Mei melirik jam yang melingkar cantik di pergelangan tangannya, jam buatan tangan asli dari Swiss hadiah ulang tahunnya dari Juna. Jangan ditanya berapa harganya. Sebab bagi Juna harga tak jadi soal, tetapi tentu saja menjadi soal besar bagi golongan orang yang hobinya ke kafe demi nebeng wifi, pesan kopi cuma secangkir tapi nongkrongnya berjam-jam. “Well, gue bawa dulu produk elu. Nanti biar gue sendiri yang langsung minta ke teman gue buat endorse. Soal biayanya, elu nggak usah pikirin. Biar gue aja,” kata Mei sambil mengambil paperbag berisi sampel kosmetik punya Tania. Seketika Tania dan Sarah saling tatap, kemudian menoleh pada Mei sambil berkedip-kedip. Tak menyangka jika seperti itulah cara Mei akan menolong Tania. Padahal mereka sudah telanjur berbusuk sangka kepadanya. “M-mei ..., elu serius? Biaya endorse teman elu itu kan mahal? G-gue ..., jadi nggak enak.” Tania menggigit bibir, perasaannya masih dipenuhi rasa bersalah kepada Mei. Mei tertawa lirih. “Kan tadi udah gue b
“Itu mereka datang!” seru seorang panitia yang sejak tadi sudah bersiap menyambut kedatangan Mei dan Juna, layaknya menanti tamu agung acara reuni tahunan SMA mereka. Kebetulan Mei dan Juna menjadi peserta reuni yang datang paling akhir karena tadi pagi ada undangan mendadak dari Opa Tomo yang tak dapat mereka tolak. “Apaan sih lu, nggak perlu pakai gini-ginianlah ..., kita semua sama, kok!” tolak Juna kala Wanda berniat mengalungkan untaian bunga ke leher Juna, padahal Juna tak melihat teman-temannya yang lain memakai untaian bunga seperti itu. Juna gerah diperlakukan berbeda dari yang lain meskipun dialah pemilik resort mewah di beberapa titik wisata pesisir Banten ini. “Udahlah, Jun ... terima aja! Ini say thank’s kita ke elu karena udah kasih kita semua gratisan fasilitas sekeren ini,” sahut Niken yang juga seorang panitia . “No no no. Kalau elu semua mau terima kasih, bukan kek gini caranya. Tapi cukup have fun aja udah .... Pokoknya, tunjukin kegilaan elu-elu semua di setiap a
Jantung Juna serasa dipecut melihat Mei dan Kevin membelokkan langkah mereka menuju sebuah kamar. Jelas sekali di matanya, Kevin tersenyum menatap Mei sebelum mendorong kamar itu, bibirnya tampak menggumamkan sesuatu dan lagi-lagi membuat Mei tertawa. Daun pintu terbuka, dan Kevin mengedikkan dagunya kepada Mei agar masuk lebih dulu, kemudian Kevin menyusul dan menutup pintu di belakangnya dengan cepat. “Anj*ng!” Juna mengumpat dan mempercepat langkahnya. Dia bahkan kini berlari menyusul ke dalam kamar. “Kev!” pekiknya sambil menyerbu masuk. “Hai, Jun ...?” Sarah melambaikan tangan pada Juna. “Jun?” Mei kaget tapi dengan cepat dia ikut tersenyum kepada sang suami. “Eh, Juna? Apa kabar, lu? Baru aja kita tanyain, dianya langsung nongol.” Tania nyengir sambil melambaikan tangan. “Panjang umur lu, Jun.” Raya ikut bersuara. Juna ‘terbagong-bagong’, ternyata ada banyak orang di kamar ini, dia pikir hanya ada Kevin dan Mei saja. Juna tersenyum kecut sambil membalas lambaian tangan tema
Mei tak bergairah mengikuti kegiatan lomba tujuhbelasan yang sedang berlangsung meriah. Raganya memang di sini, tetapi pikirannya di tempat lain, di sebuah deluxe room yang ditempati Raya bersama Kevin. Juna memaksa Kevin menemani Raya. Nyaman sekali mereka berada di ruangan sejuk ber-AC panas-panas begini, sedangkan dengan seenaknya Juna menyeret-nyeret Mei agar mengikuti aneka permainan konyol yang membuat Mei harus basah-basahan dan belepotan tepung dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semakin kotor tubuh Mei, semakin kencang tawa Juna melihatnya sambil tiada henti memotret dan merekam. ‘Sialan, gue pasti jelek banget! Kayaknya elu puas banget nista’in gue, Jun!’ Mei merasa insecure. ‘Awas aja kalau foto jelek gue ntar elu jadiin meme. Bakal gue gantungin elu pas lagi enak-enaknya tempur di ranjang.’ Mei tertawa sinis merencanakan dendam kesumatnya. Rasanya tak sabar ingin membuat pria itu sengsara dengan tak mendapatkan pelepasannya secara sempurna. Biar satu sama dengan frustras
“Perpisahan ini ..., janganlah cepat berlalu. Perpisahan ini ..., ingin kukenang selalu. Hatiku damai ..., jiwaku tenteram di sampingmu. Hatiku damai..., jiwaku tenang bersamamu ....” Mengelilingi api unggun, orang-orang bernyanyi syahdu diiringi petikan gitar Juna dan juga Bernard. Menghangatkan hati yang terikat dalam satu memori manis semasa SMA yang tak pernah dilupa. Suka cita mewarnai wajah semua orang yang ada di sana, tak terkecuali Mei yang ikut bernyanyi di sebelah Juna. Sepertinya ini menjadi kali pertama Juna mendengar Mei ikut menyanyi sejelas ini. Dalam acara reuni-reuni sebelumnya Mei bahkan nyaris tak pernah bersuara. Juna pun menoleh, menatap Mei, dan tersenyum lembut kepadanya. Merasa sedang ditatap, Mei balas menoleh dan membalas senyum Juna. Secara refleks Juna menghentikan petikan gitarnya, lalu menjulurkan kepalanya untuk mengecup kening Mei. “Huuuu!” Juna tak sadar jika teman-teman sedang menyoraki tindakannya. Pria itu malah menggeser ciumannya ke bibir Mei.
