"Dia meninggal pak!" seru sang detektif dari seberang telepon sana. Panggilan di loadspeaker sehingga Alan langsung bisa ikut mengomentarinya ," jangan bercanda kamu!" pekik Alan. Pria itu naik pitam mendapati orang yang bisa menjadi saksi justru mati sebelum di interogasi olehnya langsung. "Baru saja kami temukan dia tewas dengan mulut penuh busa," terang sang detektif.Hening beberapa detik usai mendengar penerangan sang detektif. Baik Alan maupun Tio sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Kita sampai di lokasi sebentar lagi. Sampai bertemu di sana," ucap Tio pada sang detektif. Kemudian pria itu mematikan panggilannya."Dia di racun ... tapi siapa yang melakukannya," cicit Tio pelan, hampir tidak terdengar. Namun, masih sampai di telinga Alan.Alan mengusap wajah kasar dengan tangan kananya. Merasa frustasi dengan sikon yang seperti tidak mendukungnya."Istighfar bro! Pasti ada cara lain. Pengecekan ulang sidik jari belum keluar hasilnya. Masih ada kesempatan menemukan bukti un
Hari ini adalah hari di mana Jasmine akan diangkat sebagai pimpinan baru Fatma Grub. Akhirnya, isi dari surat wasiat yang pernah almarhum bunda Fatma tulis sebelum kepergiannya saat ini terpenuhi.Aris yang menempati posisi komisaris sementara tidak bisa menahan amarah. Sebab berbagai cara yang selama ini dirinya lakukan untuk menyingkirkan Jasmine selalu gagal karena Alan yang dulunya pengawal Jasmine justru menikahinya."Semua janji kamu bohong, mas!" Ara masuk ke ruang kerja Aris dengan membanting pintu."Aku selama ini sudah percaya sama kamu. Tapi apa nyatanya? Wanita jal*ng itu hari ini memenangkan semua!" suara Ara, adik dari Aris memekikkan telinga."Lebih baik kamu diam! Kamu tidak tahu seberapa payah aku berjuang."Aris menanggapi masih dengan kepala dingin. Laki-laki setengah baya itu tidak ingin sampai salah langkah lagi jika terbawa emosi."Jika kamu sungguh-sungguh. Apa yang menjadi milik kita, pasti saat ini sudah tergapai semua," timpal Ara, lagi. Wanita itu mendudukka
Bahkan Ara sampai beranjak dari duduknya. Mengikis jarak dari Jasmine hendak menamparnya. Beruntung Alan berhasil mencegahnya. Mencengkeram tangan wanita yang usianya beberapa tahun ada di atasnya. "Berani pukul Jasmine, saya akan buat perhitungan dengan anda!" Ara menepis kasar tangan Alan yang mencengkeramnya. Mengumpat penuh ancaman, kemudian pergi dari sana, "kamu belum menang jal*ng! Awas kamu!" Aris yang menyaksikan perdebatan adiknya dengan Jasmine menampilkan wajah datar yang begitu sulit diartikan. Tidak banyak bicara pria setengah baya itu bersama sang istri ikut meninggalkan ruangan. Hufh! Baik Alan maupun Jasmine kompak mendengkuskan napas kasar mengurai ketegangan yang baru terjadi di sana. "Kira-kira apa yang akan mereka rencanakan selanjutnya?" tanya Jasmine pada Alan. Wajahnya agak mendongak menatap Alan yang posisinya saat itu berdiri tegap di samping kursi yang didudukinya. Cup! Alan mencuri satu kecupan agak lama di kening istrinya itu sebelum menjawabnya. "Y
"Gimana?" Alan penasaran, ulah Jasmine tidak langsung berkomentar. "Emmm ..." Jasmine menggantung ujarannya. "Ini!" Alan memberikan piring steak miliknya yang sudah lebih dahulu di potong-potong daging steaknya, guna memudahkan Jasmine menyantapnya. "Makasih," ucap Jasmine, antusias. Suapan kedua, ketiga, keempat, kelima," ini luar biasa rasanya, Al! Kamu jago masak gini bilang gak bisa masak." Jasmine baru berkomentar setelah suapan ke lima kandas di mulutnya. Alan tidak langsung menanggapi ucapan Jasmine. Pria itu ikut menikmati karyanya terlebih dahulu. "Padahal sudah lama gak masak," gumam Alan. Tadi awalnya Alan berpikir rasanya tidak akan seperti itu. Ternyata keterampilannya dalam mengolah bahan masakan masih membekas. "Janji lain kali ajarin aku masak, ya Al!" seru Jasmine, manja. Namun, lebih terdengar seperti paksaan di indera pendengaran Alan. "Bisa dijadwalkan." Alan terkekeh kala menjawabnya. Sebenarnya Alan tidak ingin sampai Jasmine terlalu lelah jika harus
"Diko ayo bangun, sayank!" Anggun terus menepuk-nepuk pelan pipi Diko untuk mengetahui kesadaran putranya. "Euhhg!" Diko melenguh, saat sang ibu terus mengguncangnya. Aggun sendiri cepat melepaskan ikatan demi ikatan yang membuat pemuda itu tidak bisa melawan perlakuan kejam ayahnya. Anggun tidak lupa memanggil ambulans ke rumahnya, ia harus membawa Diko ke rumah sakit. Anaknya itu harus mendapatkan penanganan medis serta dokter spesialis kulit ulah luka bakar yang di dapatnya terlihat cukup serius di kedua tangannya. "Bertahanlah sayank! Ibu mohon!" Keesokan harinya Alan sungguh membawa Jasmine ke tempat yang sangat wanita itu ingin kunjungi. "Akhirnya kamu betulan bawa aku ke pantai, Al!" Jasmine dengan tidak sabar, membuka pintu mobil, berlari kecil di pasir putih yang lembut, kala mobil yang Alan kendarai telah sampai di tepi pantai tujuan wisata mereka berdua. Alan membawa Jasmine ke resort pribadi, yang menyediakan panorama pantai yang begitu menakjubkan. Alan membayar
Setelah kemarahan Ara pada Aris, hubungan mereka berdua semakin memburuk. Namun, Ara kembali dikejutkan dengan kematian keponakannya Diko. Entah karena apa, Diko ditemukan di kamar apartemen pribadinya tewas dengan menggantung diri. Bagaimana jika Ara tidak berkunjung ke sana? Mungkin mayat Diko membusuk sampai ada orang yang datang ke sana. Diko tidak kuat lagi dengan segala permintaan ayahnya , Aris yang membuat hidupnya tidak tenang. Bahkan Diko Aris jadikan samsak amarah dikala berbagai rencananya gagal ia lakukan. Siksaan demi siksaan rela Diko tanggung demi keselamatan Anggun ibunya. Meski pada akhirnya Diko menyerah. Pemuda itu nyatanya tidak sekuat itu untuk menanggung semua sendirian. Diko tetaplah seorang anak yang meski beranjak dewasa butuh kedua orang tuanya yang membimbingnya penuh kasih sayang. Ara memilih mengurus kematian keponakannya seorang diri. Sama sekali tidak membiarkan Aris melakukannya. Jangan tanya bagaimana bisa? Dengan uang Ara bisa melakukan itu. Wan
Alan benar-benar kembali ke mobilnya dengan paper bag yang penuh dengan burger dan milk tea jelly.Alan tidak sempat banyak mengobrol dengan Danan sahabatnya, ia hanya memberitakan telah menikah sehingga tidak punya banyak waktu lagi untuk hal pribadinya seperti zaman dahulu ketika masih melajang."Kamu tadi ikut mengantri di sana?"Jasmine menunjuk antrian panjang di cafe itu dengan dagunya karena kedua tangannya menerima uluran paper bag dari Alan. Alan menggeleng, "buat apa ikut antri?"Jasmine tersenyum smirk. Lupa jika Ryota Alan sedari dahulu memang tidak pernah mau mengantri. Alan lebih memilih mengeluarkan uang lebih untuk memotong antriannya."Kenapa?"Alan penasaran, dengan senyum jahil wanitanya."Gak pa pa. Makasih, ya udah dibeliin ini."Jasmine berniat langsung menikmati burger dan milk tea jelly itu di dalam mobil. "Al, ini beli kenapa banyak banget?""Buat stok kalo kamu pengen tiba-tiba," jawab Alan, santai. "Aku gak lagi ngidam beneran, lho ini!"Alan terkekeh mend
Setelah merencanakan dari sebulan yang lalu.Hari ini Alan dan Jasmine baru sempat pergi berlibur berdua. Alan memilih resort pulau pribadi yang ada di sebuah pulau X."Sayang liburannya cuma tiga hari," cicit Jasmine. Mereka memang sepakat waktu liburan mereka hanya singkat, yaitu cukup tiga hari saja.Saat ini Alan dan Jasmine tengah berjalan bersama di pantai resort itu."Mau nambah waktu liburan lagi, hem?" Alan langsung menanggapi dengan penawaran baru."Emang bisa?" Jasmine menjawab penawaran Alan justru dengan pertanyaan lagi."Kalo mau, bisa sayank! Biar aku minta Tio yang mengurusnya."Alan memasang alat penguat signal terlebih dahulu pada ponselnya. Orang suruhannya yang berada di resort ini sudah menyiapkan itu sebelumnya."Eh, nggak usah, Al! Seperti kesepakatan awal ajalah. Lagian di sana kita juga masih banyak banget pekerjaan yang menunggu, lho!" seru Jasmine.Tidak terdengar lagi ujaran dari Alan. Pria itu memilih duduk di pasir, Jasmine pun ikut duduk di samping Ala