"Jadi? Yang gue lumpuhkan tadi adalah yang bikin Lo terluka?"Tio ingin memastikan pengamatannya pada Alan langsung."Laki-laki itu pakai topeng karet! Dia yang nusuk gue waktu itu!"Alan berucap pelan, sebab menahan sakit di luka bekas operasinya. Pria itu melihat sang penguntit langsung mengenali orang yang sama dengan yang menusuknya."Nanti lagi bahas dia. Lebih baik sekarang fokus ke luka kamu dulu!"Jasmine tidak tega melihat Alan dalam kondisi sakit seperti ini, masih memikirkan sang pelaku.Tio menurut, tidak banyak berucap lagi. Pria Itu memilih fokus pada laju mobilnya agar lekas sampai di rumah sakit terdekat.Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di rumah sakit terdekat. Tio mengambil alih Alan dari Jasmine, membantunya berjalan menuju ruang IGD. Sedang Jasmine pergi ke bagian resepsionis untuk mendaftarkan Alan.Alan langsung mendapatkan penanganan pertama di instalasi gawat darurat rumah sakit itu. Lukanya harus di jahit lagi karena kembali robek ulah pergerakan p
"Dia meninggal pak!" seru sang detektif dari seberang telepon sana. Panggilan di loadspeaker sehingga Alan langsung bisa ikut mengomentarinya ," jangan bercanda kamu!" pekik Alan. Pria itu naik pitam mendapati orang yang bisa menjadi saksi justru mati sebelum di interogasi olehnya langsung. "Baru saja kami temukan dia tewas dengan mulut penuh busa," terang sang detektif.Hening beberapa detik usai mendengar penerangan sang detektif. Baik Alan maupun Tio sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Kita sampai di lokasi sebentar lagi. Sampai bertemu di sana," ucap Tio pada sang detektif. Kemudian pria itu mematikan panggilannya."Dia di racun ... tapi siapa yang melakukannya," cicit Tio pelan, hampir tidak terdengar. Namun, masih sampai di telinga Alan.Alan mengusap wajah kasar dengan tangan kananya. Merasa frustasi dengan sikon yang seperti tidak mendukungnya."Istighfar bro! Pasti ada cara lain. Pengecekan ulang sidik jari belum keluar hasilnya. Masih ada kesempatan menemukan bukti un
Hari ketiga setelah kepulangan Alan dari rumah sakit. Alan memutuskan untuk memulai kembali aktifitasnya seperti biasa.Dua hari istirahat saja di rumah dengan Jasmine yang sampai dua tiga kali pulang ke apartemennya guna memastikan kondisi suaminya baik-baik saja, nyatanya membuat pria itu tidak tahan lagi."Kamu yakin sudah tidak papa? Kita kontrol dulu ke rumah sakit, ya!" Jasmine terlihat sibuk menyiapkan pakaian kerja Alan, setelah mendapati suaminya itu akan pergi ke kantor.Alan berjalan mendekat pada Jasmine yang masih berada di walk in closet. Memeluk wanitanya dari belakang."Al!" Pergerakan Jasmine seketika terhenti. Wanita itu memilih berbalik badan menghadap pada Alan."Kita mampir ke dokter dulu buat kontrol, hem!" Jasmine mengulang seruannya pada Alan.Alan bukannya langsung menjawab. Memilih menyingkirkan anak rambut ke belakang telinga Jasmine terlebih dahulu. Pria itu tidak ingin ada yang menghalangi pandangannya menyelisik wajah cantik sang istri. Kemudian Alan kem
"Dia meninggal pak!" seru sang detektif dari seberang telepon sana. Panggilan di loadspeaker sehingga Alan langsung bisa ikut mengomentarinya ," jangan bercanda kamu!" pekik Alan. Pria itu naik pitam mendapati orang yang bisa menjadi saksi justru mati sebelum di interogasi olehnya langsung. "Baru saja kami temukan dia tewas dengan mulut penuh busa," terang sang detektif.Hening beberapa detik usai mendengar penerangan sang detektif. Baik Alan maupun Tio sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Kita sampai di lokasi sebentar lagi. Sampai bertemu di sana," ucap Tio pada sang detektif. Kemudian pria itu mematikan panggilannya."Dia di racun ... tapi siapa yang melakukannya," cicit Tio pelan, hampir tidak terdengar. Namun, masih sampai di telinga Alan.Alan mengusap wajah kasar dengan tangan kananya. Merasa frustasi dengan sikon yang seperti tidak mendukungnya."Istighfar bro! Pasti ada cara lain. Pengecekan ulang sidik jari belum keluar hasilnya. Masih ada kesempatan menemukan bukti un
Hari ini adalah hari di mana Jasmine akan diangkat sebagai pimpinan baru Fatma Grub. Akhirnya, isi dari surat wasiat yang pernah almarhum bunda Fatma tulis sebelum kepergiannya saat ini terpenuhi.Aris yang menempati posisi komisaris sementara tidak bisa menahan amarah. Sebab berbagai cara yang selama ini dirinya lakukan untuk menyingkirkan Jasmine selalu gagal karena Alan yang dulunya pengawal Jasmine justru menikahinya."Semua janji kamu bohong, mas!" Ara masuk ke ruang kerja Aris dengan membanting pintu."Aku selama ini sudah percaya sama kamu. Tapi apa nyatanya? Wanita jal*ng itu hari ini memenangkan semua!" suara Ara, adik dari Aris memekikkan telinga."Lebih baik kamu diam! Kamu tidak tahu seberapa payah aku berjuang."Aris menanggapi masih dengan kepala dingin. Laki-laki setengah baya itu tidak ingin sampai salah langkah lagi jika terbawa emosi."Jika kamu sungguh-sungguh. Apa yang menjadi milik kita, pasti saat ini sudah tergapai semua," timpal Ara, lagi. Wanita itu mendudukka
Bahkan Ara sampai beranjak dari duduknya. Mengikis jarak dari Jasmine hendak menamparnya. Beruntung Alan berhasil mencegahnya. Mencengkeram tangan wanita yang usianya beberapa tahun ada di atasnya. "Berani pukul Jasmine, saya akan buat perhitungan dengan anda!" Ara menepis kasar tangan Alan yang mencengkeramnya. Mengumpat penuh ancaman, kemudian pergi dari sana, "kamu belum menang jal*ng! Awas kamu!" Aris yang menyaksikan perdebatan adiknya dengan Jasmine menampilkan wajah datar yang begitu sulit diartikan. Tidak banyak bicara pria setengah baya itu bersama sang istri ikut meninggalkan ruangan. Hufh! Baik Alan maupun Jasmine kompak mendengkuskan napas kasar mengurai ketegangan yang baru terjadi di sana. "Kira-kira apa yang akan mereka rencanakan selanjutnya?" tanya Jasmine pada Alan. Wajahnya agak mendongak menatap Alan yang posisinya saat itu berdiri tegap di samping kursi yang didudukinya. Cup! Alan mencuri satu kecupan agak lama di kening istrinya itu sebelum menjawabnya. "Y
"Gimana?" Alan penasaran, ulah Jasmine tidak langsung berkomentar. "Emmm ..." Jasmine menggantung ujarannya. "Ini!" Alan memberikan piring steak miliknya yang sudah lebih dahulu di potong-potong daging steaknya, guna memudahkan Jasmine menyantapnya. "Makasih," ucap Jasmine, antusias. Suapan kedua, ketiga, keempat, kelima," ini luar biasa rasanya, Al! Kamu jago masak gini bilang gak bisa masak." Jasmine baru berkomentar setelah suapan ke lima kandas di mulutnya. Alan tidak langsung menanggapi ucapan Jasmine. Pria itu ikut menikmati karyanya terlebih dahulu. "Padahal sudah lama gak masak," gumam Alan. Tadi awalnya Alan berpikir rasanya tidak akan seperti itu. Ternyata keterampilannya dalam mengolah bahan masakan masih membekas. "Janji lain kali ajarin aku masak, ya Al!" seru Jasmine, manja. Namun, lebih terdengar seperti paksaan di indera pendengaran Alan. "Bisa dijadwalkan." Alan terkekeh kala menjawabnya. Sebenarnya Alan tidak ingin sampai Jasmine terlalu lelah jika harus
"Diko ayo bangun, sayank!" Anggun terus menepuk-nepuk pelan pipi Diko untuk mengetahui kesadaran putranya. "Euhhg!" Diko melenguh, saat sang ibu terus mengguncangnya. Aggun sendiri cepat melepaskan ikatan demi ikatan yang membuat pemuda itu tidak bisa melawan perlakuan kejam ayahnya. Anggun tidak lupa memanggil ambulans ke rumahnya, ia harus membawa Diko ke rumah sakit. Anaknya itu harus mendapatkan penanganan medis serta dokter spesialis kulit ulah luka bakar yang di dapatnya terlihat cukup serius di kedua tangannya. "Bertahanlah sayank! Ibu mohon!" Keesokan harinya Alan sungguh membawa Jasmine ke tempat yang sangat wanita itu ingin kunjungi. "Akhirnya kamu betulan bawa aku ke pantai, Al!" Jasmine dengan tidak sabar, membuka pintu mobil, berlari kecil di pasir putih yang lembut, kala mobil yang Alan kendarai telah sampai di tepi pantai tujuan wisata mereka berdua. Alan membawa Jasmine ke resort pribadi, yang menyediakan panorama pantai yang begitu menakjubkan. Alan membayar
"Mau coba cek dulu? Kita berhenti di apotik beli tes pack dulu, ya? Kamu kapan terakhir halangan?" Alan memberondong Jasmine dengan pertanyaan, setelah wanita itu lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya dengan Gina.Jasmine memiliki pemikiran yang sama. Namun, keinginannya makan rujak kedondong lebih dominan. "Ck! Cari rujak dulu, Al! Lagian belum pasti juga, kan aku hamil," jawab Jasmine, santai. Fokusnya kembali pada benda pipih di tangannya, mengetik huruf di papan pencarian menanyakan tempat yang mungkin menjual rujak kedondong di sana.Cukup lama tidak ditemukan karena waktu memang sudah cukup malam. Ada kedai rujak cukup jauh lokasinya juga ternyata sudah tutup. Akhirnya Jasmine tidak kehabisan akal, mengetik huruf kembali mencari toko buah yang mungkin menjual buah kedondong. Wanita itu berniat membuat rujak sendiri nanti di rumah. Akhirnya, mobil Alan belokan ke sebuah super market besar yang ada di kota itu. "Harusnya di sini ada buah yang kamu, mau," tuturnya.Sebelum
"Saya mendapatkannya," ungkap Rio pada Alan, yang baru sempat melakukan panggilan setelah kesibukannya di Singapura."Di mana dia sekarang?" tanya Alan, to the point."Di rumah sakit. Keadaannya kritis," jawab Rio. "Istri anda belum saya beri tahu, sesuai permintaan anda," lanjutnya.Alan memang memperingatkan Rio untuk tidak menginfokan apapun pada istrinya, sebelum dirinya kembali ke tanah air."Saya usahakan pulang secepat mungkin," kata Alan. "Tetap jaga istri saya dari kejauhan."Alan memilih segera mematikan panggilan, usai mengingatkan Rio kembali. Waktunya tidak banyak di sana agar lekas bisa kembali ke tanah air secepat mungkin. "Istri kamu belum tahu berita di sosial media tentang seseorang tertembak di sekitaran apartemen tadi pagi adalah ulah detektif swasta yang kamu sewa." Gina mengirimkan notifikasi pesan pada Alan. Membuat laki-laki itu langsung melakukan panggilan telepon pada sekretaris pribadi Jasmine. "Iya, Alan," sapa Gina dari seberang telepon sana."Gue se
Pukul sembilan malam Alan Alan benar-benar pergi ke Singapura lagi, mengikuti penerbangan terakhir hari itu."Aku harusnya ikut antar kamu ke bandara," ungkap Jamsine pada Alan. Wanita itu hanya Alan perbolehkan mengantar sampai basement apartemen saja."Jangan lagi buat aku gak jadi terbang," ujar Alan, mengomentari ungkapan istrinya. Sebenarnya sedari di rumah baru tadi Alan sudah hampir mengikhlaskan tender besar yang di Singapure. Pria itu tidak bisa pergi meninggalkan Jamsine dalam situasi genting seperti saat itu. Namun, pada kenyataannya wanitanya itu pandai meyakinkan Alan untuk tetap berangkat, tentu setelah mengiyakan permintaan Alan pindah ke rumah baru mereka besok pagi."Asisten rumah tangga sesuai spesifikasi kamu datang besok pagi," ucap Alan, sambil menghujani wajah Jasmine dengan banyak kecupan di sana.Jasmine mengangguk, "makasih, ya! Kalo sudah sampai segera kabari aku."Jasmine tahu Alan sedang berat meninggalkannya, sehingga wanita itu memilih tidak banyak menan
"Mau kasih lihat apa?" rengek Jasmine. Menarik-narik tangan Alan, meminta pria itu lekas memberitahunya. "Sebentar lagi, kamu tahu," ujar Alan. Membawa wanitanya ke sebuah kamar yang sudah ia dekorasi sedemikian rupa."Tutup mata! Dalam hitungan ke tiga baru kamu buka!" titah Alan pada Jasmine.Jasmine mengangguk patuh, mulai memejamkan mata.Ceklek!Handle pintu Alan tarik ke bawah, pintu kamar pun terbuka. Semerbak aroma kelopak bunga mawar seketika memenuhi indera penciuman Jasmine ketika baru memasuki ruangan itu."Satu ... dua ... tiga!"Jasmine membuka mata perlahan, tepat setelah Alan selesai menyebutkan angka tiga. Betapa bahagia hati wanita itu, dalam kesibukan Alan masih sempat menyiapkan ini semua untuknya.Jasmine merasa benar-benar beruntung dipertemukan kembali dengan mantan kekasih yang sekarang justru menikah dengannya. "Kamu udah nentuin kamar utama, kenapa tadi masih nanya?" beber Jasmine. "Sengaja mau ngetes?" imbuhnya.Alan hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Ini apa?" tanya Jasmine. Alan yang mendengar pertanyaan itu langsung membungkukkan badan, melihat dengan seksama apa yang wanitanya pertanyakan."Paper bag lagi? Bunga itu," ucap Alan, pelan. Pergerakannya secepat mungkin ke arah luar mobil. Menyelisik ke sekeliling, mencari keberadaan orang yang mengirim itu. "Mungkin belum jauh?""Tadi dikunci, kan mobilnya sebelum masuk cafe?" tutur Jasmine, ingin memastikan."Tio yang bawa mobil. Tapi aku yakin dia udah kunci," jawab Alan, yang mengetahui sahabatnya itu bukanlah tipikal pribadi yang teledor.Alan masih mengedarkan matanya ketika menjawab pertanyaan Jasmine. Sayangnya Alan tidak bisa menemukan siapapun di sana. Tidak terlihat ada orang mencurigakan di area parkir dan sekitarnya. "Apa ini diletakan sedari tadi?" Tidak ingin menduga-duga seorang diri, Alan memilih mengambil benda pipih nya dari saku celana. Mencari nama Tio di sana."Iya, bro," sapa Tio, setelah mengucapkan salam terlebih dahulu seperti biasa. "Ke parkiran sekar
Tap ...Tap ...Tap ...Langkah kaki Alan, menggema kala memasuki cafe yang sudah mulai sepi pengunjung di jam makan siang yang sudah jauh terlewat itu.Jasmine tersenyum lebar mendapati Alan datang menyusulnya. Kemudian berdiri guna menyambut laki-lakinya itu. "Padahal gak bilang mau datang!"Bibir ranum Jasmine mengerucut, sebagai respon dari kedatangan Alan yang tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Cup!Alan mencuri satu kecupan singkat di sana. "Jangan pancing aku sekarang," bisik Alan, tepat di samping telinga Jasmine.Ehem!Tio yang berdiri lima langkah di belakang Alan, berdehem guna mengingatkan. Bahwa di antara mereka berdua masih ada orang lain di sana."Dia kekeh mau nyamperin, Lo. Padahal kita tadi lagi banyak banget kerjaan," ucap Tio asal kemudian duduk di bangku kosong samping Gina.Gina yang mendapati Tio hadir, bahkan memilih duduk di sampingnya itu di buat gelagapan sendiri. Mau bagaimanapun mereka sudah cukup lama tidak bertemu. Tentulah membuat pertemuan itu ter
"Data pemilik sidik jari sudah keluar," ungkap Rio pada Alan juga Tio yang baru tiba di markasnya. "Dari data yang ada, sidik jari ini menunjukan milik tuan Aris. Namun, saat ini keberadaannya tidak diketahui," sambungnya."Apa dia sudah tidak ada di kota ini?" tanya Tio, lebih dahulu berkomentar."Atau mungkin juga ganti identitas."Alan akhirnya ikut berkomentar, sambil memutar berkali-kali pena yang ada di jarinya. Posisi pria itu saat ini tengah duduk di bangku, terlihat santai. Namun, pikirannya berkelana memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Tatapan mata Alan hanya lurus ke depan, gaya Alan seperti itu justru menambah kesan tampan pada dirinya. Berkali-kali lipat lebih mempesona."Bisa jadi itu, jika ganti identitas. Identitas baru pasti terdaftar, dan terlacak sistem." Tio menimpali. "Apalagi sekarang berbagai fasilitas publik membutuhkan scan sidik jari bahkan wajah," ujarnya."Tidak ada laporan kematian atas nama tuan Aris. Kemungkinan besar dia masih hidup.
"Halo, tuan, " sapa Rio, di seberang telepon sana."Di mana?" tanya Alan, tidak berniat ber basa-basi."Saya di rumah sakit, sedang temani ayah sarapan, " jawab Rio."Ke markas sekarang! Ada yang harus anda kerjakan!" titah Alan pada Rio."Baik, tuan. Saya ke sana sekarang."Usai mengucapkan itu, Rio langsung berpamitan pada sang ayah. Mengatakan bahwa dirinya ada panggilan kerja.Sang ayah tentu langsung mengiyakan kali itu. Sangat kebetulan, tidak seperti biasanya yang akan drama terlebih dahulu seperti anak kecil yang akan di tinggal orang tuanya bekerja.Sedang Alan juga sama. Pria itu mengecup kening istrinya singkat, lalu ke luar dari ruangan itu, tentu dengan paper bag hitam di tangannya.Sepeninggalan Alan, Gina yang sudah menahan rasa penasaran sedari tadi itu mulai mencecar Jasmine dengan berbagai pertanyaan. "Apa yang sudah Alan lakuin ke kamu? Kenapa sampai kamu harus pakai kursi roda? Apa Alan sekejam itu?"Cep! Gina berhenti bertanya.Jasmine yang tidak ingin mendengar
Di kamar mandi Alan benar-benar hanya membantu Jasmine membersihkan diri. Meski bersusah payah menahan diri, nyatanya pria itu berhasil menepati janjinya. "Tahan sebentar, ya! Mungkin akan sedikit pedih," ucap Alan, sebelum membubuhkan salep pada area sensitive wanitanya itu.Jasmine reflek mencekal tangan kekar Alan yang akan mengoleskan salep itu. "Aku, bisa sendiri!" CK!Alan berdecak kesal mendapati Jasmine masih saja malu terhadapnya. "Aku udah lihat semua punya kamu. Kalo lupa!"Setelah mengucapkan itu, Alan segera melancarkan aksinya mengolesi salep di area sensitive Jasmine.Dapat dilihat wanita itu meringis menahan pedih meski hanya sesaat."Sudah!" seru Alan. Pria itu kemudian menutup salep, lalu meletakkannya kembali di kotak p3k."Bisa jalan?"Alan sengaja menanyakan itu, karena tadi saat hendak pergi ke kamar mandi, Alan yang membopongnya ke dalam toilet."Aku coba jalan pelan, ya!"Jasmine berdiri perlahan, mulai melangkah meski setengah di seret. Wanita itu benar-benar