Sarah dan Tania geleng-geleng kepala saat pikirannya berseluncur di media sosial. Mereka meet up sambil menunggu teman-teman SMA lainnya di sebuah kafe. Meski duduk di meja yang sama, tetapi perhatian mereka justru asyik tercurah ke dalam gawai masing-masing. “Gokil ya ternyata si Juna? Siapa sangka kalau dia tajir parah, the real of sultan gini,” gumam Tania sambil mengomentari instastory Juna yang sedang menampilkan foto-foto liburannya di Eropa bersama Mei. Sarah mengangguk-angguk. “Mei beruntung banget ya, nikah sama Juna,” timpalnya yang ternyata juga sedang mengintip instastory Juna. Lalu matanya melotot seperti mau copot saat melihat foto Juna dan Mei berpose mesra di depan mobil Bugatti Chiron dengan latar belakang sebuah vila cantik bergaya khas Eropa. Jiwa iri kedua orang itu serasa menjerit-jerit melihat video pendek Juna yang tengah menyetir hypercar mewah itu. Teman SMA yang dulu sering mereka cibir ini, sungguh terlihat begitu berbeda. Kemudian video berganti, kini ter
Mei meringkuk seperti bayi kala merasakan selimutnya tersingkap dan udara dingin merambati tubuhnya dengan cepat. Tangannya menggapai-gapai selimut untuk menutup lagi tubuhnya yang berbalut lingerie tipis, lingerie yang hanya memiliki fungsi keindahan saja, tapi tak becus menghangatkan tubuhnya di malam yang dingin ini. “Bangun, Maemunah.” Juna menepuk-nepuk pipi Mei yang justru merapatkan mata, silau ditusuk cahaya lampu keemasan yang menerangi kamar. “Jun, matiin lampunya, silau ...,” rengek Mei yang masih ingin tidur. “No. Wake up, now!” Juna menepuk bokong Mei dengan cukup keras dan sukses membuat mata Mei terbuka. Bukan hanya terbuka, bahkan mata itu memelototinya. “Apaan, sih!” Dipelototi, Juna malah tersenyum lebar. “Wake up, please. I have a surprise for you,” ucapnya seraya merunduk dan mengecup lembut kening Mei yang memberengut, kesal terganggu tidur nyenyaknya. “Ayo turun, kita harus sarapan dan gerak cepat.” Juna enggan kompromi lagi, digendongnya tubuh Mei ke kamar
Juna menepuk-nepuk bahu Mei yang masih memeluknya erat karena euforia. “Ayo, balon udaranya sudah siap. Jangan sampai kita kehilangan momen matahari terbit yang cantik gara-gara kelamaan pelukan kayak gini. Kita bisa pelukan sepuasnya nanti saja di kamar, mau lebih dari pelukan juga boleh banget. Wadaw!” Juna memekik dan tertawa karena Mei sekarang jago sekali mencubit pinggangnya. Mei berbalik, terperangah, terpukau menatap balon raksasa yang mulai terangkat ke udara tepat di depan matanya. Ini pengalaman pertamanya naik balon udara. Sedangkan Juna di sebelahnya, tersenyum menatap Mei sambil meremas tangan Mei yang berada dalam genggamannya. Beberapa kru membantu mereka naik ke atas keranjang bersama seorang pilot. Mei memekik senang ketika pelan-pelan keranjang terangkat ke udara dan lepas dari tanah, membumbung tinggi ke langit jernih yang dihiasi semburat fajar begitu indah. Mei mencengkeram pinggiran keranjang dan menatap ke bawah. Lapangan hijau tampak semakin jauh dan mengecil
“Btw, Jun, lagi di mana sih elu, tuh?” Dodi kepo melihat latar belakang dalam video Juna. “Lagi berlayar di Lake Como, nih ...” Juna memamerkan pemandangan di sekitarnya, hamparan indah perairan kebiru-biruan membentang luas dengan pemandangan pegunungan serta bangunan tua berupa kastil-kastil kuno dan vila-vila cantik. Lake Como atau Danau Como yang terletak di Italia Utara ini merupakan danau terbesar ketiga di Italia, dengan keindahan alamnya yang sangat memanjakan mata. Tempat ini telah dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai belahan dunia. Untuk menikmati wisata di Lake Como ini, Juna menyewa perahu layar, ditemani Marco sang kapten dan seorang kru, menjelajahi pemandangan desa-desa yang kurang terkenal tetapi justru sangat menarik. Mei dan Juna sudah menghabiskan beberapa jam menikmati tempat ini, mengikuti saja arah angin dan air yang membawa mereka ke tempat-tempat yang pemandangannya indah. Marco seorang kapten yang menyenangkan dengan pengetahuan dan kecintaannya yang l
