Terima kasih dukungan vote dari pembaca sekalian :) Selamat membaca, enjoy ya ....
Melihat Juna masih saja mematung memandanginya tanpa segera bicara, Mei menegur dengan tak sabar, “Woy, Jun? Apaan?” tanyanya sambil memakai celana training, “buruan, gue udah ditungguin personal trainer gue tuh. Kasihan dia kalau nungguin gue lama-lama cuma buat ganti baju doang,” ocehnya seraya bersiap memakai kaos oblong. “Wait! Don’t move!” cegah Juna. Mei mematung kaget. Lalu menoleh ke kanan, kiri, dan sekitarnya dengan tatapan waspada dan juga bingung, mengira ada sesuatu. Tetapi begitu Mei menyadari cengiran nakal Juna dalam kamera videonya, dia baru tersadar kalau tadi Juna sedang melakukan tangkapan layar terhadap dirinya. Mei tiba-tiba ingin balas mengusili Juna. “Why?” Mei tersenyum miring, bersiap melancarkan serangan, “do you want it?” ledeknya sambil melepaskan bra secara perlahan, dengan gerakan yang dibuat-buat dramatis, hingga tampaklah kini sepasang aset pribadinya, bagian atas tubuh Mei yang menjadi favorit Juna, yang selalu dibelai Juna sepanjang malam, yang sela
Juna melirik jam tangan buatan Swiss seharga sebuah mobil yang melingkari pergelangan tangannya. Rasanya dia sudah tak sabar ingin mengakhiri meeting karena ingin segera bertemu dengan Meilani. Tapi apa boleh buat, meeting kali ini sedang membahas hal penting dan tidak bisa diwakilkan orang lain karena menyangkut hal strategis yang butuh perhatian serta penanganan langsung dari sang CEO. Juna harus segera menyelesaikannya sampai tuntas.“Baiklah, kalau begitu saya sendiri yang akan menemui Mr Albert di Italia. Tolong, Irna,” Juna menoleh kepada sekretarisnya, “cek apakah ada jadwal saya yang urgen di minggu ini, kalau nggak ada lekas atur jadwal pertemuan saya dengan Mr Matteo di minggu ini saja,” kata Juna mengambil keputusan.“Baik, Pak.” Irna mengangguk dan mencatatnya. Sementara Juna melanjutkan beberapa arahan dan kebijakannya terkait proyek pembangunan perumahan yang tersendat-sendat karena kendala sengketa lahan.Di tengah pembicaraannya, tiba-tiba ponselnya bergetar dan wajah
Mei buru-buru menyusul Danu ke rutan. Tetapi keinginannya untuk membesuk sang om membuahkan hasil mengecewakan. “Boleh saya tahu alasan kenapa beliau tidak mau bertemu dengan saya?” desak Mei kepada petugas rutan. Dan Mei menghela napas sedih karena petugas tersebut tidak bisa memberikan keterangan. Mei kembali ke mobil dengan membawa perasaan bingung atas sikap ganjil Danu yang selalu menghindarinya. Dia ingin ke rumah Dilla untuk menengoknya, sekaligus mencari tahu sendiri jawaban dari perubahan sikap Danu, sebagai keluarga Dilla mungkin tahu alasannya. Tetapi dia pikir Juna pasti akan marah jika Mei bertemu Dilla tanpa izinnya, bagaimanapun Juna suaminya. Mei tak ingin bertindak sesukanya sendiri. “Mbak, ayo makan dulu? Mbak Mei sudah melewatkan makan siang,” bujuk Maryam. “Nggak pengen, Mar.” Mei membuang tatapannya ke luar jendela. “Kenapa Om nggak mau menemuiku ya? Padahal sudah seperti ayahku sendiri, pahlawanku selama ini, Mar.” Mei menitikkan air mata. Maryam mendesahkan s
Seusai percintaan kilat barusan, Mei membantu Juna merapikan pakaian dan penampilannya yang berantakan, tapi sialan menariknya di mata Mei. Astaga, benarkah pria ini suaminya? Setampan ini? Kenapa Mei tak pernah menyadari ketampanan Juna sejak dulu sih? Mei tersenyum kecut dalam hati. Tentu saja, karena Mei kala itu paham sekali kalau si tampan ini mendekatinya hanya karena Raya, jadi Mei tak merasa ge-er sama sekali didekati Juna, malah Mei cenderung mengabaikannya.“Halo, cantik? Kenalan dong? Meilani, kan? Gue Juna,” kata Juna kala pertama kalinya ‘sksd’ alias ‘sok kenal, sok dekat’ dengannya di taman sekolah SMA pada saat jam istirahat kedua.“Iya gue Meilani, panggil aja Mei.” Mei tersenyum seperlunya, tak terlalu mengacuhkan keberadaan Juna karena dia ingin segera menamatkan novel teenlit yang sedang dibacanya. Tampak sekali dari gesture tubuhnya jika dia terganggu dengan kehadiran Juna.“Mei!” seru Juna tiba-tiba.Mei tersentak karena dipanggil dengan suara kencang dan dalam ja