Aneka seafood dari restoran telah lengkap terhidang di meja panjang, kecuali ikan, sebab Juna mengira Mei tak suka ikan. Bersama teman-teman perempuannya, Mei menyantap hidangan itu. Sedangkan Juna bergabung di meja lain bersama teman-teman pria. “Ada yang mau ikan bakar, nggak? Biar gue ambilin sekalian,” kata Wanda sambil beranjak dari meja. Beberapa orang mengangkat tangan, minta diambilkan. Sedangkan Mei cuma bisa menelan ludah menahan keinginannya, sadar jika dirinya tak sanggup menyentuh ikan yang masih dipenuhi duri. Wanda kembali dengan dua piring ikan gurame basar dan menghidangkannya tepat di depan Mei. Uapnya menguarkan aroma lezat yang menyiksa penciuman Mei. ‘Sialan, apa kayak gini ya yang dirasain Edward Cullen saat mencium aroma tubuh Bella Swan?’ pikirnya malah mengimajinasikan novel favoritnya. “Mei, cobain, nih? Enak loh, keburu kehabisan,” tegur Wanda. Mei tersenyum kecut sambil menggeleng. “Elu nggak dengar tadi Juna bilang kalau bininya kagak doyan ikan? Makan
Kevin meninggalkan Mei dan Juna dengan langkah berat. Dia tak langsung kembali ke kamar seperti yang diharapkan Juna, tetapi duduk di kursi makan panjang sambil bersedekap gelisah memandangi Mei dan Juna yang sedang berdua saja di tempat pembakaran ikan sana. Bernard yang masih bingung menilai situasi antara kedua temannya ini pilih mengawasi keduanya saja, berjaga-jaga. Bernard belum pernah melihat sorot mengancam seserius itu dalam mata seorang Juna yang dikenalnya, apalagi ancaman itu ditujukan kepada Kevin yang pernah begitu dekat dengan Juna semasa SMA. Selama ini Juna terkenal periang dan tak pernah menyimpan dendam, tetapi apa yang dilihat Bernard barusan seperti mengupas sisi lain dari sosok Juna yang dikenalnya. Jujur, Bernard sempat merinding melihat kilat ingin membunuh yang tersorot di mata Juna tadi. Seperti bukan Juna. Sedangkan di tempatnya, Mei diam saja, membiarkan Juna melakukan apa yang ingin dia lakukan. Dia tahu, percuma saja mencegah Juna yang diam-diam sekeras
Gebrakan Juna di atas meja menciptakan guncangan keras bagai sebuah gempa, menumpahkan air minum dan saus-saus bumbu, membuat taplak putih cantik yang menutupi meja jadi kotor berantakan. “J-jun ....” Mei menengadahkan wajah, memberanikan dirinya menatap Juna. Dan ketakutannya pun benar-benar terjadi, sorot mata Juna kini sama persis dengan sorot mata Tante Dilla yang ... muak kepadanya. Muak. Kepada. Mei. Prang! “J-jun ...!” Mei tak sanggup menahan air matanya yang membobol dengan cepat saat Juna membanting piring yang berisi ikannya yang masih utuh, hingga piring itu pecah berkeping-keping di lantai dan si ikan malang yang dibakar Juna dengan susah payah tadi mencelat dan teronggok sia-sia. Mei menunduk, tak sanggup membalas tatapan Juna yang menyorot tajam penuh kemarahan padanya. “Pengkhianat ...,” desis Juna sambil menarik taplak meja, membuat seluruh isinya tercecer ke lantai. Mei menjerit dengan jantung dihentak kaget. Mei beringsut menjauhi meja, sambil menangis saat Jun