Juna menyipitkan mata memandangi Mei yang sedang bersandar di sebuah tempat duduk panjang sambil menatap hamparan danau dari dalam perahu layar yang melaju bersama angin. Kenapa tiba-tiba Mei tampak seperti ingin menghindarinya? Juga tiada tawa renyah Mei yang menyambut rayuan gombalnya lagi. Biasanya Mei selalui tertawa setiap kali Juna menghujaninya dengan rayuan receh seperti tadi, bukan? Juna menghela napas. Sejak video call tadi, Mei jadi sedikit berbeda. Apa karena Kevin? Juna tadi sempat menangkap sorot mata Kevin yang sepertinya bukan ditujukan untuk dirinya, tetapi untuk seseorang disampingnya, yaitu Mei, istrinya. ‘Brengsek!’ Seketika dada Juna bergemuruh. ‘Elu masih cinta Kevin, gue tahu. Tapi bisa nggak sih, Mei, elu nggak tunjukin sejelas ini ke gue?’ gumamnya dalam hati sambil meremas-remas tangannya yang tiba-tiba gemetar dan panas dingin. Ternyata Kevin masih memberi pengaruh sebesar itu terhadap Mei, wanita yang sudah dinikahinya secara sah. Ya. Memang. Sejak video
“Yeay!” Mei memekik riang, merentangkan tangan sambil berlari menuju sebuah pagar yang membatasi sisi bukit dengan tebing curam. “Wonderful ...,” desahnya seraya mengembuskan napas sebebas-bebasnya, masih dengan merentangkan tangan, menyambut semilir angin musim semi yang menerpa wajahnya dengan lembut. Sejauh mata memandang, terbentang pemandangan ceruk danau yang membiru diterpa semburat cahaya matahari sore, dikelilingi pegunungan dan arsitektur tradisional Italia yang sungguh cantik. Mei menikmati kesempatan langka ini untuk menghirup sebanyak-banyaknya udara yang membantu meredakan ketegangan dalam dirinya. Juna tersenyum, senang melihat keriangan telah menghiasi kembali wajah istrinya yang tadi sempat ngambek. Setelah memasukkan kopornya ke dalam vila, Juna menghampiri Mei, memeluknya dari belakang. “Asyik ‘kan? Kita akan nginap di sini 2 malam,” katanya sambil meletakkan dagunya di atas kepala Mei. Dan seketika itu juga Mei menyandarkan tubuh lelahnya dalam dekapan Juna yang ha
“Mei!” Juna menghambur memeluk Mei yang baru saja memasuki halaman vila. “Elu dari mana aja, hmm? Dari mana ...?” desaknya dengan napas terengah-engah. Lalu Juna mengurai pelukannya dan mengguncang-guncang tubuh Mei. “Gue setengah mampus nyariin elu ke mana-mana, tahu nggak? Gempor kaki gue nyariin naik-turun bukit, tapi elunya nggak ada, nggak gue temuin. Gue takut elu nyasar terus hilang! Mei ..., please, jangan kayak gini lagi. Kalau elu mau keluar ..., ajak gue, bangunin gue, atau minimal bawa hape biar bisa gue telepon. Paham ...? Kalau sampai kayak gini lagi, elu mau gue ikat aja biar kayak kangkung? Mau gue tumis sekalian campur toge, heh?” oceh Juna nyaris hanya dengan satu tarikan napas saja.Mei berkedip-kedip menatap Juna. Membisu.“Jangan diulangi lagi ya, Mei?” bisik Juna dengan tatapan memohon dan membius hingga Mei mengangguk-angguk.“Good girl.” Juna mengusak poni Mei dan mengecup keningnya lalu menggandengnya masuk ke dalam vila, tanpa banyak bantahan dari wanita itu.