“Mei?” tegur Juna karena Mei masih diam. Mei memaksakan segaris senyum di bibirnya. “Tentang sewa detektif yang gue minta tadi, Jun.” Sebenarnya bukan tentang detektif yang menjadi lamunan Mei tadi, tetapi kenangannya tentang ikan gurame dan Kevin. Namun Mei tak ingin membahas isi pikiran yang sebenarnya demi menghargai perasaan Juna. Bagaimanapun Juna suaminya, dan membicarakan mantan gebetan secara terang-terangan di depan suaminya bukanlah tindakan bijak bagi Mei, terlebih setelah percintaan yang barusan terjadi. Mei tak ingin merusak suasana dan hal indah yang sudah terbangun gara-gara kenangan semata. Juna terkekeh. “Emangnya elu mau menyelidiki apaan sih, Maemunah?” tanyanya sambil menyesapi bumbu ikan gurame. Mei menelan ludah melihatnya, 'Kelihatannya kok enak banget', pikirnya jadi ingin juga mencicip. “Mei?” tegur Juna karena melihat Mei melamun lagi dan tidak fokus. “Eh, maaf.” Mei jadi gugup. Lalu dia menceritakan kejadian yang dialaminya tadi, tentang kabar om Danu ya
“Halo.” Juna menjawab telepon yang berdering di meja kerjanya sambil melirik Mei yang tertidur di sofa. “Pak, dokumen dari Pak Ronald sudah sampai. Bisa diantar ke ruangan bapak sekarang?” “Mau ngomong gitu doang?” Ada nada kesal dalam teguran Juna, sudah beberapa kali Irna menelepon hanya untuk menyampaikan hal yang tak terlalu mendesak. “Kenapa nggak langsung ketuk pintu dan masuk aja, sih?” Tentu saja Juna tak menyadari kekhawatiran yang melanda sekretarisnya, Irna takut memergoki hal yang tidak-tidak di dalam sana kalau tak menelepon si bos lebih dulu. Apalagi atmosfer ruangan bosnya terasa berbeda sejak sang istri memasukinya, atmosfer yang membuat jiwa jomblonya meronta-ronta. “B-baik, Pak. Saya masuk sekarang.” Irna memasuki ruangan dan meletakkan map di meja. “Pak,” panggil Irna. “Tadi Bu Laras menitipkan ini juga. Sebenarnya Bu Laras ingin menyampaikan sendiri, tapi sepertinya tadi Bapak sedang s-sibuk,” Irna sedikit kikuk saat menyebut kata ’sibuk’ karena kesibukan bosn
Menolak menjadi kucing peliharaan Juna, Mei pilih mengaktifkan dirinya dalam kegiatan sosial bersama teman-teman sosialitanya. Semula Mei ingin membatasi saja pergaulan, dia tak nyaman berjumpa banyak orang, tetapi ternyata Mei justru terdorong kian ke tengah, sebab Opa Tomo malah memberinya tanggung jawab mengelola yayasan sosial yang membawa nama besar Utomo Group. Mau tak mau Mei harus bersikap luwes dan belajar banyak dari setiap orang yang ditemuinya. Dan dalam waktu singkat, nama Meilani sebagai cucu menantu dari Utomo Putra mulai dikenal luas. Membuat Mei semakin berhati-hati dalam menggerakkan setiap langkahnya, sebab dia jadi merasa diawasi ribuan pasang mata. Ucapan dan tindakannya, bisa saja dicatat dan dicatut, terutama oleh media dan netizen yang menjadi follower setianya di media sosial. Mungkin inilah alasan Juna dulu menyingkirkan sejenak statusnya sebagai cucu konglomerat dan pilih bergaul dengan masyarakat biasa saja semasa sekolah agar bebas menikmati masa remajanya
Sarah dan Tania geleng-geleng kepala saat pikirannya berseluncur di media sosial. Mereka meet up sambil menunggu teman-teman SMA lainnya di sebuah kafe. Meski duduk di meja yang sama, tetapi perhatian mereka justru asyik tercurah ke dalam gawai masing-masing. “Gokil ya ternyata si Juna? Siapa sangka kalau dia tajir parah, the real of sultan gini,” gumam Tania sambil mengomentari instastory Juna yang sedang menampilkan foto-foto liburannya di Eropa bersama Mei. Sarah mengangguk-angguk. “Mei beruntung banget ya, nikah sama Juna,” timpalnya yang ternyata juga sedang mengintip instastory Juna. Lalu matanya melotot seperti mau copot saat melihat foto Juna dan Mei berpose mesra di depan mobil Bugatti Chiron dengan latar belakang sebuah vila cantik bergaya khas Eropa. Jiwa iri kedua orang itu serasa menjerit-jerit melihat video pendek Juna yang tengah menyetir hypercar mewah itu. Teman SMA yang dulu sering mereka cibir ini, sungguh terlihat begitu berbeda. Kemudian video berganti, kini ter