Happy reading. Terima kasih atas dukungan dan votenya ya :)
Seusai percintaan kilat barusan, Mei membantu Juna merapikan pakaian dan penampilannya yang berantakan, tapi sialan menariknya di mata Mei. Astaga, benarkah pria ini suaminya? Setampan ini? Kenapa Mei tak pernah menyadari ketampanan Juna sejak dulu sih? Mei tersenyum kecut dalam hati. Tentu saja, karena Mei kala itu paham sekali kalau si tampan ini mendekatinya hanya karena Raya, jadi Mei tak merasa ge-er sama sekali didekati Juna, malah Mei cenderung mengabaikannya.“Halo, cantik? Kenalan dong? Meilani, kan? Gue Juna,” kata Juna kala pertama kalinya ‘sksd’ alias ‘sok kenal, sok dekat’ dengannya di taman sekolah SMA pada saat jam istirahat kedua.“Iya gue Meilani, panggil aja Mei.” Mei tersenyum seperlunya, tak terlalu mengacuhkan keberadaan Juna karena dia ingin segera menamatkan novel teenlit yang sedang dibacanya. Tampak sekali dari gesture tubuhnya jika dia terganggu dengan kehadiran Juna.“Mei!” seru Juna tiba-tiba.Mei tersentak karena dipanggil dengan suara kencang dan dalam ja
“Mei?” tegur Juna karena Mei masih diam. Mei memaksakan segaris senyum di bibirnya. “Tentang sewa detektif yang gue minta tadi, Jun.” Sebenarnya bukan tentang detektif yang menjadi lamunan Mei tadi, tetapi kenangannya tentang ikan gurame dan Kevin. Namun Mei tak ingin membahas isi pikiran yang sebenarnya demi menghargai perasaan Juna. Bagaimanapun Juna suaminya, dan membicarakan mantan gebetan secara terang-terangan di depan suaminya bukanlah tindakan bijak bagi Mei, terlebih setelah percintaan yang barusan terjadi. Mei tak ingin merusak suasana dan hal indah yang sudah terbangun gara-gara kenangan semata. Juna terkekeh. “Emangnya elu mau menyelidiki apaan sih, Maemunah?” tanyanya sambil menyesapi bumbu ikan gurame. Mei menelan ludah melihatnya, 'Kelihatannya kok enak banget', pikirnya jadi ingin juga mencicip. “Mei?” tegur Juna karena melihat Mei melamun lagi dan tidak fokus. “Eh, maaf.” Mei jadi gugup. Lalu dia menceritakan kejadian yang dialaminya tadi, tentang kabar om Danu ya
“Halo.” Juna menjawab telepon yang berdering di meja kerjanya sambil melirik Mei yang tertidur di sofa. “Pak, dokumen dari Pak Ronald sudah sampai. Bisa diantar ke ruangan bapak sekarang?” “Mau ngomong gitu doang?” Ada nada kesal dalam teguran Juna, sudah beberapa kali Irna menelepon hanya untuk menyampaikan hal yang tak terlalu mendesak. “Kenapa nggak langsung ketuk pintu dan masuk aja, sih?” Tentu saja Juna tak menyadari kekhawatiran yang melanda sekretarisnya, Irna takut memergoki hal yang tidak-tidak di dalam sana kalau tak menelepon si bos lebih dulu. Apalagi atmosfer ruangan bosnya terasa berbeda sejak sang istri memasukinya, atmosfer yang membuat jiwa jomblonya meronta-ronta. “B-baik, Pak. Saya masuk sekarang.” Irna memasuki ruangan dan meletakkan map di meja. “Pak,” panggil Irna. “Tadi Bu Laras menitipkan ini juga. Sebenarnya Bu Laras ingin menyampaikan sendiri, tapi sepertinya tadi Bapak sedang s-sibuk,” Irna sedikit kikuk saat menyebut kata ’sibuk’ karena kesibukan bosn
Menolak menjadi kucing peliharaan Juna, Mei pilih mengaktifkan dirinya dalam kegiatan sosial bersama teman-teman sosialitanya. Semula Mei ingin membatasi saja pergaulan, dia tak nyaman berjumpa banyak orang, tetapi ternyata Mei justru terdorong kian ke tengah, sebab Opa Tomo malah memberinya tanggung jawab mengelola yayasan sosial yang membawa nama besar Utomo Group. Mau tak mau Mei harus bersikap luwes dan belajar banyak dari setiap orang yang ditemuinya. Dan dalam waktu singkat, nama Meilani sebagai cucu menantu dari Utomo Putra mulai dikenal luas. Membuat Mei semakin berhati-hati dalam menggerakkan setiap langkahnya, sebab dia jadi merasa diawasi ribuan pasang mata. Ucapan dan tindakannya, bisa saja dicatat dan dicatut, terutama oleh media dan netizen yang menjadi follower setianya di media sosial. Mungkin inilah alasan Juna dulu menyingkirkan sejenak statusnya sebagai cucu konglomerat dan pilih bergaul dengan masyarakat biasa saja semasa sekolah agar bebas menikmati masa remajanya
