Chapter 3
LAMARAN EKSTRIM
Maudy merasa sangat lega. Operasi adiknya berjalan lancar. Adiknya sudah keluar dari kamar bedah, meskipun belum siuman. Kata dokter, semua baik-baik saja dan akan selalu dipantau dua puluh empat jam.
Maudy meluncur ke rumah sakit setiap ada kesempatan. Meskipun dia masih kebingungan mencari pinjaman untuk melunasi biaya operasi adiknya.
Hati Maudy sakit sekali. Bagaimana bisa adiknya yang tidak tahu apa-apa harus menderita penyakit seperti itu. Dia yang miskin juga harus memikirkan biaya operasi yang angka-angkanya fantastis seolah bukan uang sesungguhnya. Ini masih operasi kecil. Dokter bilang, selama transplantasi jantung belum dilakukan, bisa saja operasi-operasi akan dilakukan setiap keadaan adiknya memburuk.
"Tetapi, kamu tenang saja! Biasanya, jika berjalan dengan baik, operasi ini akan mempertahankan kondisi adikmu tetap sehat dalam waktu yang lama."
"Lama itu seperti apa, Dok?" tanya Maudy.
"Lebih dari enam bulan. Namun, dia harus tetap dirawat intensif di rumah sakit!"
'Hah! Apa-apaan itu? Apa waktu enam bulan itu waktu yang lama? Aku sama sekali tidak boleh bernapas lega. Yang lima puluh juta saja belum sanggup kupenuhi,' pikir Maudy kalut.
Tangannya sibuk mencoret-coret buku kecil yang ada di depannya. Banyak hal yang ditulisnya dari tadi mulai dari rencana pinjaman lain, kemungkinan melakukan banyak pekerjaan sekaligus atau yang tidak mengganggu jadwal kerja utamanya, pekerjaan yang cepat menghasilkan uang, hingga menjual organ? Ah, Maudy langsung mencoret kuat-kuat pilihan itu. 'Aku juga harus sehat supaya bisa mencari uang dan merawat Alysa,' pikirnya.
"Maafkan aku, Tuhan!" bisiknya dalam doa kecil. Bisa-bisanya dia sempat berpikiran bodoh ingin menjual organ dalamnya? Seandainya pun itu terjadi, bagaimana dia bisa merawat adiknya jika dia dalam keadaan kurang sehat?
"Sudah kuduga kamu ada di sini!"
Maudy yang sedang melamun segera menutup buku yang berisi coretan tangannya saat melihat siapa yang datang. Akan tetapi, Marcel sudah telanjur melihat tulisan itu. Maudy menyadari hal itu dan membuang muka dengan wajah memerah.
"Untuk apa lagi kamu ke sini?" tanya Maudy ketus. Orang yang ditanya malah senyum-senyum kegirangan karena merasa memegang kartu penting dari musuhnya.
"Aku datang untuk melamarmu. Apa kamu tidak merasa tersanjung?" tanya Marcel santai.
"Apa? Me-la-mar?" Tanpa sadar, Maud mengeja satu kata yang membingungkan benaknya.
"Iya. Melamar. Apa kamu tidak pernah mendengar kata melamar?" tanya Marcel. "Atau...ya, ampun, atau jangan-jangan kamu belum pernah dilamar atau bahkan belum pernah pacaran?"
Gadis itu menatap Marcel penuh amarah. "Apa kamu pikir kata melamar itu digunakan orang untuk main-main?" desisnya dengan tatapan sinis.
Dia menatap Marcel penuh benci dan amarah, tetapi dalam hati dia mengakui hal itu seratus persen. Sejak dulu, dia hanya sibuk bekerja dan memikirkan adiknya. Mana pernah ada waktu memikirkan pacaran? Dia bahkan tidak pernah terpikirkan akan menikah suatu saat nanti.