Mei melirik jam yang melingkar cantik di pergelangan tangannya, jam buatan tangan asli dari Swiss hadiah ulang tahunnya dari Juna. Jangan ditanya berapa harganya. Sebab bagi Juna harga tak jadi soal, tetapi tentu saja menjadi soal besar bagi golongan orang yang hobinya ke kafe demi nebeng wifi, pesan kopi cuma secangkir tapi nongkrongnya berjam-jam. “Well, gue bawa dulu produk elu. Nanti biar gue sendiri yang langsung minta ke teman gue buat endorse. Soal biayanya, elu nggak usah pikirin. Biar gue aja,” kata Mei sambil mengambil paperbag berisi sampel kosmetik punya Tania. Seketika Tania dan Sarah saling tatap, kemudian menoleh pada Mei sambil berkedip-kedip. Tak menyangka jika seperti itulah cara Mei akan menolong Tania. Padahal mereka sudah telanjur berbusuk sangka kepadanya. “M-mei ..., elu serius? Biaya endorse teman elu itu kan mahal? G-gue ..., jadi nggak enak.” Tania menggigit bibir, perasaannya masih dipenuhi rasa bersalah kepada Mei. Mei tertawa lirih. “Kan tadi udah gue b
Mei meletakkan Cinta di box tidurnya secara perlahan setelah selesai mengganti diapers untuk bayi cantiknya yang menggemaskan itu, kini anak keduanya itu sudah berusia 3 bulan. Juna menepuk-nepuk lembut pipi puterinya. “Selamat bobok, cintanya mami dan papi,” bisiknya dengan hati berbunga-bunga. Setelah memastikan Cinta tidur nyaman, Juna menoleh kepada Mei yang sedang memerah ASI. Air susu Mei melimpah ruah, sampai-sampai Mei membeli kulkas baru khusus untuk menyimpan stok ASI bagi sang buah hati. Mei bertekad akan memberi Cinta ASI eksklusif selama 6 bulan, sama seperti Vi dulu. “Masih lama, Mi?” Juna manyun memerhatikan Mei sibuk dengan alat perahnya. “Bantuin sini, malah bengong! Biar cepat beres ini,” omel Mei. Juna pun nyengir dan membantu Mei menuliskan tanggal hari ini di setiap label botol ASI itu, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar mereka. Sementara Mei membereskan alat-alat pemerah ASI, mencuci, mengelap, dan menyimpan kembali dengan rapi. “S
“Mami, bangun! Ini sudah jam berapa?” Juna menarik selimut Mei, menepuk-nepuk istrinya yang malah lebih erat lagi memeluk guling. Juna geleng-geleng kepala. Sepertinya Mei bangun kesiangan lagi, padahal biasanya Mei itu morning person. Istrinya itu sigap melayani apa saja kebutuhannya dan juga Vi. Rajin mempersiapkan keberangkatan Juna ke kantor, dan juga mempersiapkan sendiri box makanan untuk Vi. Tapi sudah seminggu ini, makanan untuk Vi diurus pegawainya. Demikian pula persiapan sarapan untuk mereka. Juna rindu sarapannya dipersiapkan sendiri oleh sang istri tercinta. “Banguun, ... Maemunah.” Juna menarik guling Mei, tapi kemudian Mei mengalungkan lengannya di leher Juna. Membuat Juna terkekeh dan menciumi wajah istrinya. “Jun, ngantuk banget gue loh. Masih kepingin bobok.” Juna pun mengecupi pipi istrinya yang masih memejamkan mata. Mei kelihatan sangat mengantuk memang. Juna jadi tak tega menyuruhnya bangun dan menyelimutinya lagi. Juna mandi pagi dan berganti pakaian, memasa
Mei tersenyum puas usai melakukan rapat final dengan manager pengelola gedung Utomo Group. Mei menyabet tempat di lantai dasar gedung Utomo Group yang sebelumnya disewa oleh sebuah restoran franchise asing. Mei ingin menancapkan taring bisnisnya di gedung utama milik kakek suaminya sendiri.Juna pikir istrinya kian menggilai bisnis dan ingin semakin banyak mereguk laba berlipat-lipat. Namun Juna dibuat terkejut saat Mei memaparkan sesuatu kepadanya, bahwa Mei akan memberikan diskon khusus bagi para pegawai Utomo Group yang makan di restoran itu dalam jangka waktu selama mereka berstatus pegawai Utomo Group, yaitu diskon 90% bagi kalangan pegawai kelas bawah semisal security, OB, cleaning service, dan diskon 60% bagi kalangan staf biasa.“Biar apa gitu, Mei?”“Biar mereka merasa dihargai, dan mereka bisa pakai diskonannya buat kepentingan mereka yang lain, atau buat ditabung. Soalnya, Jun, ... gue pernah jadi pegawai rendahan kayak mereka, budget makan siang itu mehong dan berasa bange