Sarah dan Tania geleng-geleng kepala saat pikirannya berseluncur di media sosial. Mereka meet up sambil menunggu teman-teman SMA lainnya di sebuah kafe. Meski duduk di meja yang sama, tetapi perhatian mereka justru asyik tercurah ke dalam gawai masing-masing. “Gokil ya ternyata si Juna? Siapa sangka kalau dia tajir parah, the real of sultan gini,” gumam Tania sambil mengomentari instastory Juna yang sedang menampilkan foto-foto liburannya di Eropa bersama Mei. Sarah mengangguk-angguk. “Mei beruntung banget ya, nikah sama Juna,” timpalnya yang ternyata juga sedang mengintip instastory Juna. Lalu matanya melotot seperti mau copot saat melihat foto Juna dan Mei berpose mesra di depan mobil Bugatti Chiron dengan latar belakang sebuah vila cantik bergaya khas Eropa. Jiwa iri kedua orang itu serasa menjerit-jerit melihat video pendek Juna yang tengah menyetir hypercar mewah itu. Teman SMA yang dulu sering mereka cibir ini, sungguh terlihat begitu berbeda. Kemudian video berganti, kini ter
Mei meringkuk seperti bayi kala merasakan selimutnya tersingkap dan udara dingin merambati tubuhnya dengan cepat. Tangannya menggapai-gapai selimut untuk menutup lagi tubuhnya yang berbalut lingerie tipis, lingerie yang hanya memiliki fungsi keindahan saja, tapi tak becus menghangatkan tubuhnya di malam yang dingin ini. “Bangun, Maemunah.” Juna menepuk-nepuk pipi Mei yang justru merapatkan mata, silau ditusuk cahaya lampu keemasan yang menerangi kamar. “Jun, matiin lampunya, silau ...,” rengek Mei yang masih ingin tidur. “No. Wake up, now!” Juna menepuk bokong Mei dengan cukup keras dan sukses membuat mata Mei terbuka. Bukan hanya terbuka, bahkan mata itu memelototinya. “Apaan, sih!” Dipelototi, Juna malah tersenyum lebar. “Wake up, please. I have a surprise for you,” ucapnya seraya merunduk dan mengecup lembut kening Mei yang memberengut, kesal terganggu tidur nyenyaknya. “Ayo turun, kita harus sarapan dan gerak cepat.” Juna enggan kompromi lagi, digendongnya tubuh Mei ke kamar
Juna menepuk-nepuk bahu Mei yang masih memeluknya erat karena euforia. “Ayo, balon udaranya sudah siap. Jangan sampai kita kehilangan momen matahari terbit yang cantik gara-gara kelamaan pelukan kayak gini. Kita bisa pelukan sepuasnya nanti saja di kamar, mau lebih dari pelukan juga boleh banget. Wadaw!” Juna memekik dan tertawa karena Mei sekarang jago sekali mencubit pinggangnya. Mei berbalik, terperangah, terpukau menatap balon raksasa yang mulai terangkat ke udara tepat di depan matanya. Ini pengalaman pertamanya naik balon udara. Sedangkan Juna di sebelahnya, tersenyum menatap Mei sambil meremas tangan Mei yang berada dalam genggamannya. Beberapa kru membantu mereka naik ke atas keranjang bersama seorang pilot. Mei memekik senang ketika pelan-pelan keranjang terangkat ke udara dan lepas dari tanah, membumbung tinggi ke langit jernih yang dihiasi semburat fajar begitu indah. Mei mencengkeram pinggiran keranjang dan menatap ke bawah. Lapangan hijau tampak semakin jauh dan mengecil
“Btw, Jun, lagi di mana sih elu, tuh?” Dodi kepo melihat latar belakang dalam video Juna. “Lagi berlayar di Lake Como, nih ...” Juna memamerkan pemandangan di sekitarnya, hamparan indah perairan kebiru-biruan membentang luas dengan pemandangan pegunungan serta bangunan tua berupa kastil-kastil kuno dan vila-vila cantik. Lake Como atau Danau Como yang terletak di Italia Utara ini merupakan danau terbesar ketiga di Italia, dengan keindahan alamnya yang sangat memanjakan mata. Tempat ini telah dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai belahan dunia. Untuk menikmati wisata di Lake Como ini, Juna menyewa perahu layar, ditemani Marco sang kapten dan seorang kru, menjelajahi pemandangan desa-desa yang kurang terkenal tetapi justru sangat menarik. Mei dan Juna sudah menghabiskan beberapa jam menikmati tempat ini, mengikuti saja arah angin dan air yang membawa mereka ke tempat-tempat yang pemandangannya indah. Marco seorang kapten yang menyenangkan dengan pengetahuan dan kecintaannya yang l