"Aku yakin tidak. Aku mengucapkan itu bukan untuk main-main. Nah, aku juga ingin bertanya padamu. Apakah menurutmu angka-angka yang ada di kertasmu itu adalah angka uang mainan?" kilah Marcel dengan wajah tidak kalah sinis.
Maudy terdiam sejenak. Sepertinya dia menduga sesuatu dari perkataan Marcel akan tetapi dia tidak yakin. "Jelaskan maksudmu. Katakan saja apa maumu sebenarnya! Otakku tidak sanggup diajak bermain teka-teki untuk saat ini."
"Wow!" Marcel berdecak kagum dan bertepuk tangan tiga kali. "Kamu pintar juga, ya. Tidak salah Kamu kuliah di universitas ternama."
"Apakah kamu memata-mataiku?" tuduh Maudy dalam keadaan hampir meledak karena emosi.
"Tenang! Jangan marah-marah, sayang. Nanti kamu cepat keriput. Tujuanku baik, kok." Marcel mendekatkan diri pada Maudy lalu berbisik, "Aku hanya ingin membantu, Sayangku!"
"Diam, kamu. Siapa yang sayangmu?" Maudy mendorong tubuh Marcel dengan kesal. Dia segera meraih tasnya dan beranjak meninggalkan tempat itu.
"Maud. Tunggu! Tunggu! Dengarkan dulu aku bicara," bujuk Marcel sembari terus mengikuti Maudy.
Perempuan itu tetap melangkah tanpa menggubris perkataan Marcel. 'Bahkan, sekarang dia berani menyebut nama panggilanku,' pikir Maudy kesal.
"Sepertinya, mereka sepasang kekasih yang sedang marah-marahan," kata seorang nenek yang mengenakan pakaian pasien.
"Jadi ingat masa muda kita," kata seorang kakek yang sedang bersama nenek itu.
Maudy menahan rasa malunya sambil mempercepat langkahnya. Marcel mengikuti dalam diam. Mereka tidak berbicara sepatah kata pun sampai memasuki ruang pembayaran. Sebenarnya, Maudy ingin memastikan tanggal terakhir pelunasan biaya operasi adiknya. Akan tetapi, karena laki-laki itu mengikutinya, Maudy pura-pura lewat begitu saja. Tiba-tiba saja Marcel memegang tangan Maudy dan menariknya mendekat. Maudy merasa tidak bisa menahan amarahnya lagi terhadap laki-laki kurang ajar itu. Dia bersiap menghajar pria itu, tetapi tidak jadi karena Marcel sepertinya menariknya untuk mendekat kepada sepasang suami istri.
"Marcel. Dari mana saja kamu? Dia... siapa?" tanya wanita paruh baya yang mengenakan baju bermerek itu. Wanita itu adalah Kirana, ibunya Marcel Baret.
"Ini pacar aku, Ma. Dia calon istri aku."
"Calon istri?" Kirana melihat Maud dengan tatapan curiga. "Benar, nih? Bukan karena kamu tidak ingin kujodohkan?"
"Bu... bukan, Tante!" Maudy menggerakkan tangan untuk menjauhkan Marcel darinya.
"Wah, jadi kamu memang pacarnya? Kamu sampai membela Marcel," kata Kirana dengan wajah gembira.
"Bukan pacar maksud aku," sambung Maudy.
"Kamu yang benar dong Marcel. Apa ini karena kami ingin menjodohkan kamu?" tanya Yutama, ayah tiri Marcel yang merupakan keturunan campuran Indonesia-Jepang.
Sepertinya dia dikelilingi orang-orang baik dan kaya, batin Maudy.
"Hei. Iya kan saja. Aku akan membayar semua biaya pengobatan adikmu," bisik Marcel di telinga Maudy. Gadis itu membelalakkan mata mendengar tawaran Marcel.
