Chapter 1
ALYSA
"Kak Maud! Ayo! Aku sudah siap, nih," ujar Alysa Angelika.
Maudy tersenyum mendengar nada suara adiknya yang begitu ceria. 'Syukurlah! Sepertinya, kesehatannya semakin baik,' pikirnya.
Perempuan bernama lengkap Maudy Angelia itu berharap adiknya akan segera pulih setelah demam tinggi kemarin. Dia sangat khawatir karena adiknya memang termasuk orang yang mudah sakit sejak kecil. Yang pasti, adiknya tidak boleh terlalu lelah.
Nah, setelah gajian sekaligus merayakan bonus bulanan yang didapatkannya, hari ini Maudy ingin membelikan Alysa pakaian yang disukainya sebagai hadiah ulang tahun. Kemudian, tentu saja mereka akan jalan-jalan berdua.
"Bawa ini!" Maudy memberikan botol minum berwarna biru muda ke tangan adiknya yang usianya berjarak sangat jauh darinya. Bayangkan saja, adiknya lahir saat dia sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sayangnya, nyawa mama mereka tidak tertolong saat itu.
Alysa menerima botol minum itu lalu langsung keluar dari kontrakan. Gadis muda itu berdiri di depan pintu sambil menunggu Maudy. Sesekali diperiksanya kembali pakaian yang dikenakannya. Jarang sekali dia punya waktu dengan kakaknya yang selalu sibuk mencari nafkah demi dirinya yang sakit-sakitan. Untunglah, belum pernah sampai masuk rumah sakit.
Tiga bulan lalu adalah terakhir kalinya Alysa keluar rumah dengan berdandan cantik karena kakaknya tiba-tiba mengajaknya menonton bioskop karena Maudy akhirnya menjadi salah pegawai tetap perusahaan ternama. Sungguh, Maudy harus melalui proses panjang untuk mendapatkan itu. Mungkin sekarang, Maudy sudah bisa bernapas lega soal kebutuhan harian mereka berdua. Bisa dikatakan gaji Maudy sudah lebih dari cukup jika hanya untuk mereka berdua asalkan hidupnya tetap sederhana seperti ini.
Tidak mudah dan butuh waktu yang begitu lama untuk mendapatkan ini semua. Butuh lima bulan sebagai tenaga magang.
Selama bertahun-tahun sebelumnya, sejak papa mereka meninggal, Maudy yang masih duduk di tingkat tiga perkuliahan terpaksa cuti kuliah dan hanya mampu kerja serabutan. Terkadang, dalam sehari, dia bekerja di tiga tempat berbeda dan hanya mendapatkan waktu istirahat yang sangat sedikit. Setelah dua tahun cuti, dia pun akhirnya melanjutkan kuliah sambil bekerja. Setelah wisuda, dia bekerja di berbagai tempat dan tidak ada yang bertahan lama karena berbagai alasan. Salah satunya adalah tempat kerja yang terlalu jauh atau gaji yang tidak cukup untuk mereka berdua. Itulah awalnya Maudy membidik perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Akhirnya, dia mengawali karier di perusahaan itu setelah perjuangan yang cukup panjang.
Karena tubuh Alysa yang lemah, mereka berdua selalu berpindah-pindah tempat tinggal atau kontrakan. Maudy ingin memastikan bahwa tempat tinggal mereka paling dekat dengan sekolah adiknya dan juga sebisa mungkin tidak terlalu jauh dari perusahaan.
Situasi itu juga membuat Alysa hampir tidak pernah pergi ke mana-mana. Alysa terpaksa mengakui bahwa kakaknya sudah membuat keputusan yang terbaik karena dirinya dulu bisa pingsan hanya karena kelelahan sedikit saja.
Dengan menaiki angkutan umum berwarna kuning, mereka berhenti di supermarket terbesar di kota ini.
