Terima kasih atas dukungan dan vote dari pembaca sekalian :) Happy reading ....
Mei tak bergairah mengikuti kegiatan lomba tujuhbelasan yang sedang berlangsung meriah. Raganya memang di sini, tetapi pikirannya di tempat lain, di sebuah deluxe room yang ditempati Raya bersama Kevin. Juna memaksa Kevin menemani Raya. Nyaman sekali mereka berada di ruangan sejuk ber-AC panas-panas begini, sedangkan dengan seenaknya Juna menyeret-nyeret Mei agar mengikuti aneka permainan konyol yang membuat Mei harus basah-basahan dan belepotan tepung dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semakin kotor tubuh Mei, semakin kencang tawa Juna melihatnya sambil tiada henti memotret dan merekam. ‘Sialan, gue pasti jelek banget! Kayaknya elu puas banget nista’in gue, Jun!’ Mei merasa insecure. ‘Awas aja kalau foto jelek gue ntar elu jadiin meme. Bakal gue gantungin elu pas lagi enak-enaknya tempur di ranjang.’ Mei tertawa sinis merencanakan dendam kesumatnya. Rasanya tak sabar ingin membuat pria itu sengsara dengan tak mendapatkan pelepasannya secara sempurna. Biar satu sama dengan frustras
“Perpisahan ini ..., janganlah cepat berlalu. Perpisahan ini ..., ingin kukenang selalu. Hatiku damai ..., jiwaku tenteram di sampingmu. Hatiku damai..., jiwaku tenang bersamamu ....” Mengelilingi api unggun, orang-orang bernyanyi syahdu diiringi petikan gitar Juna dan juga Bernard. Menghangatkan hati yang terikat dalam satu memori manis semasa SMA yang tak pernah dilupa. Suka cita mewarnai wajah semua orang yang ada di sana, tak terkecuali Mei yang ikut bernyanyi di sebelah Juna. Sepertinya ini menjadi kali pertama Juna mendengar Mei ikut menyanyi sejelas ini. Dalam acara reuni-reuni sebelumnya Mei bahkan nyaris tak pernah bersuara. Juna pun menoleh, menatap Mei, dan tersenyum lembut kepadanya. Merasa sedang ditatap, Mei balas menoleh dan membalas senyum Juna. Secara refleks Juna menghentikan petikan gitarnya, lalu menjulurkan kepalanya untuk mengecup kening Mei. “Huuuu!” Juna tak sadar jika teman-teman sedang menyoraki tindakannya. Pria itu malah menggeser ciumannya ke bibir Mei.
Aneka seafood dari restoran telah lengkap terhidang di meja panjang, kecuali ikan, sebab Juna mengira Mei tak suka ikan. Bersama teman-teman perempuannya, Mei menyantap hidangan itu. Sedangkan Juna bergabung di meja lain bersama teman-teman pria. “Ada yang mau ikan bakar, nggak? Biar gue ambilin sekalian,” kata Wanda sambil beranjak dari meja. Beberapa orang mengangkat tangan, minta diambilkan. Sedangkan Mei cuma bisa menelan ludah menahan keinginannya, sadar jika dirinya tak sanggup menyentuh ikan yang masih dipenuhi duri. Wanda kembali dengan dua piring ikan gurame basar dan menghidangkannya tepat di depan Mei. Uapnya menguarkan aroma lezat yang menyiksa penciuman Mei. ‘Sialan, apa kayak gini ya yang dirasain Edward Cullen saat mencium aroma tubuh Bella Swan?’ pikirnya malah mengimajinasikan novel favoritnya. “Mei, cobain, nih? Enak loh, keburu kehabisan,” tegur Wanda. Mei tersenyum kecut sambil menggeleng. “Elu nggak dengar tadi Juna bilang kalau bininya kagak doyan ikan? Makan
Kevin meninggalkan Mei dan Juna dengan langkah berat. Dia tak langsung kembali ke kamar seperti yang diharapkan Juna, tetapi duduk di kursi makan panjang sambil bersedekap gelisah memandangi Mei dan Juna yang sedang berdua saja di tempat pembakaran ikan sana. Bernard yang masih bingung menilai situasi antara kedua temannya ini pilih mengawasi keduanya saja, berjaga-jaga. Bernard belum pernah melihat sorot mengancam seserius itu dalam mata seorang Juna yang dikenalnya, apalagi ancaman itu ditujukan kepada Kevin yang pernah begitu dekat dengan Juna semasa SMA. Selama ini Juna terkenal periang dan tak pernah menyimpan dendam, tetapi apa yang dilihat Bernard barusan seperti mengupas sisi lain dari sosok Juna yang dikenalnya. Jujur, Bernard sempat merinding melihat kilat ingin membunuh yang tersorot di mata Juna tadi. Seperti bukan Juna. Sedangkan di tempatnya, Mei diam saja, membiarkan Juna melakukan apa yang ingin dia lakukan. Dia tahu, percuma saja mencegah Juna yang diam-diam sekeras