"Sepertinya, dia begitu minder, Ma, Pa. Padahal aku sudah bilang bahwa Mama sama Papa tidak akan berbuat jahat pada calon menantunya hanya gara-gara dia miskin. Padahal kami sudah sangat cocok dan sepakat untuk menikah. Karena itu aku selalu menolak untuk dijodohkan," kata Marcel penuh percaya diri.
"Benarkah? Apa itu benar, Nak? Siapa namamu?" tanya Kirana sambil menatap Maud dengan tatapan penuh harap. "Ayo, jangan malu-malu."
"Saya Maudy, Tante. Itu...itu kalau Tante dan Om tidak keberatan." Maudy menjawab sambil mencubit lengan Marcel diam-diam. Laki-laki menggigit bibir menahan sakit. Tidak disangka cubitan perempuan begitu sakit.
"Bagus kalau begitu. Ah, kalian mesra juga, ya. hmm...bagaimana jika kita adakan pernikahan akhir bulan ini?"
"Apa?" Maudy tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Bukankah itu terlalu cepat Tante? Sebenarnya...kami belum bicarakan sampai ke sana." Maudy memberikan ekspresi wajah memelas.
"Kalau begitu, kalian bicarakan saja sekarang. Awal bulan depan, kami harus ke luar negeri," tukas Kirana yang dibalas Yutama dengan senyum. "Selain itu, Marcel pasti sudah bercerita tentang kakeknya yang sedang sakit. Permintaannya adalah supaya Marcel segera menikah dan menambah anggota baru keluarga kita."
"Tapi...." Maudy menatap Marcel sambil menggelengkan kepala. Marcel memeluk bahu Maudy yang kebingungan.
"Kami pergi dulu, Nak. Datanglah ke rumah. Kita akan mengurus persiapan pernikahan pernikahan kalian bersama-sama. Sampai hari pernikahan tiba, kamu tidur di rumah saja, Cel. Biarkan saja dulu rumahmu kosong sampai hari pernikahan tiba," kata Kirana. Laki-laki itu pun mengajak istrinya pergi.
Ya, ampun. Anak sama orang tua pada gila, ya? pikir Maudy.
Bruk.
Maudy menendang betis Marcel.
"Aduh!" Marcel melompat kesakitan.
"Jelaskan! Apa maksud semua ini? Apa kamu dan keluargamu orang aneh?" tanya Maudy kesal.
"Kamu boleh bilang aku aneh, tapi jangan mama sama papaku, Maudy. Ini semua ada alasannya. Tapi, kamu tidak perlu tahu karena kamu belum resmi jadi istriku. Kakekku sedang sakit keras."
"Lalu?"
"Seperti yang sudah orang tuaku katakan tadi, mereka ingin aku segera menikah."
Maudy menahan rasa dongkol. "Baiklah. Jelaskan hal yang kamu maksud tadi dengan membayar semua biaya pengobatan adikku!" Maudy bersedekap menunggu penjelasan dari Marcel.
"Aku akan membayar semua biaya pengobatan adikmu. Lho...aku pikir berapa kali pun tidak ada teka-teki dalam kalimat itu. Jelas-jelas aku membuat kalimat sederhana yang mudah dipahami," tantang Marcel. "Aku pikir kamu pintar."
"Oke. Oke. Aku hanya mau memastikan. Aku belum setuju menikah denganmu. Aku harus mengetahui secara jelas segala sesuatunya. Semua biaya itu...itu...termasuk dua puluh miliar yang kubutuhkan untuk biaya transplantasi jantung adikku jika sudah ada donornya nanti?"
"Yap," kata Marcel sambil tersenyum.
Maudy merasa kepalanya mengembang saking tercengang. "Termasuk sisa pembayaran operasi adikku?"
"Hmm....iya."
"Itu...tiga puluh juta lagi, lho...," tukas Maudy.
Marcel mengangguk setuju.
"Termasuk semua operasi lain yang akan dilakukan dan biaya rawat inap selama di rumah sakit?"
"Iyaaa, Maud."
