Chapter 5
HONEYMOON
Maudy terbangun dan menyadari dirinya berada di tempat yang tidak dikenal. Ini bukan kamarnya! Ini juga bukan rumah sakit. Namun, mengapa dia terbaring di lantai dan hanya beralaskan sehelai selimut?
Kamar ini terlihat acak-acakan dan sepasang gelas wine serta gelas wine yang kosong tergeletak tidak beraturan di atas meja.
Perempuan itu berdiri dengan sedikit terhuyung lalu melihat ke arah tempat tidur yang kosong. Pakaian pria tergeletak rapi di sana. Pakaian Marcel?
Ugh, kepala Maudy sedikit pusing. Dia mencari cermin di sekeliling ruangan dan ternyata menemukan sebuah cermin besar di dinding. Cermin itu hampir menutupi satu sisi dinding ruangan ini. 'Wah, ini sih cermin sultan!' Maudy membatin.
"Mataku bengkak sekali? Pantas aku sulit untuk membukanya!" gerutu perempuan itu sambil mengamati matanya yang sembab. "Apakah aku menangis semalaman?"
Dilihatnya lagi ke arah bayangan dirinya di cermin. Rambutnya acak-acakan dan dia mengenakan kemeja laki-laki tanpa bawahan. Kakinya jadi terlihat begitu jenjang.
"Tu...tunggu! Tanpa bawahan? Apa-apaan ini? Apa yang sudah terjadi? Di mana pakaianku?" Maudy berputar-putar karena begitu panik.
Rupanya pakaian yang dipakai olehnya tadi malam teronggok di salah satu sudut kamar dan dekat dengan pintu kamar mandi. Belum sempat menyentuhnya, pintu kamar mandi sudah terbuka dan Marcel keluar dengan hanya lilitan handuk sepinggang.
"Tidak!" jerit Maudy sambil berlari dan bersembunyi di balik selimut yang ada di atas kasur.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Marcel heran.
Maudy terpana. Mau tidak mau dia mengagumi laki-laki ini. Indah saja tidak cukup untuk menggambarkan kehadiran Marcel di hadapannya. Wajah tampan dengan rambut terlihat basah dan bagian atas tubuhnya yang dipamerkan dengan ekspresi wajah polos itu malah membuatnya semakin memikat. Dia begitu maskulin dan mampu membuat seseorang lupa bernapas.
Alarm bahaya berbunyi di kepala Maudy apalagi saat Marcel semakin mendekatinya. Tidak! Laki-laki itu musuhnya yang menikahinya untuk membuatnya menderita. Laki-laki itu adalah musuhnya yang bersembunyi di balik wajah tampan.
Maudy menggelengkan kepala kuat-kuat. "Jangan mendekat!" Maudy menggerakkan tangan untuk mengusir laki-laki itu.
Suami kontraknya itu menatap Maudy dengan ekspresi sinis. "Sepertinya kamu lupa posisimu dalam pernikahan ini. Kita sekarang "suami istri" dan sedang berbulan madu, bukan? Su-a-mi-is-tri. Paham? Sepertinya kita sudah sepakat dengan itu." tukas Marcel mengingatkan.
"Aku sudah bilang tidak boleh ada pelecehan." Maudy tidak mau kalah pendapat dengan laki-laki di hadapannya.
Marcel mendekatkan wajahnya ke telinga Maudy. "Hmm... Apakah hubungan suami istri setelah menikah itu pelecehan?"
"Te ...tentu tidak. Bukan itu maksudku. Kamu salah paham." Maudy tergagap dan salah tingkah. Dia segera mengatur ekspresi dan berusaha duduk tenang.
"Ba... baiklah. Aku siap," kata Maudy dalam rasa waswas dan takut yang berusaha ditekan.
Marcel tersenyum lebar dan tiba-tiba menyentil kening perempuan berusia hampir sama dengannya itu dengan ibu jari dan ujung jari telunjuk.
"Tidak usah memaksakan diri. Aku sudah bilang tadi malam, aku akan menunggu hingga kamu siap dan mandi saja sana. Apa kamu mau menontonku pakai baju?" tanya Marcel. Dia ternyata ingin mengambil bajunya yang terlipat di atas tempat tidur.
