"Wen!" panggil Bimo menangkap gadis itu keluar dari ruang karyawan usai shift berakhir. Tanpa menoleh, Wendy mempercepat langkah kaki yang terbalut sepatu kets hitam dan mengabaikan suara Bimo yang masih meneriaki namanya. Dia terlalu malas berinteraksi dengan Bimo di saat kesialan hari ini mendera Wendy tanpa henti. Setelah mendapat teguran dari tamu, dia juga mendapat omelan dari Lucy yang mengatakan kalau seharusnya Wendy mengonfirmasi terlebih dahulu menu yang akan diubah bukannya memutuskan seenak jidat. Lagi-lagi gadis bermata bulat itu berkelakar kalau sajian yang dihidangkan tak beda jauh dari sandwich croissant, malah lebih cepat daripada pembuatan croissant. Sayangnya, Lucy tidak menerima alasan apa pun dari Wendy karena dianggap tidak melaksanakan pesanan tamu. Sepertinya semesta sedang tidak berpihak kepada Wendy kala kakinya tidak berkoordinasi dengan baik sampai tersandung. Wendy mengaduh kesakitan saat kedua lututnya membentur keramik hotel membuat Bimo berlari mengha
"Halo, Chef!" sapa Wendy yang sedang membawa bak berisi baju kotor dan menangkap sosok Bimo keluar kamar sambil menguap lebar. "Bajumu aku cuciin enggak?""Hah!" Bimo menganga tak mengerti karena nyawanya masih belum lengkap dari alam bawah sadar. "Celana dalam?" Wendy mengulurkan tangan mengisyaratkan agar lelaki itu menyerahkan baju kotor untuk dicuci."Hah?""Ha he ha he aja nih! Aku mau nyuci baju mumpung libur, Mas!" gerutu Wendy gemas. "Biar bajumu kucuci sekalian.""Kayaknya kalau celana dalam jangan deh, aku malu," cicit Bimo menggaruk rambutnya. "Lagian aku juga libur, Wen.""Ya udah bagi tugas aja. Mas Bimo bersih-bersih, aku yang cuci dan setrika," usul Wendy. "Nanti kita masak bareng."Bimo mengangguk setuju lantas masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaian kotor yang ada dalam keranjang baju. Sementara Wendy bergegas ke kamar mandi berukuran cukup luas sampai mampu menampung mesin cuci. Bimo menyusul dan membantu gadis itu mengambil bak besar untuk diisi air bersih. Be
Rasanya pagi ini tubuh Wendy serasa dipukuli orang sekampung. Selagi berjalan menuju dapur hotel, dia menguap lebar merasa jam tidurnya kurang. Betul kata Bimo kemarin, seharusnya mereka pulang lebih awal daripada harus hang out seharian penuh sekadar memenuhi hasrat untuk healing. Pagi ini mereka hampir terlambat akibat bangun kesiangan kalau bukan alarm milik Bimo yang terdengar seperti pemadam kebakaran membuyarkan bunga tidur gadis itu.Sejujurnya, Wendy tak dapat tidur nyenyak setelah semalam dia mendapat kecupan di kening sewaktu duduk di bibir pantai Tanjung Benoa. Mungkin orang lain akan menganggap ciuman biasa itu sesuatu yang tidak berarti karena mereka suami-istri yang sedang manis-manisnya menjalani bahtera rumah tangga. Tapi, bagi Wendy, kecupan sore itu menimbulkan sesuatu yang lain di hati sampai-sampai debaran di dadanya enggan tuk berhenti. Meski bukan kali pertama, entah kenapa tatapan Bimo kemarin dan semua perlakuannya begitu beda.Ah, jangan keburu baper, Wen!Ala
Guyuran air hangat membasahi tubuh Wendy untuk mengumpulkan puing-puing kesadaran juga merutuki kesalahan serta kenikmatan terbesar dalam hidupnya. Dia memejamkan mata, meremas dadanya sendiri seakan ingin meredam jantung yang tak berhenti berdebar-debar. Diraba tengkuk leher, otomatis bulu romanya berdiri karena masih bisa merasakan jejak Bimo berada di sana. Sensasi itu kembali bergerombol memenuhi perutnya menciptakan sebuah rasa yang tak dapat didefinisikan. Wendy menengadahkan kepala, menyisir rambut basah yang disiram air dari shower entah harus bagaimana jikalau berhadapan dengan Bimo nanti. Canggung juga malu.Sungguh tak disangka kalau perjanjian itu akan dilanggar oleh mereka sendiri, khususnya Wendy. Dia tidak bisa menyalahkan Bimo pun tak bisa merutuk godaan terlarang itu. Wendy menelengkan kepala, bibirnya tertarik membentuk sudut miring mengetahui bahwa tidak akan ada manusia yang bertahan jika terjebak dalam situasi seperti kemarin. Sepertinya Wendy memutuskan untuk ti