Maudy menatap Marcel dengan tatapan curiga. "Jadi, apa yang kamu inginkan? Aku tidak menyukaimu dan tidak pernah membayangkan hidup seumur hidup denganmu."
Marcel tertawa angkuh. Caranya tertawa lebih mirip seperti dengusan yang melecehkan.
"Tenang saja. Aku juga tidak menyukaimu, kok. Aku bahkan sangat...tidak menyukaimu."
Maudy merasa terhina dengan perkataan Marcel padahal dia awalnya sangat tidak ingin pria itu menyukainya. Mengapa? Tentu saja karena Maudy ingin membencinya dengan bebas.
"Dua tahun. Mari kita menikah selama dua tahun lalu bercerai. Aku akan membiayai pengobatan adikmu dan juga dirimu selama tinggal satu rumah denganku."
Dua tahun, ya? Dua puluh miliar dan biaya lainnya sepertinya, cukup setimpal demi kesembuhan adikku, pikir Maudy.
"Tentu saja, syarat pertama dariku adalah jangan pernah mencintaiku! Jangan pernah menyukaiku sebagai lawan jenis. Kedua, bersikap mesra saat di hadapan orang lain selayaknya suami istri yang harmonis. Jika tidak ada yang melihat, silakan bersikap seperti orang asing. Namun, ingat! Selama dua tahun itu aku sudah membayarmu banyak, jadi menurutlah padaku seperti asisten rumah tangga."
Permintaan apa itu? Maudy menggemeretakkan gigi kuat-kuat. Apa dia menyerah saja?
"Dan, yang paling penting adalah selama dua tahun itu, kamu harus memberiku anak," tukas Marcel.
(Bersambung)
Chapter 4HARI PERNIKAHANTaksi online itu melaju dengan kecepatan sedang. Maudy duduk di kursi belakang dengan airmata berderai. Sebanyak dua kali, supir taksi itu melirik prihatin kepada Maudy. Akhirnya, dia memutar musik untuk menyamarkan isak tangis perempuan itu.Lagu yang baru saja diputar itu bercerita tentang hidup bahagia bersama orang yang dicintai, tetapi perasaan gadis itu malah semakin terluka dan tangisannya semakin hebat. Sebenarnya, musik atau lagu jenis apa pun yang didengarnya sekarang akan berubah menjadi lagu kesedihan setelah tiba di tentakel otaknya.Sebenarnya, sudah lama sekali, dia pernah memimpikan pernikahan. Setelah diingat-ingat lagi, ya, dia pernah menjadi perempuan normal yang memimpikan pernikahan.Impiannya sangat sederhana. Dia ingin menjadi wanita yang sempurna dengan menikah dengan pria yang mencintai serta dicintainya dengan mengun
Chapter 5HONEYMOONMaudy terbangun dan menyadari dirinya berada di tempat yang tidak dikenal. Ini bukan kamarnya! Ini juga bukan rumah sakit. Namun, mengapa dia terbaring di lantai dan hanya beralaskan sehelai selimut?Kamar ini terlihat acak-acakan dan sepasang gelas wine serta gelas wine yang kosong tergeletak tidak beraturan di atas meja.Perempuan itu berdiri dengan sedikit terhuyung lalu melihat ke arah tempat tidur yang kosong. Pakaian pria tergeletak rapi di sana. Pakaian Marcel?Ugh, kepala Maudy sedikit pusing. Dia mencari cermin di sekeliling ruangan dan ternyata menemukan sebuah cermin besar di dinding. Cermin itu hampir menutupi satu sisi dinding ruangan ini. 'Wah, ini sih cermin sultan!' Maudy membatin."Mataku bengkak sekali? Pantas aku sulit untuk membukanya!" gerutu perempuan itu sambil mengamati matanya yang sembab.
