabar, Mas. Mungkin emang bukan jodoh. Setidaknya, ada hikmah kalau Risya itu memang bukan perempuan baik, Mas Bim. Kadang ... Tuhan tuh bikin manusia jatuh sejatuh-jatuhnya agar sadar kalau pilihan manusia tak selamanya baik. Hanya cara menyakitkan seperti ini yang bisa Tuhan lakukan biar manusia seperti kita sadar, Mas."
Bimo menarik napas sepanjang mungkin agar relung dadanya yang kosong bisa dipenuhi oleh oksigen yang mampu menjernihkan pikiran untuk tidak berlari ke arah pantai dan terhanyut menuju samudera Hindia. Dia membenarkan ucapan Wendy bahwa inilah cara terpahit yang digoreskan Tuhan bahwa dirinya tidak akan pernah bisa menjadi pendamping hidup Risya. Seiring berjalannya waktu Bimo yakin dia akan kembali tegar, yakin bahwa hatinya akan kembali pulih seperti sedia kala, dan yakin bahwa akan ada akhir yang tidak terduga di masa depan.
Apa aku bisa? batin Bimo meragu.
"Ya, mungkin ..." ujar Bimo tersenyum nanar lalu melirik jam tangan Rolex di tangan kanannya. "Sudah malam, Wen, sebaiknya kita pulang."
"Besok aku libur, Mas," kata Wendy, "Kalau butuh aku sampai malam, aku ladeni." Dia menepuk bahu kirinya, "Nih kalau mau nangis masih ada tempat."
Bimo terkekeh dengan mata berkaca-kaca ingin menangis lagi. Jikalau perempuan lain melihatnya cengeng pasti akan mengejek kalau lelaki sepertinya tak pantas menjadi imam karena terlalu lemah menghadapi kerasnya kehidupan. Budaya patriaki yang sudah mendarah daging bahwa pria harus kuat dan tak boleh mengeluarkan tangisan namun lupa kalau mereka juga manusia yang punya sisi kelemahan.
"Makan bakso di kosku gimana? Ada bakso langgananku tuh," ajak Wendy seraya merangkul pundak Bimo. "Apa makan ramyeon dikasih boncabe?"
"Perutmu loh Wen," kata Bimo memperingatkan. "Udah pernah kena radang usus buntu masih aja bandel."
"Sekali-kalilah, demi temen yang lagi patah hati," kilah Wendy menaik-turunkan alisnya. "Udah, sabar ya Mas, masih mending gagal di sini daripada kena zonk pas udah ijab kabul. Itu artinya Tuhan masih sayang sama Mas Bimo buat dapetin cewek yang jauh dan jauh lebih baik lagi. Oke!"
Bimo mengangguk memaksakan diri untuk tertawa meski hatinya masih ditaburi garam. Mulai detik ini juga, dia harus mengikhlaskan kepergian Risya untuk orang lain dan berdoa kalau suatu hari nanti bakal menemukan belahan jiwa yang mau menjaga komitmen sehidup semati.
Semoga saja ...
###
Duduk seorang diri sembari menikmati seloyang piza dengan topping seafood , keju parmesan yang gurih nan asin, saus tomat, dan oregano. Orang yang melintasinya berpikir kalau Wendy begitu serakah makan satu loyang penuh sendirian tanpa mengetahui apa yang sedang berkecamuk dalam kepala. Diraih gelas berisi kola dingin sebagai penyegar tenggorokan lalu ekor matanya mencerling ke arah gawai yang sedari tadi berbunyi notifikasi pesan W******p masuk. Wendy meniup poninya kesal, memilih menggigit potongan piza dalam diam daripada harus adu mulut dengan ibunya.
Kemarin saat makan bersama Bimo, ibu Wendy kembali menelepon dan meminta anaknya segera mencari suami agar Suwarni tak perlu mendengar celaan tetangga maupun keluarga besar kalau anak mereka perawan tua dan tidak laku. Ditambah ada selentingan Wendy penyuka sesama jenis atau terkena guna-guna sehingga jodohnya belum juga menampakkan diri. Suwarni mencerocos masalah lelaki yang dulu sempat ingin meminang Wendy tapi ditolak lantaran lelaki itu memintanya agar tidak bekerja dan menyuruh mengurus urusan rumah.
"Lihatlah laki-laki yang kamu tolak, Wen! Hidupnya sudah enak kan!" sungut Suwarni melalui sambungan telepon.
"Iya gimana enggak enak, orang istrinya dijadiin babu di rumah," sindir Wendy. "Yang nyiapin makan, yang nyuci baju, yang bersihin rumah. Wendy mana betah kayak gitu terus, Bu!"
"Lah itu kan emang tugas istri di rumah, Wen, kamu aja yang terlalu pemilih!"
"Istri itu bukan babu, Bu. Kalau suami cuma bisa kerja dan minta jatah, ya mending mereka kawin aja sama PSK jangan sama Wendy," balas Wendy.
Dering gawainya membuyarkan lamunan panjang Wendy tentang perdebatan dengan Suwarni. Kali ini nama ayahnya--Darmaji--muncul di layar ponsel seakan tak cukup hanya dengan mengirim ratusan pesan. Mau tak mau jemari Wendy menggeser ikon hijau dan menerima panggilan tersebut.
"Apa, Pak?" tanya Wendy. "Kalau Bapak bahas seperti yang diomongkan Ibu, jawaban Wen--"
"Ibumu masuk rumah sakit," sela Darmaji menjatuhkan jantung Wendy ke lantai.
Di sinilah Wendy, duduk di samping tubuh lemah sang ibu yang masih dirawat di salah satu rumah sakit umum daerah Yogyakarta. Dipegang kulit tangan kanan Suwarni yang sudah keriput dengan penuh kasih sayang. Air matanya kembali menetes menyesali pertengkaran terakhirnya jikalau Suwarni harus terbujur tak berdaya seperti ini. Setelah mendapat kabar bahwa ibunya sakit akibat tekanan darah tinggi yang menyebabkan ada penyumbatan di otak sebelah kanan ditambah kadar gula darah yang tak mau kalah saing, Wendy langsung meminta ijin kepada manajer F&B untuk memberinya cuti tiga hari. Tak sempat berpamitan kepada Bimo maupun kru kitchen lain kecuali Ratih yang dia beri tanggung jawab mengawasi kinerja commis dan cook helper. Dia meminta Ratih merahasiakan kabar ini agar tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan lantas langsung pulang dengan pesawat terbang yang dipesan secara mendadak. Pikiran gadis itu berkecamuk mengingat tidak ada orang yang tahu kapan nyawa manusia akan dipanggil men
Dipandang latar depan rumah di mana ada beberapa ayam tengah mematuk beras jagung yang tadi disebar Wendy. Merangkul kedua lutut, memandang kosong ke arah hewan-hewan itu sambil memikirkan permintaan kedua orang tuanya yang dirasa mencekik Wendy perlahan-lahan. Dia menitikkan air mata, menangis dalam diam kenapa harus dipaksa seperti ini. Di sisi lain, dia tidak ingin bertengkar lagi dengan mereka untuk memperdebatkan hal yang sama terus-menerus. Dia bosan.Semilir angin di siang hari menggoyangkan dedaunan yang enggan gugur dari ranting-ranting pohon mangga. Namun di sebelahnya, daun pohon jati tampak meranggas menyisakan cabang-cabang kayu kering bagai merontokkan harapan manusia yang sudah digantungkan setinggi angkasa. Wendy menengadah menatap jejak-jejak matahari begitu terik seakan tak mengenal yang namanya kesedihan, memaksa menerobos ke sela-sela daun pohon mangga yang mulai berbuah juga menjatuhkan daun kekuningan dari pohon jati yang mengotori latar rumah. Dia bersandar ke
"Ni-nikah?" ulang Bimo masih tak percaya dengan apa yang didengar. Dia mengorek telinga kiri takut indra pendengarannya menurun drastis usai menangkap kalimat yang tak masuk akal itu. Wendy mengangguk cepat. "Iya, kita nikah aja, Mas," ajaknya tanpa basa-basi langsung menusuk Bimo dari segala penjuru berharap lelaki itu segera memberi keputusan. Jantungnya nyaris tak berdetak begitu juga tungkai yang terbalut sandal sudah tak bertulang lagi setelah memberanikan diri mengajukan permintaan paling gila kepada Bimo. Dia yakin setelah ini pria di depannya akan mengejeknya gila atau sudah keracunan sabun sampai berani mengatakan hal itu. "Tunggu sebentar, Wen," potong Bimo mencerna sekali lagi ajakan Wendy. "Kamu enggak lagi halusinasi kan?" "Enggak, aku serius, Mas Bim," kata Wendy meyakinkan. "Kita nikah, kamu bisa tunjukin ke Risya kalau ada orang yang mau diajak komitmen sementara aku bisa tunjukin ke ibu dan bapak kalau--" "Maksudmu kita menikah cuma buat mainan?" sela Bimo kesal
Setelah menikah, Wendy langsung bertolak ke Bali dengan alasan honeymoon di Pulau Dewata lebih berkesan. Padahal sebenarnya tak ingin berlama-lama di Yogyakarta untuk bercengkerama dengan keluarga besar yang terlalu ikut campur urusan pribadi. Kemarin saja setelah acara, banyak di antara mereka memberikan wejangan masalah cara mendapatkan anak lelaki maupun perempuan tanpa sungkan kalau masih ada anak-anak di bawah umur yang mendengarkan percakapan dewasa. Lagi pula, hal pribadi seperti itu tak perlulah diajari lagi karena sejatinya manusia memiliki naluri tersendiri ketika menjalani hubungan seksual. Wendy menepis kata terakhirnya. Tidak ada hubungan pasutri seperti yang tertulis dalam kontrak pun dia juga tidak mau menyerahkan keperawanannya kepada Bimo begitu saja. Dalam kamus kehidupan Wendy, bercinta itu lebih dari sekadar menyatunya dua tubuh manusia untuk mencapai surga dunia namun ada hati yang harus terlibat. Jika dia melakukannya dengan Bimo tanpa ada ikatan perasaan, maka
