Terima kasih support pembaca sekalian lewat vote yang diberikan. Happy reading :)
Dilla memejamkan mata ketika kekejamannya kepada Mei di masa lalu tiba-tiba saja berputar dalam ingatannya dengan begitu jemawa. Membuat tangis Dilla kian menjadi, alangkah teganya dia dulu kepada keponakannya yang baik itu. Ke mana hati nuraninya? Dan kenapa hatinya baru terketuk sekarang? “Meilani!” bentak Dilla kala itu, ketika Mei baru saja pulang dari kampus, “dari mana saja kamu? Ditelepon dari tadi nggak diangkat!” sambutnya begitu Mei memasuki rumah dengan membawa map berisi tugas-tugas kuliahnya. “Maaf, Tan. Hape Mei kan udah lebih dari seminggu ini rusak,” jawab Mei seraya menunduk sedih. Ponselnya pecah gara-gara dibanting Dilla saat marah. Entah ... setan apa yang merasuki pikirannya hari itu, Dilla justru mendorong Mei hingga isi mapnya berhamburan di lantai lalu dia memukuli Mei seperti anak kecil, bahkan anak kecil saja tak patut menerima pukulan semacam itu. Dan Mei hanya menangis tanpa suara sambil memunguti kertas-kertas tugasnya. Dan dengan kejamnya Dilla menginja
Seperti biasa, Raya hanya bisa diam jika Nila sudah mulai mengoceh tentang banyak hal. Serba salah, kalau jauh dengan mamanya dia kangen, tapi kalau dekat begini kesal juga mendengar mamanya mengoceh terus. Apalagi ocehan sang mama kali ini terkait dengan masa lalunya dengan Juna, sang mantan. Ocehan itu mengganggu, meski sebenarnya Raya sudah lama move on, setelah dia memutuskan Juna secara sepihak jelang keberangkatannya ke Amerika dulu. Juna menggenggam tangan Raya erat-erat. “Ray, come on. Please! Gue nggak masalah elu mau kuliah ke ujung dunia mana pun, asal kita tetap bisa komunikasi. Gue siap LDR-an, kok,” tolak Juna seraya menggeleng tegas kala Raya mengucap kata putus dengan alasan akan melanjutkan study pasca sarjana ke Amerika untuk jangka waktu cukup lama. Kali itupun Raya menggeleng tegas, yang berarti putus. “Sorry. Gue nggak bisa, Jun.” Raya melepaskan tangannya dari genggaman Juna, tetapi Juna balas mendekapnya dengan begitu erat. “Elu bisa, Ray. Selama elu masih pun
Tangan Mei gemetar memandangi halaman instagramnya. Dia punya banyak sekali follower sejak malam amal bersama teman-teman sosialitanya sebulan yang lalu, dan setiap saat jumlah followernya terus bertambah. Jika umumnya orang lain senang dengan populatitas, tetapi tidak dengan Mei. Dia takut kehidupan pribadinya bakal terekspose. “Kenapa, Mei? Something wrong?” tegur Juna yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Mei mendongak dan menemukan Juna sudah rapi dengan setelan jas hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Menunjukkan sisi lain dari seorang Juna yang sama sekali berbeda dari sosok Juna yang dulu dikenal Meilani. Ya, tentu saja, sebab Mei baru mengetahui jika Juna ternyata bukan rakyat jelata sepertinya, jelang beberapa minggu pernikahan mereka. Siapa sangka Juna ternyata termasuk sekian persen orang saja di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas rata-rata, namun selama ini pria itu dengan baik menyembunyikan identitas aslinya dan sukses mengelabui orang-orang di sekeli
Selesai sarapan, Juna memanggil Jonathan dan menanyakan beberapa hal terkait pekerjaan dan memastikan lagi agendanya hari ini. Jonathan membuka ipad dan membacakan beberapa catatan khusus, sekaligus meminta persetujuan Juna mengenai beberapa hal. Jonathan mendengar setiap arahan dari Juna dengan saksama. Membuat Mei tersenyum melihat sisi serius seorang Juna, tak menyangka jika Juna ternyata orang yang teliti dan sanggup berpikir strategis, berbanding terbalik dengan penampilan luar yang diperlihatkannya selama ini, slengekan dan masa bodoh. Padahal Juna punya kecakapan intuisi sejak lahir, juga memiliki leadership yang unggul, yang membuatnya mampu menjalankan fungsinya sebagai CEO dari anak perusahaan Utomo Group, dan sebentar lagi akan diangkat menjadi Direktur di perusahaan induk, sebab Utomo harus mempersiapkan Juna sebagai pucuk pimpinan perusahaannya sebaik-baiknya. Dan posisi Juna sebagai CEO anak perusahaan Utomo Group nantinya akan digantikan oleh Anjani. “Mei, gue berangkat