Chapter 6SENYUM MAUDIVESSepeninggal Marcel, Maudy memakan banyak kuliner khas Pulau Male sepuasnya. 'Kuliner Maldives memang luar biasa,' pikirnya.Dia berharap kegiatan memanjakan lidah ini akan mampu menelan sebagian rasa dongkolnya terhadap laki-laki angkuh itu."Dia pasti berpikir bahwa semua bisa diukur dengan uang. bukan? Dia tidak berubah," gerutu Maudy kesal. "Ugh, aku malah teringat masa lalu. Bodohnya aku sempat tergoda sedikit pada ketampanannya tadi pagi. Itu benar-benar penyamaran dari iblis yang tersembunyi. Iblis yang tersembunyi di balik wajah itu suatu saat mungkin akan menerkam ku. Hi...!" Maudy mengoceh dan bergidik sendirian.Wanita itu tidak tahu mau apa lagi di sini. Semua yang pernah direncanakannya tentang perjalanan dan petualangan ke luar negeri sejak dia masih duduk di bangku sekolah terasa tidak menarik untuk dilakukan. Semua rusa
Chapter 7PENGANTIN BARU, RUMAH BARUDrrt!Maudy menatap sejenak ke layar ponselnya yang dihiasi wallpaper matahari tenggelam. Setelah menghadapi kemarahan dari teman satu kantornya tadi pagi, dia memutuskan untuk mengaktifkan nada getar ponselnya.Dia lalu memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya. Namun, baru saja benda itu tersimpan di balik tas berwarna hitam, sebuah getaran merambat ke permukaan tas dan menyentuh tangannya.Maudy menghela napas. Dibukanya lagi resleting tasnya dan mengambil benda persegi panjang itu. Gerakannya terhenti setelah melihat nama yang tertera di layar.Maudy ingin mengabaikan panggilan itu, tetapi dia ingat betul bahwa itu melanggar kontrak secara terang-terangan. Bisa saja memang ada hal penting yang akan disampaikan Marcel padanya."Halo!" Perempuan itu menyapa lawan bicaranya dengan nada sedik
Chapter 8MASUK KANTORKeesokan harinya, pagi-pagi benar, Maudy langsung berangkat ke kantor. Sebenarnya, seluruh badannya terasa penat. Namun, ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.Wanita yang memiliki tinggi badan 155 cm itu merasa beruntung karena Marcel tidak benar-benar datang seperti pemberitahuannya di telepon kemarin sore. Jadi, dia bisa berbaring sepuasnya.Setibanya di kantor, tubuhnya langsung dihenyakkan ke atas kursi kerjanya yang lumayan empuk. Baru izin beberapa hari, rasanya Maudy sudah sangat merindukan tempat kerjanya ini.Dia sangat senang duduk di kursi kerjanya yang menghadap pemandangan luar gedung yang luas. Sepatu hak tingginya dilepas lalu kakinya diluruskan sebentar ke atas permadani yang hangat. Maudy tersenyum. Dinikmatinya suasana ini sepenuh hati.Wah, tidak disangka, tiba-tiba saja dia sedikit mengantuk. Apakah kar
Chapter 9LEKAS SEMBUH, ALYSAHanya berkisar kurang lebih sepuluh menit, angkutan umum yang dinaiki oleh Maudy hampir tiba di kawasan rumah sakit. Bangunan putih itu sudah terlihat menjulang tinggi dari kejauhan.Untunglah Rumah Sakit Mitra Sehat berdiri di pusat kota sehingga tidak menyulitkan untuk dijangkau dengan angkutan umum. Letaknya yang strategis dan jaraknya yang dekat dengan tempat tinggal maupun kantor sangat menguntungkan bagi Maudy.Tet. Teeett.Bunyi klakson mobil bersahut-sahutan. Udara panas dan jalanan yang macet sepertinya membuat semakin sulit mengontrol emosi."Minggir Kau, ah!Kau tidak tahu kalau jalan ini jalan umum? Bertelepon pula di jalan raya."Maudy terkejut dan takut mendengar suara makian sopir angkutan yang membawanya. Padahal, wajah sopir yang menjadi lawannya sama-sama san
Chapter 10PULANGMarcel baret duduk di sofa sambil menahan kemarahan yang menggelegak dalam dirinya. Pesan dari Jod membuatnya geram.Dasinya sudah dilonggarkan sejak tadi. Kegerahan yang dirasakannya tentunya bukan karena setelan jas hitam yang dikenakannya.Ditatapnya asisten Jod yang bernama Teddy berdiri mematung dengan wajah pucat. Jika bisa, laki-laki berkacamata dan bertubuh ceking itu mungkin ingin segera menghilang saja dari sini."Hei! Kamu yang di sana!" Tangan Marcel yang menyatu di bawah dagunya yang terlihat kuat."Ya, Tuan Marcel?" Sebisa mungkin, Teddy menahan ketakutannya."Sebenarnya, sepenting apa urusan ini sehingga aku harus menunggu tuanmu?""Maaf, Tuan. Sa... saya kurang tahu," kata Teddy gemetaran. "Maaf, sekali lagi."Marcel menghela napas lalu berdiri t
Chapter 11TINGGAL BERSAMAJarum jam terus berdetak dalam tempo yang teratur. Jarum pendek kini mengarah ke angka sembilan. Tidak ada suara lain yang terdengar di ruangan seolah-olah tiada penghuni yang tinggal dan beraktivitas setiap harinya di rumah itu.Maudy yang terbaring kelelahan sejak tadi mulai bangkit lalu masuk ke kamar mandi. Dia mulai menghapus lalu mencuci sisa riasan di wajahnya. Dengan perlahan, ditepuk-tepuknya kulit wajahnya dengan handuk wajah lalu mengoleskan krim malam tipis-tipis.Beberapa saat kemudian, dia duduk dalam diam sambil menatap dirinya sendiri di dalam cermin. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia sering melakukannya.Sebenarnya, meskipun di luar dia terlihat tidak takut apa-apa, dia juga memiliki rasa takut. Dia benci terlalu sepi seperti ini. Tinggal di rumah besar dan sendirian serta diabaikan. Ini membuatnya teringat akan kesendirian
Chapter 39RAHASIA TERBONGKAR"Maksud Mama apa? Saya tidak paham," kata Maudy. "Marcel sudah menceritakan semuanya. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Benar-benar penipu, kamu," maki Kirana. Tangan Maudy gemetar. Ponselnya hampir terjatuh. "Ma-Marcel mengatakan apa pada Mama?""Semuanya. Kalian benar menikah pura-pura, bukan? Dan kamu mau menikah dengan Marcel karena menginginkan uang dua puluh miliar. Wanita macam apa kamu? Selama ini kami sudah sangat percaya kepada kamu dan mau menerimamu apa adanya tanpa melihat latar belakangmu," kata Kirana, menyerang Maudy tiada habisnya.Hati Maudy terasa sakit seolah tertusuk pisau. Begitu teganya Marcel melakukan ini semua padanya. Baru saja dia ingin mempercayai laki-laki itu, tetapi pengkhianatan yang didapatnya kini. Air mata jatuh di wajah Maudy. Dia sungguh sedih dan terluka."Bisakah aku bicara dengannya, Ma? Setelah itu, aku akan menjelaskan semuanya," pinta Maudy. Sekuat mungkin dia menekan nada gemetar dalam suaranya. "Tidak perlu
Chapter 38DONOR UNTUK ALYSAMaudy tidak di sini. Kenyataan itu membuat Marcel tidak puas. Mulutnya menghela napas berkali-kali.Sejak tadi, dia sudah membayangkan pelukan hangat wanita itu sat dia menjemputnya ke bandara, tetapi hal itu tidak akan terjadi hari ini.Marcel menatap jauh keluar jendela. Bayangan malam beradu dengan kelap-kelip lampu perkotaan. Di bawah sana, bayangan pohon-pohon hias meninggalkan area-area gelap nan misterius. Setelah mendengar Maudy tidak akan jadi datang malam hari ini, Marcel sudah memutuskan menikmati malam ini sendirian. Namun, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Semua hal terasa tidak menarik. Dalam pikiran hanya ada Maudy dan rindu yang menyesakkan dalam dadanya. Melihat semua hal yang berada di dalam kamar ini juga hanya mengingatkan dirinya saat Maudy membalas pelukannya. Dia ingin merengkuh wanita itu erat--erat, di sini, saat ini juga!"Argh! Aku bisa gila," kata Marcel, memutar badan tiba-tiba. Beberapa lembar file yang dipegangnya s
Chapter 37ADA PENYUSUP LAIN"Kakek!"Marcel yang baru saja membuka pintu kamar segera berlari memeluk Hartono, kakeknya itu, yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil membaca koran."Kamu baru tiba?" tanya Hartono gembira. Rambutnya yang memutih terlihat jauh lebih panjang daripada saat meninggalkan Indonesia."Tidak. Aku baru menyelesaikan pertemuan bisnis barulah datang ke sini," jawab Marcel.Kakek menatap Marcel penuh rasa rindu. Dia sungguh bangga karena cucunya ternyata mandiri meskipun tiba-tiba dijadikan CEO sementara."Untunglah Kakek sudah sembuh," kata Marcel. Ditariknya koran itu dari tangan kakeknya. "Kakek seharusnya istirahat dengan benar. Kakek masih dalam tahap pemulihan, bukan?"Kakek terkekeh."Iya. Kakek baru pegang koran ini. Kakek hanya melihat-lihat judulnya saja."
Chapter 36SENI MEMBUNUHBety Nioma terduduk dalam ruangan tanpa cahaya sedikit pun. Matanya juga tertutup oleh seutas kain hitam tebal. Kedua tangannya terikat ke belakang, tersambung dengan sandaran kursi kayu yang didudukinya sejak tadi malam.Mulutnya terkunci rapat. Dia sudah lelah berteriak minta tolong dan berusaha melepaskan diri hingga kehilangan seluruh tenaganya.Awalnya, dia mengira bahwa semua ini hanyalah salah satu cara bercanda para senior padanya. Dia sempat tertidur. Setelah terbangun dan menyadari bahaya sebenarnya, barulah dia berteriak dan berusaha memberontak. Sayangnya, itu semua hal yang sia-sia.Kini dia sadar telah diculik dan orang yang menculiknya tidak berniat melepaskan dirinya begitu saja. Apa yang harus dia lakukan?Kali ini, dia ingin sekali ke kamar mandi. Dia terlihat gelisah dan terus menggerakkan tubuhnya. 
Chapter 35PENYUSUP"Apa tidak masalah bos pergi tanpa memberitahu apa-apa, pada Nyonya? Bukankah bos sedang berusaha memperbaiki hubungan dengannya?" tanya Kevin."Hubungan kami bisa dikatakan semakin membaik," jawab Marcel semringah.Kevin menatap Marcel dengan curiga."Oh, ada sesuatu yang terjadi rupanya kemarin? Berarti laporanku yang sudah melebihi tebal skripsi itu sudah berhasil menunjukkan manfaatnyakah?!" ucap Kevin."Aku mau mengucapkan terima kasih soal itu. Ada juga manfaat kemampuan detektifmu," kata Marcel sambil mengedipkan matanya."Apa-apaan itu? Aku masih normal," kata Kevin dengan menampilkan ekspresi jijik. "Jangan lupa janjimu. Bonus dan asisten...," kata Kevin."Asisten memangnya perlu asisten? Masa jeruk minum jeruk?" goda Marcel kepada sahabatnya sejak kecil itu.
Chapter 34HATI DI ATAS RANJANG 2"Itu... Aku hanya mencoba untuk bersikap romantis," kata Marcel dengan malu-malu.'Ternyata Marcel bisa bersikap malu-malu juga,' pikir Maudy.Maudy menahan dirinya atas banyak pertanyaan yang timbul di benaknya dan mengizinkan Marcel memberikan perhatian yang diinginkan. Dia ingin menikmati saja makan malam ini dengan baik. Dia merasa lapar seharian ini. Dia bahkan tidak ingat untuk makan siang karena kasus di kantor tadi."Tambah lagi, ya. Aku memasak banyak," kata Marcel menawarkan.Sejujurnya, Maudy masih kurang yakin Marcel yang memasak makanan seenak ini. Namun, bagaimana pun ini semua tetaplah usahanya. Maudy tidak ingin menghancurkannya.Maudy mengambil sedikit makanan lagi ke piringnya lalu memakannya dengan lahap. Dia tidak berpikir untuk bersikap malu-malu karena itu bukan gayanya. Dia termasuk o
Chapter 33HATI DI ATAS RANJANG"Kamu sudah datang, Sayang," sambut Marcel di depan pintu.Maudy tidak bisa sembarangan bertindak di sini karena para pelayan sedang mengawasi. Inikah tujuan laki-laki ini meminta sopir menjemput Maudy untuk kembali ke rumah utama? Apakah supaya Maudy menuruti keinginannya?"Jangan sentuh. Aku kotor baru dari luar. Pasti banyak debu di pakaianku," kata Maudy untuk mengelak dari sentuhan Marcel.Maudy terpaksa memberikan seulas senyum di bibirnya."Tidak apa-apa. Aku juga belum mandi, Sayang. Aku hanya merindukanmu," kata Marcel yang tiba-tiba menarik tubuh Maudy ke dalam pelukannya.Mau tidak mau, Maudy terpaksa membalas pelukan itu. Sementara pelayan berbisik senang. Bagaimana tidak, mereka baru saja bersandiwara mengatakan baru pulang tadi pagi dari liburan bersama, tetapi sore hari ini sudah langsung
Chapter 32RAHASIA SANG CEOKayla baru saja meninggalkan ruangan karena ada hal penting yang harus dibicarakan dengan departemen lain. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing ketika Lira mendadak membuat keributan."Gila," teriak Lira tiba-tiba.Suara teriakan Lira membuat semua orang terkejut. Mereka ingin tahu apa yang membuatnya seribut itu."Buka ponsel kalian. Dah banyak keluar berita dan videonya. Di televisi juga," katanya. "Tentang CEO Ferrore Grup.""Ada apa?"Maudy membuka ponselnya dan mengetikkan kata kunci. Puluhan postingan tentang Marcel langsung muncul."Jadi...dia sudah menikah? Betulan?" seru Vivian.Maudy merasa panas dingin. Dia menonton video pengakuan Marcel di depan pers."Jangan ribut...aku mau dengar siapa istrinya," ucap Lira
Chapter 31 RENCANA BESAR Mobil warna hitam baru saja memasuki pekarangan. Maudy yang sudah selesai bersiap-siap mau pergi ke kantor langsung meraih tasnya dan keluar. "Kevin? Mengapa kamu yang datang?" tanya Maudy. Dia terlihat bingung. "Aku yang memintanya. Sopir kamu sedang kurang enak badan." "Sopir bukan hanya satu orang, bukan?" tukas Maudy. "Mereka sedang ada pekerjaan lain. Jadi, Kevin yang akan membawa kita," kata Marcel lalu masuk ke mobil. Maudy bergeming. Dia tidak ada niat mengikuti permainan suaminya itu. "Bukankah mobilmu ada di garasi? Mengapa tidak bawa sendiri?" "Ah, mobilku sedang ada sedikit masalah. Kalau tidak aku akan meminta Kevin naik busway saja dan membawa kita pakai mobil yang itu," kata Marcel mencoba meyakinkan Maudy.