"Tidak!" jerit Maudy sambil berlari ke arah kamar mandi, tetapi terhenti lagi di tengah jalan. Dia ingin berbalik, tetapi diurungkan karena Marcel sama sekali tidak segan berganti pakaian meskipun Maudy ada di sana.
"Bagaimana bisa aku, maksudku mengapa aku jadi memakai kemejamu?" Maudy bertanya tanpa membalikkan badan.
"Kamu tidak ingat kejadian kemarin?" tanya Marcel dengan senyum jahil.
"Aku hanya ikut naik pesawat denganmu. Lalu, setelah makan malam, Kamu bilang sudah ada yang mengurus barang bawaan kita. Setelah itu...oh, iya, Kita ke hotel lalu minum wine."
Maudy melirik gelas dan botol wine yang kosong. "Setelah itu..." Maud berpikir keras, tetapi tidak mampu mengingat apa pun.
"Setelah itu, kamu mabuk, menangis dan bercerita banyak hal sampai aku muak, memintaku berjanji membayar semua biaya pengobatan adikmu, berjanji akan menjadi istri yang baik selama dua tahun ini, bla, bla, bla..., tetapi pada akhirnya kamu tidur tanpa melakukan tugas istri di malam pertama."
Maudy memahami kalimat itu secara spontan dan positif. "Hahaha. Jadi...aku masih perawan kan?" teriak Maudy.
Tanpa sengaja dia membalikkan badan. Matanya membulat melihat Marcel belum selesai berganti pakaian.
Marcel melempar handuknya ke wajah Maudy. Handuk itu sempurna menutup wajah istrinya yang naif itu. "Sudah kubilang jangan mengintip! Lagipula, membahas masalah perawan tanpa tahu malu. Kalau didengar seseorang bagaimana?"
"Maaf!" Maudy segera membalikkan badan kembali. Rasa malunya tidak sampai di situ saja. Bayangan lain pun menyerang imajinasinya. "Tetapi, mengapa bajuku bisa berganti. Mengapa aku mengenakan kemejamu? Apa yang kamu lakukan saat aku tidak sadar? Kamu melecehkan aku?"
"Yang melecehkan kamu siapa, sih? Aku yang merasa dilecehkan. Kamu muntah di bajuku hingga aku harus mandi berapa kali. Terpaksa aku harus mengganti pakaianku supaya aku bisa tidur. Baunya ke mana-mana. Masalahnya kamar yang sudah disediakan untuk kita hanya satu," tukas Marcel.
"Ah, tenang saja tidak ada yang menarik, kok. Tidak ada yang indah untuk dipandang. Jadi, segera mandi sana. Tidak perlu berpose sok seksi seperti itu. Kamu bukan tipeku," kata Marcel. "Aku tunggu di bawah untuk sarapan."
"Ah!" Maudy segera memasuki kamar mandi dengan perasaan malu dan kesal. Didengarnya pintu kamar terbuka lalu terkunci lagi. Maudy mengintip sedikit dan benar saja, Marcel sudah keluar.
"Laki-laki kurang ajar. Tidak ada yang menarik? Hah...aku kesal sekali!"
'Mengapa aku jadi marah, ya? Bukankah bagus kalau dia menganggapku tidak menarik dan menyentuhku? Ah, tapi aku marah sekali. Masa dia bilang tidak ada yang indah untuk dipandang?' Maudy mencak-mencak sendiri di kamar hotel.
"Tarik napas. Huft. Baiklah! Aku juga akan memanfaatkan kamu secara maksimal. Aku akan menikmati liburan ini dengan bersenang-senang. Setidaknya, aku akan mandi lama untuk membuatnya menungguku."
Maudy tersenyum licik sambil menggosok tubuhnya dengan spons. "Tunggulah aku hingga lumutan Marcel brengsek!"