Melihat Juna masih saja mematung memandanginya tanpa segera bicara, Mei menegur dengan tak sabar, “Woy, Jun? Apaan?” tanyanya sambil memakai celana training, “buruan, gue udah ditungguin personal trainer gue tuh. Kasihan dia kalau nungguin gue lama-lama cuma buat ganti baju doang,” ocehnya seraya bersiap memakai kaos oblong. “Wait! Don’t move!” cegah Juna. Mei mematung kaget. Lalu menoleh ke kanan, kiri, dan sekitarnya dengan tatapan waspada dan juga bingung, mengira ada sesuatu. Tetapi begitu Mei menyadari cengiran nakal Juna dalam kamera videonya, dia baru tersadar kalau tadi Juna sedang melakukan tangkapan layar terhadap dirinya. Mei tiba-tiba ingin balas mengusili Juna. “Why?” Mei tersenyum miring, bersiap melancarkan serangan, “do you want it?” ledeknya sambil melepaskan bra secara perlahan, dengan gerakan yang dibuat-buat dramatis, hingga tampaklah kini sepasang aset pribadinya, bagian atas tubuh Mei yang menjadi favorit Juna, yang selalu dibelai Juna sepanjang malam, yang sela
Juna melirik jam tangan buatan Swiss seharga sebuah mobil yang melingkari pergelangan tangannya. Rasanya dia sudah tak sabar ingin mengakhiri meeting karena ingin segera bertemu dengan Meilani. Tapi apa boleh buat, meeting kali ini sedang membahas hal penting dan tidak bisa diwakilkan orang lain karena menyangkut hal strategis yang butuh perhatian serta penanganan langsung dari sang CEO. Juna harus segera menyelesaikannya sampai tuntas.“Baiklah, kalau begitu saya sendiri yang akan menemui Mr Albert di Italia. Tolong, Irna,” Juna menoleh kepada sekretarisnya, “cek apakah ada jadwal saya yang urgen di minggu ini, kalau nggak ada lekas atur jadwal pertemuan saya dengan Mr Matteo di minggu ini saja,” kata Juna mengambil keputusan.“Baik, Pak.” Irna mengangguk dan mencatatnya. Sementara Juna melanjutkan beberapa arahan dan kebijakannya terkait proyek pembangunan perumahan yang tersendat-sendat karena kendala sengketa lahan.Di tengah pembicaraannya, tiba-tiba ponselnya bergetar dan wajah
Mei buru-buru menyusul Danu ke rutan. Tetapi keinginannya untuk membesuk sang om membuahkan hasil mengecewakan. “Boleh saya tahu alasan kenapa beliau tidak mau bertemu dengan saya?” desak Mei kepada petugas rutan. Dan Mei menghela napas sedih karena petugas tersebut tidak bisa memberikan keterangan. Mei kembali ke mobil dengan membawa perasaan bingung atas sikap ganjil Danu yang selalu menghindarinya. Dia ingin ke rumah Dilla untuk menengoknya, sekaligus mencari tahu sendiri jawaban dari perubahan sikap Danu, sebagai keluarga Dilla mungkin tahu alasannya. Tetapi dia pikir Juna pasti akan marah jika Mei bertemu Dilla tanpa izinnya, bagaimanapun Juna suaminya. Mei tak ingin bertindak sesukanya sendiri. “Mbak, ayo makan dulu? Mbak Mei sudah melewatkan makan siang,” bujuk Maryam. “Nggak pengen, Mar.” Mei membuang tatapannya ke luar jendela. “Kenapa Om nggak mau menemuiku ya? Padahal sudah seperti ayahku sendiri, pahlawanku selama ini, Mar.” Mei menitikkan air mata. Maryam mendesahkan s
Seusai percintaan kilat barusan, Mei membantu Juna merapikan pakaian dan penampilannya yang berantakan, tapi sialan menariknya di mata Mei. Astaga, benarkah pria ini suaminya? Setampan ini? Kenapa Mei tak pernah menyadari ketampanan Juna sejak dulu sih? Mei tersenyum kecut dalam hati. Tentu saja, karena Mei kala itu paham sekali kalau si tampan ini mendekatinya hanya karena Raya, jadi Mei tak merasa ge-er sama sekali didekati Juna, malah Mei cenderung mengabaikannya.“Halo, cantik? Kenalan dong? Meilani, kan? Gue Juna,” kata Juna kala pertama kalinya ‘sksd’ alias ‘sok kenal, sok dekat’ dengannya di taman sekolah SMA pada saat jam istirahat kedua.“Iya gue Meilani, panggil aja Mei.” Mei tersenyum seperlunya, tak terlalu mengacuhkan keberadaan Juna karena dia ingin segera menamatkan novel teenlit yang sedang dibacanya. Tampak sekali dari gesture tubuhnya jika dia terganggu dengan kehadiran Juna.“Mei!” seru Juna tiba-tiba.Mei tersentak karena dipanggil dengan suara kencang dan dalam ja