"Loh!" seru Wendy terkejut bukan main hampir menjatuhkan piringnya mendapati Bimo keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di pinggul. Pahatan otot dada hingga perut yang terpatri sempurna oleh tangan Sang Pencipta ditambah untaian rambut hitam yang masih basah menjadi suatu pengalaman pertama bagi Wendy. Bulir air menetes dari sela-sela rambut dan mendarat di kulit bersih Bimo bagai kristal-kristal berjatuhan. Belum lagi aroma sabun menguar menggoda indra penciumannya sampai Wendy nyaris lupa cara bernapas dan berkedip mengamati betapa indah lekukan tubuh Bimo yang biasanya tertutup seragam koki.Sisi lain di dalam diri Wendy berbisik kalau apa yang ditangkap kedua matanya saat ini tidak banyak orang yang bisa menikmati secara gratis. Walau tahu kalau pakaian yang dikenakan Bimo sehari-hari sudah cukup menunjukkan kalau otot-otot lelaki itu memang dilatih. Jadi, mungkin ini salah satu alasan mengapa banyak perempuan di D'amore mengagumi Bimo Hartawan selain tampan juga berpo
"Australian wagyu grade 5, ribeye!" teriak seorang barker--tukang teriak yang menghubungkan antara pelayan dan juru masak dalam menyebutkan menu yang dipesan. Meski biasanya dapur D'amore terlihat sibuk, tapi hari ini kru dapur makin tampak repot untuk memenuhi pesanan para tamu VIP di mana salah satu pejabat daerah sedang melakukan gathering dengan beberapa orang penting dari luar negeri. Di restoran D'amore yang berkonsep semi outdoor dengan dapur terbuka sehingga koki bisa menunjukkan atraksi selagi menyajikan makanan bernuansa Bali kontemporer. Salah satunya ayam betutu yang sudah terkenal di kalangan mancanegara. Bumbu genep merasuk ke dalam daging ayam tanpa tulang membuat siapa saja yang mencicipinya tak akan berhenti pada satu gigitan. Apalagi jika ditambah sambal matah diberi bunga kecicang, plecing kangkung, dan nasi yang mengepul panas. Selain masakan khas Ubud dan steak daging sapi impor, kru dapur juga menyajikan olahan daging babi yang kini makin populer dengan kerenya
"Wah, banyak lagi ya, Mbak Wen," ucap Astrid yang baru datang sambil merapikan toque lalu berdiri di sisi Wendy membaca whiteboard di mana barisan daftar menu sudah tercatat di sana. "Tapi, enggak kayak kemaren," balas Wendy kemudian menyambut anak-anak kru dapur lain yang datang. Mereka berbaris mendengarkan Wendy dalam briefing pagi sebelum mengerjakan deretan tugas yang harus diselesaikan termasuk pembagiannya. Setelah berdoa bersama, Wendy bergegas untuk mengecek peralatan dan bahan-bahan yang akan dibuat sementara tim satu mulai membuat adonan opera cake--roti almond sponge dari Prancis yang setiap lapisan diolesi butter cream kopi dan ganache cokelat. Sehingga setiap gigitan terasa mewah di lidah karena kombinasi sempurna antara cokelat, kopi, dan almond jadi satu dalam tesktur yang lembut. Di tim lain fokus pada olahan croissant yang sudah dimodifikasi Wendy dengan isian daging ayam asap, keju, tomat hingga selada berbentuk mini sehingga mirip dengan sandwich. Adonan tepun
"Wen!" panggil Bimo menangkap gadis itu keluar dari ruang karyawan usai shift berakhir. Tanpa menoleh, Wendy mempercepat langkah kaki yang terbalut sepatu kets hitam dan mengabaikan suara Bimo yang masih meneriaki namanya. Dia terlalu malas berinteraksi dengan Bimo di saat kesialan hari ini mendera Wendy tanpa henti. Setelah mendapat teguran dari tamu, dia juga mendapat omelan dari Lucy yang mengatakan kalau seharusnya Wendy mengonfirmasi terlebih dahulu menu yang akan diubah bukannya memutuskan seenak jidat. Lagi-lagi gadis bermata bulat itu berkelakar kalau sajian yang dihidangkan tak beda jauh dari sandwich croissant, malah lebih cepat daripada pembuatan croissant. Sayangnya, Lucy tidak menerima alasan apa pun dari Wendy karena dianggap tidak melaksanakan pesanan tamu. Sepertinya semesta sedang tidak berpihak kepada Wendy kala kakinya tidak berkoordinasi dengan baik sampai tersandung. Wendy mengaduh kesakitan saat kedua lututnya membentur keramik hotel membuat Bimo berlari mengha