Apa yang terjadi? Yang diharapkan Maud sama sekali tidak terjadi. Jangankan lumutan, peduli pun tidak. Ternyata, laki-laki itu sudah sarapan duluan sebelum Maudy datang. Dia juga tidak melirik sama sekali saat istrinya itu datang dengan penampilan yang sempurna.
Dengan menutupi rasa dongkolnya, Maudy pura-pura tidak melihat Marcel juga. Dipakainya kaca mata hitam lalu berjalan ke meja lain. Setelah memesan makanan yang disukainya, dia mengizinkan dirinya menikmati makanan sepuasnya tanpa gangguan orang lain.
"Wah! Enak sekali," puji Maudy keras-keras setelah mencicipi salah satu makanan.
"Lho, istriku tersayang kok duduk jauh dari aku?" goda Marcel sambil duduk di sebelah Maudy.
"Mengapa si pengganggu ini ada di sini, sih?" gumam Maudy pelan sekali. 'Okelah. Aku juga bisa berakting,' pikirnya.
"Oh, sayang? Kupikir kamu tidak di sini. Aku tidak melihat ada manusia lain tadi di sini," kata Maudy.
"Sini!" pinta Marcel sambil menarik tubuh Maudy mendekat. Didekapnya tubuh wanita itu dengan mesra lalu mengambil beberapa foto.
"Perfect! Fotonya mesra dan laut di belakang kita juga terlihat sangat indah." Marcel menatap foto itu dengan puas.
"Mengapa tiba-tiba mengambil foto?" Wajah Maudy menunjukkan ekspresi heran.
"Untuk laporan tentu saja. Untuk apa lagi?" tanya Marcel lagi-lagi dengan nada sarkas.
Maudy menahan rasa kesalnya sebisa mungkin.
" Kamu tidak berpikir orang-orang terutama kelurgaku akan menganggap bulan madu pasangan yang baru menikah tanpa memiliki selembar foto itu sebagai sesuatu hal yang wajar, bukan? Sudah, ya. Aku kembali ke Indonesia sekarang juga. Nikmatilah harimu sampai besok di sini. Aku ada pekerjaan. Gunakan kartu ini sepuasmu." Tangannya ditempelkan ke atas meja dan meninggalkan sebuah kartu setelah diangkat kembali.
Marcel meninggalkan Maudy yang bengong di tempat duduknya. Namun, perempuan itu segera menguasai diri.
"Terima kasih atas uangnya, ya, suamiku. Aku akan menggunakannya sepuasku. Tentu saja sebanyak yang kumau."
Marcel membalas kata-kata Maudy dengan gerakan tangan tanpa menoleh. "Sama-sama."
Tentu saja, Maudy merasa semakin jengkel dan memaki dalam hati.
(Bersambung)
Chapter 6SENYUM MAUDIVESSepeninggal Marcel, Maudy memakan banyak kuliner khas Pulau Male sepuasnya. 'Kuliner Maldives memang luar biasa,' pikirnya.Dia berharap kegiatan memanjakan lidah ini akan mampu menelan sebagian rasa dongkolnya terhadap laki-laki angkuh itu."Dia pasti berpikir bahwa semua bisa diukur dengan uang. bukan? Dia tidak berubah," gerutu Maudy kesal. "Ugh, aku malah teringat masa lalu. Bodohnya aku sempat tergoda sedikit pada ketampanannya tadi pagi. Itu benar-benar penyamaran dari iblis yang tersembunyi. Iblis yang tersembunyi di balik wajah itu suatu saat mungkin akan menerkam ku. Hi...!" Maudy mengoceh dan bergidik sendirian.Wanita itu tidak tahu mau apa lagi di sini. Semua yang pernah direncanakannya tentang perjalanan dan petualangan ke luar negeri sejak dia masih duduk di bangku sekolah terasa tidak menarik untuk dilakukan. Semua rusa
Chapter 7PENGANTIN BARU, RUMAH BARUDrrt!Maudy menatap sejenak ke layar ponselnya yang dihiasi wallpaper matahari tenggelam. Setelah menghadapi kemarahan dari teman satu kantornya tadi pagi, dia memutuskan untuk mengaktifkan nada getar ponselnya.Dia lalu memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya. Namun, baru saja benda itu tersimpan di balik tas berwarna hitam, sebuah getaran merambat ke permukaan tas dan menyentuh tangannya.Maudy menghela napas. Dibukanya lagi resleting tasnya dan mengambil benda persegi panjang itu. Gerakannya terhenti setelah melihat nama yang tertera di layar.Maudy ingin mengabaikan panggilan itu, tetapi dia ingat betul bahwa itu melanggar kontrak secara terang-terangan. Bisa saja memang ada hal penting yang akan disampaikan Marcel padanya."Halo!" Perempuan itu menyapa lawan bicaranya dengan nada sedik
Chapter 8MASUK KANTORKeesokan harinya, pagi-pagi benar, Maudy langsung berangkat ke kantor. Sebenarnya, seluruh badannya terasa penat. Namun, ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.Wanita yang memiliki tinggi badan 155 cm itu merasa beruntung karena Marcel tidak benar-benar datang seperti pemberitahuannya di telepon kemarin sore. Jadi, dia bisa berbaring sepuasnya.Setibanya di kantor, tubuhnya langsung dihenyakkan ke atas kursi kerjanya yang lumayan empuk. Baru izin beberapa hari, rasanya Maudy sudah sangat merindukan tempat kerjanya ini.Dia sangat senang duduk di kursi kerjanya yang menghadap pemandangan luar gedung yang luas. Sepatu hak tingginya dilepas lalu kakinya diluruskan sebentar ke atas permadani yang hangat. Maudy tersenyum. Dinikmatinya suasana ini sepenuh hati.Wah, tidak disangka, tiba-tiba saja dia sedikit mengantuk. Apakah kar
Chapter 9LEKAS SEMBUH, ALYSAHanya berkisar kurang lebih sepuluh menit, angkutan umum yang dinaiki oleh Maudy hampir tiba di kawasan rumah sakit. Bangunan putih itu sudah terlihat menjulang tinggi dari kejauhan.Untunglah Rumah Sakit Mitra Sehat berdiri di pusat kota sehingga tidak menyulitkan untuk dijangkau dengan angkutan umum. Letaknya yang strategis dan jaraknya yang dekat dengan tempat tinggal maupun kantor sangat menguntungkan bagi Maudy.Tet. Teeett.Bunyi klakson mobil bersahut-sahutan. Udara panas dan jalanan yang macet sepertinya membuat semakin sulit mengontrol emosi."Minggir Kau, ah!Kau tidak tahu kalau jalan ini jalan umum? Bertelepon pula di jalan raya."Maudy terkejut dan takut mendengar suara makian sopir angkutan yang membawanya. Padahal, wajah sopir yang menjadi lawannya sama-sama san
Chapter 10PULANGMarcel baret duduk di sofa sambil menahan kemarahan yang menggelegak dalam dirinya. Pesan dari Jod membuatnya geram.Dasinya sudah dilonggarkan sejak tadi. Kegerahan yang dirasakannya tentunya bukan karena setelan jas hitam yang dikenakannya.Ditatapnya asisten Jod yang bernama Teddy berdiri mematung dengan wajah pucat. Jika bisa, laki-laki berkacamata dan bertubuh ceking itu mungkin ingin segera menghilang saja dari sini."Hei! Kamu yang di sana!" Tangan Marcel yang menyatu di bawah dagunya yang terlihat kuat."Ya, Tuan Marcel?" Sebisa mungkin, Teddy menahan ketakutannya."Sebenarnya, sepenting apa urusan ini sehingga aku harus menunggu tuanmu?""Maaf, Tuan. Sa... saya kurang tahu," kata Teddy gemetaran. "Maaf, sekali lagi."Marcel menghela napas lalu berdiri t
Chapter 11TINGGAL BERSAMAJarum jam terus berdetak dalam tempo yang teratur. Jarum pendek kini mengarah ke angka sembilan. Tidak ada suara lain yang terdengar di ruangan seolah-olah tiada penghuni yang tinggal dan beraktivitas setiap harinya di rumah itu.Maudy yang terbaring kelelahan sejak tadi mulai bangkit lalu masuk ke kamar mandi. Dia mulai menghapus lalu mencuci sisa riasan di wajahnya. Dengan perlahan, ditepuk-tepuknya kulit wajahnya dengan handuk wajah lalu mengoleskan krim malam tipis-tipis.Beberapa saat kemudian, dia duduk dalam diam sambil menatap dirinya sendiri di dalam cermin. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia sering melakukannya.Sebenarnya, meskipun di luar dia terlihat tidak takut apa-apa, dia juga memiliki rasa takut. Dia benci terlalu sepi seperti ini. Tinggal di rumah besar dan sendirian serta diabaikan. Ini membuatnya teringat akan kesendirian
Chapter 12LATIHAN MENJADI ISTRIPagi menyapa. Maudy terbangun dan menyadari bahwa dia telah berada di tempat tidur. Kedua bola matanya mengarah kepada Marcel yang masih terbaring di sebelahnya."Apa tanpa sadar aku pindah ke sini tadi malam?" gumam Maudy sambil menggosok matanya.Laki-laki itu itu juga terbangun dan memicingkan mata. Untuk sesaat, mereka bertatapan. Segera saat bibit kesadaran menyusup ke otak mereka masing-masing, Maudy segera menjauh dan Marcel segera terduduk."Apa kamu yang memindahkan aku ke tempat tidur?" tanya Maudy.Marcel mendengus. "Apa aku terlihat seperti orang yang mau repot-repot melakukan hal itu?" ejek Marcel sambil bertopang dagu."Jadi...aku pindah sendiri?" tanya Maudy bingung. "Sepertinya aku berjalan sambil tidur," sambungnya lagi."Aku tidak tahu apa-apa.
Chapter 13 PASANGAN MESRA Marcel menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dengan wajah datar. Sesungguhnya, dia agak gelisah, tetapi menutupinya karena mama dan papanya hampir tiba. Saat ini, dia duduk manis menunggu menantu rumah ini sambil berbincang rahasia dengan salah satu asisten rumah tangga. Banyak hal yang perlu disampaikan kepada mereka agar mamanya tidak curiga apabila jawaban yang mereka terima berbeda-beda. Pandangan Marcel kembali terarah ke pintu masuk, lalu kembali sibuk dengan koran yang dibacanya. "Apa seharusnya aku membiarkan sopir menjemputnya tadi?" gumam laki-laki itu sambil mencoba meningkatkan perhatian pada lembar koran yang dipegangnya. Akan tetapi, huruf-huruf yang bertaburan di lembar koran itu seakan-akan menari dan berebutan untuk memecah logikanya. Dia tidak mengerti apa isinya karena tidak bisa berkonse
Chapter 39RAHASIA TERBONGKAR"Maksud Mama apa? Saya tidak paham," kata Maudy. "Marcel sudah menceritakan semuanya. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Benar-benar penipu, kamu," maki Kirana. Tangan Maudy gemetar. Ponselnya hampir terjatuh. "Ma-Marcel mengatakan apa pada Mama?""Semuanya. Kalian benar menikah pura-pura, bukan? Dan kamu mau menikah dengan Marcel karena menginginkan uang dua puluh miliar. Wanita macam apa kamu? Selama ini kami sudah sangat percaya kepada kamu dan mau menerimamu apa adanya tanpa melihat latar belakangmu," kata Kirana, menyerang Maudy tiada habisnya.Hati Maudy terasa sakit seolah tertusuk pisau. Begitu teganya Marcel melakukan ini semua padanya. Baru saja dia ingin mempercayai laki-laki itu, tetapi pengkhianatan yang didapatnya kini. Air mata jatuh di wajah Maudy. Dia sungguh sedih dan terluka."Bisakah aku bicara dengannya, Ma? Setelah itu, aku akan menjelaskan semuanya," pinta Maudy. Sekuat mungkin dia menekan nada gemetar dalam suaranya. "Tidak perlu