Gebrakan Juna di atas meja menciptakan guncangan keras bagai sebuah gempa, menumpahkan air minum dan saus-saus bumbu, membuat taplak putih cantik yang menutupi meja jadi kotor berantakan. “J-jun ....” Mei menengadahkan wajah, memberanikan dirinya menatap Juna. Dan ketakutannya pun benar-benar terjadi, sorot mata Juna kini sama persis dengan sorot mata Tante Dilla yang ... muak kepadanya. Muak. Kepada. Mei. Prang! “J-jun ...!” Mei tak sanggup menahan air matanya yang membobol dengan cepat saat Juna membanting piring yang berisi ikannya yang masih utuh, hingga piring itu pecah berkeping-keping di lantai dan si ikan malang yang dibakar Juna dengan susah payah tadi mencelat dan teronggok sia-sia. Mei menunduk, tak sanggup membalas tatapan Juna yang menyorot tajam penuh kemarahan padanya. “Pengkhianat ...,” desis Juna sambil menarik taplak meja, membuat seluruh isinya tercecer ke lantai. Mei menjerit dengan jantung dihentak kaget. Mei beringsut menjauhi meja, sambil menangis saat Jun
Kevin berenang beberapa putaran, sambil membuang pikirannya yang masih saja gelisah memikirkan Mei. ‘Apa dia baik-baik saja? Semoga Juna tak menyakitinya,’ pikirnya kalut. Kevin menyesal, harusnya dia pandai-pandai menjaga dirinya saat di dekat Mei agar tak tertangkap mata oleh Juna seperti semalam. Sebab dia tahu Juna seperti apa. ‘Elu jatuh cinta ke Mei ‘kan, Jun?’ desah Kevin dengan hati yang dirambati rasa berat. ‘Gue tahu, cepat atau lambat elu bakal jatuh cinta juga sama Mei.’ Kevin tersenyum kecut saat menyuarakan penilaiannya di dalam hati. Ya. Akhirnya kecurigaannya sejak dulu terbukti juga. Entah kenapa, Kevin sempat merasa jika Juna diam-diam sudah mulai tertarik kepada Mei sejak SMA, hanya saja pria itu tak menyadari karena pikirannya terobsesi pada Raya. “Mei itu lucu tahu, Kev, asyik buat digodain. Jarang-jarang ada cewek cakep tapi nggak ngerasa kalau dirinya cakep kayak Mei gitu. Emang sih kadang ngeselin, diam-diam ngajak gelut, tapi malah imut banget ya nggak sih k
Mei dan Juna pulang lebih dulu ke Jakarta malam itu juga dengan dua mobil yang berbeda, tanpa menunggu berakhirnya dulu acara reuni di esok hari. “Jon. Gimana kondisi Mei sekarang?” tanya Juna dalam perjalanan pulang. “Iyem bilang, Mei sudah lebih tenang, Bos. Sudah nggak nangis lagi.” “Apa dia terluka?” “Secara mental, iya. Masih syok.” Jonathan mengangguk-angguk seraya membuang tatapannya ke luar jendela yang diselimuti gelap karena sekarang jam 2 dini hari. ‘Pake nanya apa Mbak Mei terluka apa nggak, ya iyalah, Bambang ...,’ batin Jonathan sewot. Bosnya ini kalau tanya memang suka ngadi-ngadi. Kalau Anjani, mungkin sudah nggak kaget lagi, sudah tahan banting menghadapi monster peliharaan Juna sejak kecil, beda dengan Mei yang baru mengetahuinya. “Jon. Mulai besok, kasih pengumuman ke bagian dapur, sering-sering penuhi meja makan dengan menu ikan. Mei ternyata suka ikan.” “S-siap, Bos.” Jonathan mengangguk dan langsung menyampaikan pesan Juna itu lewat chat ke bagian dapur seka
“Ngapain lu cengar-cengir gitu, Jon? Lagi senang, lu?” tegur Maryam saat berpapasan dengan rekan kerjanya di teras samping. Maryam baru saja memarkir mobil. Jonathan bersul-siul seraya memutar-mutar sesuatu di tangannya. “Porche, dari Bos,” sahutnya sambil memainkan alis matanya naik-turun. Lalu memencet kunci remote di tangannya dan sebuah sedan silver menyala dan berkedip-kedip di garasi sana. Maryam terbelalak. “Ah, gila! Jojooon!” panggilnya dengan kepala berdenyut-denyut frustrasi, jiwa iri-dengkinya meronta-ronta melihat keberuntungan Jonathan, rekannya sesama asisten pribadi. Jonathan melambaikan tangan kepada Maryam seraya memasuki sedan mewah itu, menghidupkan mesin, lalu meninggalkan garasi. Sukses membuat Maryam cemberut. “Hmm padahal kan si bos lagi ‘kambuh’, biasanya bakal bikin orang-orang sekitarnya ketiban apes, tapi kok Jojon malah ketiban Porche sih? Ada apaan, ya?” guman Maryam sambil berpikir keras. Bosnya memang aneh, absurd, dan sulit ditebak. Baru juga Maryam