Happy reading ... Terima kasih atas dukungan dan vote para pembaca sekalian :)
Juna menyipitkan mata memandangi Mei yang sedang bersandar di sebuah tempat duduk panjang sambil menatap hamparan danau dari dalam perahu layar yang melaju bersama angin. Kenapa tiba-tiba Mei tampak seperti ingin menghindarinya? Juga tiada tawa renyah Mei yang menyambut rayuan gombalnya lagi. Biasanya Mei selalui tertawa setiap kali Juna menghujaninya dengan rayuan receh seperti tadi, bukan? Juna menghela napas. Sejak video call tadi, Mei jadi sedikit berbeda. Apa karena Kevin? Juna tadi sempat menangkap sorot mata Kevin yang sepertinya bukan ditujukan untuk dirinya, tetapi untuk seseorang disampingnya, yaitu Mei, istrinya. ‘Brengsek!’ Seketika dada Juna bergemuruh. ‘Elu masih cinta Kevin, gue tahu. Tapi bisa nggak sih, Mei, elu nggak tunjukin sejelas ini ke gue?’ gumamnya dalam hati sambil meremas-remas tangannya yang tiba-tiba gemetar dan panas dingin. Ternyata Kevin masih memberi pengaruh sebesar itu terhadap Mei, wanita yang sudah dinikahinya secara sah. Ya. Memang. Sejak video
“Yeay!” Mei memekik riang, merentangkan tangan sambil berlari menuju sebuah pagar yang membatasi sisi bukit dengan tebing curam. “Wonderful ...,” desahnya seraya mengembuskan napas sebebas-bebasnya, masih dengan merentangkan tangan, menyambut semilir angin musim semi yang menerpa wajahnya dengan lembut. Sejauh mata memandang, terbentang pemandangan ceruk danau yang membiru diterpa semburat cahaya matahari sore, dikelilingi pegunungan dan arsitektur tradisional Italia yang sungguh cantik. Mei menikmati kesempatan langka ini untuk menghirup sebanyak-banyaknya udara yang membantu meredakan ketegangan dalam dirinya. Juna tersenyum, senang melihat keriangan telah menghiasi kembali wajah istrinya yang tadi sempat ngambek. Setelah memasukkan kopornya ke dalam vila, Juna menghampiri Mei, memeluknya dari belakang. “Asyik ‘kan? Kita akan nginap di sini 2 malam,” katanya sambil meletakkan dagunya di atas kepala Mei. Dan seketika itu juga Mei menyandarkan tubuh lelahnya dalam dekapan Juna yang ha
“Mei!” Juna menghambur memeluk Mei yang baru saja memasuki halaman vila. “Elu dari mana aja, hmm? Dari mana ...?” desaknya dengan napas terengah-engah. Lalu Juna mengurai pelukannya dan mengguncang-guncang tubuh Mei. “Gue setengah mampus nyariin elu ke mana-mana, tahu nggak? Gempor kaki gue nyariin naik-turun bukit, tapi elunya nggak ada, nggak gue temuin. Gue takut elu nyasar terus hilang! Mei ..., please, jangan kayak gini lagi. Kalau elu mau keluar ..., ajak gue, bangunin gue, atau minimal bawa hape biar bisa gue telepon. Paham ...? Kalau sampai kayak gini lagi, elu mau gue ikat aja biar kayak kangkung? Mau gue tumis sekalian campur toge, heh?” oceh Juna nyaris hanya dengan satu tarikan napas saja.Mei berkedip-kedip menatap Juna. Membisu.“Jangan diulangi lagi ya, Mei?” bisik Juna dengan tatapan memohon dan membius hingga Mei mengangguk-angguk.“Good girl.” Juna mengusak poni Mei dan mengecup keningnya lalu menggandengnya masuk ke dalam vila, tanpa banyak bantahan dari wanita itu.
Mei melirik jam yang melingkar cantik di pergelangan tangannya, jam buatan tangan asli dari Swiss hadiah ulang tahunnya dari Juna. Jangan ditanya berapa harganya. Sebab bagi Juna harga tak jadi soal, tetapi tentu saja menjadi soal besar bagi golongan orang yang hobinya ke kafe demi nebeng wifi, pesan kopi cuma secangkir tapi nongkrongnya berjam-jam. “Well, gue bawa dulu produk elu. Nanti biar gue sendiri yang langsung minta ke teman gue buat endorse. Soal biayanya, elu nggak usah pikirin. Biar gue aja,” kata Mei sambil mengambil paperbag berisi sampel kosmetik punya Tania. Seketika Tania dan Sarah saling tatap, kemudian menoleh pada Mei sambil berkedip-kedip. Tak menyangka jika seperti itulah cara Mei akan menolong Tania. Padahal mereka sudah telanjur berbusuk sangka kepadanya. “M-mei ..., elu serius? Biaya endorse teman elu itu kan mahal? G-gue ..., jadi nggak enak.” Tania menggigit bibir, perasaannya masih dipenuhi rasa bersalah kepada Mei. Mei tertawa lirih. “Kan tadi udah gue b
“Itu mereka datang!” seru seorang panitia yang sejak tadi sudah bersiap menyambut kedatangan Mei dan Juna, layaknya menanti tamu agung acara reuni tahunan SMA mereka. Kebetulan Mei dan Juna menjadi peserta reuni yang datang paling akhir karena tadi pagi ada undangan mendadak dari Opa Tomo yang tak dapat mereka tolak. “Apaan sih lu, nggak perlu pakai gini-ginianlah ..., kita semua sama, kok!” tolak Juna kala Wanda berniat mengalungkan untaian bunga ke leher Juna, padahal Juna tak melihat teman-temannya yang lain memakai untaian bunga seperti itu. Juna gerah diperlakukan berbeda dari yang lain meskipun dialah pemilik resort mewah di beberapa titik wisata pesisir Banten ini. “Udahlah, Jun ... terima aja! Ini say thank’s kita ke elu karena udah kasih kita semua gratisan fasilitas sekeren ini,” sahut Niken yang juga seorang panitia . “No no no. Kalau elu semua mau terima kasih, bukan kek gini caranya. Tapi cukup have fun aja udah .... Pokoknya, tunjukin kegilaan elu-elu semua di setiap a
Jantung Juna serasa dipecut melihat Mei dan Kevin membelokkan langkah mereka menuju sebuah kamar. Jelas sekali di matanya, Kevin tersenyum menatap Mei sebelum mendorong kamar itu, bibirnya tampak menggumamkan sesuatu dan lagi-lagi membuat Mei tertawa. Daun pintu terbuka, dan Kevin mengedikkan dagunya kepada Mei agar masuk lebih dulu, kemudian Kevin menyusul dan menutup pintu di belakangnya dengan cepat. “Anj*ng!” Juna mengumpat dan mempercepat langkahnya. Dia bahkan kini berlari menyusul ke dalam kamar. “Kev!” pekiknya sambil menyerbu masuk. “Hai, Jun ...?” Sarah melambaikan tangan pada Juna. “Jun?” Mei kaget tapi dengan cepat dia ikut tersenyum kepada sang suami. “Eh, Juna? Apa kabar, lu? Baru aja kita tanyain, dianya langsung nongol.” Tania nyengir sambil melambaikan tangan. “Panjang umur lu, Jun.” Raya ikut bersuara. Juna ‘terbagong-bagong’, ternyata ada banyak orang di kamar ini, dia pikir hanya ada Kevin dan Mei saja. Juna tersenyum kecut sambil membalas lambaian tangan tema
Mei tak bergairah mengikuti kegiatan lomba tujuhbelasan yang sedang berlangsung meriah. Raganya memang di sini, tetapi pikirannya di tempat lain, di sebuah deluxe room yang ditempati Raya bersama Kevin. Juna memaksa Kevin menemani Raya. Nyaman sekali mereka berada di ruangan sejuk ber-AC panas-panas begini, sedangkan dengan seenaknya Juna menyeret-nyeret Mei agar mengikuti aneka permainan konyol yang membuat Mei harus basah-basahan dan belepotan tepung dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semakin kotor tubuh Mei, semakin kencang tawa Juna melihatnya sambil tiada henti memotret dan merekam. ‘Sialan, gue pasti jelek banget! Kayaknya elu puas banget nista’in gue, Jun!’ Mei merasa insecure. ‘Awas aja kalau foto jelek gue ntar elu jadiin meme. Bakal gue gantungin elu pas lagi enak-enaknya tempur di ranjang.’ Mei tertawa sinis merencanakan dendam kesumatnya. Rasanya tak sabar ingin membuat pria itu sengsara dengan tak mendapatkan pelepasannya secara sempurna. Biar satu sama dengan frustras
“Perpisahan ini ..., janganlah cepat berlalu. Perpisahan ini ..., ingin kukenang selalu. Hatiku damai ..., jiwaku tenteram di sampingmu. Hatiku damai..., jiwaku tenang bersamamu ....” Mengelilingi api unggun, orang-orang bernyanyi syahdu diiringi petikan gitar Juna dan juga Bernard. Menghangatkan hati yang terikat dalam satu memori manis semasa SMA yang tak pernah dilupa. Suka cita mewarnai wajah semua orang yang ada di sana, tak terkecuali Mei yang ikut bernyanyi di sebelah Juna. Sepertinya ini menjadi kali pertama Juna mendengar Mei ikut menyanyi sejelas ini. Dalam acara reuni-reuni sebelumnya Mei bahkan nyaris tak pernah bersuara. Juna pun menoleh, menatap Mei, dan tersenyum lembut kepadanya. Merasa sedang ditatap, Mei balas menoleh dan membalas senyum Juna. Secara refleks Juna menghentikan petikan gitarnya, lalu menjulurkan kepalanya untuk mengecup kening Mei. “Huuuu!” Juna tak sadar jika teman-teman sedang menyoraki tindakannya. Pria itu malah menggeser ciumannya ke bibir Mei.