Chapter 38DONOR UNTUK ALYSAMaudy tidak di sini. Kenyataan itu membuat Marcel tidak puas. Mulutnya menghela napas berkali-kali.Sejak tadi, dia sudah membayangkan pelukan hangat wanita itu sat dia menjemputnya ke bandara, tetapi hal itu tidak akan terjadi hari ini.Marcel menatap jauh keluar jendela. Bayangan malam beradu dengan kelap-kelip lampu perkotaan. Di bawah sana, bayangan pohon-pohon hias meninggalkan area-area gelap nan misterius. Setelah mendengar Maudy tidak akan jadi datang malam hari ini, Marcel sudah memutuskan menikmati malam ini sendirian. Namun, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Semua hal terasa tidak menarik. Dalam pikiran hanya ada Maudy dan rindu yang menyesakkan dalam dadanya. Melihat semua hal yang berada di dalam kamar ini juga hanya mengingatkan dirinya saat Maudy membalas pelukannya. Dia ingin merengkuh wanita itu erat--erat, di sini, saat ini juga!"Argh! Aku bisa gila," kata Marcel, memutar badan tiba-tiba. Beberapa lembar file yang dipegangnya s
Chapter 37ADA PENYUSUP LAIN"Kakek!"Marcel yang baru saja membuka pintu kamar segera berlari memeluk Hartono, kakeknya itu, yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil membaca koran."Kamu baru tiba?" tanya Hartono gembira. Rambutnya yang memutih terlihat jauh lebih panjang daripada saat meninggalkan Indonesia."Tidak. Aku baru menyelesaikan pertemuan bisnis barulah datang ke sini," jawab Marcel.Kakek menatap Marcel penuh rasa rindu. Dia sungguh bangga karena cucunya ternyata mandiri meskipun tiba-tiba dijadikan CEO sementara."Untunglah Kakek sudah sembuh," kata Marcel. Ditariknya koran itu dari tangan kakeknya. "Kakek seharusnya istirahat dengan benar. Kakek masih dalam tahap pemulihan, bukan?"Kakek terkekeh."Iya. Kakek baru pegang koran ini. Kakek hanya melihat-lihat judulnya saja."
Chapter 36SENI MEMBUNUHBety Nioma terduduk dalam ruangan tanpa cahaya sedikit pun. Matanya juga tertutup oleh seutas kain hitam tebal. Kedua tangannya terikat ke belakang, tersambung dengan sandaran kursi kayu yang didudukinya sejak tadi malam.Mulutnya terkunci rapat. Dia sudah lelah berteriak minta tolong dan berusaha melepaskan diri hingga kehilangan seluruh tenaganya.Awalnya, dia mengira bahwa semua ini hanyalah salah satu cara bercanda para senior padanya. Dia sempat tertidur. Setelah terbangun dan menyadari bahaya sebenarnya, barulah dia berteriak dan berusaha memberontak. Sayangnya, itu semua hal yang sia-sia.Kini dia sadar telah diculik dan orang yang menculiknya tidak berniat melepaskan dirinya begitu saja. Apa yang harus dia lakukan?Kali ini, dia ingin sekali ke kamar mandi. Dia terlihat gelisah dan terus menggerakkan tubuhnya. 
Chapter 35PENYUSUP"Apa tidak masalah bos pergi tanpa memberitahu apa-apa, pada Nyonya? Bukankah bos sedang berusaha memperbaiki hubungan dengannya?" tanya Kevin."Hubungan kami bisa dikatakan semakin membaik," jawab Marcel semringah.Kevin menatap Marcel dengan curiga."Oh, ada sesuatu yang terjadi rupanya kemarin? Berarti laporanku yang sudah melebihi tebal skripsi itu sudah berhasil menunjukkan manfaatnyakah?!" ucap Kevin."Aku mau mengucapkan terima kasih soal itu. Ada juga manfaat kemampuan detektifmu," kata Marcel sambil mengedipkan matanya."Apa-apaan itu? Aku masih normal," kata Kevin dengan menampilkan ekspresi jijik. "Jangan lupa janjimu. Bonus dan asisten...," kata Kevin."Asisten memangnya perlu asisten? Masa jeruk minum jeruk?" goda Marcel kepada sahabatnya sejak kecil itu.