Sudah hampir lima belas menit mungkin lebih ketika tak ada suara yang keluar dari bibir mereka kecuali angin laut yang berhembus cukup kencang menerpa dan menggoyangkan rambut Wendy. Hanya memandang lurus ke arah gulungan ombak tengah mengecup manja pantai Sawangan meninggalkan buih di atas pasir putih. Dua sejoli itu terlalu lama tenggelam dalam sesuatu yang tak dapat diukur oleh apa pun bahkan debaran dalam dada mereka sepertinya tak terkalahkan dengan deburan ombak di sana. Wendy berpaling, mengamati garis rahang Bimo dipahat tegas oleh Sang Pencipta seraya menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan lelaki di sampingnya ini. Apakah tentang permainan panas mereka? Apakah Bimo akan mengatakan kalau itu cuma kesalahpahaman yang perlu dilupakan walau meninggalkan benih di rahim Wendy? Atau ... opsi lain, Bimo telah membuka hati setelah percintaan itu?Sepertinya pilihan ketiga adalah mustahil kecuali kepala Mas Bimo terbentur batu karang.Sejauh yang diketahui Wendy dalam novel-novel ha
"Hei, lagi apa, Wen?" tanya Bimo seraya membawa dua cangkir teh hangat ketika Wendy tengah duduk di balkon sambil menulis sesuatu. "Aku udah nyiapin makan malam kok belum dimakan?"Wendy mendongak dan membantu Bimo meletakkan cangkir itu di atas meja bundar berpelitur cokelat mengilap yang terbuat dari bahan kayu jati. Menghirup sejenak aroma teh chammomile yang diberi irisan lemon sebagai penambah imun tubuh lantas berkata, "Makasih. Iya, nanti juga aku makan, Mas.""Bikin apa sih? Serius banget." Bimo melongok untuk melihat apa yang sedang ditulis oleh istrinya di atas buku catatan.Wendy menunjukkan buku catatannya yang berisi tulisan mengenai ide dessert yang kiranya cocok untuk perayaan ulang tahun hotel. Bimo menerimanya dan membaca deret ide resep hidang penutup kontinental serta ada desain kue setinggi setengah meter sebagai acara puncak. Pasti chef Teguh sudah menyuruh Wendy, pikir Bimo. Bisa dilihat kalau rancangan kue itu membentuk bangunan hotel D'amore berupa setengah lin
Dunia Bimo seakan berhenti berputar bahkan ketika raga itu berada di dapur untuk mengawasi kru menyiapkan jamuan. Benaknya juga hampa berganti rasa rindu yang dipendam kini tumpah ruah memenuhi relung dada. Meski pada akhirnya lelaki bermata sayu itu sedikit mulai merelakan perempuan yang pernah meremukkan hati, nyatanya suara lembut Risya kembali memenuhi setiap aliran darah Bimo seperti menorehkan kembali harapan yang sempat pupus. Entah harus senang karena yang dipujanya kembali atau membiarkan masa lalu tetap berlalu.Setelah mendapat telepon dari Risya kemarin, Bimo langsung masuk ke kamar begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Wendy. Sampai sekarang pun bibirnya seperti dipaksa bungkam untuk tidak menceritakan kalau mantan tunangannya datang lagi. Jika Wendy sampai tahu, Bimo yakin semuanya akan runyam."Aku minta maaf udah ninggalin kamu, Bim," ujar Risya terdengar bersalah. "Maaf juga baru bisa bilang hari ini karena..." mendadak dia sesenggukan tak sanggup merelakan mantannya
Separuh jiwa yang sempat mati kini hidup lagi setelah kembali menjalin komunikasi dengan pujaan hati. Bibir kemerahan Bimo lebih sering mengembang bak bunga matahari yang bersenang-senang menerima bias mentari. Lihat saja pipi lelaki 32 tahun itu merona seperti tengah memulas blush on. Pikiran lelaki itu dipenuhi oleh bayangan Risya setelah sekian lama lost contact dan tidak menyangka jikalau sang mantan masih mengingat kalau Bimo adalah tempat terbaik untuk bersandar. Meski senang, tapi dia juga prihatin dengan kabar pernikahan Risya yang tak seindah apa yang diceritakan kala mereka berpisah. Sang sous chef tersenyum geli membuat orang di sekitarnya menatap keheranan. Beberapa dari mereka berkusu-kusu kalau atasan bermata sayu itu kemungkinan sedang menikmati hari-hari sebagai lelaki yang dimabuk asmara semenjak menikah. Sementara yang lain berpikir kalau Bimo tampak bahagia karena Wendy sudah berbadan dua. "Ah, enggak mungkin. Badannya Mbak Wendy kok enggak kelihatan kayak orang h