"Pinggir, ya," seru Maudy sambil menyentuh lengan Alysa pelan dengan maksud agar adiknya segera bersiap untuk turun. Ternyata, tanpa peringatan itu pun, Alysa sudah menduga. Dia bahkan sudah menggenggam uang lima ribuan di tangannya.
"Aku yang bayar," bisiknya pada Maudy.
Maudy tersenyum lembut. Dengan tatapan bermakna, dia menganggukkan kepala kepada adiknya.
Sebenarnya, Alysa adalah anak yang cerdas, namun perlakuan hati-hati Maudy dan keluarganya dari dulu yang membatasi aktivitas adiknya itu membuatnya seperti tidak mengenal dunia luar. Maudy menyadari itu, tetapi fisik Alysa yang lemah membuat mereka tetap harus memperlakukan Alysa secara khusus walaupun dengan diam-diam dan mencari-cari alasan yang bisa diterima Alysa. Namun, gadis itu sepertinya jadi tidak punya keinginan untuk mengenal dunia luar kecuali bersama Maudy, kakaknya.
Saat masih kuliah, papa mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Maudy pun menjadi orang tua sekaligus segalanya bagi Alysa.
Maudy menatap dunia di balik jendela angkutan umum. Dihelanya napas dalam-dalam. Maudy ingin mengenalkan Alysa pada dunia yang sebenarnya. Bagaimana pun, nantinya adiknya mungkin harus bisa hidup mandiri dan membentuk keluarga sendiri.
Setelah jalan-jalan, dia juga ingin membawa adiknya itu ke psikolog agar adiknya bisa hidup normal. Mungkin, sudah saatnya juga memikirkan tempat yang tepat untuk melatih kebugaran tubuh adiknya. Bukankah di tempat kerja baru ini, gajinya lumayan tinggi? Dia akan memanfaatkan untuk adiknya dan menyisihkan sebagian untuk tabungan masa depan mereka.
Maudy dan Alysa sudah berdiri dengan menundukkan kepala dan pundak dengan maksud segera turun. Ternyata, mobil tidak segera menepi. Ada beberapa polisi lalu lintas memberi instruksi supaya bus mini itu berhenti agak jauh ke depan sana. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya mereka turun juga. Alysa menggenggam tangan Maudy kuat-kuat. Dia bisa merasakan bahwa tangan adiknya gemetar dan keringat dingin. Pada akhirnya, Alysa tidak berani menatap supir dan menyerahkan ongkos mereka. Maudy segera menyerahkan gantinya tanpa menanyakan apa-apa pada Alysa. Segera dipapahnya adiknya ke arah gerbang masuk supermarket.
"Aku tidak apa-apa, kok, Kak," kata Alysa sambil mendorong tangan kakaknya pelan. Dengan berat hati, Maudy melepaskan tangannya.
"Ayo, jalan, Kak," kata Alysa tersenyum. "Aku di belakang Kakak!"
"Baiklah," jawab Maudy. Dia merasa harus mempercayai dan mengizinkan adiknya menjadi sosok yang lebih mandiri. Akan tetapi, baru saja dia membalikkan badan, adiknya sudah ambruk tidak sadarkan diri.
Mendengar suara sesuatu terjatuh, Maudy segera membalikkan badan dengan perasaan tidak enak. Betapa terkejutnya dia melihat adiknya tergeletak begitu saja.
"Alysa? Ka...kamu kenapa? Bangun, Dek!" Maudy mengangkat tubuh Alysa secepat mungkin dengan perasaan kacau. "Alysa! Alysa!" Maudy semakin kalut karena adiknya tidak juga siuman.
Dia menatap orang-orang yang mulai berkerumun dengan panik.
"Tolong! Tolonglah kami! Siapa yang bisa membawa kami ke rumah sakit terdekat. Tolonglah kami!" Maudy menangis sambil meminta tolong. Tangannya tidak berhenti mengusap wajah Alysa dengan harapan adiknya segera siuman.
Untuk sesaat, orang-orang hanya saling berpandangan dan berbisik. Tangisan Maudy pecah karena kalut.
"Tolong panggilkan taksi atau becak atau apa saja!" Kali ini, Maudy minta tolong langsung pada dua orang yang berdiri paling dekat dengan mereka. Sepasang kekasih itu sedang menatap mereka sambil menunjukkan ekspresi iba.
"Ah, baik!" Si perempuan segera meminta tas ransel yang disandang oleh si laki-laki lalu pria yang berbaju biru itu langsung berlari menembus kerumunan.
Tindakan yang paling tepat memang adalah menunjuk orang secara langsung. Namun, sebelum laki-laki yang dimintai tolong itu kembali, seorang laki-laki lain yang mengenakan setelan jas warna hitam lengkap langsung mengangkat tubuh Alysa. Maudy tidak sempat memperhatikan wajahnya karena laki-laki itu langsung berdiri dan berjalan cepat.
"Ikuti aku. Mobilku di dekat sini," kata laki-laki itu.
"Terima kasih," kata Maudy sambil berlari mengejar.
Sepanjang perjalanan, Maudy menggengam tangan adiknya dengan cemas. Beberapa kali dia harus mengusap air mata yang terjatuh tiba-tiba meskipun ditahannya.
Tidak beberapa lama, mereka sudah tiba di rumah sakit terdekat. Maudy masih terus menggenggam tangan adiknya yang dingin sambil terus berdoa.
***
"Apa? Jantung? Dan harus operasi?" seru Maudy dengan ekspresi tidak percaya.
Maudy serasa bermimpi di siang bolong mendengar perkataan dokter. Dipegangnya kertas hasil pemeriksaan dokter dengan tangang gemetar.
"Alysaku! Bagaimana bisa...," isak Maudy dengan air mata yang terus berjatuhan. dokter yang terlihat sudah berumur itu menyerahkan kotak tisu. "Terima kasih!" kata Maudy disela isak tangisnya.
Hatinya hancur sudah. Selama ini, mereka hanya hidup berdua dan saling mengandalkan. Bagi Maudy, hanya Alysa kekuatannya. Dia keluarga satu-satunya yang dia punya.
"Dana lima puluh juta itu hanya untuk operasi sementara agar adik Anda bisa melewati masa kritis ini segera. Untuk berikutnya nanti, jantung yang sudah rusak itu tidak dapat lagi dipertahankan. Kita harus mendaftarkan Alysa segera untuk calon pasien transplantasi jantung. Jika ada donor yang sesuai, operasi pencangkokan jantung dapat dilaksanakan. Akan tetapi, butuh biaya sangat besar untuk itu," kata dokter menjelaskan.
"Jika masih ada kemungkinan adik saya sehat, saya ingin mengambil jalan itu, Dok. Be.. berapa?" Suara Maudy tercekat saat mengucapkan pertanyaan itu. Lima puluh juta saja sudah membuat Maudy berpikir keras dari mana kira-kira dapat uangnya, apalagi untuk transplantasi jantung? Mungkin ratusan?
"Anda setidaknya harus menyediakan sembilan belas hingga dua puluh...."
"Dua puluh? Hanya dua puluh juta dokter?" Mata Maudy membelalak tidak percaya. Akan tetapi, suatu kesalahan besar baginya karena memotong perkataan dokter.
"Maaf, Nona Maudy. Maksud saya dua puluh miliar rupiah," kata dokter dengan nada menyesal. Tatapan iba dokter spesialis itu padanya lebih mirip seperti ungkapan maaf karena bukan dia yang menentukan itu atau bisa juga artinya dia tidak bisa membantu apa-apa soal itu.
"Haha!" Maudy tertawa sumbang. "Tentu saja, Dok. Tidak mungkin juta. Baik. Terima kasih atas informasinya, Dok. Dana lima puluh juta akan saya usahakan secepatnya," kata Maudy. Dia keluar dari ruangan dokter dengan tubuh lunglai.
Di ruang tunggu, gadis itu terduduk sambil menelungkupkan Kepala ke atas sandaran kursi di depannya.
Dia ingin menangis sepuasnya sekarang, namun dia juga harus segera mendapatkan dana untuk operasi adiknya. Dia tidak punya waktu untuk menangis. Tapi, dari mana? Di tempat kerja barunya saja, dia baru bekerja selama satu bulan. Siapa yang akan meminjaminya lima puluh juta apalagi dua puluh miliar?
Ah, kepala Maudy rasanya hampir pecah. Besok, dia harus kembali bekerja. Kapan dia akan punya waktu untuk mencari uang itu?
Dengan cepat Maudy mengambil ponsel dan mulai melihat satu per satu kontak yang ada. Dia mulai menghubungi orang-orang yang kemungkinan bisa meminjamkan uang padanya. Sebenarnya, Maudy tidak yakin mereka punya uang sebanyak itu untuk dipinjamkan padanya karena kawan-kawannya kebanyakan adalah orang-orang seperti dirinya. Namun, siapa yang tahu?
Total uang yang dimilikinya sekitar tujuh juta rupiah jika menjual barang yang kurang perlu. Itu karena dia sudah membayar biaya kamar Alysa di hari pertama. Dia harus mendapatkan empat puluh tiga juta lagi malam ini. Bisakah?
(Bersambung)
Chapter 2MUSUH LAMA"Kamu tidak berubah, ya?" Suara itu memecah konsentrasi Maudy yang duduk di taman rumah sakit. Dia sedang berusaha menghubungi orang-orang yang belum sempat dihubungi sejak kemarin malam. Sayangnya, dana yang terkumpul hanya lima juta rupiah padahal rencananya operasi akan dilaksanakan besok."Siapa?" Maudy menjawab dengan ogah-ogahan. Setelah menoleh sekilas, dia langsung mengarahkan pandangannya kembali ke layar ponsel. Ada hal lain yang jauh lebih penting baginya."Sesibuk itukah sampai-sampai aku tidak dipedulikan? Adikmu bagaimana?" tanya orang itu lagi. Pria dengan pakaian kerja itu mendekat dan duduk di depan Maudy.Mau tidak mau, gadis itu akhirnya memberikan sedikit perhatian kepada pria yang telah terang-terangan mengusiknya itu."Oh, sopir, eh, maksudku Anda yang kemarin membantu kami, ya?" Maudy berdiri dan menundukkan k
Chapter 3LAMARAN EKSTRIMMaudy merasa sangat lega. Operasi adiknya berjalan lancar. Adiknya sudah keluar dari kamar bedah, meskipun belum siuman. Kata dokter, semua baik-baik saja dan akan selalu dipantau dua puluh empat jam.Maudy meluncur ke rumah sakit setiap ada kesempatan. Meskipun dia masih kebingungan mencari pinjaman untuk melunasi biaya operasi adiknya.Hati Maudy sakit sekali. Bagaimana bisa adiknya yang tidak tahu apa-apa harus menderita penyakit seperti itu. Dia yang miskin juga harus memikirkan biaya operasi yang angka-angkanya fantastis seolah bukan uang sesungguhnya. Ini masih operasi kecil. Dokter bilang, selama transplantasi jantung belum dilakukan, bisa saja operasi-operasi akan dilakukan setiap keadaan adiknya memburuk."Tetapi, kamu tenang saja! Biasanya, jika berjalan dengan baik, operasi ini akan mempertahankan kondisi adikmu tetap sehat d
Chapter 4HARI PERNIKAHANTaksi online itu melaju dengan kecepatan sedang. Maudy duduk di kursi belakang dengan airmata berderai. Sebanyak dua kali, supir taksi itu melirik prihatin kepada Maudy. Akhirnya, dia memutar musik untuk menyamarkan isak tangis perempuan itu.Lagu yang baru saja diputar itu bercerita tentang hidup bahagia bersama orang yang dicintai, tetapi perasaan gadis itu malah semakin terluka dan tangisannya semakin hebat. Sebenarnya, musik atau lagu jenis apa pun yang didengarnya sekarang akan berubah menjadi lagu kesedihan setelah tiba di tentakel otaknya.Sebenarnya, sudah lama sekali, dia pernah memimpikan pernikahan. Setelah diingat-ingat lagi, ya, dia pernah menjadi perempuan normal yang memimpikan pernikahan.Impiannya sangat sederhana. Dia ingin menjadi wanita yang sempurna dengan menikah dengan pria yang mencintai serta dicintainya dengan mengun
Chapter 5HONEYMOONMaudy terbangun dan menyadari dirinya berada di tempat yang tidak dikenal. Ini bukan kamarnya! Ini juga bukan rumah sakit. Namun, mengapa dia terbaring di lantai dan hanya beralaskan sehelai selimut?Kamar ini terlihat acak-acakan dan sepasang gelas wine serta gelas wine yang kosong tergeletak tidak beraturan di atas meja.Perempuan itu berdiri dengan sedikit terhuyung lalu melihat ke arah tempat tidur yang kosong. Pakaian pria tergeletak rapi di sana. Pakaian Marcel?Ugh, kepala Maudy sedikit pusing. Dia mencari cermin di sekeliling ruangan dan ternyata menemukan sebuah cermin besar di dinding. Cermin itu hampir menutupi satu sisi dinding ruangan ini. 'Wah, ini sih cermin sultan!' Maudy membatin."Mataku bengkak sekali? Pantas aku sulit untuk membukanya!" gerutu perempuan itu sambil mengamati matanya yang sembab.
Chapter 6SENYUM MAUDIVESSepeninggal Marcel, Maudy memakan banyak kuliner khas Pulau Male sepuasnya. 'Kuliner Maldives memang luar biasa,' pikirnya.Dia berharap kegiatan memanjakan lidah ini akan mampu menelan sebagian rasa dongkolnya terhadap laki-laki angkuh itu."Dia pasti berpikir bahwa semua bisa diukur dengan uang. bukan? Dia tidak berubah," gerutu Maudy kesal. "Ugh, aku malah teringat masa lalu. Bodohnya aku sempat tergoda sedikit pada ketampanannya tadi pagi. Itu benar-benar penyamaran dari iblis yang tersembunyi. Iblis yang tersembunyi di balik wajah itu suatu saat mungkin akan menerkam ku. Hi...!" Maudy mengoceh dan bergidik sendirian.Wanita itu tidak tahu mau apa lagi di sini. Semua yang pernah direncanakannya tentang perjalanan dan petualangan ke luar negeri sejak dia masih duduk di bangku sekolah terasa tidak menarik untuk dilakukan. Semua rusa
Chapter 7PENGANTIN BARU, RUMAH BARUDrrt!Maudy menatap sejenak ke layar ponselnya yang dihiasi wallpaper matahari tenggelam. Setelah menghadapi kemarahan dari teman satu kantornya tadi pagi, dia memutuskan untuk mengaktifkan nada getar ponselnya.Dia lalu memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya. Namun, baru saja benda itu tersimpan di balik tas berwarna hitam, sebuah getaran merambat ke permukaan tas dan menyentuh tangannya.Maudy menghela napas. Dibukanya lagi resleting tasnya dan mengambil benda persegi panjang itu. Gerakannya terhenti setelah melihat nama yang tertera di layar.Maudy ingin mengabaikan panggilan itu, tetapi dia ingat betul bahwa itu melanggar kontrak secara terang-terangan. Bisa saja memang ada hal penting yang akan disampaikan Marcel padanya."Halo!" Perempuan itu menyapa lawan bicaranya dengan nada sedik
Chapter 8MASUK KANTORKeesokan harinya, pagi-pagi benar, Maudy langsung berangkat ke kantor. Sebenarnya, seluruh badannya terasa penat. Namun, ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.Wanita yang memiliki tinggi badan 155 cm itu merasa beruntung karena Marcel tidak benar-benar datang seperti pemberitahuannya di telepon kemarin sore. Jadi, dia bisa berbaring sepuasnya.Setibanya di kantor, tubuhnya langsung dihenyakkan ke atas kursi kerjanya yang lumayan empuk. Baru izin beberapa hari, rasanya Maudy sudah sangat merindukan tempat kerjanya ini.Dia sangat senang duduk di kursi kerjanya yang menghadap pemandangan luar gedung yang luas. Sepatu hak tingginya dilepas lalu kakinya diluruskan sebentar ke atas permadani yang hangat. Maudy tersenyum. Dinikmatinya suasana ini sepenuh hati.Wah, tidak disangka, tiba-tiba saja dia sedikit mengantuk. Apakah kar
Chapter 9LEKAS SEMBUH, ALYSAHanya berkisar kurang lebih sepuluh menit, angkutan umum yang dinaiki oleh Maudy hampir tiba di kawasan rumah sakit. Bangunan putih itu sudah terlihat menjulang tinggi dari kejauhan.Untunglah Rumah Sakit Mitra Sehat berdiri di pusat kota sehingga tidak menyulitkan untuk dijangkau dengan angkutan umum. Letaknya yang strategis dan jaraknya yang dekat dengan tempat tinggal maupun kantor sangat menguntungkan bagi Maudy.Tet. Teeett.Bunyi klakson mobil bersahut-sahutan. Udara panas dan jalanan yang macet sepertinya membuat semakin sulit mengontrol emosi."Minggir Kau, ah!Kau tidak tahu kalau jalan ini jalan umum? Bertelepon pula di jalan raya."Maudy terkejut dan takut mendengar suara makian sopir angkutan yang membawanya. Padahal, wajah sopir yang menjadi lawannya sama-sama san
Chapter 39RAHASIA TERBONGKAR"Maksud Mama apa? Saya tidak paham," kata Maudy. "Marcel sudah menceritakan semuanya. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Benar-benar penipu, kamu," maki Kirana. Tangan Maudy gemetar. Ponselnya hampir terjatuh. "Ma-Marcel mengatakan apa pada Mama?""Semuanya. Kalian benar menikah pura-pura, bukan? Dan kamu mau menikah dengan Marcel karena menginginkan uang dua puluh miliar. Wanita macam apa kamu? Selama ini kami sudah sangat percaya kepada kamu dan mau menerimamu apa adanya tanpa melihat latar belakangmu," kata Kirana, menyerang Maudy tiada habisnya.Hati Maudy terasa sakit seolah tertusuk pisau. Begitu teganya Marcel melakukan ini semua padanya. Baru saja dia ingin mempercayai laki-laki itu, tetapi pengkhianatan yang didapatnya kini. Air mata jatuh di wajah Maudy. Dia sungguh sedih dan terluka."Bisakah aku bicara dengannya, Ma? Setelah itu, aku akan menjelaskan semuanya," pinta Maudy. Sekuat mungkin dia menekan nada gemetar dalam suaranya. "Tidak perlu
Chapter 38DONOR UNTUK ALYSAMaudy tidak di sini. Kenyataan itu membuat Marcel tidak puas. Mulutnya menghela napas berkali-kali.Sejak tadi, dia sudah membayangkan pelukan hangat wanita itu sat dia menjemputnya ke bandara, tetapi hal itu tidak akan terjadi hari ini.Marcel menatap jauh keluar jendela. Bayangan malam beradu dengan kelap-kelip lampu perkotaan. Di bawah sana, bayangan pohon-pohon hias meninggalkan area-area gelap nan misterius. Setelah mendengar Maudy tidak akan jadi datang malam hari ini, Marcel sudah memutuskan menikmati malam ini sendirian. Namun, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Semua hal terasa tidak menarik. Dalam pikiran hanya ada Maudy dan rindu yang menyesakkan dalam dadanya. Melihat semua hal yang berada di dalam kamar ini juga hanya mengingatkan dirinya saat Maudy membalas pelukannya. Dia ingin merengkuh wanita itu erat--erat, di sini, saat ini juga!"Argh! Aku bisa gila," kata Marcel, memutar badan tiba-tiba. Beberapa lembar file yang dipegangnya s
Chapter 37ADA PENYUSUP LAIN"Kakek!"Marcel yang baru saja membuka pintu kamar segera berlari memeluk Hartono, kakeknya itu, yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil membaca koran."Kamu baru tiba?" tanya Hartono gembira. Rambutnya yang memutih terlihat jauh lebih panjang daripada saat meninggalkan Indonesia."Tidak. Aku baru menyelesaikan pertemuan bisnis barulah datang ke sini," jawab Marcel.Kakek menatap Marcel penuh rasa rindu. Dia sungguh bangga karena cucunya ternyata mandiri meskipun tiba-tiba dijadikan CEO sementara."Untunglah Kakek sudah sembuh," kata Marcel. Ditariknya koran itu dari tangan kakeknya. "Kakek seharusnya istirahat dengan benar. Kakek masih dalam tahap pemulihan, bukan?"Kakek terkekeh."Iya. Kakek baru pegang koran ini. Kakek hanya melihat-lihat judulnya saja."
Chapter 36SENI MEMBUNUHBety Nioma terduduk dalam ruangan tanpa cahaya sedikit pun. Matanya juga tertutup oleh seutas kain hitam tebal. Kedua tangannya terikat ke belakang, tersambung dengan sandaran kursi kayu yang didudukinya sejak tadi malam.Mulutnya terkunci rapat. Dia sudah lelah berteriak minta tolong dan berusaha melepaskan diri hingga kehilangan seluruh tenaganya.Awalnya, dia mengira bahwa semua ini hanyalah salah satu cara bercanda para senior padanya. Dia sempat tertidur. Setelah terbangun dan menyadari bahaya sebenarnya, barulah dia berteriak dan berusaha memberontak. Sayangnya, itu semua hal yang sia-sia.Kini dia sadar telah diculik dan orang yang menculiknya tidak berniat melepaskan dirinya begitu saja. Apa yang harus dia lakukan?Kali ini, dia ingin sekali ke kamar mandi. Dia terlihat gelisah dan terus menggerakkan tubuhnya. 
Chapter 35PENYUSUP"Apa tidak masalah bos pergi tanpa memberitahu apa-apa, pada Nyonya? Bukankah bos sedang berusaha memperbaiki hubungan dengannya?" tanya Kevin."Hubungan kami bisa dikatakan semakin membaik," jawab Marcel semringah.Kevin menatap Marcel dengan curiga."Oh, ada sesuatu yang terjadi rupanya kemarin? Berarti laporanku yang sudah melebihi tebal skripsi itu sudah berhasil menunjukkan manfaatnyakah?!" ucap Kevin."Aku mau mengucapkan terima kasih soal itu. Ada juga manfaat kemampuan detektifmu," kata Marcel sambil mengedipkan matanya."Apa-apaan itu? Aku masih normal," kata Kevin dengan menampilkan ekspresi jijik. "Jangan lupa janjimu. Bonus dan asisten...," kata Kevin."Asisten memangnya perlu asisten? Masa jeruk minum jeruk?" goda Marcel kepada sahabatnya sejak kecil itu.
Chapter 34HATI DI ATAS RANJANG 2"Itu... Aku hanya mencoba untuk bersikap romantis," kata Marcel dengan malu-malu.'Ternyata Marcel bisa bersikap malu-malu juga,' pikir Maudy.Maudy menahan dirinya atas banyak pertanyaan yang timbul di benaknya dan mengizinkan Marcel memberikan perhatian yang diinginkan. Dia ingin menikmati saja makan malam ini dengan baik. Dia merasa lapar seharian ini. Dia bahkan tidak ingat untuk makan siang karena kasus di kantor tadi."Tambah lagi, ya. Aku memasak banyak," kata Marcel menawarkan.Sejujurnya, Maudy masih kurang yakin Marcel yang memasak makanan seenak ini. Namun, bagaimana pun ini semua tetaplah usahanya. Maudy tidak ingin menghancurkannya.Maudy mengambil sedikit makanan lagi ke piringnya lalu memakannya dengan lahap. Dia tidak berpikir untuk bersikap malu-malu karena itu bukan gayanya. Dia termasuk o
Chapter 33HATI DI ATAS RANJANG"Kamu sudah datang, Sayang," sambut Marcel di depan pintu.Maudy tidak bisa sembarangan bertindak di sini karena para pelayan sedang mengawasi. Inikah tujuan laki-laki ini meminta sopir menjemput Maudy untuk kembali ke rumah utama? Apakah supaya Maudy menuruti keinginannya?"Jangan sentuh. Aku kotor baru dari luar. Pasti banyak debu di pakaianku," kata Maudy untuk mengelak dari sentuhan Marcel.Maudy terpaksa memberikan seulas senyum di bibirnya."Tidak apa-apa. Aku juga belum mandi, Sayang. Aku hanya merindukanmu," kata Marcel yang tiba-tiba menarik tubuh Maudy ke dalam pelukannya.Mau tidak mau, Maudy terpaksa membalas pelukan itu. Sementara pelayan berbisik senang. Bagaimana tidak, mereka baru saja bersandiwara mengatakan baru pulang tadi pagi dari liburan bersama, tetapi sore hari ini sudah langsung
Chapter 32RAHASIA SANG CEOKayla baru saja meninggalkan ruangan karena ada hal penting yang harus dibicarakan dengan departemen lain. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing ketika Lira mendadak membuat keributan."Gila," teriak Lira tiba-tiba.Suara teriakan Lira membuat semua orang terkejut. Mereka ingin tahu apa yang membuatnya seribut itu."Buka ponsel kalian. Dah banyak keluar berita dan videonya. Di televisi juga," katanya. "Tentang CEO Ferrore Grup.""Ada apa?"Maudy membuka ponselnya dan mengetikkan kata kunci. Puluhan postingan tentang Marcel langsung muncul."Jadi...dia sudah menikah? Betulan?" seru Vivian.Maudy merasa panas dingin. Dia menonton video pengakuan Marcel di depan pers."Jangan ribut...aku mau dengar siapa istrinya," ucap Lira
Chapter 31 RENCANA BESAR Mobil warna hitam baru saja memasuki pekarangan. Maudy yang sudah selesai bersiap-siap mau pergi ke kantor langsung meraih tasnya dan keluar. "Kevin? Mengapa kamu yang datang?" tanya Maudy. Dia terlihat bingung. "Aku yang memintanya. Sopir kamu sedang kurang enak badan." "Sopir bukan hanya satu orang, bukan?" tukas Maudy. "Mereka sedang ada pekerjaan lain. Jadi, Kevin yang akan membawa kita," kata Marcel lalu masuk ke mobil. Maudy bergeming. Dia tidak ada niat mengikuti permainan suaminya itu. "Bukankah mobilmu ada di garasi? Mengapa tidak bawa sendiri?" "Ah, mobilku sedang ada sedikit masalah. Kalau tidak aku akan meminta Kevin naik busway saja dan membawa kita pakai mobil yang itu," kata Marcel mencoba meyakinkan Maudy.