Chapter 34HATI DI ATAS RANJANG 2"Itu... Aku hanya mencoba untuk bersikap romantis," kata Marcel dengan malu-malu.'Ternyata Marcel bisa bersikap malu-malu juga,' pikir Maudy.Maudy menahan dirinya atas banyak pertanyaan yang timbul di benaknya dan mengizinkan Marcel memberikan perhatian yang diinginkan. Dia ingin menikmati saja makan malam ini dengan baik. Dia merasa lapar seharian ini. Dia bahkan tidak ingat untuk makan siang karena kasus di kantor tadi."Tambah lagi, ya. Aku memasak banyak," kata Marcel menawarkan.Sejujurnya, Maudy masih kurang yakin Marcel yang memasak makanan seenak ini. Namun, bagaimana pun ini semua tetaplah usahanya. Maudy tidak ingin menghancurkannya.Maudy mengambil sedikit makanan lagi ke piringnya lalu memakannya dengan lahap. Dia tidak berpikir untuk bersikap malu-malu karena itu bukan gayanya. Dia termasuk o
Chapter 33HATI DI ATAS RANJANG"Kamu sudah datang, Sayang," sambut Marcel di depan pintu.Maudy tidak bisa sembarangan bertindak di sini karena para pelayan sedang mengawasi. Inikah tujuan laki-laki ini meminta sopir menjemput Maudy untuk kembali ke rumah utama? Apakah supaya Maudy menuruti keinginannya?"Jangan sentuh. Aku kotor baru dari luar. Pasti banyak debu di pakaianku," kata Maudy untuk mengelak dari sentuhan Marcel.Maudy terpaksa memberikan seulas senyum di bibirnya."Tidak apa-apa. Aku juga belum mandi, Sayang. Aku hanya merindukanmu," kata Marcel yang tiba-tiba menarik tubuh Maudy ke dalam pelukannya.Mau tidak mau, Maudy terpaksa membalas pelukan itu. Sementara pelayan berbisik senang. Bagaimana tidak, mereka baru saja bersandiwara mengatakan baru pulang tadi pagi dari liburan bersama, tetapi sore hari ini sudah langsung
Chapter 32RAHASIA SANG CEOKayla baru saja meninggalkan ruangan karena ada hal penting yang harus dibicarakan dengan departemen lain. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing ketika Lira mendadak membuat keributan."Gila," teriak Lira tiba-tiba.Suara teriakan Lira membuat semua orang terkejut. Mereka ingin tahu apa yang membuatnya seribut itu."Buka ponsel kalian. Dah banyak keluar berita dan videonya. Di televisi juga," katanya. "Tentang CEO Ferrore Grup.""Ada apa?"Maudy membuka ponselnya dan mengetikkan kata kunci. Puluhan postingan tentang Marcel langsung muncul."Jadi...dia sudah menikah? Betulan?" seru Vivian.Maudy merasa panas dingin. Dia menonton video pengakuan Marcel di depan pers."Jangan ribut...aku mau dengar siapa istrinya," ucap Lira
Chapter 31 RENCANA BESAR Mobil warna hitam baru saja memasuki pekarangan. Maudy yang sudah selesai bersiap-siap mau pergi ke kantor langsung meraih tasnya dan keluar. "Kevin? Mengapa kamu yang datang?" tanya Maudy. Dia terlihat bingung. "Aku yang memintanya. Sopir kamu sedang kurang enak badan." "Sopir bukan hanya satu orang, bukan?" tukas Maudy. "Mereka sedang ada pekerjaan lain. Jadi, Kevin yang akan membawa kita," kata Marcel lalu masuk ke mobil. Maudy bergeming. Dia tidak ada niat mengikuti permainan suaminya itu. "Bukankah mobilmu ada di garasi? Mengapa tidak bawa sendiri?" "Ah, mobilku sedang ada sedikit masalah. Kalau tidak aku akan meminta Kevin naik busway saja dan membawa kita pakai mobil yang itu," kata Marcel mencoba meyakinkan Maudy.