“Mei, serius ... elu nggak kepengen ngadain resepsi buat pernikahan kita ini?” Juna diam-diam ingin mewujudkan pesta pernikahan impian yang ingin digelarnya secara mewah. Sebagai wujud kegembiraannya memenangkan hati Mei kembali.“Ogah. Kan udah gue bilang ogah. Berisik amat sig elu masih nanyain melulu, Jun?”Juna manyun. “Emang kenapa sih, Mei?” rengeknya sambil memeluk Mei dari belakang, sementara Mei sedang sibuk meracik bumbu untuk makan malam mereka nanti.“Buat apa elu buang-buang duit cuma buat menjamu para sosialita yang fake itu, heh? Gue ingat banget ya, pas gue lagi melarat gimana sikap mereka ke gue. Gue tuh kayak sampah tahu nggak di mata mereka. Anna dan teman-temannya itu! Papasan sama gue di mall kagak ada yang mau noleh barang seorang, padahal gue udah sapa duluan baek-baek,” oceh Mei sambil menggeprek lengkuas sekuat-kuatnya sampai penyet, seakan lengkuas itu adalah perwujudan Anna dan teman-temannya.Jantung Juna nyaris mencelat kaget mendengarnya. ‘Dih, serem juga
Mei dan Juna menginap di sebuah presidential suite. Di sinilah mereka pernah melewati malam pertama pada pernikahan mereka yang terdahulu. Pada malam rujuknya mereka kali ini, Mei dan Juna kembali memilih ruangan yang sama, ruangan yang menyimpan sejuta kenangan tentang mereka. Ruangan ini menjadi saksi bisu, bahwa ada rasa membara yang mengikat Mei dan Juna, sejak dulu sampai sekarang, tak pernah padam. Jika keduanya dulu merasa canggung saat memasuki ruangan ini dalam balutan gaun pengantin, sekarang tidak lagi. Begitu Juna menutup pintu hotel, dia langsung mengangkat tubuh istrinya itu ke ranjang, melucuti pakaian Mei dengan tak sabar. Sudah halal, bukan? Tangan Juna bergerak cepat menyingkirkan segala macam penghalang, dan matanya berbinar-binar begitu tubuh polos Meilani kini terpampang nyata. Mei ternyata masih tetap luar biasa dan semengagumkan dulu. “Bisa-bisanya Mei, elu udah jadi emak-emak tapi body masih mulus langsing singset kayak gini?” pujinya sambil membelai perut Mei
“Buset, ribet amat sih mau rujuk kebanyakan syarat administrasi! Nggak bisa nikah di KUA hari ini dong gue? Mau tuntasin ibadah nikah yang mulia kok ada-ada aja ya ujiannya?” oceh Juna saat menelepon Jonathan. “Ya udah, Jon, elu buruan daftarin dan urusin semua persyaratan rujuk buat gue dan Mei di KUA. Gue sama Mei nikah siri aja dulu hari ini! Biar cepat sah dan halal,” pungkasnya. Mei tertawa mendenngar ocehan Juna yang teramat ramai. “Beneran mau nikah hari ini? Ntar ajalah ... tanggung, nikah di KUA yang resmi sekalian, tunggu Jojon kelar beresin syarat administrasinya dulu, Jun.” “Eits, nggak bisa! Ibadah loh ini, Maemunah ...! Ibadah itu jangan ditunda-tunda. Jangan dengerin bujuk rayu setan buat nunda-nunda ibadah kita.” Mei terpingkal-pingkal. “Cih. Bisa aja nih orang modusnya, ... bilang aja udah nggak tahan pengen grepe-grepe gue!” cibirnya. Juna nyengir. “Itu kan ibadah juga, Mami sayang, ... yang membedakan kita sama kucing! Kucing mau kawin tinggal kawin, kalau kita
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka